Gio mendesah. Sekilas masih ada rasa seperti dia akan mengkhianati mendiang istrinya. Tapi juga muncul Victoria dengan senyum dan berkata, it is okay. "Vicky, buat aku yakin, langkahku sekarang tidak salah." Lagi batin Gio bergulat. Gio memejamkan matanya. "Tuhan, jika ini waktuku untuk mengejar cinta yang baru, beri aku damai. Dan mudahkan jalanku bersama Veronica." Setelah beberapa lama, Gio berdiri dan meninggalkan kantornya. Masuk ke mobil dan melaju menuju Dame Resto. Resto yang cukup besar dan dikenal di kota ini. Salah satu juga tempat favorit dia dan keluarga jika makan bersama di luar rumah. Jam 7 kurang 10 menit, Gio sampai. Dia langsung mencari tempat yang strategis untuk dia bicara dengan nyaman nanti. Agak sebelah belakang, dekat taman yang ada kolam ikannya. Hm, tempat yang pas. Gio baru memilih menu dan belum memutuskan makan apa selain minum, Veronica datang. "Selamat malam, Pak Gio," sapa Veronica. Gio menoleh. Veronica berdiri dengan senyum manisnya. Cantik. Te
Lelah mendera setelah sepanjang hari beraktivitas. Veronica sebenarnya ingin segera berbaring dan tidur lelap agar tubuhnya kembali segar esok hari. Tetapi apa daya, pertemuannya dengan Gio membuat dia kepikiran. Perkataan Gio makin jelas. CEO dingin yang mulai menghangat itu, punya maksud lain selain ingin berteman. Awalnya Veronica tidak mau terlalu memperhatikan itu. Dia memang sempat menduga, tetapi Veronica tepis jauh-jauh. Tidak. Dia tidak mau memulai hubungan dengan pria manapun. Dia masih sayang Leon. Kehilangan Leon tidak berarti dia akan dengan gampang mencari cinta baru. “Ahh … kenapa ternyata Pak Gio malah membuka pintu? Aku harus menjawab apa?” ucap Veronica lirih. Terdengar ponselnya berdering. Veronica turun dari ranjang dan mengambil benda pipih di meja. Mama tersayang menelpon. “Ma, malam begini menelpon? Mama sedang tidak sehat?” Veronica kaget karena tidak biasa mamanya akan menghubungi apalagi hari sudah malam. “Aku mimpi kamu, Nak. Kamu sedang takut dan menang
"Apalagi, Fasta?" Wuri menoleh, lalu kembali melihat ke depan, tidak menghentikan langkahnya."Fasta?" Felipe menatap Wuri. Dia mempercepat kakinya agar bisa menjajari Wuri."Aku hanya ingat bagian itu dari namamu." Wuri terus berjalan, kasir sudah tidak jauh lagi."Tidak apa-apa. Dipanggil Fasta juga bagus kukira." Felipe tersenyum. "Ambil ini untukmu. Sudah aku bayar." Felipe menyodorkan coklat di depan Wuri."Tidak usah. Jadi temanku tidak harus beli coklat untukku." Wuri tegas menolak."Bukan. Aku memang ingin memberimu. Aku tahu kamu mau jadi temanku." Coklat masih terulur di depan Wuri."Baiklah. Terima kasih." Wuri menerima coklat itu dan memasukkan ke saku roknya. Lalu dia meneruskan langkah menuju ke kasir.Tak lama Wuri sudah dilayani dan mereka keluar supermarket. Di depan supermarket mereka berpisah."Sampai jumpa minggu depan," kata Felipe. Dia meyakinkan Wuri, mereka akan bertemu lagi minggu berikutnya.Wuri tersenyum tipis.Melihat itu, Felipe menaikkan kedua alisnya.A
"Waktu kakek masih ada, aku masih cukup senang. Kakek sangat sayang aku. Dia melindungi aku setiap kali ibu marah padaku. Setelah kakek meninggal, ibu makin tak terkendali. Sepertinya dia ingin menyiksaku seumur hidup."Felipe hanya mendengarkan tidak mau berkomentar apa-apa. Dia tunggu Wuri menyelesaikan semua kisahnya. Hatinya pedih mendapati kenyataan ada seorang anak harus mengalami kehidupan seburuk itu."Kakek yang memberiku nama. Pernah pamanku ingin mengajakku supaya aku tinggal dengannya. Tapi ibu mengancam akan membunuhku jika sampai aku dibawa. Sejak itu paman tidak pernah lagi memintaku tinggal dengan keluarganya. Hanya sesekali paman datang, memberiku uang. Karena kami hidup hanya dari pensiunan kakek. Ibu tidak pernah memberi aku uang lebih kecuali untuk belanja. Kalau ibu tahu paman memberiku uang, dia akan ambil uang itu dan ludes di meja judi.""Fasta, mungkin setelah mendengar ini kamu jadi tidak suka lagi denganku. Lalu kamu memilih pergi, aku
"Seharusnya aku tidak pergi. Seharusnya aku tetap di sisimu. Maafkan aku, karena tidak memahamimu," kata Reggy lembut. Ditatapnya Resita yang malah menunduk dalam-dalam."Sungguh, aku bukan pria yang-""Re ... aku bisa mengerti. Aku rela kamu pergi. Aku tidak apa-apa." Resita mengangkat wajahnya. Roman merah karena malu dan sedih yang tampak di sana."Tidak. Ini salah. Harusnya aku yang berkata begitu. Tidak apa-apa, Resita. Semua yang terjadi tidak akan mengubah hatiku padamu. Tidak akan merubah bahwa kamu gadis luar biasa yang aku cintai. Kamu pasti baik-baik saja. Kita lewati ini bersama," kata Reggy. Lembut tapi mantap.Resita menangis mendengar itu. Tanpa bersuara, air mata mengalir di pipinya."Sita ..." Reggy mengulurkan tangan pada Resita.Resita memandang Reggy. Tidak percaya rasanya mendengar semua yang Reggy telah ucapkan. Resita tidak menerima tangan Reggy. Dia menjatuhkan dirinya di dada Reggy. Tangisnya pecah. Sebisa mungkin dia tahan agar tidak menangis dengan keras. Tu
Esoknya minggu siang, Gio pergi bertemu dengan Veronica. Jadwal gym mereka ganti hari Minggu, karen Sabtu Gio menikmati waktu dengan anak-anak dan teman-teman mereka.Di rumah, Maureen, Reggy, dan Felipe asyik berkebun di halaman samping. Mengurus taman sambil ngobrol selalu seru buat mereka."Reen, papa beneran pedekate sama cewek." Felipe bicara soal Gio. Felipe tahu langsung kalau papa bertelpon dengan seorang wanita."Duh, gimana, ya, caranya ngajak papa ke distro biar bisa ketemu Tante Vero. Padahal distronya dekat juga di situ," kata Maureen. Ternyata tidak mudah memulai rencananya."Itulah. Kamu minta antar aja beli apa kek, di sana." Reggy menyahut. Reggy juga sudah kenal Veronica. Mereka pernah bertiga ke distro bareng."Menurut Kakak, apa cewek yang papa suka baik kayak Tante Vero?" tanya Maureen. Gelisah kalau memikirkan papa sudah punya pacar, sementara Maureen betekad agar Veronica yang jadi istri papa nanti."Ga tahu juga, ya. Tapi papa bilang kalau cewek itu ga bisa ter
"Perjanjian?" Maureen menaikkan kedua alisnya heran dan tidak mengerti maksud Veronica. "Oke, aku mau kenalan sama papa kamu. Tapi ada syaratnya." Veronica menjawab lebih pelan dan lembut. "Apa itu, Tan?" Maureen penasaran. "Kenalan di distro ini. Ajak papamu belanja di sini. Aku ingin tahu sikap dia seperti apa. Setelah selesai belanja aku baru akan kenalan. Jika nanti aku tidak merasa ada hati, aku mundur. Atau jika papamu yang tidak bisa menerima aku, aku tidak akan lanjutkan. Deal?" Jelas, lugas, dan tegas yang Veronica katakan. Maureen memandang Veronica. "Nanti, aku akan menikah atau tidak dengan papa kamu, kamu akan tetap jadi putriku. Oke?" Veronica memeluk bahu Maureen. Maureen menarik nafas dalam. "Baiklah ..." ujar Maureen lirih. Tidak ingin setuju, tetapi permintaan Veronica sangat masuk akal. "Senyum dong, kalau gitu." Veronica memegang kedua pipi Maureen. Maureen melebarkan bibirnya. Veronica ikut tersenyum. "Lalu kapan kamu akan ajak papa kamu kemari?" tanya Ver
"Iya, Pa. Ga tau tiba-tiba mules. Tapi udah ga apa-apa, kok," ujar Maureen.Gio beranjak keluar rumah menuju garasi. Dia mau mengeluarkan mobil."Pa, ga usah bawa mobil. Kita jalan aja ke sana," sergah Maureen."Ha? Jalan kaki?" Gio heran. Dia mengerutkan kening memandang si bungsu."Tempatnya dekat," kata Maureen menjelaskan."Mau beli gaun di mana di sekitar sini?" Gio bertanya heran."Ada, deh. Papa ikut aja pokoknya." Maureen mendahului berjalan meninggalkan rumah. Gio menutup pintu dan mengunci rumah lalu mengejar Maureen."Sekali-sekali, Pa, ga harus pakai kendaraan, hehe ... Anggap aja aku dan Papa jalan sehat bareng sekalian." Maureen tersenyum lebar.“Baiklah, ayo!” Gio manut saja manuya Maureen.Gio yang masih bingung mengikuti langkah Maureen. Sebenarnya mau dibawa ke mana ini? Dia memperhatikan wajah Maureen. Seperti sedikit ada raut tidak tenang di sana. Ada apa dengan anak bungsunya ini?Kepala dan hati Maureen memangh nervous menghadapi hari itu. Tapi dia Maureen berjal