"Baiklah kalau begitu, Bah. Saya izin siap-siap dulu, Bah." Abah Hasan mengangguk dan tersenyum. "Alya, kamu juga siap-, yang. Setengah jam lagi kita berangkat," kata Adam pada Alya yang berada persis di sebelahnya. "Iya, Mas," jawab Alya singkat. Tentu saja dia merasa senang karena Hana tidak ikut bersama dengan dia dan juga Adam. Bahkan Alya berdoa supaya Hana tidak pernah kembali lagi ke rumah Adam dan dia menjadi satu-satunya istri Adam pengusaha konveksi yang berhasil. Selagi Adam beres-beres, Hana menghampirinya dan membantu Adam membereskan baju-baju Adam. Walaupun tanpa kata, Adam tahu jika sebenarnya Hana masih sangat mencintai dirinya. "Han, aku harap kamu segera menyusul pulang. Mari kita mulai lagi hubungan ini dari awal. Aku sangat mencintaimu, Han. Aku benar-benar tidak sanggup berpisah darimu. Maafkan aku karena aku tak mendengar penjelasanmu malam itu karena aku dibakar rasa cemburu ketika melihatmu di antarkan oleh laki-laki," ungkap Adam. Semua unek-uneknya dia
Setelah memberi nasehat pada Hana, Abah Hasan pamit pergi ke ladang. Kegiatan Beliau sehari-hari memanglah di ladang. Apapun yang bisa ditanam, Beliau tanam. Abah Hasan juga menggarap sawah milik orang lain. Apapun dilakukan agar menghasilkan uang dan tidak selalu mengandalkan anaknya. Selagi mampu, Abah Hasan akan berusaha dengan keringatnya sendiri.Kring ... kring ....Ponsel Hana berbunyi ketika dia tengah berbaring di kamarnya. Sudah tiga hari ini dia tidak masuk kerja dan kebanyakan hanya melamun. "Assalamualaikum," sapa Hana lebih dulu saat mengangkat telepon. Dia tidak begitu memperhatikan nama di layar ponselnya saat menggeser layarnya. "Waalaikumsalam. Bu Hana, kapan Ibu Hana bisa masuk sekolah? Ini sudah tiga hari Ibu Hana izin. Apakah Ibu Hana sakit?" Suara laki-laki yang dikenal Hana terdengar. "Pak Marvin?" lirih Hana. Dia tak menyangka jika Marvin sampai menelepon dirinya. "Ya, saya Marvin," sahut Marvin yang ternyata mendengar ucapan Hana "Ibu Hana baik-baik saja
Alya melihat dengan pandangan tidak suka ketika Adam sangat perhatian dengan Hana. Semua yang dia pikirkan tidak sama dengan yang terjadi. "Kenapa, sih, susah sekali membuat Mas Adam benci sama Mbak Hana?" batin Alya geram. Alya tak bisa berbuat banyak. Dia tak punya daya untuk melarang karena mereka juga suami dan istri. Saat Hana melewati Alya, dia mengucapkan sesuatu dengan lirih."Saya tidak akan membiarkanmu menghancurkan rumah tanggaku. Kita lihat saja siapa yang akan kalah dalam hubungan ini."Deg! Alya tak menyangka jika Hana akan mengatakan hal itu. Hatinya terasa berdegup dengan kencang. Ada perasaan takut menyelimuti dirinya. Namun, dia berusaha untuk menepisnya. "Aku sangat yakin jika aku yang akan menang, Mbak Hana! Aku terima tantangan Mbak Hana ini," gumam Alya saat Hana sudah berlalu masuk ke dalam kamar. Di dalam kamar, Hana tengah membereskan baju-bajunya ke dalam lemari. Mulai hari ini, Hana harus ikhlas menerima keadaan rumah tangganya. Pernikahan poligami ini
"Sudah biarkan saja, Mas. Biarkan dia bertingkah seenaknya. Tapi, setelah dia nanti keluar dari kamar ini, aku tak mau melihat dia masuk ke dalam kamar ini tanpa izin dariku. Kamu mengerti, bukan, Mas? Aku menerima pernikahanmu tapi tidak serta-merta dia. Aku tetap akan memperlakukan istrimu ini dengan baik. Tapi, jika dia memulainya, jangan salahkan aku jika aku bertindak." Panjang sekali kalimat yang terlontar dari mulut Hana. Bukan dia mau berbuat jahat pada Alya. Dia hanya ingin menggertak Alya dan juga Adam. Hana tak ingin Alya masuk terlalu dalam. Biarkan Alya tetap menjadi istri kedua Adam tanpa merusak rumah tangganya lagi dari dalam. "Iya. Mas sangat mengerti itu. Alya, kamu dengar, kan, apa kata Hana? Jika setelah ini kamu masuk ke dalam kamar ini tanpa izin dia, kamu terpaksa akan aku ungsikan di tempat Ayah," kata Adam sedikit dengan ancaman. Alya kesal karena Adam tahu titik lemahnya. Tentu saja dia tidak akan mau tinggal di rumah Ayah Tri. Ayah Tri terlalu mendikte Al
Hana masuk setelah menghapus air matanya. Hari ini adalah hari bahagia suaminya Adam. Tak baik jika dirinya bersedih. Biarkanlah hatinya yang bersedih, asal dia tetap tersenyum dihadapan suaminya. "Assalamualaikum," ucap Hana saat masuk ke dalam rumah. "Waalaikumsalam. Eh itu Bunda sudah datang, Nak," sahut Adam dengan senyum yang sangat bahagia. "Bunda? Mas Adam memanggilku dengan sebutan Bunda? Ya Allah, rasanya ..." batin Hana. "Kok Bunda, sih, Mas? Bude bukan Bunda," protes Alya dengan raut wajah tak sukanya. "Kok gitu, Al? Hana, kan, juga istriku. Gak apa-apa dong jika anak kita panggil Hana dengan sebutan Bunda," sahut Adam. "Gak! Sekali enggak, ya, enggak!" jawab Alya dengan kekehnya. "Al—""Sudah, Mas, gak apa-apa. Panggil Bude aja Hana juga sudah senang. Hana gak apa-apa beneran, Mas," potong Hana sebelum Adam marah. Hana paham betul kondisi ibu yang baru melahirkan. Dia tak ingin jika nantinya Alya akan mengalami "babyblues". "Tapi, Han, —""Sudahlah, Mas. Kasihan A
Setelah bercerita dengan Luna, hati Hana sedikit lebih lega. Dia pun juga sudah mewanti-wanti Luna agar jangan sampai membocorkan hal itu kepada orang lain, apalagi sesama teman kerja mereka. Cukup Hana dan juga Luna saja yang tahu soal Alya. Semua itu dilakukan hanya semata-mata untuk kesehatan mental Hana. Saat ini memang belum terjadi apapun pada mental Hana. Tapi, hati seseorang tidak ada yang tahu. Dia pun kembali membereskan kamar Alya sebelum menyusul lagi suaminya ke rumah sakit. "Alhamdulillah sudah beres. Semoga kehadiran anak yang tak berdosa itu bisa membuat damai rumah ini. Aamiin!" Sepenggal doa terucap dari mulut Hana. Tak lupa Hana memasak untuk suaminya dan juga Alya agar tidak perlu repot-repot jajan di luar. Tentu saja makanannya juga lebih higienis. Sebenarnya Alya sudah dapat makanan dari rumah sakit. Tapi, Hana tetap membawakannya makanan dari rumah. [Sebentar lagi aku mau ke sana, Mas. Hana bawakan makanan dari rumah. Mas Adam gak perlu lagi beli makanan. A
Bukan Marvin namanya jika dia menyerah begitu saja. Dia tahu jika Hana itu istri orang. Tapi, namanya cinta itu tak bisa disalahkan dan dia masih penasaran dengan Hana. Marvin mengikuti Hana dengan jarak yang agak jauh agar tidak ketahuan. Hana berhenti di salah satu sudut rumah sakit yang sepi. Di sanalah dia menumpahkan segala kesedihan hatinya. Dia juga menyalahkan dirinya sendiri karena tidak begitu memperhatikan Adam saat musibah menimpa mereka. Dia mengira jika hanya dialah yang merasa sedih dan kehilangan Kanaya sehingga menjadi abai pada kewajibannya sebagai istri. "Maafkan aku, Mas. Ini bukan sepenuhnya salah kamu. Aku juga turut andil dalam kondisi kita yang sekarang. Aku terlalu egois menyalahkan kamu," gumam Hana ditengah-tengah tangisannya. "Aku berjanji Mas akan menjadi istri yang lebih baik lagi. Tak akan lagi aku buat kesalahan yang sama untuk yang kedua kalinya. Aku tahu kalau kita masih sama-sama saling mencintai. Aku akan bertahan demi pernikahan kita."Banyak s
Melihat Adam yang kelelahan karena tidak tidur, membuat Hana merasa kasihan dan berniat membantu dengan menggendong bayi mungil itu. "Biar Hana saja yang menggendongnya, Mas," ucap Hana ketika mereka hendak keluar dari kamar. "Tak boleh!" Suara keras Alya terdengar begitu nyaring di telinga. "Kenapa, Al? Bukankah malah bagus jika Hana yang menggendong? Dia sudah pernah menggendong bayi. Jadi kamu tak perlu takut dan khawatir," timpal Adam. "Sekali gak boleh, ya, gak boleh, Mas. Dia anakku dan Mbak Hana gak boleh menggendongnya sekarang dan sampai kapanpun! Titik!" Alya ngotot tidak membolehkan Hana menggendong bayinya. "Kamu —""Mas, sudah ... Aku gak apa-apa. Itu hak ibunya, Mas, jangan dipaksa. Biar Hana bawa saja tasnya, Mas." Hana benar-benar sangat mengerti perasaan Alya saat itu. Ketiganya kembali berjalan dengan bayi digendong oleh Adam karena Alya masih belum kuat. Dia didorong oleh perawat dan Hana berjalan dibelakang Alya dan juga Adam. Sesampainya di mobil, Adam meny