"Kamu sudah kenalan belum? Itu Kak Felipe, Kak Maureen, dan ini yang lagi jadi tukang cukur ini Kak Reggy." Randy mengenalkan tiga bersaudara itu ke Sandy. "Hai, Kak ..." Sandy melambai menyapa Maureen dan Reggy. "Kamu cantik." Maureen tersenyum. "Terima kasih." jawab Sandy. "Oke, beres. Selesai." Reggy selesai dengan rambut Randy. Dia melepas kain yang menutupi Randy dari leher sampai badannya. "Gimana?" Randy melihat tampilan barunya di cermin yang dipegangnya. "Wah, keren juga. Aku jadi beda banget," ujar Randy. "Ya, bagus, kalau cocok modelnya," kata Reggy. "Bagus ga, San?" Randy melihat Sandy meminta pendapatnya. "Kakak cakep kalau gini." Sandy tersenyum. Yang lain malah sudah tertawa mendengar komentar Sandy. "Kayaknya aku pakai style gini aja ya, buat rambutku. Baru kali ini sih, model gini. Thanks, Re." Randy tersenyum. "Santai, Bro." Reggy mengacungkan jempolnya. Kemudian dia membereskan peralatan cukur. Sedang Maureen membersihkan rambut Randy yang telah tergunting
Santoko memahami apa yang Gio pikirkan. "Mari, Pak Hendrick, kita bicara di ruang kerja saya." Kedua pria dewasa itu pindah ke ruang kerja yang ada di bagian lebih dalam dari rumah besar ini. "HHhuuffhhh ..." Randy menghembuskan nafas lega. "Kamu baik-baik?" tanya Reggy, memperhatikan roman muka Randy. "Tidak. Sangat tidak baik," ujar Randy. "Tenanglah. Kamu pasti bisa hadapi ini. Bagaimanapun dia papa kamu," hibur Reggy. "Kak, aku takut. Kalau Kakak pulang ke mama nanti papa pasti marah sama aku," kata Sandy. Tatapan gadis kecil itu tidak tenang. "Kasih tahu Kakak kalau dia marah. Aku akan bawa kamu tinggal sama Kakak saja." Randy menenangkan Sandy. "Hei! Kalian pulang juga? Masih ingat rumah ini?" Seorang wanita muda muncul dan bicara sinis pada mereka. Dia cukup cantik, dengan tubuh yang memang bagus sebagai wanita dewasa. Tapi gayanya terlihat pongah. "Kenapa? Sebelum kamu ke sini ini rumah kami. Aku bahkan lahir di sini. Aku tetap anak papaku, sampai kapanpun," k
Pulang kuliah siang itu, Reggy langsung ke distro. Dia sudah ada janji bertemu Veronica membicarakan recana pernikahan Gio dan Veronica. Sampai distro, Veronica sudah menunggu Reggy. Mereka bicara di lantai atas. Veronica sama seperti Gio, tidak mau acara macam-macam. Yang sederhana saja, tapi dia setuju dilakukan acara outdoor.Selesai bicara soal pernikahan, Veronica mengajak Reggy makan siang bersama. Veronica lumayan pandai memasak. Reggy makan lahap sekali selain nikmat dia memang juga lapar."Tante, masakannya enak sekali. Coba sering-sering," kata Reggy setelah puas makan."Nanti tiap hari aku masak buat kamu." Veronica tersenyum."Iya. Ga sabar Tante tinggal bareng di rumah." Reggy ikut tersenyum."Re, kamu anak sulung di rumahmu. Pasti kamu yang paling ingat mama kalian. Seperti apa mama kamu?" tanya Veronica.Reggy mengurungkan tangannya yang hampir mengambil lagi sup di mangkuk. Dia tidak menduga akan mendapat pertanyaan itu dari Veronica.“Kalau kamu tidak ingin menjawab t
"Aku, aku belum cerita soal ini sama kamu." Veronica memandang Gio. "Aku sebenarnya punya masalah dengan rahimku. Aku selalu bermasalah ketika mengandung. Sebelum aku punya Ana, dua kali aku mengalami keguguran."Gio mendengar dengan serius. Veronica melanjutkan. "Selama mengandung Ana, aku harus bedrest. Perjuangan sangat berat buat aku dan Ana bisa sama-sama selamat. Lalu, tiga tahun setelah itu, aku harus melakukan operasi pengangkatan rahim karena kondisi yang semakin bermasalah."Wajah Veronica semakin terlihat sedih. "Itulah kenapa aku sangat hancur saat kehilangan putriku. Aku mencintai Leon. Dia sangat sayang padaku, dan sangat mengerti kondisiku. Aku bersyukur Tuhan pernah menghadirkan suami sebaik dia dalam hidupku. Dan Ana, mutiara istimewa yang perlu perjuangan panjang untuk aku dapat. Marah, penuh tanya, dan sangat kecewa saat Tuhan ambil dia kembali. Karena aku tidak mungkin punya anak lagi."Gio merapatkan duduknya mendekati Veronica. Dia memegang kedua bahu Veronica."
Klakson keras membuyarkan suasana. Veronica gelagapan dan segera fokus lagi dengan jalanan. Lampu telah berubah hijau, Veronica harus segera maju atau dia akan mengganggu lalu lintas yang kembali bergerak. Sepanjang jalan pulang, Veronica terus teringat pria dan wanita yang ada di depan rumah makan tadi. Veronica sangat yakin, jika pria itu adalah Gio. Lalu si wanita yang bersamanya, Veronica hampir yakin, wanita yang bertemu dan bicara dengan Gio pada saat mereka mengikuti pertemuan di Surabaya. Kala itu, Gio bersikap dingin dan cuek. Gio menjawab datar dan tidak terlalu memperhatikan. Tetapi yang Veronica lihat tadi, berbeda sekali. Gio tersenyum di samping wanita itu. Apakah mereka memang ada pertemuan bisnis? Tapi kenapa hanya berdua? Lalu pada jam makan malam juga? Sebenarnya ada apa? Hati Veronica mulai tidak tenang. Jangan-jangan Gio dan wanita itu …. “Vero, apa yang kamu pikirkan?” Ada suara keras bertanya di hati Veronica. “Jangan terlalu jauh. Kamu harus percaya pada Gio.
Jantung Gio berdetak cepat. Shiany tepat ada di depannya hanya beberapa senti saja. Tangan wanita itu kuat memeluk leher Gio. “Bu Shiany, jaga sikap Anda,” ucap Gio tegas. Dia melepaskan tangan Shiany dan berdiri dengan cepat. Gio ternyata memang tidak bisa sedikitpun memberi peluang pada wanita muda yang berani itu. Kejadian kecelakaan kecil membuka pintu Shiany menggoda Gio. Shiany sigap juga. Pelukannya berhasil lepas, tetapi tangannya menarik lengan Gio. “Pak Gio, aku yakin Pak Gio tahu aku suka sama Bapak.” Gio makin terkejut mendengar kalimat itu. Shiany sama sekali tidak menahan diri, terang-terangan dia mengungkapkan perasaannya. “Bu Shiany-“ “Pak Gio pernah bilang, kalau di kantor jaga sikapku. Urusan kerja oke, aku harus tahu diri.” Shiany memandang Gio lekat-lekat. “Ini tidak di kantor. Ini juga ga ada urusan kerja. Jangan menolakku, Pak.” Gio makin kesal dan hilang respect pada Shiany. Dia wanita muda yang cerdas dan mampu menunjukkan potensinya dalam karir.
Veronica hampir memulai sarapan, terdengar bel nyaring berbunyi. Aneh. Pagi-pagi belum jam tujuh, siapa yang datang? Apa Titin atau Lusi memesan makanan online? "Pagi, Mbak!" Titin nongol menyapa Veronica yang masih mengoles selai pada roti di depannya. "Hai? Ada yang bisa dibantu?" balas Veronica ramah. "Ada yang nyari." Titin bicara dengan mata menatap Veronica. "Tamu buatku? Pagi gini?" Veronica menaikkan kedua alisnya. "Iya. Mbak turun saja, deh," ujar Titin. "Siapa, Tin?" tanya Veronica heran. "Hmm, aku mau dong roti selainya. Suka aku yang pakai selai kacang." Titin mengalihkan pembicaraan. "Ya udah, makan ini. Nanti aku buat lagi." Veronica berdiri dan turun ke lantai dasar. Veronica mencoba menerka siapa yang datang. Apa ada yang mengantar barang atau ... "Kak Gio?" Betapa terkejut Veronica melihat Gio berdiri di depannya. Gio mengenakan kaos hitam ketat, membentuk tubuhnya yang bagus meskipun sudah mendekati lima puluh tahun. Senyumnya lebar seraya dia memandang V
Rumah di ujung jalan itu tampak sepi. Tapi suasananya lebih segar dan rapi. Taman kecil di depannya lebih terurus. Saat Felipe dan Wuri sampai, tampak seorang wanita sedang menyirami tanaman yang ada di teras. “Hai! Kalian sudah pulang?” Senyum ramah muncul di bibir wanita itu, menyambut Wuri dan Felipe. “Iya, Bu. Semua list belanja ada, lengkap.” Wuri menaruh belanjaan di meja di teras. Ratu mematikan kran air, lalu mendekati Wuri dan Felipe. Dia ikut melihat dan mengecek belanjaan yang Wuri bawa. “Hmm, salad buah. Yuk, kita santap langsung. Ini segar sekali.” Ratu mengeluarkan salad buah dan langsung membukan penutupnya. “Mau, dong, Bu. Aku suka anggur sama pir,” kata Felipe. Tidak pakai malu, dia segera menusuk potongan anggur dan pir, lalu memasukkan dalam mulutnya. “Aku bawa belanjaan masuk.” Wuri mengangkat lagi tas belanjaannya. “Sini, aku bantu.” Felipe bergerak sigap. Dia meminta tas belanjaan dari Wuri. Keduanya masuk ke dalam rumah. Felipe sudah beberapa ka