Visha merasakan jantungnya berdegup kencang saat mendengar ucapan Calvin yang mendekat dengan tatapan tajam.“Jawab aku, Visha. Apa kamu wanita di malam itu?” tanya Calvin sekali lagi. Tubuh Visha semakin gemetar, dan suaranya serak ketika mencoba menyangkal tuduhan itu, “B-bukan, Anda salah orang.” Napasnya tersengal, mencoba menjaga ketenangan meski ketakutan meliputi seluruh raga.“Salah orang? Apa Kai anak kandungku?” desak Calvin dengan nada meninggi, membuat Visha semakin mundur selangkah. Rasa takut terpancar dari matanya yang berkaca-kaca, mencari jalan keluar dari situasi yang memojokkannya.“T-tuan, Anda benar-benar sudah gila, Kai tentu anakku dari almarhum suamiku,” sahut Visha, suaranya terdengar lemah dan putus asa, mencoba meyakinkan Calvin meski dia sendiri tahu fakta yang sesungguhnya.“Suami? Bahkan kamu belum pernah menikah Tavisha!” Calvin terus mendekat, tiap langkahnya seolah menghantam kepercayaan diri Visha. Wajah Visha pucat, dan sudut bibirnya berg
Sore itu, Calvin yang baru saja menjemput kedua orang tuanya di bandara, terlihat kesal pada sikap Greta yang selalu menguntitnya. Perjalanan menuju rumahnya seolah memakan waktu lama.“Cal, apa kamu akan terus ketus sama aku? Lihat wajah Ibumu, dia tampak bahagia melihat kita!” bisik Greta. Calvin menoleh sejenak, memerhatikan kedua orang tua yang tampak lelah setelah perjalanan panjang dari luar negeri, tetapi senyum mereka masih terjaga saat melihat dia berdampingan dengan Greta.Setibanya di depan rumah, “Mama, Papa, aku senang sekali kalian bisa pulang,” ujar Calvin seraya membantu mengangkat koper dari bagasi mobil.“Alhamdulillah, Cal, bagaimana dengan kabar di kantor? Papah dengar perusahaan kita semakin maju pesat.”“Ya Pah, ini juga berkat Papah.”Mereka berdua tampak serius, namun suasana yang hangat itu segera terganggu saat Mirra, ibu Calvin, dengan blak-blakan menyentil masalah pribadi Calvin.“Kalian itu berduaan terus, kapan kalian akan menikah?” tanya Mirra
Saat Calvin melangkah mendekat, matanya memancarkan kelembutan namun yang terpancar dari Kai adalah kecemasan. Tubuh mungil itu mundur, semakin mendekap erat Kiara yang berdiri sebagai tameng. “Sayang, maafin Papah, ayok sini peluk Papah?” Suara Calvin memecah kesunyian, penuh kehangatan, tapi gagal menenangkan Kai.Kai, dengan mata berkaca-kaca, semakin mengeratkan genggamannya pada baju Visha. Teriakan Calvin yang sempat terdengar ketika bertengkar dengan ibunya masih terngiang di benak kecilnya, menimbulkan rasa takut yang mendalam.“Visha, tolong bujuk Kai, aku ingin memeluknya!” pinta Calvin dengan suara yang bergetar, mencoba menahan kekecewaan. Ia berharap Visha, yang lebih dekat dengan Kai, dapat membantu meredakan situasi.“Sudahlah Tuan, aku bilang apa? Tuan bukan Papah kandung Kai, kalian tidak terikat ikatan batin apa pun, aku tidak bisa membujuk Kai jika sedang merajuk!” Visha menjelaskan dengan nada tegas namun lembut, mencoba mengingatkan Calvin tentang batasan ya
Visha kembali ke kamar dengan piring berisi nasi goreng hangat. Dia mendapati Kai, yang ceria, sedang asyik menggambar bersama Calvin. Suasana kamar yang tadinya sepi, kini terasa hangat dengan tawa dan obrolan kecil antara ayah dan anak itu.“Kai, ayok sayang katanya mau makan?” tawar Visha dengan nada lembut, berusaha memecah keseruan yang tengah terjadi“Ok Bunda!” seru Kai antusias, segera meninggalkan krayon dan kertas gambar di lantai.“Papah Kainya enggak ditawari?” goda Calvin dengan kerlingan nakal, matanya berbinar menantang Visha yang tampak terganggu.Visha hanya berdecak kesal. Perasaannya masih belum sepenuhnya pulih dari pertengkaran kecil mereka pagi itu. Hatinya yang dingin tak semudah itu luluh hanya karena rayuan singkat Calvin.“Papah, ayok?” ajak Kai, tidak menyadari ketegangan yang terjadi, sambil menarik lengan Calvin agar segera bergabung di meja makan.Dengan langkah gontai, Calvin menghampiri meja dan duduk di sebelah Kai yang sudah bersemangat dengan
Calvin masih berdiri di depan Visha, matanya menatap tajam wanita yang tanpa status, namun telah menjadi ibu dari anaknya. Dia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Visha, wanita yang telah mengisi hatinya, tidak memiliki ikatan resmi dengannya. “Terima kasih nasi gorengnya, aku sangat menyukainya,” ucap Calvin, berusaha bersikap biasa. “Oh yah, besok siang aku ingin mengajak kamu ke dokter.” “Dokter? Untuk apa Tuan?” tanya Visha, raut wajahnya penuh tanda tanya. Calvin tersenyum jahil. “Memeriksakan otakmu.” “Otakku, memangnya otakku kenapa?” tanya Visha, polos. Dia tidak mengerti maksud Calvin. Calvin terkekeh, lalu mencubit hidung Visha yang kecil, membuat Visha mengerutkan kening. “Aku bercanda, nanti juga kamu tahu. Ya sudah, aku ke kamar dulu.” Sebelum Calvin pergi, hatinya berbisik untuk memeluk Visha. Dia tidak tahu kenapa, tetapi dia ingin merasakan kehangatan tubuh Visha. Dan tanpa sadar, dia pun melakukannya. Visha terkejut, tubuhnya menegang. “T-tuan!” uc
Namun, Calvin yang diliputi rasa cemburu segera memboyong tubuh Visha ke atas ranjang. "Tuan, lepaskan!" teriak Visha putus asa, suaranya bergetar hebat. Kejadian malam nahas lima tahun yang lalu, seolah terulang kembali. "Aku tidak akan melepaskan kamu!" Ancam Calvin, suaranya terdengar dingin, menunjukkan rasa marah. Dia menjatuhkan tubuh mungil Visha di atas ranjang. "Tuan, jangan lakukan ini kembali, aku mohon... ini salah!" ucap Visha lirih, suaranya penuh keputusasaan. Calvin yang dibakar api cemburu segera meraih tubuh Visha dan menciuminya. Visha terisak, hanya bisa memukul punggung Calvin berulangkali. Namun, tangisan Visha membuat Calvin sadar dengan tindakannya. "Berhenti! Saya mohon jangan lakukan ini lagi?" "Maaf," ucapnya lirih, suaranya terdengar menyesal. Dia menyelimuti tubuh Visha yang telah terbuka. Visha masih terisak penuh ketakutan. "Kenapa Anda melakukan ini lagi? Belum cukup lima tahun lalu Anda membuat hidup saya hancur, Tuan?" tanya Visha, suar
Cahaya lampu tidur yang remang-remang menerangi kamar kecil Kai. Di atas ranjang Kai sudah terbaring dengan selimut menutupi tubuh mungilnya. Calvin duduk di sampingnya, tangannya terulur mengelus lembut rambut Kai yang lebat. Visha yang duduk di sisi ranjang yang lain, matanya tak lepas dari kedua orang itu.“Astaghfirullah, Kai ... kenapa kamu jadi manja seperti ini sih!” gerutu Visha dalam hati, kesal.Calvin, dengan senyum tipis, hanya menggeleng pelan. Anaknya ini selalu saja tahu cara mendekatkan dirinya dan ibu kandungnya.“Papah?” panggil Kai, suaranya mengantuk.“Ya, sayang? Ada apa?” tanya Calvin, suaranya lembut.“Kapan Kai punya Adek?”Visha tersentak, jantungnya berdebar kencang. “Uhuk!” Dia terbatuk, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.Calvin, melihat reaksi Visha, menahan tawa. “Kenapa, Bundanya Kai?” tanyanya, matanya berbinar. “Tidak... aku tidak kenapa-kenapa!” jawab Visha, gugup.“Bunda?” panggil Kai lagi.“Ah, iya sayang?” sahut Visha, suaranya ter
Pagi itu, aroma nasi goreng yang harum memenuhi ruang makan keluarga Calvin. Asih tersenyum melihat Calvin menikmati sarapan bersama kedua orang tuanya yang selalu sibuk pergi ke luar negeri. Meskipun kedua orang tua Calvin sibuk, mereka berdua selalu berusaha meluangkan waktu untuk berkumpul bersama.Visha yang sedang membantu Asih, tersenyum tipis saat Calvin menatapnya. Tatapan Calvin yang hangat membuat pipinya merona.“Visha!” panggil Asih.Visha tersentak, gugup. “Ah, iya Bu. Ada apa?” tanyanya.“Sha, apa kamu menyukai Den Calvin?” Asih bertanya dengan lembut, namun ada kekhawatiran tersirat dalam suaranya.Visha terdiam sejenak, jantungnya berdebar kencang. “Tidak Bu,” jawabnya pelan.“Sayang, kita harus sadar diri. Den Calvin dan kita jauh berbeda. Ibu tidak mau kamu sampai dihina dan terluka karena status kita yang berbeda,” ujar Asih, suaranya sedikit bergetar.Visha mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Visha mengerti, Bu.”“Syukurlah, maafkan Ibu ya?” Asih mengusap le