"Iya, Pa. Ga tau tiba-tiba mules. Tapi udah ga apa-apa, kok," ujar Maureen.Gio beranjak keluar rumah menuju garasi. Dia mau mengeluarkan mobil."Pa, ga usah bawa mobil. Kita jalan aja ke sana," sergah Maureen."Ha? Jalan kaki?" Gio heran. Dia mengerutkan kening memandang si bungsu."Tempatnya dekat," kata Maureen menjelaskan."Mau beli gaun di mana di sekitar sini?" Gio bertanya heran."Ada, deh. Papa ikut aja pokoknya." Maureen mendahului berjalan meninggalkan rumah. Gio menutup pintu dan mengunci rumah lalu mengejar Maureen."Sekali-sekali, Pa, ga harus pakai kendaraan, hehe ... Anggap aja aku dan Papa jalan sehat bareng sekalian." Maureen tersenyum lebar.“Baiklah, ayo!” Gio manut saja manuya Maureen.Gio yang masih bingung mengikuti langkah Maureen. Sebenarnya mau dibawa ke mana ini? Dia memperhatikan wajah Maureen. Seperti sedikit ada raut tidak tenang di sana. Ada apa dengan anak bungsunya ini?Kepala dan hati Maureen memangh nervous menghadapi hari itu. Tapi dia Maureen berjal
"Bisakah kubilang hidup membuat permainan yang luar biasa buatku?" kata Veronica. "Aku bukan sekedar memulai hidup baru di sini. Aku disuguhi sebuah keluarga yang begitu istimewa di depanku?""Jadi ..." Gio makin menghujam pandangan ada Veronica dengan debar-debar di hati terus menderu.“Papa!”Panggilan Maureen membuyarkan momen serius dan mendalam di antara Gio dan Veronica."Ih, papa senyum-senyum. Tante Vero juga. Apa mereka udah kenalan?" batin Maureen."Pa, aku mau bayar." Maureen mendekat."Oke. Ayo," ajak papanya. Ah, seharusnya Gio mendapatkan jawaban dari Veronica. Maureen muncul di waktu yang tidak tepat."Punya papa mana?" tanya Maureen. "Jangan bilang cuma ngobrol, ga jadi milih baju.""Papa sudah lihat, belum memutuskan saja. Hhmm ... nih, dua kaos yang ini. Biru dan coklat … Ini lumayan bagus." Gio mengambil dua kaos dari gantungan."Ih ... Papa? Yakin mau pilih yang ini tulisannya." Maureen melihat tulisan di kaos itu. ‘Keep loving me’ dan yang satu ‘Say one more ... y
Veronica menarik nafas dalam. Lady menunggu Veronica memberi jawaban atas kecurigaannya bahwa Veronica punya sesuatu dengan CEO dingin yang di awal pertemuannya karena bisbis, benar-benar membuat Veronica kesal.Veronica menggeleng. “Aku … sebenarnya, Pak Gio memang mendekatiku. Kami mulai dekat, meskipun belum sangat jauh hubungan kami.”“Dia bilang cinta sama kamu?” Lady merasa ada debaran di hatinya. Seolah-olah dia yang sedang kejatuhan cinta.Veronica kembali menggeleng. Tidak, Lady. Tetapi jelas dia mengatakan mau membuka diri dan memberi kesempatan untuk memulai hubungan baru. Dia melihat aku akan bisa melengkapi dirinya.”“Ah, itu Bahasa halus saja. Dia pasti ingin menjadikanmu istrinya, Vero.” Cepat Lady merespon. “Lalu, hatimu gimana sama dia?”Sekali lagi Veronica menarik nafas dalam. “Ternyata dia tidak dingin dan galak. Pak Gio baik sekali. Dia sangat sayang anak-anaknya. Kebahagiaannya adalah melihat mereka hidup baik-baik saja dan mendapatkan yang terbaik.”“Jadi dia be
"Maaf, aku ingat nama kakakmu Fasta. Belum biasa memanggil Felipe," ujar Wuri malu-malu."Ga apa-apa, sih. Keren juga dipanggil Fasta." Maureen tersenyum. "Silakan, ya ... aku masuk dulu.""Terima kasih, Maureen," ujar Wuri ikut tersenyum."Oke.” Maureen meninggalkan Felipe dan Wuri."Minumlah," kata Felipe."Terima kasih." Wuri minum beberapa teguk. Felipe memandangi Wuri terus. Wuri jadi salah tingkah."Kenapa melihat aku begitu? Ada yang salah?" Wuri tidak nyaman dipandangi terus, malah jadi kikuk."Tidak. Dengan wajah ceria begini kamu makin cantik." Felipe terus menatap Maureen."Kamu bisa saja." Wajah Wuri bersemu merah."Aku ga bohong,” tandas Felipe."Aku boleh tanya? Kenapa kamu mau menolongku? Kenapa kamu mau berteman denganku?" tanya Wuri. "Melihat rumahmu ini, aku tahu kita sangat berbeda. Kamu anak orang ...""Kaya?" sahut Felipe karena Wuri tidak melanjutkan perkataannya.Wuri mengangguk."Kaya itu relatif, Wuri. Banyak orang yang masih jauh lebih kaya. Semua ini juga pa
"Tenang saja adikku yang cantik dan baik hati. Nanti kita pasti akan dikenalkan sama teman ceweknya papa. Kata papa masih pedekate ini. Kalau udah jelas, udah serius, papa akan bawa ketemu kita," ujar Felipe. Dia rangkul bahu Maureen.“Bisa ga sih, sebelum itu papa sama tante Vero udah kontakan lagi, bisa ketemu lagi? Biarpun masih pedekate, kalau sama Tante Vero ga sering komunikasi, apa ya bisa dapat chemistry? Gimana mau saling kenal lalu jadi merasa cocok?” Maureen mulai resah.Kedua kakaknya saling memandang. Felipe memberi kode dengan kepala bira Reggy bicara sesuatu, menenangkan adik mereka. Reggy menggeleng kecil, bingung juga mau bicara apa. Dengan isyarat raut mukanya, Felipe lagi-lagi meminta Reggy berbuat sesuatu.“Ehm … kamu bisa ga membuat rencana lagi kita jalan sama papa, tapi kita juga ajak Tante Vero?” Reggy asal membuka suara saja. Heran juga dia bisa mengucapkann itu.Felipe seketika melotot mendengar ide Reggy. Maureen justru melebarkan mata memandang Reggy, lalu
Pantai luas dan indah. Langit biru cerah dengan awan berarak cantik menghiasinya. Reggy, Maureen, dan Felipe jadi juga pergi berlibur ke sana. Akhirnya mereka pergi dengan orang-orang terdekat kecuali papa. Yerry, Natan, Resita, Vera, dan Wuri ikut dengan mereka. "Randy! Randy! Kembali!! Jangan ke sana!!" Maureen memanggil anjing kecilnya yang berlari cepat ke arah pantai. Anjing berbulu lebat itu berhenti, memandang Maureen lalu berlari ke arah Maureen. Maureen tertawa, begitu dekat digendongnya anjing itu. "Kamu pintar, Randy." Maureen mengelus kepala anjingnya. "Kamu panggil aku?" Tiba-tiba seorang pemuda mendekati Maureen. Rambutnya gondrong, panjang sebahu. Tubuhnya tinggi tegap dan gagah. Wajahnya kelihatan sangar dengan jambang tipis. "Nggak," kata Maureen heran. Dia tidak kenal pemuda itu. "Barusan kamu panggil panggil namaku." Pemuda itu menatap Maureen. "Randy??" Maureen berpikir. "Aku panggil anjingku." "Heeii, jangan mentang-mentang kamu cewek cantik seenaknya men
Sekian bulan berlalu, sejak event bersama berakhir, Gio tidak ada komunikasi sama sekali dengan wanita muda yang aduhai itu. Kenapa Gio tidak bisa menebak bahwa sangat mungkin dia akan bertemu dengannya lagi?"Apa kabar, Pak Gio Hendrick?" Dengan senyum merekah, wanita itu maju menghampiri Gio dan menjabat tangannya.Sikapnya masih seperti yang lalu. Sok akrab dan dibuat-buat agar tampak sebagai seseorang yang dekat dengan Gio."Kabar baik, Bu Shiany." Gio membalas jabat tangannya. Nad suara Gio seketika berubah dingin dan datar."Senang sekali aku bisa bertemu lagi. Kali ini event lebih besar, urusan kita akan lebih lama, Pak." Masih dengan tangan erat menjabat tangan Gio, Shiany memandang Gio lekat-lekat."Ya, aku tidak mengira sama sekali." Gio melepas tangan Shiany."Datang sendirian? Sekretaris serba bisa tidak ikut?" tanya Shiany. Pandangan matanya dia edarkan ke sekeliling."Tidak. Dia ada jadwal lain." Tetap datar dan dingin Gio menjawab."Selesai makan malam, aku dengar kita a
- Aku baik-baik, Pak. Lelah saja, ingin cepat istirahat. Sepertinya jawaban itu cukup. Semoga saja Gio tidak ingin mengorek lebih jauh. Tidak lama jawaban Gio masuk lagi di ponsel. - Oke. Hope you will be better tomorrow. Sleep tight, Vero. “Huufhhh …” Veronica mendesah. Manis. Salam Gio manis. Ada debaran halus menyapa hati Veronica membaca pesan itu. Veronica meletakkan ponsel di meja, lalu berpindah ke ranjang dan melemparkan tubuhnya di sana. Empuk dan melegakan. Badan yang terasa penat dan kaku seperti dimanjakan. Tetapi pikiran Veronica tidak berhenti. Gio, Gio, dan Gio. Pria itu terus memenuhi kepalanya. “Apa aku terlalu sensitif? Apa aku terlalu posesif?” Pertanyaan itu muncul di kepala Veronica. Gio sebenarnya pria yang ramah dan menyenangkan. Itu yang Veronica rasa setelah makin dekat dengannya. Jika dia bersikap ramah pada teman prianya tadi, itu sikap sewajarnya Gio. Sementara, dengan wanita cantik itu, Gio memang menjawab dan bicara dengannya, tetapi sikap Gio dingin
Veronica mendorong Gio agar menjauh. Dengan cepat Veronica bangun dan turun dari ranjang besar itu. Veronica merapikan rambut dan baju yang dia kenakan. “Papa!!” Terdengar lagi teriakan Maureen. “Ah, aku salah strategi. Kenapa aku suruh mereka nyusul ke sini sekarang?” Kesal, Gio berkata. Veronica tersenyum mendengar kalimat itu. Dia mendekati Gio, mengecup pipinya, lalu cepat bergerak menuju ke pintu dan membukanya. Di depan pintu, Maureen berdiri memandang dengan cemas. Di belakangnya Felipe dan Reggy berdiri sama cemasnya, menatap Veronica. “Mama. Mama ga apa-apa?” Maureen mencermati Veronica dengan mata bergerak cepat melihat dari atas ke bawah. “Nggak apa-apa,” kata Veronica. “Papa mana?” tanya Felipe. “Ada di dalam. Masuklah,” jawab Veronica sambil membuka lebih lebar pintu kamar itu. Ketiga anak itu semakin bingung. Veronica terlihat baik-baik saja. Dia tampak tenang dan tidak ada lagi marah meluap seperti yang dia tunjukkan saat masih di rumah. Veronica mendah
Gio mengepalkan tangannya menatap dengan marah pada Veronica. “Oh, kamu mencurigaiku?! Oke! Sekarang, kamu ikut aku. Biar kamu tahu sekalian apa yang aku lakukan tadi malam. Biar kamu puas!” Gio berkata lebih keras dengan wajah juga memerah. “Buat apa? Kamu mau kenalkan aku sama wanita itu? Buat apa!?” sentak Veronica. Geram makin melambung di dadanya yang terasa panas membara. Gio menarik lengan Veronica, tidak memberi kesempatan istrinya menolak. Sekalipun Veronica mencoba melepaskan tangan, Gio tidak melonggarkan pegangan tangannya. “Papa!” Maureen memanggil Gio dengan hati porak poranda. Dia marah, sangat marah papanya bertindak kasar pada Veronica yang tidk lain dan tidak bukan adalah istrinya. Reggy dan Felipe pun bergerak maju dua langkah karena sangat terkejut mendapati orang tuanya sampai ribut di depan mereka. “Kalian juga mau tahu!? Silakan menyusul. Aku akan share lokasinya. Jelas?” Gio melihat pada ketiga anaknya yang melotot dengan pandangan bingung bercampur
“Hmm …” Veronica tersenyum tipis. Ya, kejutan luar biasa! Gio ada main hati dengan wanita lain di belakang Veronica. “Mungkin. Mama belum tahu.”Veronica berusaha tersenyum dengan tatapan tenang, meskipun hatinya terasa pilu.“Tepat banget lagi, Mama ultah di hari Sabtu. Semua ada di rumah,” kata Maureen dengan senyum lebar. “Ah, aku mau masak yang spesial buat Mama, deh, buat sarapan.”“Wah, terima kasih banyak. Tapi Mama mau pergi belanja. Di kulkas tinggal sedikit bahan makanan,” ujar Veronica. Rencananya ingin menenangkan diri harus dia lakukan.“Oke. Pas Mama balik, sarapan sudah siap.” Maureen berucap dengan dua jempol terangkat.Veronica melempar senyum kecil, lalu meninggalkan rumah. Veronica sengaja berjalan saja menuju ke swalayan yang ada di dekat distro. Dia akan ambil waktu di sana menenangkan diri sebelum nanti kembali ke rumah.Lantao 3 di distro memang jadi tempat para karyawan Veronica tinggal sejak Veronica menikah dan tinggal dengan Gio serta anak-anaknya. Ruangan m
Veronica menoleh ke jam dinding di kamar, hampir setengah sepuluh malam. Gio belum juga pulang. Ke mana sebenarnya pria itu? Biasanya, dia akan memberitahu dengan jelas ke mana pergi, ada urusan apa, dan dengan siapa. Tapi kali itu, dia bukan hanya bersikap dingin, tetapi juga tidak mau bicara apapun pada Veronica. Bagi Veronica, sikap Gio itu kembali menjadi CEO tampan sedingin kulkas.Sekali lagi Veronica mengirimkan pesan pada Gio. Tentu saja berharap Gio akan membalasnya.- Kak, belum bisa pulang? Aku tunggu atau aku tidur lebiih dulu?Gio akhirnya membalas pesan itu, setelah hampir sepuluh menit berlalu.- terserahJawaban itu membuat Veronica kesal. Sedang sibuk apa, sih, sampai membalas pesan saja tidak bisa dengan kata-kata yang melegakan? Tidak sabar, Veronica menelpon suaminya. Beberapa kali mencoba, Gio pun menerima panggilan itu.“Kenapa?” tanya Gio datar.“Kakak ada apa? Beritahu aku yang jelas. Aku bingung dengan sikap Kak Gio,” kata Veronica tanpa basa-basi.“Jangan leb
Hari hampir malam saat Gio tiba di rumah. Empat hari di luar kota, sangat melelahkan. Dia ingin sekali segera istirahat, bertemu keluarga, dan menikmati waktu untuk menyegarkan penat dirinya. Maureen menyambut Gio di depan pintu. Dengan senyum lebar dia memeluk kuat Gio. Meskipun sudah menjadi gadis dewasa, Maureen tetap saja manja. “Senang Papa pulang. Kak Reggy juga sudah di rumah. Lengkap keluarga kita,” kata Maureen masih bergelayut manja pada ayahnya. “Gimana Reggy? Dia baik?” tanya Gio sambil berjalan menuju ke kamarnya. “Baik. Lagi keluar sama Kak Sita. Biasalah, kangen-kangenan, hee … abis LDR,” jawab Maureen. “Reen masak apa buat makan malam? Papa lapar.” Gio meletakkan koper di dekat lemari pakaiannya. “Ada, udah siap. Tapi mama belum pulang,” kata Maureen. “Ga apa-apa. Ga usah tunggu, keburu sakit perut,” ujar Gio. “Oya, Pa, tiga hari lagi mama ultah. Mau bikin acara, ga?” tanya Maureen. “Oya?” Gio menatap Maureen. Bagaimana bisa dia tidak ingat? “Yaa … Papa sama
Pasak melangkah menjauh, Randy dan Maureen menuju motor. Tak lama mereka sudah di jalanan yang cukup ramai. Randy mengantar Maureen pulang. Di jalan dia cerita tentang Pasak. Dia pembalap yang sangat lihai dan tajam menyerang lawan. Kayak pasak menghujam tanah dengan dalam. Karena itu dia dipanggil Pasak. Satu lagi Maureen bertemu teman lama Randy. Dan dia mengatakan sesuatu yang memang Randy akui pada Maureen. Randy dulu suka balapan liar tapi dia sudah berhenti. Maureen tersenyum. Dia makin yakin, Randy sungguh-sungguh mau mengubah hidupnya. "Senangnya Kakak di rumah lagi. Kangen banget aku." Maureen memeluk Reggy yang baru masuk rumah. "Aku juga lega akhirnya kembali ke rumah. Kangen masakan kamu sama mama," ucap Reggy dengan senyum. khasnya. "Udah, Reggy istirahat dulu, nanti aja ceritanya," kata Veronica. "Bawa oleh-oleh ga, Kak?" tanya Maureen mengikuti Reggy ke kamarnya. "Ada. Pasti aku bawa buat adikku yang cantik ini." Reggy mengusap kepala Maureen. "Biar aku belum pern
Mobil merah keren itu masuk halaman rumah keluarga Hendrick. Randy memarkir mobil dan turun dari mobil. Maureen juga keluar dari mobil itu. Lalu mengeluarkan beberapa belanjaannya dari bagasi. Randy membantu membawakan juga. Mereka masuk dalam ruang tamu, menaruh tas belanjaan di sana. "Terima kasih buat hari ini," kata Randy. Dia tersenyum, hatinya sangat lega. "Aku minta maaf." Maureen melihat Randy. "Untuk apa? Aku seharusnya yang minta maaf karena kejadian tadi." Randy memandang heran pada Maureen. "Aku sengaja minta yang aneh-aneh sama kamu." Maureen melihat tas-tas belanjaan yang tergelak di sofa. "Aku hanya ingin melihat bagaimana sikapmu kalau menghadapi perempuan bawel dan banyak maunya." "Jadi ..." Randy mengerutkan keningnya. Maureen tersenyum lebih lebar. "Aku bukan tipe perempuan yang suka shopping banget. Apalagi yang ga dibutuhkan. Tapi, aku akan jaga baik-baik barang-barang ini. Janji." "Aku lulus tes?" tanya Randy. Maureen lagi melebarkan bibirnya. Dia menga
Randy memandang Maureen. Rasanya Randy seperti sedang dikuliti. "Ga ada," jawab Randy. "Setelah papa mama cerai, lalu papa menikah dengan wanita itu, aku mulai malas dengan perempuan. Maksudku, aku menilai perempuan lebih negatif. Hanya memanfaatkan pria untuk kesenangannya. Tentu kecuali mamaku. Makanya aku ga dekat sama siapapun, hampir setahun ini." "Kebiasaan yang lain?" Maureen ingin semua dia tahu, tanpa ada yang Randy sembunyikan. "Tinggal merokok. Meski makin jarang. Sejak kecelakaan, mama tegas bilang ga mau aku celaka. Dan balapan sangat beresiko. Aku ga melakukannya lagi. Minum, sudah lama aku ga lakukan. Pernah Sandy tahu dan dia sangat marah. Dia ga suka kakaknya jadi kayak orang gila. Karena aku sampai mabuk waktu itu." Randy menjawab panjang lebar. Mulai nyaman mengatakan semuanya, walaupun Maureen sangat mungkin akan memilih mundur setelah itu. "Apa yang kamu pikirkan ketika ingin mendekati aku? Jalan dengan cara seperti dengan semua mantan kamu itu?" Tajam dan sin
"Omongan Nesti ga usah didengarin, Reen. Cewek tomboy ini rada sableng emang." Randy melotot karena jengkel."Hati-hati, Reen! Dia suka makan cewek, hehe ..." Nesti makin jadi."Sudah sana jauh-jauh, hari sial aku ketemu kamu." Randy mendorong Nesti agar pergi dari situ."Bye, Maureen! Bye, ex babe, hee ... hee ..." Masih sempat juga Nesti berceloteh.Maureen makin masam mukanya. Hatinya tidak karuan melihat pemandangan tak terduga di depannya."Reen ..." panggil Randy. Randy bisa membaca tatapan Maupun yang berubah tidak secerah tadi."Oo ... iya. Kita masuk?" kata Maureen. Dia langsung melangkah duluan ke gedung bioskop mencari tempat duduknya.Randy mengikuti dan duduk di sisi Maureen. Dia menaruh popcorn di antara mereka. Dia beli satu tapi yang jumbo.Maureen tidak lagi konsentrasi dengan situasi. Tidak juga bisa memperhatikan film yang mulai ditayangkan. Dia memikirkan Nesti dan kata-katanya. Yang Maureen tangkap, Randy biasa bebas dengan cewek. Entah kenapa perasaannya jadi kur