"Apalagi, Fasta?" Wuri menoleh, lalu kembali melihat ke depan, tidak menghentikan langkahnya."Fasta?" Felipe menatap Wuri. Dia mempercepat kakinya agar bisa menjajari Wuri."Aku hanya ingat bagian itu dari namamu." Wuri terus berjalan, kasir sudah tidak jauh lagi."Tidak apa-apa. Dipanggil Fasta juga bagus kukira." Felipe tersenyum. "Ambil ini untukmu. Sudah aku bayar." Felipe menyodorkan coklat di depan Wuri."Tidak usah. Jadi temanku tidak harus beli coklat untukku." Wuri tegas menolak."Bukan. Aku memang ingin memberimu. Aku tahu kamu mau jadi temanku." Coklat masih terulur di depan Wuri."Baiklah. Terima kasih." Wuri menerima coklat itu dan memasukkan ke saku roknya. Lalu dia meneruskan langkah menuju ke kasir.Tak lama Wuri sudah dilayani dan mereka keluar supermarket. Di depan supermarket mereka berpisah."Sampai jumpa minggu depan," kata Felipe. Dia meyakinkan Wuri, mereka akan bertemu lagi minggu berikutnya.Wuri tersenyum tipis.Melihat itu, Felipe menaikkan kedua alisnya.A
"Waktu kakek masih ada, aku masih cukup senang. Kakek sangat sayang aku. Dia melindungi aku setiap kali ibu marah padaku. Setelah kakek meninggal, ibu makin tak terkendali. Sepertinya dia ingin menyiksaku seumur hidup."Felipe hanya mendengarkan tidak mau berkomentar apa-apa. Dia tunggu Wuri menyelesaikan semua kisahnya. Hatinya pedih mendapati kenyataan ada seorang anak harus mengalami kehidupan seburuk itu."Kakek yang memberiku nama. Pernah pamanku ingin mengajakku supaya aku tinggal dengannya. Tapi ibu mengancam akan membunuhku jika sampai aku dibawa. Sejak itu paman tidak pernah lagi memintaku tinggal dengan keluarganya. Hanya sesekali paman datang, memberiku uang. Karena kami hidup hanya dari pensiunan kakek. Ibu tidak pernah memberi aku uang lebih kecuali untuk belanja. Kalau ibu tahu paman memberiku uang, dia akan ambil uang itu dan ludes di meja judi.""Fasta, mungkin setelah mendengar ini kamu jadi tidak suka lagi denganku. Lalu kamu memilih pergi, aku
"Seharusnya aku tidak pergi. Seharusnya aku tetap di sisimu. Maafkan aku, karena tidak memahamimu," kata Reggy lembut. Ditatapnya Resita yang malah menunduk dalam-dalam."Sungguh, aku bukan pria yang-""Re ... aku bisa mengerti. Aku rela kamu pergi. Aku tidak apa-apa." Resita mengangkat wajahnya. Roman merah karena malu dan sedih yang tampak di sana."Tidak. Ini salah. Harusnya aku yang berkata begitu. Tidak apa-apa, Resita. Semua yang terjadi tidak akan mengubah hatiku padamu. Tidak akan merubah bahwa kamu gadis luar biasa yang aku cintai. Kamu pasti baik-baik saja. Kita lewati ini bersama," kata Reggy. Lembut tapi mantap.Resita menangis mendengar itu. Tanpa bersuara, air mata mengalir di pipinya."Sita ..." Reggy mengulurkan tangan pada Resita.Resita memandang Reggy. Tidak percaya rasanya mendengar semua yang Reggy telah ucapkan. Resita tidak menerima tangan Reggy. Dia menjatuhkan dirinya di dada Reggy. Tangisnya pecah. Sebisa mungkin dia tahan agar tidak menangis dengan keras. Tu
Esoknya minggu siang, Gio pergi bertemu dengan Veronica. Jadwal gym mereka ganti hari Minggu, karen Sabtu Gio menikmati waktu dengan anak-anak dan teman-teman mereka.Di rumah, Maureen, Reggy, dan Felipe asyik berkebun di halaman samping. Mengurus taman sambil ngobrol selalu seru buat mereka."Reen, papa beneran pedekate sama cewek." Felipe bicara soal Gio. Felipe tahu langsung kalau papa bertelpon dengan seorang wanita."Duh, gimana, ya, caranya ngajak papa ke distro biar bisa ketemu Tante Vero. Padahal distronya dekat juga di situ," kata Maureen. Ternyata tidak mudah memulai rencananya."Itulah. Kamu minta antar aja beli apa kek, di sana." Reggy menyahut. Reggy juga sudah kenal Veronica. Mereka pernah bertiga ke distro bareng."Menurut Kakak, apa cewek yang papa suka baik kayak Tante Vero?" tanya Maureen. Gelisah kalau memikirkan papa sudah punya pacar, sementara Maureen betekad agar Veronica yang jadi istri papa nanti."Ga tahu juga, ya. Tapi papa bilang kalau cewek itu ga bisa ter
"Perjanjian?" Maureen menaikkan kedua alisnya heran dan tidak mengerti maksud Veronica. "Oke, aku mau kenalan sama papa kamu. Tapi ada syaratnya." Veronica menjawab lebih pelan dan lembut. "Apa itu, Tan?" Maureen penasaran. "Kenalan di distro ini. Ajak papamu belanja di sini. Aku ingin tahu sikap dia seperti apa. Setelah selesai belanja aku baru akan kenalan. Jika nanti aku tidak merasa ada hati, aku mundur. Atau jika papamu yang tidak bisa menerima aku, aku tidak akan lanjutkan. Deal?" Jelas, lugas, dan tegas yang Veronica katakan. Maureen memandang Veronica. "Nanti, aku akan menikah atau tidak dengan papa kamu, kamu akan tetap jadi putriku. Oke?" Veronica memeluk bahu Maureen. Maureen menarik nafas dalam. "Baiklah ..." ujar Maureen lirih. Tidak ingin setuju, tetapi permintaan Veronica sangat masuk akal. "Senyum dong, kalau gitu." Veronica memegang kedua pipi Maureen. Maureen melebarkan bibirnya. Veronica ikut tersenyum. "Lalu kapan kamu akan ajak papa kamu kemari?" tanya Ver
"Iya, Pa. Ga tau tiba-tiba mules. Tapi udah ga apa-apa, kok," ujar Maureen.Gio beranjak keluar rumah menuju garasi. Dia mau mengeluarkan mobil."Pa, ga usah bawa mobil. Kita jalan aja ke sana," sergah Maureen."Ha? Jalan kaki?" Gio heran. Dia mengerutkan kening memandang si bungsu."Tempatnya dekat," kata Maureen menjelaskan."Mau beli gaun di mana di sekitar sini?" Gio bertanya heran."Ada, deh. Papa ikut aja pokoknya." Maureen mendahului berjalan meninggalkan rumah. Gio menutup pintu dan mengunci rumah lalu mengejar Maureen."Sekali-sekali, Pa, ga harus pakai kendaraan, hehe ... Anggap aja aku dan Papa jalan sehat bareng sekalian." Maureen tersenyum lebar.“Baiklah, ayo!” Gio manut saja manuya Maureen.Gio yang masih bingung mengikuti langkah Maureen. Sebenarnya mau dibawa ke mana ini? Dia memperhatikan wajah Maureen. Seperti sedikit ada raut tidak tenang di sana. Ada apa dengan anak bungsunya ini?Kepala dan hati Maureen memangh nervous menghadapi hari itu. Tapi dia Maureen berjal
"Bisakah kubilang hidup membuat permainan yang luar biasa buatku?" kata Veronica. "Aku bukan sekedar memulai hidup baru di sini. Aku disuguhi sebuah keluarga yang begitu istimewa di depanku?""Jadi ..." Gio makin menghujam pandangan ada Veronica dengan debar-debar di hati terus menderu.“Papa!”Panggilan Maureen membuyarkan momen serius dan mendalam di antara Gio dan Veronica."Ih, papa senyum-senyum. Tante Vero juga. Apa mereka udah kenalan?" batin Maureen."Pa, aku mau bayar." Maureen mendekat."Oke. Ayo," ajak papanya. Ah, seharusnya Gio mendapatkan jawaban dari Veronica. Maureen muncul di waktu yang tidak tepat."Punya papa mana?" tanya Maureen. "Jangan bilang cuma ngobrol, ga jadi milih baju.""Papa sudah lihat, belum memutuskan saja. Hhmm ... nih, dua kaos yang ini. Biru dan coklat … Ini lumayan bagus." Gio mengambil dua kaos dari gantungan."Ih ... Papa? Yakin mau pilih yang ini tulisannya." Maureen melihat tulisan di kaos itu. ‘Keep loving me’ dan yang satu ‘Say one more ... y
Veronica menarik nafas dalam. Lady menunggu Veronica memberi jawaban atas kecurigaannya bahwa Veronica punya sesuatu dengan CEO dingin yang di awal pertemuannya karena bisbis, benar-benar membuat Veronica kesal.Veronica menggeleng. “Aku … sebenarnya, Pak Gio memang mendekatiku. Kami mulai dekat, meskipun belum sangat jauh hubungan kami.”“Dia bilang cinta sama kamu?” Lady merasa ada debaran di hatinya. Seolah-olah dia yang sedang kejatuhan cinta.Veronica kembali menggeleng. Tidak, Lady. Tetapi jelas dia mengatakan mau membuka diri dan memberi kesempatan untuk memulai hubungan baru. Dia melihat aku akan bisa melengkapi dirinya.”“Ah, itu Bahasa halus saja. Dia pasti ingin menjadikanmu istrinya, Vero.” Cepat Lady merespon. “Lalu, hatimu gimana sama dia?”Sekali lagi Veronica menarik nafas dalam. “Ternyata dia tidak dingin dan galak. Pak Gio baik sekali. Dia sangat sayang anak-anaknya. Kebahagiaannya adalah melihat mereka hidup baik-baik saja dan mendapatkan yang terbaik.”“Jadi dia be