Klakson keras membuyarkan suasana. Veronica gelagapan dan segera fokus lagi dengan jalanan. Lampu telah berubah hijau, Veronica harus segera maju atau dia akan mengganggu lalu lintas yang kembali bergerak. Sepanjang jalan pulang, Veronica terus teringat pria dan wanita yang ada di depan rumah makan tadi. Veronica sangat yakin, jika pria itu adalah Gio. Lalu si wanita yang bersamanya, Veronica hampir yakin, wanita yang bertemu dan bicara dengan Gio pada saat mereka mengikuti pertemuan di Surabaya. Kala itu, Gio bersikap dingin dan cuek. Gio menjawab datar dan tidak terlalu memperhatikan. Tetapi yang Veronica lihat tadi, berbeda sekali. Gio tersenyum di samping wanita itu. Apakah mereka memang ada pertemuan bisnis? Tapi kenapa hanya berdua? Lalu pada jam makan malam juga? Sebenarnya ada apa? Hati Veronica mulai tidak tenang. Jangan-jangan Gio dan wanita itu …. “Vero, apa yang kamu pikirkan?” Ada suara keras bertanya di hati Veronica. “Jangan terlalu jauh. Kamu harus percaya pada Gio.
Jantung Gio berdetak cepat. Shiany tepat ada di depannya hanya beberapa senti saja. Tangan wanita itu kuat memeluk leher Gio. “Bu Shiany, jaga sikap Anda,” ucap Gio tegas. Dia melepaskan tangan Shiany dan berdiri dengan cepat. Gio ternyata memang tidak bisa sedikitpun memberi peluang pada wanita muda yang berani itu. Kejadian kecelakaan kecil membuka pintu Shiany menggoda Gio. Shiany sigap juga. Pelukannya berhasil lepas, tetapi tangannya menarik lengan Gio. “Pak Gio, aku yakin Pak Gio tahu aku suka sama Bapak.” Gio makin terkejut mendengar kalimat itu. Shiany sama sekali tidak menahan diri, terang-terangan dia mengungkapkan perasaannya. “Bu Shiany-“ “Pak Gio pernah bilang, kalau di kantor jaga sikapku. Urusan kerja oke, aku harus tahu diri.” Shiany memandang Gio lekat-lekat. “Ini tidak di kantor. Ini juga ga ada urusan kerja. Jangan menolakku, Pak.” Gio makin kesal dan hilang respect pada Shiany. Dia wanita muda yang cerdas dan mampu menunjukkan potensinya dalam karir.
Veronica hampir memulai sarapan, terdengar bel nyaring berbunyi. Aneh. Pagi-pagi belum jam tujuh, siapa yang datang? Apa Titin atau Lusi memesan makanan online? "Pagi, Mbak!" Titin nongol menyapa Veronica yang masih mengoles selai pada roti di depannya. "Hai? Ada yang bisa dibantu?" balas Veronica ramah. "Ada yang nyari." Titin bicara dengan mata menatap Veronica. "Tamu buatku? Pagi gini?" Veronica menaikkan kedua alisnya. "Iya. Mbak turun saja, deh," ujar Titin. "Siapa, Tin?" tanya Veronica heran. "Hmm, aku mau dong roti selainya. Suka aku yang pakai selai kacang." Titin mengalihkan pembicaraan. "Ya udah, makan ini. Nanti aku buat lagi." Veronica berdiri dan turun ke lantai dasar. Veronica mencoba menerka siapa yang datang. Apa ada yang mengantar barang atau ... "Kak Gio?" Betapa terkejut Veronica melihat Gio berdiri di depannya. Gio mengenakan kaos hitam ketat, membentuk tubuhnya yang bagus meskipun sudah mendekati lima puluh tahun. Senyumnya lebar seraya dia memandang V
Rumah di ujung jalan itu tampak sepi. Tapi suasananya lebih segar dan rapi. Taman kecil di depannya lebih terurus. Saat Felipe dan Wuri sampai, tampak seorang wanita sedang menyirami tanaman yang ada di teras. “Hai! Kalian sudah pulang?” Senyum ramah muncul di bibir wanita itu, menyambut Wuri dan Felipe. “Iya, Bu. Semua list belanja ada, lengkap.” Wuri menaruh belanjaan di meja di teras. Ratu mematikan kran air, lalu mendekati Wuri dan Felipe. Dia ikut melihat dan mengecek belanjaan yang Wuri bawa. “Hmm, salad buah. Yuk, kita santap langsung. Ini segar sekali.” Ratu mengeluarkan salad buah dan langsung membukan penutupnya. “Mau, dong, Bu. Aku suka anggur sama pir,” kata Felipe. Tidak pakai malu, dia segera menusuk potongan anggur dan pir, lalu memasukkan dalam mulutnya. “Aku bawa belanjaan masuk.” Wuri mengangkat lagi tas belanjaannya. “Sini, aku bantu.” Felipe bergerak sigap. Dia meminta tas belanjaan dari Wuri. Keduanya masuk ke dalam rumah. Felipe sudah beberapa ka
"Tidak bisa begitu, Gio. Proyek ini harus dikerjakan oleh tangan yang tepat. Sudah hampir satu bulan berjalan, gimana ceritanya kamu mau mundur?" Nelson menatap galak pada Gio. Dia sangat kaget Gio minta diganti posisinya sebagai wakil dari perusahaan menjadi tim dalam proyek bersama di kota. Proyek yang adalah tindak lanjut dari pertemuan di Surabaya yang lalu. "Kali ini aku tidak akan terbujuk untuk mengalah. Situasiku sedang baik dan tidak baik. Tentu aku akan memilih yang baik dan menyingkirkan yang tidak baik." Gio mencoba memberi Nelson pengertian. "Kamu bisa tidak ngomong yang lebih simple? Kayak mau kasih teka teki saja." Nelson mengerutkan kening sambil melipat kedua tangannya. Sepertinya Gio memang harus blak-blakan mengatakan apa yang terjadi. Mudah-mudahan dengan begitu Nelson akan menerima permintaan Gio. "Aku sudah punya pasangan, Pak Nelson. Aku serius dengan dia. Aku tidak mau ada gangguan apapun." Gio mulai menjelaskan. "Pak Nelson kenal Bu Shiany, bukan? Dia men
Tangan Veronica masih gemetar. Dia mencoba mengetik pesan pada Gio untuk mengakhiri hubungan mereka. Tetapi karena marah, kecewa, dan panik, tangan Veronica beberapa kali salah memencet huruf. Beberapa kali Veronica harus memperbaiki lagi kata-kata yang sudah dia ketik. Lalu Veronica membaca ulang pesan yang siap dikirim itu. Hati Veronica berdebar-debar tidak karuan. Nafasnya pun naik turun karena belum bisa mengontrol emosi. "Apa ini sudah oke? Apa kalimat ini tepat?" Sekali lagi Veronica membacanya. Hatinya terasa berat. Tidak bisa dia pungkiri, dia memang cinta Gio. Dia juga cinta anak-anak Gio. Bersama mereka, Veronica menemukan keluarga yang sudah tidak dia miliki lagi. Di tengah-tengah anak-anak itu, Veronica merasa sangat berarti sebagai seorang wanita dan seorang ibu. Apalagi mengingat dirinya yang tidak mungkin bisa memiliki anak, bersama Gio, tiga anak yang luar biasa hadir dalam hidupnya. "Tapi ... aku ga bisa. Kalau hanya dimanfaatkan untuk anak-anaknya, tapi aku, di
Felipe sudah bisa tidur nyenyak. Suhu tubuhnya mulai normal. Gio lega. Rencananya menemui Veronica tidak boleh ditunda. Dia berpamitan pada Reggy dan Maureen jika dia ada urusan dan mungkin agak lama. Tetapi jika ada apa-apa dengan Felipe harus cepat memberi kabar. Lalu Gio bergegas menuju distro. Hari sudah lewat jam tujuh malam dan distro tampak ramai. Gio masuk dan mendekati Lusi yang ada di kasir, sedang Titin tengah melayani pengunjung yang datang. "Pak Gio? Mbak Vero ga di rumah. Aku kira keluar dengan Pak Gio." Lusi bicara dengan wajah sedikit heran. "Oh? Dia bilang ke mana?" tanya Gio. "Ngga, Pak. Cuma bilang ada perlu keluar. Ga bilang juga kapan balik," jawab Lusi. "Oke. Thanks, Lusi." Gio berbalik lalu keluar distro. Gio masuk ke dalam mobil, tapi tidak segera meninggalkan tempat. Dia berpikir apa yang terjadi. Aneh sekali tiba-tiba Veronica meminta putus. Pahadal persiapan pernikahan sudah dimulai. Gio sudah bertemu keluarga Veronica dan semua mendukung, siap hadir
Gio meninggalkan mal. Marah dan kecewa membalut seluruh hatinya. Dia ternyata salah mengira pada Veronica. Wanita itu tidak sungguh-sungguh sayang padanya. Selama ini mungkin karena dia lebih dulu mendekat, makanya Veronica membuka hati. Begitu ada yang lain datang, dia punya pilihan yang berbeda. Bisa jadi Jodi lebih menarik dan muda. Lebih bisa memahami Veronica. "It:s fine. Tidak apa-apa. Semua selesai. Aku akan fokus pada anak-anak. Mereka kebahagiaanku. Keinginan bersama yang lain, kurasa hanya sesaat. Aku pasti akan baik-baik saja." Gio memutuskan dia tidak akan menanyakan apapun tentang urusan hati pada Veronica. Setelah ini, urusan kerja sama dengan distro pun akan Gio serahkan penuh pada pegawainya, tidak perlu Gio ikut campur. "Maafkan aku, Vicky. Aku ingin menggantikan kamu dengan yang lain. Ternyata tidak ada yang seperti kamu, tulus sayang padaku." Hati Gio berbisik. Gio terus membawa kendaraannya kembali pulang. Dia akan melihat seperti apa kondisi Felipe. Dia berha
Veronica mendorong Gio agar menjauh. Dengan cepat Veronica bangun dan turun dari ranjang besar itu. Veronica merapikan rambut dan baju yang dia kenakan. “Papa!!” Terdengar lagi teriakan Maureen. “Ah, aku salah strategi. Kenapa aku suruh mereka nyusul ke sini sekarang?” Kesal, Gio berkata. Veronica tersenyum mendengar kalimat itu. Dia mendekati Gio, mengecup pipinya, lalu cepat bergerak menuju ke pintu dan membukanya. Di depan pintu, Maureen berdiri memandang dengan cemas. Di belakangnya Felipe dan Reggy berdiri sama cemasnya, menatap Veronica. “Mama. Mama ga apa-apa?” Maureen mencermati Veronica dengan mata bergerak cepat melihat dari atas ke bawah. “Nggak apa-apa,” kata Veronica. “Papa mana?” tanya Felipe. “Ada di dalam. Masuklah,” jawab Veronica sambil membuka lebih lebar pintu kamar itu. Ketiga anak itu semakin bingung. Veronica terlihat baik-baik saja. Dia tampak tenang dan tidak ada lagi marah meluap seperti yang dia tunjukkan saat masih di rumah. Veronica mendah
Gio mengepalkan tangannya menatap dengan marah pada Veronica. “Oh, kamu mencurigaiku?! Oke! Sekarang, kamu ikut aku. Biar kamu tahu sekalian apa yang aku lakukan tadi malam. Biar kamu puas!” Gio berkata lebih keras dengan wajah juga memerah. “Buat apa? Kamu mau kenalkan aku sama wanita itu? Buat apa!?” sentak Veronica. Geram makin melambung di dadanya yang terasa panas membara. Gio menarik lengan Veronica, tidak memberi kesempatan istrinya menolak. Sekalipun Veronica mencoba melepaskan tangan, Gio tidak melonggarkan pegangan tangannya. “Papa!” Maureen memanggil Gio dengan hati porak poranda. Dia marah, sangat marah papanya bertindak kasar pada Veronica yang tidk lain dan tidak bukan adalah istrinya. Reggy dan Felipe pun bergerak maju dua langkah karena sangat terkejut mendapati orang tuanya sampai ribut di depan mereka. “Kalian juga mau tahu!? Silakan menyusul. Aku akan share lokasinya. Jelas?” Gio melihat pada ketiga anaknya yang melotot dengan pandangan bingung bercampur
“Hmm …” Veronica tersenyum tipis. Ya, kejutan luar biasa! Gio ada main hati dengan wanita lain di belakang Veronica. “Mungkin. Mama belum tahu.”Veronica berusaha tersenyum dengan tatapan tenang, meskipun hatinya terasa pilu.“Tepat banget lagi, Mama ultah di hari Sabtu. Semua ada di rumah,” kata Maureen dengan senyum lebar. “Ah, aku mau masak yang spesial buat Mama, deh, buat sarapan.”“Wah, terima kasih banyak. Tapi Mama mau pergi belanja. Di kulkas tinggal sedikit bahan makanan,” ujar Veronica. Rencananya ingin menenangkan diri harus dia lakukan.“Oke. Pas Mama balik, sarapan sudah siap.” Maureen berucap dengan dua jempol terangkat.Veronica melempar senyum kecil, lalu meninggalkan rumah. Veronica sengaja berjalan saja menuju ke swalayan yang ada di dekat distro. Dia akan ambil waktu di sana menenangkan diri sebelum nanti kembali ke rumah.Lantao 3 di distro memang jadi tempat para karyawan Veronica tinggal sejak Veronica menikah dan tinggal dengan Gio serta anak-anaknya. Ruangan m
Veronica menoleh ke jam dinding di kamar, hampir setengah sepuluh malam. Gio belum juga pulang. Ke mana sebenarnya pria itu? Biasanya, dia akan memberitahu dengan jelas ke mana pergi, ada urusan apa, dan dengan siapa. Tapi kali itu, dia bukan hanya bersikap dingin, tetapi juga tidak mau bicara apapun pada Veronica. Bagi Veronica, sikap Gio itu kembali menjadi CEO tampan sedingin kulkas.Sekali lagi Veronica mengirimkan pesan pada Gio. Tentu saja berharap Gio akan membalasnya.- Kak, belum bisa pulang? Aku tunggu atau aku tidur lebiih dulu?Gio akhirnya membalas pesan itu, setelah hampir sepuluh menit berlalu.- terserahJawaban itu membuat Veronica kesal. Sedang sibuk apa, sih, sampai membalas pesan saja tidak bisa dengan kata-kata yang melegakan? Tidak sabar, Veronica menelpon suaminya. Beberapa kali mencoba, Gio pun menerima panggilan itu.“Kenapa?” tanya Gio datar.“Kakak ada apa? Beritahu aku yang jelas. Aku bingung dengan sikap Kak Gio,” kata Veronica tanpa basa-basi.“Jangan leb
Hari hampir malam saat Gio tiba di rumah. Empat hari di luar kota, sangat melelahkan. Dia ingin sekali segera istirahat, bertemu keluarga, dan menikmati waktu untuk menyegarkan penat dirinya. Maureen menyambut Gio di depan pintu. Dengan senyum lebar dia memeluk kuat Gio. Meskipun sudah menjadi gadis dewasa, Maureen tetap saja manja. “Senang Papa pulang. Kak Reggy juga sudah di rumah. Lengkap keluarga kita,” kata Maureen masih bergelayut manja pada ayahnya. “Gimana Reggy? Dia baik?” tanya Gio sambil berjalan menuju ke kamarnya. “Baik. Lagi keluar sama Kak Sita. Biasalah, kangen-kangenan, hee … abis LDR,” jawab Maureen. “Reen masak apa buat makan malam? Papa lapar.” Gio meletakkan koper di dekat lemari pakaiannya. “Ada, udah siap. Tapi mama belum pulang,” kata Maureen. “Ga apa-apa. Ga usah tunggu, keburu sakit perut,” ujar Gio. “Oya, Pa, tiga hari lagi mama ultah. Mau bikin acara, ga?” tanya Maureen. “Oya?” Gio menatap Maureen. Bagaimana bisa dia tidak ingat? “Yaa … Papa sama
Pasak melangkah menjauh, Randy dan Maureen menuju motor. Tak lama mereka sudah di jalanan yang cukup ramai. Randy mengantar Maureen pulang. Di jalan dia cerita tentang Pasak. Dia pembalap yang sangat lihai dan tajam menyerang lawan. Kayak pasak menghujam tanah dengan dalam. Karena itu dia dipanggil Pasak. Satu lagi Maureen bertemu teman lama Randy. Dan dia mengatakan sesuatu yang memang Randy akui pada Maureen. Randy dulu suka balapan liar tapi dia sudah berhenti. Maureen tersenyum. Dia makin yakin, Randy sungguh-sungguh mau mengubah hidupnya. "Senangnya Kakak di rumah lagi. Kangen banget aku." Maureen memeluk Reggy yang baru masuk rumah. "Aku juga lega akhirnya kembali ke rumah. Kangen masakan kamu sama mama," ucap Reggy dengan senyum. khasnya. "Udah, Reggy istirahat dulu, nanti aja ceritanya," kata Veronica. "Bawa oleh-oleh ga, Kak?" tanya Maureen mengikuti Reggy ke kamarnya. "Ada. Pasti aku bawa buat adikku yang cantik ini." Reggy mengusap kepala Maureen. "Biar aku belum pern
Mobil merah keren itu masuk halaman rumah keluarga Hendrick. Randy memarkir mobil dan turun dari mobil. Maureen juga keluar dari mobil itu. Lalu mengeluarkan beberapa belanjaannya dari bagasi. Randy membantu membawakan juga. Mereka masuk dalam ruang tamu, menaruh tas belanjaan di sana. "Terima kasih buat hari ini," kata Randy. Dia tersenyum, hatinya sangat lega. "Aku minta maaf." Maureen melihat Randy. "Untuk apa? Aku seharusnya yang minta maaf karena kejadian tadi." Randy memandang heran pada Maureen. "Aku sengaja minta yang aneh-aneh sama kamu." Maureen melihat tas-tas belanjaan yang tergelak di sofa. "Aku hanya ingin melihat bagaimana sikapmu kalau menghadapi perempuan bawel dan banyak maunya." "Jadi ..." Randy mengerutkan keningnya. Maureen tersenyum lebih lebar. "Aku bukan tipe perempuan yang suka shopping banget. Apalagi yang ga dibutuhkan. Tapi, aku akan jaga baik-baik barang-barang ini. Janji." "Aku lulus tes?" tanya Randy. Maureen lagi melebarkan bibirnya. Dia menga
Randy memandang Maureen. Rasanya Randy seperti sedang dikuliti. "Ga ada," jawab Randy. "Setelah papa mama cerai, lalu papa menikah dengan wanita itu, aku mulai malas dengan perempuan. Maksudku, aku menilai perempuan lebih negatif. Hanya memanfaatkan pria untuk kesenangannya. Tentu kecuali mamaku. Makanya aku ga dekat sama siapapun, hampir setahun ini." "Kebiasaan yang lain?" Maureen ingin semua dia tahu, tanpa ada yang Randy sembunyikan. "Tinggal merokok. Meski makin jarang. Sejak kecelakaan, mama tegas bilang ga mau aku celaka. Dan balapan sangat beresiko. Aku ga melakukannya lagi. Minum, sudah lama aku ga lakukan. Pernah Sandy tahu dan dia sangat marah. Dia ga suka kakaknya jadi kayak orang gila. Karena aku sampai mabuk waktu itu." Randy menjawab panjang lebar. Mulai nyaman mengatakan semuanya, walaupun Maureen sangat mungkin akan memilih mundur setelah itu. "Apa yang kamu pikirkan ketika ingin mendekati aku? Jalan dengan cara seperti dengan semua mantan kamu itu?" Tajam dan sin
"Omongan Nesti ga usah didengarin, Reen. Cewek tomboy ini rada sableng emang." Randy melotot karena jengkel."Hati-hati, Reen! Dia suka makan cewek, hehe ..." Nesti makin jadi."Sudah sana jauh-jauh, hari sial aku ketemu kamu." Randy mendorong Nesti agar pergi dari situ."Bye, Maureen! Bye, ex babe, hee ... hee ..." Masih sempat juga Nesti berceloteh.Maureen makin masam mukanya. Hatinya tidak karuan melihat pemandangan tak terduga di depannya."Reen ..." panggil Randy. Randy bisa membaca tatapan Maupun yang berubah tidak secerah tadi."Oo ... iya. Kita masuk?" kata Maureen. Dia langsung melangkah duluan ke gedung bioskop mencari tempat duduknya.Randy mengikuti dan duduk di sisi Maureen. Dia menaruh popcorn di antara mereka. Dia beli satu tapi yang jumbo.Maureen tidak lagi konsentrasi dengan situasi. Tidak juga bisa memperhatikan film yang mulai ditayangkan. Dia memikirkan Nesti dan kata-katanya. Yang Maureen tangkap, Randy biasa bebas dengan cewek. Entah kenapa perasaannya jadi kur