"Saya tidak mengatakan tidak bisa bekerja sama. Tetapi, dengan perbedaan usaha yang saya dan Pak Jodi kerjakan, di bagian mana bisa bekerja sama?" ujar Veronica."Lihat ini." Jodi memutar tubuhnya. Dia mengambil dua baju yang ada di deretan pajangan. Kemudian dia angkat di depannya dan kembali melihat Veronica."Model ini sangat kekinian. Sangat tepat untuk wardrope yang siap dipakai talent." Jodi menjelaskan kerja sama mana yang dia dan Veronica bisa lakukan bersama."Ahh ... I see ..." Mata Veronica melebar. Kenapa tak terpikir sama sekali olehnya? "Jika tidak keberatan, bisa kita duduk bersama dan bicara? Aku sangat yakin kita bisa segera memulai kerja sama," ajak Jodi."Baik, Pak. Dengan senang hati. Kita bisa-""Aku sudah booking tempat untuk kita bicara dengan leluasa dan nyaman. Mari!" Jodi memotong kalimat Veronica.Jodi berjalan ke arah pintu keluar."Ah, Pak Jodi!" panggil Veronica.Pria itu berbalik dan memandang Veronica."Saya ambil tas sebentar," kata Veronica.Bergegas
"Jodi itu ..." Gio menunda kalimatnya. Pembacaan mereka mengapa tidak nyaman? "Hahh ... aku tidak suka membicarakan orang." Gio maju selangkah dan menatap Veronica dalam-dalam. Roman mukanya berubah lagi, menjadi teduh. "I am sorry. Aku mungkin membuat kamu kaget. Tapi-" "Katakan saja sama aku. Kak Gio yang mengenal Pak Jodi, atau siapapun nanti yang akan bekerja sama denganku. Kasih tahu aku, biar aku ga salah melangkah," kata Veronica. "Kita ke dalam? Waktuku tidak banyak. Tadi ada meeting di lokasi tidak jauh dari sini, makanya aku belok. Kangen melihatmu," ujar Gio. Hati Veronica meletup mendengar itu. Ternyata Gio memikirkan dan merindukannya. Meskipun dia tidak bisa membalas pesan, itu bukan karena tidak peduli. Gio memang sibuk. Buktinya, begitu dia ada waktu, langsung menemui Veronica. "Oke. Minuman dingin mungkin bagus buat Kak Gio. Biar sedikit hilang ketegangan." Veronica tersenyum manis. Mereka masuk ke dalam distro, naik ke lantai paling atas. Keduanya duduk berdamp
"Kamu sudah kenalan belum? Itu Kak Felipe, Kak Maureen, dan ini yang lagi jadi tukang cukur ini Kak Reggy." Randy mengenalkan tiga bersaudara itu ke Sandy. "Hai, Kak ..." Sandy melambai menyapa Maureen dan Reggy. "Kamu cantik." Maureen tersenyum. "Terima kasih." jawab Sandy. "Oke, beres. Selesai." Reggy selesai dengan rambut Randy. Dia melepas kain yang menutupi Randy dari leher sampai badannya. "Gimana?" Randy melihat tampilan barunya di cermin yang dipegangnya. "Wah, keren juga. Aku jadi beda banget," ujar Randy. "Ya, bagus, kalau cocok modelnya," kata Reggy. "Bagus ga, San?" Randy melihat Sandy meminta pendapatnya. "Kakak cakep kalau gini." Sandy tersenyum. Yang lain malah sudah tertawa mendengar komentar Sandy. "Kayaknya aku pakai style gini aja ya, buat rambutku. Baru kali ini sih, model gini. Thanks, Re." Randy tersenyum. "Santai, Bro." Reggy mengacungkan jempolnya. Kemudian dia membereskan peralatan cukur. Sedang Maureen membersihkan rambut Randy yang telah tergunting
Santoko memahami apa yang Gio pikirkan. "Mari, Pak Hendrick, kita bicara di ruang kerja saya." Kedua pria dewasa itu pindah ke ruang kerja yang ada di bagian lebih dalam dari rumah besar ini. "HHhuuffhhh ..." Randy menghembuskan nafas lega. "Kamu baik-baik?" tanya Reggy, memperhatikan roman muka Randy. "Tidak. Sangat tidak baik," ujar Randy. "Tenanglah. Kamu pasti bisa hadapi ini. Bagaimanapun dia papa kamu," hibur Reggy. "Kak, aku takut. Kalau Kakak pulang ke mama nanti papa pasti marah sama aku," kata Sandy. Tatapan gadis kecil itu tidak tenang. "Kasih tahu Kakak kalau dia marah. Aku akan bawa kamu tinggal sama Kakak saja." Randy menenangkan Sandy. "Hei! Kalian pulang juga? Masih ingat rumah ini?" Seorang wanita muda muncul dan bicara sinis pada mereka. Dia cukup cantik, dengan tubuh yang memang bagus sebagai wanita dewasa. Tapi gayanya terlihat pongah. "Kenapa? Sebelum kamu ke sini ini rumah kami. Aku bahkan lahir di sini. Aku tetap anak papaku, sampai kapanpun," k
Pulang kuliah siang itu, Reggy langsung ke distro. Dia sudah ada janji bertemu Veronica membicarakan recana pernikahan Gio dan Veronica. Sampai distro, Veronica sudah menunggu Reggy. Mereka bicara di lantai atas. Veronica sama seperti Gio, tidak mau acara macam-macam. Yang sederhana saja, tapi dia setuju dilakukan acara outdoor.Selesai bicara soal pernikahan, Veronica mengajak Reggy makan siang bersama. Veronica lumayan pandai memasak. Reggy makan lahap sekali selain nikmat dia memang juga lapar."Tante, masakannya enak sekali. Coba sering-sering," kata Reggy setelah puas makan."Nanti tiap hari aku masak buat kamu." Veronica tersenyum."Iya. Ga sabar Tante tinggal bareng di rumah." Reggy ikut tersenyum."Re, kamu anak sulung di rumahmu. Pasti kamu yang paling ingat mama kalian. Seperti apa mama kamu?" tanya Veronica.Reggy mengurungkan tangannya yang hampir mengambil lagi sup di mangkuk. Dia tidak menduga akan mendapat pertanyaan itu dari Veronica.“Kalau kamu tidak ingin menjawab t
"Aku, aku belum cerita soal ini sama kamu." Veronica memandang Gio. "Aku sebenarnya punya masalah dengan rahimku. Aku selalu bermasalah ketika mengandung. Sebelum aku punya Ana, dua kali aku mengalami keguguran."Gio mendengar dengan serius. Veronica melanjutkan. "Selama mengandung Ana, aku harus bedrest. Perjuangan sangat berat buat aku dan Ana bisa sama-sama selamat. Lalu, tiga tahun setelah itu, aku harus melakukan operasi pengangkatan rahim karena kondisi yang semakin bermasalah."Wajah Veronica semakin terlihat sedih. "Itulah kenapa aku sangat hancur saat kehilangan putriku. Aku mencintai Leon. Dia sangat sayang padaku, dan sangat mengerti kondisiku. Aku bersyukur Tuhan pernah menghadirkan suami sebaik dia dalam hidupku. Dan Ana, mutiara istimewa yang perlu perjuangan panjang untuk aku dapat. Marah, penuh tanya, dan sangat kecewa saat Tuhan ambil dia kembali. Karena aku tidak mungkin punya anak lagi."Gio merapatkan duduknya mendekati Veronica. Dia memegang kedua bahu Veronica."
Klakson keras membuyarkan suasana. Veronica gelagapan dan segera fokus lagi dengan jalanan. Lampu telah berubah hijau, Veronica harus segera maju atau dia akan mengganggu lalu lintas yang kembali bergerak. Sepanjang jalan pulang, Veronica terus teringat pria dan wanita yang ada di depan rumah makan tadi. Veronica sangat yakin, jika pria itu adalah Gio. Lalu si wanita yang bersamanya, Veronica hampir yakin, wanita yang bertemu dan bicara dengan Gio pada saat mereka mengikuti pertemuan di Surabaya. Kala itu, Gio bersikap dingin dan cuek. Gio menjawab datar dan tidak terlalu memperhatikan. Tetapi yang Veronica lihat tadi, berbeda sekali. Gio tersenyum di samping wanita itu. Apakah mereka memang ada pertemuan bisnis? Tapi kenapa hanya berdua? Lalu pada jam makan malam juga? Sebenarnya ada apa? Hati Veronica mulai tidak tenang. Jangan-jangan Gio dan wanita itu …. “Vero, apa yang kamu pikirkan?” Ada suara keras bertanya di hati Veronica. “Jangan terlalu jauh. Kamu harus percaya pada Gio.
Jantung Gio berdetak cepat. Shiany tepat ada di depannya hanya beberapa senti saja. Tangan wanita itu kuat memeluk leher Gio. “Bu Shiany, jaga sikap Anda,” ucap Gio tegas. Dia melepaskan tangan Shiany dan berdiri dengan cepat. Gio ternyata memang tidak bisa sedikitpun memberi peluang pada wanita muda yang berani itu. Kejadian kecelakaan kecil membuka pintu Shiany menggoda Gio. Shiany sigap juga. Pelukannya berhasil lepas, tetapi tangannya menarik lengan Gio. “Pak Gio, aku yakin Pak Gio tahu aku suka sama Bapak.” Gio makin terkejut mendengar kalimat itu. Shiany sama sekali tidak menahan diri, terang-terangan dia mengungkapkan perasaannya. “Bu Shiany-“ “Pak Gio pernah bilang, kalau di kantor jaga sikapku. Urusan kerja oke, aku harus tahu diri.” Shiany memandang Gio lekat-lekat. “Ini tidak di kantor. Ini juga ga ada urusan kerja. Jangan menolakku, Pak.” Gio makin kesal dan hilang respect pada Shiany. Dia wanita muda yang cerdas dan mampu menunjukkan potensinya dalam karir.