Hana masuk setelah menghapus air matanya. Hari ini adalah hari bahagia suaminya Adam. Tak baik jika dirinya bersedih. Biarkanlah hatinya yang bersedih, asal dia tetap tersenyum dihadapan suaminya. "Assalamualaikum," ucap Hana saat masuk ke dalam rumah. "Waalaikumsalam. Eh itu Bunda sudah datang, Nak," sahut Adam dengan senyum yang sangat bahagia. "Bunda? Mas Adam memanggilku dengan sebutan Bunda? Ya Allah, rasanya ..." batin Hana. "Kok Bunda, sih, Mas? Bude bukan Bunda," protes Alya dengan raut wajah tak sukanya. "Kok gitu, Al? Hana, kan, juga istriku. Gak apa-apa dong jika anak kita panggil Hana dengan sebutan Bunda," sahut Adam. "Gak! Sekali enggak, ya, enggak!" jawab Alya dengan kekehnya. "Al—""Sudah, Mas, gak apa-apa. Panggil Bude aja Hana juga sudah senang. Hana gak apa-apa beneran, Mas," potong Hana sebelum Adam marah. Hana paham betul kondisi ibu yang baru melahirkan. Dia tak ingin jika nantinya Alya akan mengalami "babyblues". "Tapi, Han, —""Sudahlah, Mas. Kasihan A
Setelah bercerita dengan Luna, hati Hana sedikit lebih lega. Dia pun juga sudah mewanti-wanti Luna agar jangan sampai membocorkan hal itu kepada orang lain, apalagi sesama teman kerja mereka. Cukup Hana dan juga Luna saja yang tahu soal Alya. Semua itu dilakukan hanya semata-mata untuk kesehatan mental Hana. Saat ini memang belum terjadi apapun pada mental Hana. Tapi, hati seseorang tidak ada yang tahu. Dia pun kembali membereskan kamar Alya sebelum menyusul lagi suaminya ke rumah sakit. "Alhamdulillah sudah beres. Semoga kehadiran anak yang tak berdosa itu bisa membuat damai rumah ini. Aamiin!" Sepenggal doa terucap dari mulut Hana. Tak lupa Hana memasak untuk suaminya dan juga Alya agar tidak perlu repot-repot jajan di luar. Tentu saja makanannya juga lebih higienis. Sebenarnya Alya sudah dapat makanan dari rumah sakit. Tapi, Hana tetap membawakannya makanan dari rumah. [Sebentar lagi aku mau ke sana, Mas. Hana bawakan makanan dari rumah. Mas Adam gak perlu lagi beli makanan. A
Bukan Marvin namanya jika dia menyerah begitu saja. Dia tahu jika Hana itu istri orang. Tapi, namanya cinta itu tak bisa disalahkan dan dia masih penasaran dengan Hana. Marvin mengikuti Hana dengan jarak yang agak jauh agar tidak ketahuan. Hana berhenti di salah satu sudut rumah sakit yang sepi. Di sanalah dia menumpahkan segala kesedihan hatinya. Dia juga menyalahkan dirinya sendiri karena tidak begitu memperhatikan Adam saat musibah menimpa mereka. Dia mengira jika hanya dialah yang merasa sedih dan kehilangan Kanaya sehingga menjadi abai pada kewajibannya sebagai istri. "Maafkan aku, Mas. Ini bukan sepenuhnya salah kamu. Aku juga turut andil dalam kondisi kita yang sekarang. Aku terlalu egois menyalahkan kamu," gumam Hana ditengah-tengah tangisannya. "Aku berjanji Mas akan menjadi istri yang lebih baik lagi. Tak akan lagi aku buat kesalahan yang sama untuk yang kedua kalinya. Aku tahu kalau kita masih sama-sama saling mencintai. Aku akan bertahan demi pernikahan kita."Banyak s
Melihat Adam yang kelelahan karena tidak tidur, membuat Hana merasa kasihan dan berniat membantu dengan menggendong bayi mungil itu. "Biar Hana saja yang menggendongnya, Mas," ucap Hana ketika mereka hendak keluar dari kamar. "Tak boleh!" Suara keras Alya terdengar begitu nyaring di telinga. "Kenapa, Al? Bukankah malah bagus jika Hana yang menggendong? Dia sudah pernah menggendong bayi. Jadi kamu tak perlu takut dan khawatir," timpal Adam. "Sekali gak boleh, ya, gak boleh, Mas. Dia anakku dan Mbak Hana gak boleh menggendongnya sekarang dan sampai kapanpun! Titik!" Alya ngotot tidak membolehkan Hana menggendong bayinya. "Kamu —""Mas, sudah ... Aku gak apa-apa. Itu hak ibunya, Mas, jangan dipaksa. Biar Hana bawa saja tasnya, Mas." Hana benar-benar sangat mengerti perasaan Alya saat itu. Ketiganya kembali berjalan dengan bayi digendong oleh Adam karena Alya masih belum kuat. Dia didorong oleh perawat dan Hana berjalan dibelakang Alya dan juga Adam. Sesampainya di mobil, Adam meny
Hari berikutnya, Hana tetap masuk bekerja walaupun akan ada acara aqiqah di rumah Adam. Dia sudah terlalu banyak izin jadi tidak enak jika harus minta izin lagi. "Han, jangan lupa untuk undang Luna dan juga teman-teman kamu yang lain, ya," pesan Adam kepada Hana sebelum berangkat. "Apa? Me—reka juga diundang, Mas?" tanya Hana gugup. "Iya. Memangnya kenapa, Han? Gak apa-apa, kan? Sudah saatnya juga kita publikasikan Alya agar tidak timbul fitnah, bukan?" Dengan entengnya Adam mengucapkan hal itu. Apakah dia sudah tidak peduli dengan perasaan Hana? Akan seperti apa nanti pandangan rekan-rekan kerjanya ketika tahu jika dia dimadu? Tapi, bukankah ini juga sudah pilihan Hana? Kenapa juga dia harus menolak? Ketika Hana memilih kembali lagi ke rumah Adam, berarti dia sudah tahu resikonya dan siap menghadapinya. "I—ya, Mas." Jawaban yang sangat terpaksa diberikan oleh Hana. Sebenarnya dia belum siap. Tapi, Adam sudah ingin mempublikasikan pernikahan keduanya itu. Beberapa hari ini, Ada
"Kenapa ada orang yang begitu kepo, sih, sama rumah tangga orang lain? Dia siapa? Baru juga mimpin yayasan ini belum lama. Memangnya kalau dia atasan, aku gak berani?" Hana kesal dan geram karena ulah Marvin. "Ngapain ngomel-ngomel gak jelas gitu, Han?" tanya Luna yang sejak Hana masuk ruangan terus memperhatikan. "Itu Kepala Yayasan kamu yang sok kecakepan buat ulah! Ngapain coba nyuruh aku ninggalin Mas Adam hanya gara-gara aku dipoligami? G*la itu orang!" celetuk Hana saat itu. Beruntung di dalam ruangan itu hanya ada mereka berdua. "Pak Marvin maksudmu, Han?" Hana mengangguk sambil membereskan kertas-kertas yang berserakan di mejanya. "Apa jangan-jangan dia suka sama kamu, Han? Tapi, ucapannya itu ada benarnya juga lho, Ha. Kenapa kamu gak tinggalin suamimu itu?" terka Luna sambil menarik tangan Hana agar mereka bisa saling berpandangan."Apa, sih, kamu, Lun? Gak usah ngaco! Gak usah ikut-ikutan! Bukankah dia tahu aku sudah menikah? Kenapa gak sukanya sama kamu aja! Aku setuju
Hana kembali lagi ke dalam rumah dan berbaur kembali karena acara belum selesai. Masih banyak tamu undangan yang datang silih berganti termasuk teman-teman dari Hana sendiri. "Wah selamat, Pak Adam, anaknya tampan sekali. Tapi, kok gak ada mirip-miripnya sama Pak Adam, ya?" celetuk salah satu ibu-ibu yang melihat bayi Keenan. "Kalau ngomong itu dijaga, Bu! Jangan asal jeplak begitu saja," timpal Alya yang tidak suka. "Maaf, Bu, bukan begitu. Tapi, biasanya, kan, ada lah mirip-miripnya walaupun cuma hidung. He ... he ... he ..." Ibu-ibu itu tidak mau kalah karena memang beda jauh dengan Adam maupun Alya. "Maaf, ya, ibu-ibu saya potong ucapannya. Mungkin memang belum kelihatan, Bu. Mari saya antar untuk ambil makanan!" ucap Hana menengahi. Hana tak ingin jika acara itu menjadi rusak karena ulah segelintir orang. Adam merasa lega karena Hana mengerti situasi. Luna terlihat datang bersama dengan Marvin. Mereka berdua sama-sama datang dengan wajah yang kurang bersahabat. Jika bukan k
Hana benar-benar terkejut ketika dia menyenggol pot bunga. Dengan cepat dia pergi dari tempatnya berdiri karena takut ketahuan oleh Alya. Hana segera pergi ke kamarnya dan beruntung dia tidak ketahuan oleh Alya. "Alhamdulillah aku gak ketahuan. Tapi, ucapan mereka tadi apa maksudnya? Kenapa Alya dan laki-laki itu bicara begitu? Apa jangan-jangan —?" Pikiran Hana langsung mengarah ke Keenan yang diakui sebagai anak suaminya bersama dengan Alya. "Ya Allah, Mas Adam! Kalau memang benar kata mereka, berarti Mas Adam bukan ayah dari anak itu. Dan berarti Alya berbohong? Benarkah itu? Aku harus selidiki ini. Harus! Jika memang benar begitu, aku gak boleh tinggal diam! Aku harus membuktikan kepada Mas Adam kalau dia dibohongi dan dijebak oleh Alya. Ya, aku harus bertahan di rumah ini!"Tekat besar dalam diri Hana membuatnya kini lebih mantap untuk tinggal lebih lama di sana. Dia ingin sekali mengungkap kebenaran soal ayah kandung Keenan. Setelah hatinya sudah tenang, Hana kembali lagi be
Perasaan Adam dan Hana campur aduk. Mereka tidak mau bahagia lebih dahulu karena belum ada bukti, biarpun yang memeriksa Hana adalah dokter kandungan. Selama perjalanan menuju poliklinik Dokter Arif, Hana dan Adam saling berpegangan. Mereka menguatkan satu sama lain. Mereka akan melalui hari ini secara bersama-sama apapun hasilnya. "Aku takut, Mas," kata Hana ketika mereka menunggu di ruang tunggu depan poliklinik kandungan. "Kita hadapi sama-sama, ya! Berdoa saja semoga hasilnya sesuai dengan apa yang kita harapkan.""Aamiin."Hana dan Adam masih menunggu karena jadwal praktek Dokter Arif masih setengah jam lagi. Sudah ada beberapa ibu hamil yang juga ikut menunggu. Rasa rindu menghinggapi Hana ketika melihat hal itu. Dia rindu dengan Kanaya. Rindu akan tawa kecil yang selalu menghiasi harinya kala itu. Rindu hingga membuat Hana berharap jika dirinya saat ini benar-benar hamil. Setengah jam kemudian, mereka melihat Dokter Arif masuk ke dalam ruangan. Hati keduanya semakin berdeb
Kesedihan Hana tak berlangsung lama karena dia harus terus menjalani hidupnya. Masih ada Keenan dan juga Adam yang membuatnya bahagia. Tak ada waktu untuk bersedih. Dia harus bisa mensyukuri pemberian dari Allah setelah semua yang telah dia lalui. Dua bulan berlalu setelah kejadian testpack pagi itu. Hana semakin hari semakin giat bekerja. Sekarang bisnis Adam dan Hana mereka kelola sendiri-sendiri. Hana fokus pada bisnis baju-bajunya. Sedangkan Adam meneruskan bisnisnya yang sudah lama. "Kamu kok pucat sekali, Sayang? Kamu lagi sakit?" tanya Adam saat mereka hendak berangkat bekerja. Hana menggeleng pelan. Dia memang merasakan pusing. Tapi karena ada pekerjaan yang harus dia selesaikan, Hana terpaksa berbohong pada Adam. Jika Adam sampai tahu kalau dia sakit, pasti Adam tidak akan mengizinkannya untuk bekerja. Hana sudah terlalu mencintai pekerjaannya itu. Dengan bekerja, dia akan sedikit melupakan keinginannya untuk mempunyai anak. "Kamu yakin?" tanya Adam lagi untuk memastikan
"Ah rasanya aku sudah lupa hamil itu seperti apa. Apa aku cek saja? Tapi, nanti kalau hasilnya tak sesuai yang aku harapkan, pasti aku sedih. Tapi, aku penasaran juga. Toh aku juga sudah terlambat haid sudah hampir seminggu."Hati Hana bimbang. Dia merasa belum siap tapi penasaran juga. Apalagi dia juga sudah sangat merindukan kehadiran buah hati kembali. Walaupun ada Keenan, bukankah anak dari darahnya sendiri itu membahagiakan? Jikalau benar dia hamil, Hana berjanji akan tetap menyayangi Keenan seperti sebelumnya. Tanpa sepengetahuan Adam, Hana pergi ke apotik untuk membeli testpack. Dia memasukkan benda tipis itu ke dalam tasnya dan kembali lagi ke kantor. Kebetulan ada apotik yang dekat dengan tempat yang dijadikan kantor oleh Adam. Di kantor, dia pun bekerja seperti biasanya. Saat pertama kali Adam masuk ke kantornya, dia sangat kagum dengan banyaknya perubahan. Bahkan ada beberapa bisnis baru yang dikerjakan oleh Hana dan itu sangat diapresiasi oleh Adam. "Kamu darimana, Saya
"Kenapa kamu bisa sampai di sini, Lun?" tanya Hana yang kebingungan melihat sahabat yang sudah lama tidak ditemui sekarang ada di rumahnya. Bahkan sampai Marvin ada di rumahnya. Padahal mereka sudah lama sekali tidak berkomunikasi. Luna tak menjawab. Dia mengajak Hana dan Lita untuk duduk terlebih dahulu. Lalu, Luna mengambilkan air minum untuk diminum mereka berdua. Tujuannya agar bisa membuat keadaan keduanya lebih tenang. Sayup-sayup terdengar beberapa orang yang tengah berbisik. Saat itu juga mendadak rumah Hana menjadi ramai. Hana sampai dibuat bingung karenanya. "Terima kasih," ucap Hana setelah kondisinya agak tenang. Keenan pun juga ikut tenang saat melihat Hana tenang. Suasana menjadi hening. Baik Hana maupun Luna tidak saling bicara. Dan mata Hana pun menatap Luna seolah sedang menunggu jawaban dari sahabat yang sudah lama tidak dia temui itu. "Luna ..." ucap Hana lirih. "Iya, Hana. Kamu mau tahu kenapa aku dan Mas Marvin bisa di sini? Iya, kan?" Hana mengangguk cepat.
Sebuah bungkusan plastik yang isinya sudah berhamburan keluar. Banyak darah di sekitar plastik hitam itu. Hana bertakbir karena terkejut melihat hal itu. Tak lama kemudian terdengar lagi suara kaca dilempar batu. "Astaghfirullah hal adzim!" seru Hana dan Lita hampir bersamaan."Apa lagi itu, Bu?" tanya Lita yang melihat kertas yang sudah diremas-remas ada di dekat batu yang dipakai untuk melempar. Hana dengan hati-hati mengambil kertas itu dan membukanya. Matanya melotot ketika melihat tulisan berwarna merah menyala itu. "MAT* KALIAN!" eja Lita saat membaca tulisan yang ada di kertas. "Siapa yang melakukan ini, Bu? Saya takut sekali, Bu," kata Lita kemudian. "Ayo kita masuk ke dalam kamar! Aku harus minta bantuan karena kita sudah diteror," balas Hana. Dia kemudian mengajak Lita untuk ke kamarnya. Saat itu Hana ponsel Hana terletak di dalam kamarnya. Dengan langkah yang cepat keduanya berjalan menuju ke kamar Hana. Sesampainya di kamar, Hana segera mengambil ponsel miliknya unt
Hana membawa Lita ke klinik terdekat untuk diperiksa. Masih dengan ditemani pengacara dan juga polisi. Dan saat pemeriksaan Lita selesai, Hana pun pulang ke rumah.Asam lambung Lita naik karena dia terlalu stres dan juga makan tidak teratur. Dia membawa Lita pulang ke rumah agar bisa dipantau dengan baik. "Dia siapa, Nak?" tanya Ibu Muh saat mengantarkan Keenan pulang ke rumah Hana. "Dia karyawan Mas Adam, Bu. Ada hal yang ingin dia sampaikan ke Hana tapi kemarin dia sempat hilang. Baru tadi ketemu tapi malah dia sakit," jawab Hana. "Oh begitu. Semoga masalahmu cepat selesai, ya, Nak. Dan semoga Nak Adam cepat pulih juga seperti semula.""Aamiin. Terima kasih, ya, Bu, sudah mau Hana repotkan terus.""Gak apa-apa, Nak. Ibu malah senang jadi ada kegiatan ngurus Keenan. Badan Ibu rasanya sakit kalau gak dipakai ngapa-ngapain," sahut Ibu Muh. Walaupun menempuh jarak yang tidak dekat, Ibu Muh tidak pernah mengeluh. Dia dan Pak Muh sama-sama baiknya. Terkadang Ibu Muh diantar Pak Muh ke
Hana terus memaksa Lina untuk mengantarkan dirinya ke tempat Lita. Dia sudah tidak sabar mengetahui apa yang hendak dibicarakan oleh Lita kepadanya. "Tapi Lita bilang nanti setelah pulang kantor, Bu. Lita bilang takut ada yang mengikuti," ucap Lina mengutarakan alasannya. "Siapa yang akan mengikuti? Sebenarnya apa yang Lita tahu? Apa kamu tahu?" tanya Hana pada Lina. Lina menggelengkan kepala. Lina hanya penyampai pesan. Dia memang tak tahu apapun karena dia bukan di bagian keuangan. Dia dan Lita memang sudah berteman lama dan kebetulan bertemu kembali di satu kerjaan. Hanya Lina yang Lita percaya. Sehingga dia memberikan pesan untuk Lina sampaikan pada Hana. Dia sudah tak bisa menahan rahasia bisnis Adam lebih lama lagi karena ada beberapa orang yang mencari dirinya. "Kamu gak usah takut. Nanti sebelum kita sampai di tempat Lita, kita mampir ke kantor polisi untuk minta pengawalan dan perlindungan," ucap Hana menjawab kegundahan Lina. Setelah memikirkannya matang-matang, akhirn
Hana mengendari motor dengan kecepatan yang cukup tinggi. Dalam otaknya hanya berpikiran supaya cepat sampai di rumah sakit. Air matanya tak berhenti mengalir di sepanjang jalan. Tentu saja dia sudah menitipkan Keenan pada Bu Muh. Kebetulan atau tidak, Allah sudah merancang semuanya. Saat pihak rumah sakit menelepon dan meminta Hana untuk datang, kebetulan yang pas karena Bu Muh sedang berkunjung. Perjalanan kali ini terasa sangat lama sekali padahal Hana sudah berusaha cepat. Sebenarnya pihak rumah sakit tak menjelaskan apapun. Hanya saja Hana khawatir dan sampai punya pikiran yang tidak-tidak karena petugas yang menelepon dirinya mengatakan jika ada hal yang mendesak yang mengharuskan Hana untuk datang saat itu juga. "Dok! Sus! Ada apa? Suami saya baik-baik saja, kan?" Setengah berlari Hana menghampiri dokter dan perawat yang tengah berdiri di depan ruangan ICU. Keduanya sontak menoleh ke arah Hana tanpa ekspresi apapun. "Mari ikuti saya, Bu!" ajak perawat itu. Pintu ICU dibuka
Kejanggalan itu terjadi beberapa tahun lamanya. Dan suaminya tak menyadari hal itu. Dalam hatinya Hana bertekad harus menemukan Lita bagaimana pun caranya. Dia kemudian keluar dari ruangan dan mencoba bertanya ke beberapa karyawan yang ada di sana. Namun sayang tidak ada satu pun yang tahu alamat rumah Lita karena Lita hanya menyewa kamar. "Dulu sebelum pindah saya tahu, Bu. Tapi sudah hampir sebulan dia pindah dan saat saya mau main ke kosnya selalu tidak boleh sama Lita," kata teman yang bisa dibilang dekat dengan Lita saat ke kantor. "Oh begitu, ya. Boleh gak saya minta alamat kos yang lama?"Karyawannya itu langsung menuliskan sebuah alamat dan menyerahkannya kepada Hana. Hari berikutnya, Lita benar-benar tidak masuk kantor. Itu dapat diartikan bahwa Lita benar-benar mengundurkan diri dari kantornya. Setelah menyelesaikan beberapa urusan kantor, Hana keluar kantor dengan tujuan ke alamat kos Lita yang lama. Setelah berputar selama kurang lebih satu jam akhirnya Hana dapat men