Bukan Marvin namanya jika dia menyerah begitu saja. Dia tahu jika Hana itu istri orang. Tapi, namanya cinta itu tak bisa disalahkan dan dia masih penasaran dengan Hana. Marvin mengikuti Hana dengan jarak yang agak jauh agar tidak ketahuan. Hana berhenti di salah satu sudut rumah sakit yang sepi. Di sanalah dia menumpahkan segala kesedihan hatinya. Dia juga menyalahkan dirinya sendiri karena tidak begitu memperhatikan Adam saat musibah menimpa mereka. Dia mengira jika hanya dialah yang merasa sedih dan kehilangan Kanaya sehingga menjadi abai pada kewajibannya sebagai istri. "Maafkan aku, Mas. Ini bukan sepenuhnya salah kamu. Aku juga turut andil dalam kondisi kita yang sekarang. Aku terlalu egois menyalahkan kamu," gumam Hana ditengah-tengah tangisannya. "Aku berjanji Mas akan menjadi istri yang lebih baik lagi. Tak akan lagi aku buat kesalahan yang sama untuk yang kedua kalinya. Aku tahu kalau kita masih sama-sama saling mencintai. Aku akan bertahan demi pernikahan kita."Banyak s
Melihat Adam yang kelelahan karena tidak tidur, membuat Hana merasa kasihan dan berniat membantu dengan menggendong bayi mungil itu. "Biar Hana saja yang menggendongnya, Mas," ucap Hana ketika mereka hendak keluar dari kamar. "Tak boleh!" Suara keras Alya terdengar begitu nyaring di telinga. "Kenapa, Al? Bukankah malah bagus jika Hana yang menggendong? Dia sudah pernah menggendong bayi. Jadi kamu tak perlu takut dan khawatir," timpal Adam. "Sekali gak boleh, ya, gak boleh, Mas. Dia anakku dan Mbak Hana gak boleh menggendongnya sekarang dan sampai kapanpun! Titik!" Alya ngotot tidak membolehkan Hana menggendong bayinya. "Kamu —""Mas, sudah ... Aku gak apa-apa. Itu hak ibunya, Mas, jangan dipaksa. Biar Hana bawa saja tasnya, Mas." Hana benar-benar sangat mengerti perasaan Alya saat itu. Ketiganya kembali berjalan dengan bayi digendong oleh Adam karena Alya masih belum kuat. Dia didorong oleh perawat dan Hana berjalan dibelakang Alya dan juga Adam. Sesampainya di mobil, Adam meny
Hari berikutnya, Hana tetap masuk bekerja walaupun akan ada acara aqiqah di rumah Adam. Dia sudah terlalu banyak izin jadi tidak enak jika harus minta izin lagi. "Han, jangan lupa untuk undang Luna dan juga teman-teman kamu yang lain, ya," pesan Adam kepada Hana sebelum berangkat. "Apa? Me—reka juga diundang, Mas?" tanya Hana gugup. "Iya. Memangnya kenapa, Han? Gak apa-apa, kan? Sudah saatnya juga kita publikasikan Alya agar tidak timbul fitnah, bukan?" Dengan entengnya Adam mengucapkan hal itu. Apakah dia sudah tidak peduli dengan perasaan Hana? Akan seperti apa nanti pandangan rekan-rekan kerjanya ketika tahu jika dia dimadu? Tapi, bukankah ini juga sudah pilihan Hana? Kenapa juga dia harus menolak? Ketika Hana memilih kembali lagi ke rumah Adam, berarti dia sudah tahu resikonya dan siap menghadapinya. "I—ya, Mas." Jawaban yang sangat terpaksa diberikan oleh Hana. Sebenarnya dia belum siap. Tapi, Adam sudah ingin mempublikasikan pernikahan keduanya itu. Beberapa hari ini, Ada
"Kenapa ada orang yang begitu kepo, sih, sama rumah tangga orang lain? Dia siapa? Baru juga mimpin yayasan ini belum lama. Memangnya kalau dia atasan, aku gak berani?" Hana kesal dan geram karena ulah Marvin. "Ngapain ngomel-ngomel gak jelas gitu, Han?" tanya Luna yang sejak Hana masuk ruangan terus memperhatikan. "Itu Kepala Yayasan kamu yang sok kecakepan buat ulah! Ngapain coba nyuruh aku ninggalin Mas Adam hanya gara-gara aku dipoligami? G*la itu orang!" celetuk Hana saat itu. Beruntung di dalam ruangan itu hanya ada mereka berdua. "Pak Marvin maksudmu, Han?" Hana mengangguk sambil membereskan kertas-kertas yang berserakan di mejanya. "Apa jangan-jangan dia suka sama kamu, Han? Tapi, ucapannya itu ada benarnya juga lho, Ha. Kenapa kamu gak tinggalin suamimu itu?" terka Luna sambil menarik tangan Hana agar mereka bisa saling berpandangan."Apa, sih, kamu, Lun? Gak usah ngaco! Gak usah ikut-ikutan! Bukankah dia tahu aku sudah menikah? Kenapa gak sukanya sama kamu aja! Aku setuju
Hana kembali lagi ke dalam rumah dan berbaur kembali karena acara belum selesai. Masih banyak tamu undangan yang datang silih berganti termasuk teman-teman dari Hana sendiri. "Wah selamat, Pak Adam, anaknya tampan sekali. Tapi, kok gak ada mirip-miripnya sama Pak Adam, ya?" celetuk salah satu ibu-ibu yang melihat bayi Keenan. "Kalau ngomong itu dijaga, Bu! Jangan asal jeplak begitu saja," timpal Alya yang tidak suka. "Maaf, Bu, bukan begitu. Tapi, biasanya, kan, ada lah mirip-miripnya walaupun cuma hidung. He ... he ... he ..." Ibu-ibu itu tidak mau kalah karena memang beda jauh dengan Adam maupun Alya. "Maaf, ya, ibu-ibu saya potong ucapannya. Mungkin memang belum kelihatan, Bu. Mari saya antar untuk ambil makanan!" ucap Hana menengahi. Hana tak ingin jika acara itu menjadi rusak karena ulah segelintir orang. Adam merasa lega karena Hana mengerti situasi. Luna terlihat datang bersama dengan Marvin. Mereka berdua sama-sama datang dengan wajah yang kurang bersahabat. Jika bukan k
Hana benar-benar terkejut ketika dia menyenggol pot bunga. Dengan cepat dia pergi dari tempatnya berdiri karena takut ketahuan oleh Alya. Hana segera pergi ke kamarnya dan beruntung dia tidak ketahuan oleh Alya. "Alhamdulillah aku gak ketahuan. Tapi, ucapan mereka tadi apa maksudnya? Kenapa Alya dan laki-laki itu bicara begitu? Apa jangan-jangan —?" Pikiran Hana langsung mengarah ke Keenan yang diakui sebagai anak suaminya bersama dengan Alya. "Ya Allah, Mas Adam! Kalau memang benar kata mereka, berarti Mas Adam bukan ayah dari anak itu. Dan berarti Alya berbohong? Benarkah itu? Aku harus selidiki ini. Harus! Jika memang benar begitu, aku gak boleh tinggal diam! Aku harus membuktikan kepada Mas Adam kalau dia dibohongi dan dijebak oleh Alya. Ya, aku harus bertahan di rumah ini!"Tekat besar dalam diri Hana membuatnya kini lebih mantap untuk tinggal lebih lama di sana. Dia ingin sekali mengungkap kebenaran soal ayah kandung Keenan. Setelah hatinya sudah tenang, Hana kembali lagi be
Hana menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia sama sekali tidak melakukan perbuatan itu. "Tidak, Mas, bukan aku. Buat apa aku melakukan itu kepada bayi kecil yang tak berdosa? Jangankan mencubit, Hana hendak menyentuh Keenan saja tidak boleh sama Alya," sanggah Hana cepat. "Gak usah ngeles atau beralasan, Mbak! Jelas-jelas ini perbuatan Mbak Hana, kan? Bukankah tadi aku sudah peringatkan Mbak Hana untuk tidak masuk ke sini? Kenapa Mbak Hana nekat? Pasti karena ingin melakukan ini, kan? Iya, kan?" Alya terus saja mengintimidasi Hana tanpa ampun. "Gak, Mas! Bohong itu, Mas. Aku hanya —""Sudah ... Sudah! Aku pusing mendengar kalian berdebat! Alya, cepat tenangkan Keenan dulu. Hana, kamu bisa keluar dari kamar ini, kan?" potong Adam sebelum Hana selesai bicara. "Aku kecewa sama kamu, Mas!" ucap Hana sebelum meninggalkan kamar Alya. Tentu saja Alya puas dan bisa tersenyum senang, walaupun dia harus mengorbankan bayi kecilnya. Ya, sebenarnya Alya sendirilah yang mencubit bayi itu saat Adam
Setelah selesai sholat subuh, Abah Hasan berpamitan untuk pulang karena ada hal yang harus Beliau kerjakan. Ayah Tri yang sejatinya akan berangkat bersama dirinya saat subuh tidak jadi karena Ayah Tri semalam setelah selesai mengobrol langsung pulang karena ada satu dan lain hal. "Abah pamit dulu, ya, Nduk. Ingat, yang akur sama Alya." Sebuah nasehat yang sudah pasti terlontar dari mulut Beliau. "Nggih, Bah. Hati-hati, ya, Bah! Kabari Hana kalau sudah sampai," jawab Hana."Adam, jaga dua istrimu baik-baik. Jika memang kamu sudah tidak sanggup dengan keduanya, kembalikan Hana pada Abah." Ucapan yang sangat mengena di hati Adam. Kali ini Adam hanya merespon dengan anggukan. Setelah berpamitan, Abah Hasan diantar oleh Adam ke terminal. Tak ada obrolan yang berarti diantara keduanya karena Adam agak canggung. "Hati-hati, Bah! Terima kasih sudah berkenan datang," ucap Adam ketika Abah Hasan hendak masuk ke dalam bus. "Sama-sama. Abah titip Hana, ya, Dam. Jaga dia dan ingatkan dia jika