"Perjanjian?" Maureen menaikkan kedua alisnya heran dan tidak mengerti maksud Veronica. "Oke, aku mau kenalan sama papa kamu. Tapi ada syaratnya." Veronica menjawab lebih pelan dan lembut. "Apa itu, Tan?" Maureen penasaran. "Kenalan di distro ini. Ajak papamu belanja di sini. Aku ingin tahu sikap dia seperti apa. Setelah selesai belanja aku baru akan kenalan. Jika nanti aku tidak merasa ada hati, aku mundur. Atau jika papamu yang tidak bisa menerima aku, aku tidak akan lanjutkan. Deal?" Jelas, lugas, dan tegas yang Veronica katakan. Maureen memandang Veronica. "Nanti, aku akan menikah atau tidak dengan papa kamu, kamu akan tetap jadi putriku. Oke?" Veronica memeluk bahu Maureen. Maureen menarik nafas dalam. "Baiklah ..." ujar Maureen lirih. Tidak ingin setuju, tetapi permintaan Veronica sangat masuk akal. "Senyum dong, kalau gitu." Veronica memegang kedua pipi Maureen. Maureen melebarkan bibirnya. Veronica ikut tersenyum. "Lalu kapan kamu akan ajak papa kamu kemari?" tanya Ver
"Iya, Pa. Ga tau tiba-tiba mules. Tapi udah ga apa-apa, kok," ujar Maureen.Gio beranjak keluar rumah menuju garasi. Dia mau mengeluarkan mobil."Pa, ga usah bawa mobil. Kita jalan aja ke sana," sergah Maureen."Ha? Jalan kaki?" Gio heran. Dia mengerutkan kening memandang si bungsu."Tempatnya dekat," kata Maureen menjelaskan."Mau beli gaun di mana di sekitar sini?" Gio bertanya heran."Ada, deh. Papa ikut aja pokoknya." Maureen mendahului berjalan meninggalkan rumah. Gio menutup pintu dan mengunci rumah lalu mengejar Maureen."Sekali-sekali, Pa, ga harus pakai kendaraan, hehe ... Anggap aja aku dan Papa jalan sehat bareng sekalian." Maureen tersenyum lebar.“Baiklah, ayo!” Gio manut saja manuya Maureen.Gio yang masih bingung mengikuti langkah Maureen. Sebenarnya mau dibawa ke mana ini? Dia memperhatikan wajah Maureen. Seperti sedikit ada raut tidak tenang di sana. Ada apa dengan anak bungsunya ini?Kepala dan hati Maureen memangh nervous menghadapi hari itu. Tapi dia Maureen berjal
"Bisakah kubilang hidup membuat permainan yang luar biasa buatku?" kata Veronica. "Aku bukan sekedar memulai hidup baru di sini. Aku disuguhi sebuah keluarga yang begitu istimewa di depanku?""Jadi ..." Gio makin menghujam pandangan ada Veronica dengan debar-debar di hati terus menderu.“Papa!”Panggilan Maureen membuyarkan momen serius dan mendalam di antara Gio dan Veronica."Ih, papa senyum-senyum. Tante Vero juga. Apa mereka udah kenalan?" batin Maureen."Pa, aku mau bayar." Maureen mendekat."Oke. Ayo," ajak papanya. Ah, seharusnya Gio mendapatkan jawaban dari Veronica. Maureen muncul di waktu yang tidak tepat."Punya papa mana?" tanya Maureen. "Jangan bilang cuma ngobrol, ga jadi milih baju.""Papa sudah lihat, belum memutuskan saja. Hhmm ... nih, dua kaos yang ini. Biru dan coklat … Ini lumayan bagus." Gio mengambil dua kaos dari gantungan."Ih ... Papa? Yakin mau pilih yang ini tulisannya." Maureen melihat tulisan di kaos itu. ‘Keep loving me’ dan yang satu ‘Say one more ... y
Veronica menarik nafas dalam. Lady menunggu Veronica memberi jawaban atas kecurigaannya bahwa Veronica punya sesuatu dengan CEO dingin yang di awal pertemuannya karena bisbis, benar-benar membuat Veronica kesal.Veronica menggeleng. “Aku … sebenarnya, Pak Gio memang mendekatiku. Kami mulai dekat, meskipun belum sangat jauh hubungan kami.”“Dia bilang cinta sama kamu?” Lady merasa ada debaran di hatinya. Seolah-olah dia yang sedang kejatuhan cinta.Veronica kembali menggeleng. Tidak, Lady. Tetapi jelas dia mengatakan mau membuka diri dan memberi kesempatan untuk memulai hubungan baru. Dia melihat aku akan bisa melengkapi dirinya.”“Ah, itu Bahasa halus saja. Dia pasti ingin menjadikanmu istrinya, Vero.” Cepat Lady merespon. “Lalu, hatimu gimana sama dia?”Sekali lagi Veronica menarik nafas dalam. “Ternyata dia tidak dingin dan galak. Pak Gio baik sekali. Dia sangat sayang anak-anaknya. Kebahagiaannya adalah melihat mereka hidup baik-baik saja dan mendapatkan yang terbaik.”“Jadi dia be
"Maaf, aku ingat nama kakakmu Fasta. Belum biasa memanggil Felipe," ujar Wuri malu-malu."Ga apa-apa, sih. Keren juga dipanggil Fasta." Maureen tersenyum. "Silakan, ya ... aku masuk dulu.""Terima kasih, Maureen," ujar Wuri ikut tersenyum."Oke.” Maureen meninggalkan Felipe dan Wuri."Minumlah," kata Felipe."Terima kasih." Wuri minum beberapa teguk. Felipe memandangi Wuri terus. Wuri jadi salah tingkah."Kenapa melihat aku begitu? Ada yang salah?" Wuri tidak nyaman dipandangi terus, malah jadi kikuk."Tidak. Dengan wajah ceria begini kamu makin cantik." Felipe terus menatap Maureen."Kamu bisa saja." Wajah Wuri bersemu merah."Aku ga bohong,” tandas Felipe."Aku boleh tanya? Kenapa kamu mau menolongku? Kenapa kamu mau berteman denganku?" tanya Wuri. "Melihat rumahmu ini, aku tahu kita sangat berbeda. Kamu anak orang ...""Kaya?" sahut Felipe karena Wuri tidak melanjutkan perkataannya.Wuri mengangguk."Kaya itu relatif, Wuri. Banyak orang yang masih jauh lebih kaya. Semua ini juga pa
"Tenang saja adikku yang cantik dan baik hati. Nanti kita pasti akan dikenalkan sama teman ceweknya papa. Kata papa masih pedekate ini. Kalau udah jelas, udah serius, papa akan bawa ketemu kita," ujar Felipe. Dia rangkul bahu Maureen.“Bisa ga sih, sebelum itu papa sama tante Vero udah kontakan lagi, bisa ketemu lagi? Biarpun masih pedekate, kalau sama Tante Vero ga sering komunikasi, apa ya bisa dapat chemistry? Gimana mau saling kenal lalu jadi merasa cocok?” Maureen mulai resah.Kedua kakaknya saling memandang. Felipe memberi kode dengan kepala bira Reggy bicara sesuatu, menenangkan adik mereka. Reggy menggeleng kecil, bingung juga mau bicara apa. Dengan isyarat raut mukanya, Felipe lagi-lagi meminta Reggy berbuat sesuatu.“Ehm … kamu bisa ga membuat rencana lagi kita jalan sama papa, tapi kita juga ajak Tante Vero?” Reggy asal membuka suara saja. Heran juga dia bisa mengucapkann itu.Felipe seketika melotot mendengar ide Reggy. Maureen justru melebarkan mata memandang Reggy, lalu
Pantai luas dan indah. Langit biru cerah dengan awan berarak cantik menghiasinya. Reggy, Maureen, dan Felipe jadi juga pergi berlibur ke sana. Akhirnya mereka pergi dengan orang-orang terdekat kecuali papa. Yerry, Natan, Resita, Vera, dan Wuri ikut dengan mereka. "Randy! Randy! Kembali!! Jangan ke sana!!" Maureen memanggil anjing kecilnya yang berlari cepat ke arah pantai. Anjing berbulu lebat itu berhenti, memandang Maureen lalu berlari ke arah Maureen. Maureen tertawa, begitu dekat digendongnya anjing itu. "Kamu pintar, Randy." Maureen mengelus kepala anjingnya. "Kamu panggil aku?" Tiba-tiba seorang pemuda mendekati Maureen. Rambutnya gondrong, panjang sebahu. Tubuhnya tinggi tegap dan gagah. Wajahnya kelihatan sangar dengan jambang tipis. "Nggak," kata Maureen heran. Dia tidak kenal pemuda itu. "Barusan kamu panggil panggil namaku." Pemuda itu menatap Maureen. "Randy??" Maureen berpikir. "Aku panggil anjingku." "Heeii, jangan mentang-mentang kamu cewek cantik seenaknya men
Sekian bulan berlalu, sejak event bersama berakhir, Gio tidak ada komunikasi sama sekali dengan wanita muda yang aduhai itu. Kenapa Gio tidak bisa menebak bahwa sangat mungkin dia akan bertemu dengannya lagi?"Apa kabar, Pak Gio Hendrick?" Dengan senyum merekah, wanita itu maju menghampiri Gio dan menjabat tangannya.Sikapnya masih seperti yang lalu. Sok akrab dan dibuat-buat agar tampak sebagai seseorang yang dekat dengan Gio."Kabar baik, Bu Shiany." Gio membalas jabat tangannya. Nad suara Gio seketika berubah dingin dan datar."Senang sekali aku bisa bertemu lagi. Kali ini event lebih besar, urusan kita akan lebih lama, Pak." Masih dengan tangan erat menjabat tangan Gio, Shiany memandang Gio lekat-lekat."Ya, aku tidak mengira sama sekali." Gio melepas tangan Shiany."Datang sendirian? Sekretaris serba bisa tidak ikut?" tanya Shiany. Pandangan matanya dia edarkan ke sekeliling."Tidak. Dia ada jadwal lain." Tetap datar dan dingin Gio menjawab."Selesai makan malam, aku dengar kita a