- Aku baik-baik, Pak. Lelah saja, ingin cepat istirahat. Sepertinya jawaban itu cukup. Semoga saja Gio tidak ingin mengorek lebih jauh. Tidak lama jawaban Gio masuk lagi di ponsel. - Oke. Hope you will be better tomorrow. Sleep tight, Vero. “Huufhhh …” Veronica mendesah. Manis. Salam Gio manis. Ada debaran halus menyapa hati Veronica membaca pesan itu. Veronica meletakkan ponsel di meja, lalu berpindah ke ranjang dan melemparkan tubuhnya di sana. Empuk dan melegakan. Badan yang terasa penat dan kaku seperti dimanjakan. Tetapi pikiran Veronica tidak berhenti. Gio, Gio, dan Gio. Pria itu terus memenuhi kepalanya. “Apa aku terlalu sensitif? Apa aku terlalu posesif?” Pertanyaan itu muncul di kepala Veronica. Gio sebenarnya pria yang ramah dan menyenangkan. Itu yang Veronica rasa setelah makin dekat dengannya. Jika dia bersikap ramah pada teman prianya tadi, itu sikap sewajarnya Gio. Sementara, dengan wanita cantik itu, Gio memang menjawab dan bicara dengannya, tetapi sikap Gio dingin
Pelayan itu menaruh dua piring di hadapan Gio. Lalu dia melepas masker di wajahnya. "Selamat makan semuanya," kata wanita itu dengan senyum lebar yang manis. Maureen, Felipe, dan Reggy menatap wanita itu. Ketiganya membelalak tak percaya. Wanita itu masih tersenyum dengan sangat manis. "Tante .... Vero ..." Maureen berucap sambil masih terbengong-bengong. "Papa ..." Reggy dan Felipe menoleh pada Gio. Papa tersenyum. "Ya, Papa kenalkan pada kalian, ini wanita yang Papa inginkan menjadi pendamping Papa. Jika kalian tidak keberatan-" "Tante ..." Maureen langsung berdiri dan memeluk Veronica dengan erat. Maureen begitu bahagia. Doanya terkabul. Matanya berkaca-kaca saking senangnya. Veronica membalas pelukan Maureen dengan hangat. Senyumnya terus saja mengembang lebar. "Jadi sebenarnya selama ini-" Reggy menatap Gio dan Veronica bergantian. "Papa dan Tante Vero memang sudah kenal," kata Gio. "Duduk, Sayang. Biar kami jelaskan semuanya." Veronica melepas pelukan Maureen dan menyur
"Jika kamu tidak masalah katakan saja. Sebisa mungkin aku dan Reggy akan menolong kamu," kata Gio dengan tenang. Dia berusaha membuat Randy nyaman untuk bercerita. "Hidupku sangat kacau, sejak dua tahun lalu, ketika aku tahu papa punya pacar lagi. Hubungan papa dan mama buruk, akhirnya bercerai tahun lalu. Dua bulan setelah cerai, papa nikah lagi. Aku marah dengan semua ini. Jadi aku tidak lanjut kuliah dan memilih hidup dengan caraku." Randy mulai cerita. "Apalagi papa juga marah denganku sekarang. Hubungan kami sangat tidak baik. Dia bahkan melarang aku bertemu dengan Sandy adikku. Papa benci aku dan mama. Hidupku dan mama sangat sulit." Randy meneruskan ceritanya. Gio dan Reggy tidak mengira, pemuda di depan mereka itu sedang mengalami situasi gelap di hidupnya. Melihat penampilannya, orang hanya mengira anak bandel, anak jalanan, anak tidak tahu menjalani hidup. Tetapi apa yang melatarbelakangi, sering orang tidak pernah memikirkannya. "Om mengerti Randy. Jadi apa yang bisa Om
"Ya. Aku ga bilang sih, kalau kecelakaan. Aku ga mau mama kuatir. Aku cuma bilang lagi main di rumah teman. Beberapa hari lagi pulang," jawab Randy. "Hubungan kamu sama keluarga kamu rumit sekali sepertinya." Felipe memandang Randy yang kelihatan agak sedih. "Ya ... dimulai dari kejadian mama bertemu dengan mantan pacarnya waktu reuni. Sebenarnya mama ga ada apa-apa sama mantannya itu. Hanya ngobrol biasa, foto rame-rame. Tapi papa akhirnya tahu, menjadikan itu alasan mama sudah ga setia. Dia marah besar sama mama. Sejak itu mulai ga perduli aku dan mama. Karena aku membela mama." Randy membuka kisahnya. "Sampai kemudian mereka bercerai?" Felipe menebak kisah selanjutnya. Randy melihat Felipe. "Papa tuh, udah pacaran sama istrinya yang sekarang. Aku sudah curiga karena dia sering lembur. Kadang beberapa hari ga pulang, alasannya ada proyek atau ke luar kota. Masalah mama ketemu mantan di reuni itu cuma cara papa agar bisa pisah sama mama." "Kamu yakin?" Felipe menatap Randy. "Dua
"Saya tidak mengatakan tidak bisa bekerja sama. Tetapi, dengan perbedaan usaha yang saya dan Pak Jodi kerjakan, di bagian mana bisa bekerja sama?" ujar Veronica."Lihat ini." Jodi memutar tubuhnya. Dia mengambil dua baju yang ada di deretan pajangan. Kemudian dia angkat di depannya dan kembali melihat Veronica."Model ini sangat kekinian. Sangat tepat untuk wardrope yang siap dipakai talent." Jodi menjelaskan kerja sama mana yang dia dan Veronica bisa lakukan bersama."Ahh ... I see ..." Mata Veronica melebar. Kenapa tak terpikir sama sekali olehnya? "Jika tidak keberatan, bisa kita duduk bersama dan bicara? Aku sangat yakin kita bisa segera memulai kerja sama," ajak Jodi."Baik, Pak. Dengan senang hati. Kita bisa-""Aku sudah booking tempat untuk kita bicara dengan leluasa dan nyaman. Mari!" Jodi memotong kalimat Veronica.Jodi berjalan ke arah pintu keluar."Ah, Pak Jodi!" panggil Veronica.Pria itu berbalik dan memandang Veronica."Saya ambil tas sebentar," kata Veronica.Bergegas
"Jodi itu ..." Gio menunda kalimatnya. Pembacaan mereka mengapa tidak nyaman? "Hahh ... aku tidak suka membicarakan orang." Gio maju selangkah dan menatap Veronica dalam-dalam. Roman mukanya berubah lagi, menjadi teduh. "I am sorry. Aku mungkin membuat kamu kaget. Tapi-" "Katakan saja sama aku. Kak Gio yang mengenal Pak Jodi, atau siapapun nanti yang akan bekerja sama denganku. Kasih tahu aku, biar aku ga salah melangkah," kata Veronica. "Kita ke dalam? Waktuku tidak banyak. Tadi ada meeting di lokasi tidak jauh dari sini, makanya aku belok. Kangen melihatmu," ujar Gio. Hati Veronica meletup mendengar itu. Ternyata Gio memikirkan dan merindukannya. Meskipun dia tidak bisa membalas pesan, itu bukan karena tidak peduli. Gio memang sibuk. Buktinya, begitu dia ada waktu, langsung menemui Veronica. "Oke. Minuman dingin mungkin bagus buat Kak Gio. Biar sedikit hilang ketegangan." Veronica tersenyum manis. Mereka masuk ke dalam distro, naik ke lantai paling atas. Keduanya duduk berdamp
"Kamu sudah kenalan belum? Itu Kak Felipe, Kak Maureen, dan ini yang lagi jadi tukang cukur ini Kak Reggy." Randy mengenalkan tiga bersaudara itu ke Sandy. "Hai, Kak ..." Sandy melambai menyapa Maureen dan Reggy. "Kamu cantik." Maureen tersenyum. "Terima kasih." jawab Sandy. "Oke, beres. Selesai." Reggy selesai dengan rambut Randy. Dia melepas kain yang menutupi Randy dari leher sampai badannya. "Gimana?" Randy melihat tampilan barunya di cermin yang dipegangnya. "Wah, keren juga. Aku jadi beda banget," ujar Randy. "Ya, bagus, kalau cocok modelnya," kata Reggy. "Bagus ga, San?" Randy melihat Sandy meminta pendapatnya. "Kakak cakep kalau gini." Sandy tersenyum. Yang lain malah sudah tertawa mendengar komentar Sandy. "Kayaknya aku pakai style gini aja ya, buat rambutku. Baru kali ini sih, model gini. Thanks, Re." Randy tersenyum. "Santai, Bro." Reggy mengacungkan jempolnya. Kemudian dia membereskan peralatan cukur. Sedang Maureen membersihkan rambut Randy yang telah tergunting
Santoko memahami apa yang Gio pikirkan. "Mari, Pak Hendrick, kita bicara di ruang kerja saya." Kedua pria dewasa itu pindah ke ruang kerja yang ada di bagian lebih dalam dari rumah besar ini. "HHhuuffhhh ..." Randy menghembuskan nafas lega. "Kamu baik-baik?" tanya Reggy, memperhatikan roman muka Randy. "Tidak. Sangat tidak baik," ujar Randy. "Tenanglah. Kamu pasti bisa hadapi ini. Bagaimanapun dia papa kamu," hibur Reggy. "Kak, aku takut. Kalau Kakak pulang ke mama nanti papa pasti marah sama aku," kata Sandy. Tatapan gadis kecil itu tidak tenang. "Kasih tahu Kakak kalau dia marah. Aku akan bawa kamu tinggal sama Kakak saja." Randy menenangkan Sandy. "Hei! Kalian pulang juga? Masih ingat rumah ini?" Seorang wanita muda muncul dan bicara sinis pada mereka. Dia cukup cantik, dengan tubuh yang memang bagus sebagai wanita dewasa. Tapi gayanya terlihat pongah. "Kenapa? Sebelum kamu ke sini ini rumah kami. Aku bahkan lahir di sini. Aku tetap anak papaku, sampai kapanpun," k
Veronica mendorong Gio agar menjauh. Dengan cepat Veronica bangun dan turun dari ranjang besar itu. Veronica merapikan rambut dan baju yang dia kenakan. “Papa!!” Terdengar lagi teriakan Maureen. “Ah, aku salah strategi. Kenapa aku suruh mereka nyusul ke sini sekarang?” Kesal, Gio berkata. Veronica tersenyum mendengar kalimat itu. Dia mendekati Gio, mengecup pipinya, lalu cepat bergerak menuju ke pintu dan membukanya. Di depan pintu, Maureen berdiri memandang dengan cemas. Di belakangnya Felipe dan Reggy berdiri sama cemasnya, menatap Veronica. “Mama. Mama ga apa-apa?” Maureen mencermati Veronica dengan mata bergerak cepat melihat dari atas ke bawah. “Nggak apa-apa,” kata Veronica. “Papa mana?” tanya Felipe. “Ada di dalam. Masuklah,” jawab Veronica sambil membuka lebih lebar pintu kamar itu. Ketiga anak itu semakin bingung. Veronica terlihat baik-baik saja. Dia tampak tenang dan tidak ada lagi marah meluap seperti yang dia tunjukkan saat masih di rumah. Veronica mendah
Gio mengepalkan tangannya menatap dengan marah pada Veronica. “Oh, kamu mencurigaiku?! Oke! Sekarang, kamu ikut aku. Biar kamu tahu sekalian apa yang aku lakukan tadi malam. Biar kamu puas!” Gio berkata lebih keras dengan wajah juga memerah. “Buat apa? Kamu mau kenalkan aku sama wanita itu? Buat apa!?” sentak Veronica. Geram makin melambung di dadanya yang terasa panas membara. Gio menarik lengan Veronica, tidak memberi kesempatan istrinya menolak. Sekalipun Veronica mencoba melepaskan tangan, Gio tidak melonggarkan pegangan tangannya. “Papa!” Maureen memanggil Gio dengan hati porak poranda. Dia marah, sangat marah papanya bertindak kasar pada Veronica yang tidk lain dan tidak bukan adalah istrinya. Reggy dan Felipe pun bergerak maju dua langkah karena sangat terkejut mendapati orang tuanya sampai ribut di depan mereka. “Kalian juga mau tahu!? Silakan menyusul. Aku akan share lokasinya. Jelas?” Gio melihat pada ketiga anaknya yang melotot dengan pandangan bingung bercampur
“Hmm …” Veronica tersenyum tipis. Ya, kejutan luar biasa! Gio ada main hati dengan wanita lain di belakang Veronica. “Mungkin. Mama belum tahu.”Veronica berusaha tersenyum dengan tatapan tenang, meskipun hatinya terasa pilu.“Tepat banget lagi, Mama ultah di hari Sabtu. Semua ada di rumah,” kata Maureen dengan senyum lebar. “Ah, aku mau masak yang spesial buat Mama, deh, buat sarapan.”“Wah, terima kasih banyak. Tapi Mama mau pergi belanja. Di kulkas tinggal sedikit bahan makanan,” ujar Veronica. Rencananya ingin menenangkan diri harus dia lakukan.“Oke. Pas Mama balik, sarapan sudah siap.” Maureen berucap dengan dua jempol terangkat.Veronica melempar senyum kecil, lalu meninggalkan rumah. Veronica sengaja berjalan saja menuju ke swalayan yang ada di dekat distro. Dia akan ambil waktu di sana menenangkan diri sebelum nanti kembali ke rumah.Lantao 3 di distro memang jadi tempat para karyawan Veronica tinggal sejak Veronica menikah dan tinggal dengan Gio serta anak-anaknya. Ruangan m
Veronica menoleh ke jam dinding di kamar, hampir setengah sepuluh malam. Gio belum juga pulang. Ke mana sebenarnya pria itu? Biasanya, dia akan memberitahu dengan jelas ke mana pergi, ada urusan apa, dan dengan siapa. Tapi kali itu, dia bukan hanya bersikap dingin, tetapi juga tidak mau bicara apapun pada Veronica. Bagi Veronica, sikap Gio itu kembali menjadi CEO tampan sedingin kulkas.Sekali lagi Veronica mengirimkan pesan pada Gio. Tentu saja berharap Gio akan membalasnya.- Kak, belum bisa pulang? Aku tunggu atau aku tidur lebiih dulu?Gio akhirnya membalas pesan itu, setelah hampir sepuluh menit berlalu.- terserahJawaban itu membuat Veronica kesal. Sedang sibuk apa, sih, sampai membalas pesan saja tidak bisa dengan kata-kata yang melegakan? Tidak sabar, Veronica menelpon suaminya. Beberapa kali mencoba, Gio pun menerima panggilan itu.“Kenapa?” tanya Gio datar.“Kakak ada apa? Beritahu aku yang jelas. Aku bingung dengan sikap Kak Gio,” kata Veronica tanpa basa-basi.“Jangan leb
Hari hampir malam saat Gio tiba di rumah. Empat hari di luar kota, sangat melelahkan. Dia ingin sekali segera istirahat, bertemu keluarga, dan menikmati waktu untuk menyegarkan penat dirinya. Maureen menyambut Gio di depan pintu. Dengan senyum lebar dia memeluk kuat Gio. Meskipun sudah menjadi gadis dewasa, Maureen tetap saja manja. “Senang Papa pulang. Kak Reggy juga sudah di rumah. Lengkap keluarga kita,” kata Maureen masih bergelayut manja pada ayahnya. “Gimana Reggy? Dia baik?” tanya Gio sambil berjalan menuju ke kamarnya. “Baik. Lagi keluar sama Kak Sita. Biasalah, kangen-kangenan, hee … abis LDR,” jawab Maureen. “Reen masak apa buat makan malam? Papa lapar.” Gio meletakkan koper di dekat lemari pakaiannya. “Ada, udah siap. Tapi mama belum pulang,” kata Maureen. “Ga apa-apa. Ga usah tunggu, keburu sakit perut,” ujar Gio. “Oya, Pa, tiga hari lagi mama ultah. Mau bikin acara, ga?” tanya Maureen. “Oya?” Gio menatap Maureen. Bagaimana bisa dia tidak ingat? “Yaa … Papa sama
Pasak melangkah menjauh, Randy dan Maureen menuju motor. Tak lama mereka sudah di jalanan yang cukup ramai. Randy mengantar Maureen pulang. Di jalan dia cerita tentang Pasak. Dia pembalap yang sangat lihai dan tajam menyerang lawan. Kayak pasak menghujam tanah dengan dalam. Karena itu dia dipanggil Pasak. Satu lagi Maureen bertemu teman lama Randy. Dan dia mengatakan sesuatu yang memang Randy akui pada Maureen. Randy dulu suka balapan liar tapi dia sudah berhenti. Maureen tersenyum. Dia makin yakin, Randy sungguh-sungguh mau mengubah hidupnya. "Senangnya Kakak di rumah lagi. Kangen banget aku." Maureen memeluk Reggy yang baru masuk rumah. "Aku juga lega akhirnya kembali ke rumah. Kangen masakan kamu sama mama," ucap Reggy dengan senyum. khasnya. "Udah, Reggy istirahat dulu, nanti aja ceritanya," kata Veronica. "Bawa oleh-oleh ga, Kak?" tanya Maureen mengikuti Reggy ke kamarnya. "Ada. Pasti aku bawa buat adikku yang cantik ini." Reggy mengusap kepala Maureen. "Biar aku belum pern
Mobil merah keren itu masuk halaman rumah keluarga Hendrick. Randy memarkir mobil dan turun dari mobil. Maureen juga keluar dari mobil itu. Lalu mengeluarkan beberapa belanjaannya dari bagasi. Randy membantu membawakan juga. Mereka masuk dalam ruang tamu, menaruh tas belanjaan di sana. "Terima kasih buat hari ini," kata Randy. Dia tersenyum, hatinya sangat lega. "Aku minta maaf." Maureen melihat Randy. "Untuk apa? Aku seharusnya yang minta maaf karena kejadian tadi." Randy memandang heran pada Maureen. "Aku sengaja minta yang aneh-aneh sama kamu." Maureen melihat tas-tas belanjaan yang tergelak di sofa. "Aku hanya ingin melihat bagaimana sikapmu kalau menghadapi perempuan bawel dan banyak maunya." "Jadi ..." Randy mengerutkan keningnya. Maureen tersenyum lebih lebar. "Aku bukan tipe perempuan yang suka shopping banget. Apalagi yang ga dibutuhkan. Tapi, aku akan jaga baik-baik barang-barang ini. Janji." "Aku lulus tes?" tanya Randy. Maureen lagi melebarkan bibirnya. Dia menga
Randy memandang Maureen. Rasanya Randy seperti sedang dikuliti. "Ga ada," jawab Randy. "Setelah papa mama cerai, lalu papa menikah dengan wanita itu, aku mulai malas dengan perempuan. Maksudku, aku menilai perempuan lebih negatif. Hanya memanfaatkan pria untuk kesenangannya. Tentu kecuali mamaku. Makanya aku ga dekat sama siapapun, hampir setahun ini." "Kebiasaan yang lain?" Maureen ingin semua dia tahu, tanpa ada yang Randy sembunyikan. "Tinggal merokok. Meski makin jarang. Sejak kecelakaan, mama tegas bilang ga mau aku celaka. Dan balapan sangat beresiko. Aku ga melakukannya lagi. Minum, sudah lama aku ga lakukan. Pernah Sandy tahu dan dia sangat marah. Dia ga suka kakaknya jadi kayak orang gila. Karena aku sampai mabuk waktu itu." Randy menjawab panjang lebar. Mulai nyaman mengatakan semuanya, walaupun Maureen sangat mungkin akan memilih mundur setelah itu. "Apa yang kamu pikirkan ketika ingin mendekati aku? Jalan dengan cara seperti dengan semua mantan kamu itu?" Tajam dan sin
"Omongan Nesti ga usah didengarin, Reen. Cewek tomboy ini rada sableng emang." Randy melotot karena jengkel."Hati-hati, Reen! Dia suka makan cewek, hehe ..." Nesti makin jadi."Sudah sana jauh-jauh, hari sial aku ketemu kamu." Randy mendorong Nesti agar pergi dari situ."Bye, Maureen! Bye, ex babe, hee ... hee ..." Masih sempat juga Nesti berceloteh.Maureen makin masam mukanya. Hatinya tidak karuan melihat pemandangan tak terduga di depannya."Reen ..." panggil Randy. Randy bisa membaca tatapan Maupun yang berubah tidak secerah tadi."Oo ... iya. Kita masuk?" kata Maureen. Dia langsung melangkah duluan ke gedung bioskop mencari tempat duduknya.Randy mengikuti dan duduk di sisi Maureen. Dia menaruh popcorn di antara mereka. Dia beli satu tapi yang jumbo.Maureen tidak lagi konsentrasi dengan situasi. Tidak juga bisa memperhatikan film yang mulai ditayangkan. Dia memikirkan Nesti dan kata-katanya. Yang Maureen tangkap, Randy biasa bebas dengan cewek. Entah kenapa perasaannya jadi kur