Visha dan Calvin saling menatap, sebuah keheningan canggung menyelimuti mereka. Calvin berjanji pada dirinya sendiri untuk mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkan rahasia masa lalunya, tentang anak yang pernah dia miliki kepada kedua orang tuanya. Namun, hati Visha dipenuhi keraguan. Keadaan kakinya yang cacat membuatnya merasa tidak pantas untuk bersanding dengan Calvin, pria tampan dan sukses yang juga seorang CEO muda.“Mas,” panggil Visha, suaranya sedikit gemetar.Calvin menoleh, matanya bertemu dengan tatapan Visha yang penuh keraguan. “Ya?” tanyanya lembut, berusaha menenangkan Visha. “Ada apa?”“Eumm, aku titip Kai, boleh?” pinta Visha, matanya tertuju pada anak kecil mereka yang sedang asyik bermain.“Memangnya kamu mau ke mana?” tanya Calvin, rasa penasaran terpancar dari suaranya.“Kerja, Mas. Ke mana lagi, nanti jika Ibu sudah selesai bekerja, Ibu pasti akan mengambil Kai,” ucap Visha, berusaha bersikap biasa saja.“Kerja? Tidak! Mulai hari ini kamu diam di
Pada malam harinya, Semua para tamu undangan hadir dalam acara pertunangan Calvin, mereka saling berbisik membisikan Calvin menyayangkan harus bertunangan dengan Greta. Namun, suasana penuh dengan kegembiraan dan ucapan selamat itu, terlihat jelas di wajah Greta.“Greet, selamat yah? Akhirnya kamu bertunangan juga dengan Calvin,” ucap sahabatnya.“Tentu, kami saling mencintai. Mungkin setelah pertunangan ini, kita akan melangsungkan pernikahan,” kata Greta, dengan percaya diri.Di sisi lain, kedua orang tua Calvin berdiri menyapa para tamu undangan, senyum merekah di wajah mereka, mencerminkan kebahagiaan yang meresap dalam jiwa. Namun, pada saat itu, mata Mirra tak sengaja melihat Kai yang berada di sana.“Astaghfirullah,” ucap Mirra terkejut, suaranya bergetar sedikit, saat melihat Kai yang mirip sekali dengan Calvin saat kecil. Rambut hitam legam, mata yang jelita, dan senyum yang menawan, seolah mencerminkan bayan
Tiba waktunya Calvin menghampiri pembawa acara dan Greta. Greta yang sedaritadi sudah berdiri di sana tersenyum menyambut Calvin dengan lega."Akhirnya kamu datang juga!" gumam Greta, suaranya terdengar lega.Di balik kerumunan para tamu, Visha meremas ujung bajunya. Hatinya berdegup kencang. Apakah kali ini Calvin benar-benar akan membatalkan pertunangan itu? Atau malah sebaliknya, dia mematahkan harapan Visha serta anak kandung mereka berdua?Namun, di salah satu kerumunan para tamu, tampak berdiri Raka, pria masa lalu Visha yang selama lima tahun ini masih menyimpan perasaan cinta untuknya."Tavisha!" gumamnya, terkejut. "Visha ada di sini? Apa aku salah lihat?" pikir Raka sembari terus mengucek matanya, berharap semua ini hanya mimpi.Namun, apa yang dia harapkan adalah sebuah kenyataan. Visha yang malam itu tampil dengan anggun membuat Raka benar-benar hampir saja tak mengenali dirinya.Dengan rasa penasaran, Raka menghampiri Visha dan meninggalkan Dewi, istrinya yang sedan
Calvin turun ke bawah, matanya terus menatap tajam Visha yang bergetar karena ketakutan. Visha menggeleng perlahan, berharap Calvin tidak percaya pada kata-kata Dewi.“Kalian semuanya harus tahu!” kata Calvin, meninggikan suaranya. Dia ingin semua tamu mendengar. “Saya punya bukti tes DNA— ya, anak kecil ini adalah anak kandung saya!”Visha kembali berkaca-kaca. Akhirnya, Calvin mempercayai ucapannya dan tak mempercayai apa kata Dewi.Calvin perlahan menghampiri Visha dan Kai yang sedang ketakutan. “Ayo sayang, sini sama Papah!” ucap Calvin, berusaha memenangkan hati Kai yang ketakutan.Mata kecil Kai menatap dalam bola mata Visha, ibunya. Menanti jawaban dari sang ibu, Visha mengangguk perlahan, membiarkan Kai berada dalam pelukan hangat ayahnya.Greta tak terima. “Calvin, wanita itu telah menipu kamu!” teriaknya.“Greta, diam!” bentak Calvin. “Aku tahu apa yang terjadi. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menghancurkan kebahagiaanku.”Visha menatap Calvin dengan penuh harap
Dewi mengelak, dia lantas menarik tangan Raka pergi dari ruangan itu. “Lepas!” teriak Raka, matanya memerah menahan amarah.“Mas, ayok kita pulang?” ajak Dewi, gugup. “Mereka... mereka salah, bukan aku yang mencelakakan Visha.” “Jadi kamu yang membuat Visha cacat? Jawab aku, Dewi!” teriak Raka.“Mas, kamu percaya sama omongan mereka?” balas Dewi tak kalah teriaknya. “Oh... atau jangan-jangan kamu selama ini masih cinta sama wanita pelacur itu!”“Ya, aku masih cinta! Bahkan sampai detik ini!” jawab Raka, suaranya bergetar menahan emosi.Visha terkejut dengan ucapan Raka, tetapi Calvin yang berdiri di sampingnya segera meraih tangan Visha.“Ayok, sayang? Sebaiknya kamu istirahat!” titahnya. “Bu Asih, tolong bawa Visha ke dalam kamarnya!”“Baik Den!” jawab Asih, dia segera memapah tubuh anaknya.“Visha ... tunggu,” sergah Raka, dia hendak mengejar Visha, tetapi Calvin langsung mencegahnya.“Sebaiknya Anda pergi, Pak Raka!”“Brengsek!” pekik Raka, tangannya memukul wajah Calv
Calvin tertunduk, tak bisa menjawab pertanyaan ayahnya.“Apa kamu melakukan perbuatan bejat ini, Calvin!” teriak Mahessa.“Iyah, Pah! Visha hamil gara-gara jebakan itu!” jawab Calvin, suaranya bergetar gugup.“Astaghfirullah ...,” ucap kedua orang tuanya, wajah mereka dipenuhi keputusasaan.“Maafkan Calvin, Papah, Mamah ... Calvin dijebak,” ungkapnya lirih, matanya berkaca-kaca.“Papah benar-benar kecewa sama kamu, Vin! Bagaimana bisa kamu membuat Visha dan anak kamu selama ini di luaran sana menanggung beban sendiri?” tanya Mahessa, suaranya bergetar menahan amarah.“Calvin sudah berusaha mencari Visha, Pah... tapi Calvin kehilangan jejaknya, dan baru kali ini Calvin menemukan mereka,” jawab Calvin, berusaha menjelaskan.Visha yang berada di samping menggenggam erat tangan Calvin, memberikan kekuatannya. Matanya menatap Calvin dengan penuh kasih dan pengertian. Dia tahu betapa berat beban yang dipikul Calvin saat ini.“Asih, kenapa kamu tidak cerita ke kami sejak awal? Kalau
Visha menatap calon mertuanya dengan penuh kegugupan. “Nyonya...”“Visha! Jangan panggil Mama dengan sebutan Nyonya!” kata Mirra memotong, suaranya sedikit meninggi.“Tapi, Nyonya! Kenapa? Lantas Visha harus panggil apa?” tanya Visha, bingung.“Visha sayang, Mamahku ini, Mamah kamu juga, jadi mulai sekarang panggil Mamah juga yah?” pinta Calvin, berusaha menenangkan suasana.“Tapi Mas!” protes Visha, tetapi langsung dipotong oleh Calvin.“Sssttt... jangan membantah! Mas gak suka dibantah.”Visha mengangguk perlahan, mengerti. Dia lantas kembali bertanya, “Mamah, kenapa Ibu dipecat?”“Visha, Ibu kamu besan Mamah, masa seorang besan harus bekerja di rumah besannya sendiri, Mamah nggak mau!” jawab Mirra, nada suaranya tegas.“Jadi maksud Mamah?” tanya Visha, masih belum sepenuhnya memahami.“Asih, Visha... mulai sekarang kalian tetap tinggal di paviliun, dan urus Kai dengan baik. Soal pekerjaan, saya akan cari pekerja baru!” kata Mirra, mengakhiri percakapan.“Nyonya... saya ti
Visha menggeleng perlahan, dia melerai pelukan Calvin dan berusaha agar tenang. “Sha, siapa yang berbicara itu padamu? Apa itu, Greta?” cecar Calvin.Visha mengangguk perlahan, “Ya, Mas. Mbak Greta. Dia bahkan telah mempersiapkan rumah agar aku pergi ninggalin kamu.”“Maksud kamu? Apa Greta sebelumnya tahu tentang Kai?” lanjut Calvin bertanya.“Ya, dia tahu kalau Kai anak kamu, Mas.”“Astaghfirullah... jadi!” Calvin tak bisa melanjutkan kembali, terlalu banyak kebohongan yang Greta simpan.“Maaf Mas!” ucap Visha tak enak hati. Calvin kembali memeluk Visha. Andai saja malam itu Visha tidak jatuh, mungkin dia akan benar-benar kehilangan Visha dan anaknya. “Ya sudah, kamu tidur di sini!” perintahnya.“Eum ... kita berdua?” tanya Visha, ragu.Calvin tersenyum jahil lalu berkata, “Memangnya kamu mau tidur bareng?”“T-tidak!” tolak Visha, cepat.Keduanya saling menatap, hingga ciuman kembali Calvin kecupkan di bibirnya. “Tidurlah, aku tidak sabar menunggu pernikahan kita.”V
Calvin memejamkan mata perlahan, air mata luruh membasahi pipinya. Rasa sesal dan penyesalan begitu dalam mencengkeram hatinya. “Mas tahu hatimu masih cinta sama Mas, Sha. Maafin Mas, jika mengecewakan kamu.”“Mas,” ucap Visha akhirnya, suaranya bergetar menahan tangis.“Yah sayang,” jawab Calvin, suaranya terdengar parau.“Berjuanglah, luluhkan dan ...” Visha terdiam, kalimatnya terhenti di tengah jalan. Dia tidak tega untuk melanjutkan kalimatnya. Dia tahu, apa yang dia harapkan dari Calvin sangatlah sulit.“Mas akan berusaha,” jawab Calvin, suaranya terdengar lemah. Dia tahu, dia harus berjuang untuk mendapatkan kembali hati Visha. Namun, dia juga tahu, jalan yang harus dia tempuh tidaklah mudah.“Mas, aku percaya kamu bisa,” ucap Visha, tangannya menggenggam erat ponsel. Dia memberikan dukungan penuh kepada Calvin, meskipun hatinya terluka.“Terima kasih sayang,” ucap Calvin, dengan lega. Dia bersyukur memiliki Visha, wanita yang selalu ada di sisinya, mendukungnya dalam s
Calvin terkejut dengan suara Asih, ibu mertuanya yang meninggi. “Turun!” perintah Asih. “B-baik, Bu.” Calvin menjawab, dia pun membuka pintu dan menghampiri Asih. “Bu, Visha ...” “Mulai sekarang, jangan kamu temui lagi Visha dan Kai. Mereka bahagia meski tanpa kamu, pria pengecut yang selalu termakan hasutan mantan kekasihmu.” Calvin lagi-lagi terkejut dengan ucapan Asih. “Bu ... tapi Visha dan Kai, bagian dari keluarga Calvin.” “Bagian dari keluarga kamu? Lalu ke mana saja saat anakku tadi menangis, bahkan dengan tega kamu mengusirnya?” “Bu, Calvin benar-benar minta maaf! Calvin janji tidak akan mengulangi hal ini lagi.” Calvin berusaha meminta maaf pada Asih, tetapi Asih tak luluh begitu saja. “Cukup! Tinggalkan anak saya sekarang juga!” “Bu,” panggil Visha, dia berdiri dengan tegak, bibirnya gemetar. “Sha, ayok pulang? Maaf, jika Mas tadi ...” “Mas, pulanglah!” Visha menunduk, air matanya menetes. Calvin terdiam, hatinya terasa sesak. Dia mencintai Visha dan
Greta tersenyum licik. Dia pun menambahkan kata-kata lagi untuk meracuni pikiran Calvin. “Oh, jangan-jangan kamu sengaja menggoda Pak Cokro?”Visha tersentak. “Tutup mulutmu!” teriaknya. “Calvin ... Calvin, kamu mau saja ditipu oleh wanita ini! Padahal aku sudah mengantarkan Visha ke depan ruanganmu, tetapi kenapa dia malah pergi ke ruangan Pak Cokro!”“Hentikan ucapanmu, Mbak Greta!” Visha kesal. “Aku bahkan tidak mengenal pria itu!”“Owh yah?” Greta mencemooh. “Aku tidak yakin. Jangan-jangan kamu ...” “Greta, sebaiknya kamu pergi ke ruanganmu!” perintah Calvin, suaranya dingin.Calvin meleraikan pelukannya. Dia berjalan selangkah, hatinya cemburu dan terhasut oleh ucapan Greta. Pandangannya tertuju pada Visha yang berdiri terdiam, wajahnya memerah menahan amarah.“Visha, sebaiknya kamu pulang. Biar Bara yang antar kamu,” ucap Calvin, suaranya terdengar dingin.“Mas, aku ke sini hanya untuk bertemu dengan kamu. Aku bawain ...” Visha mencoba menjelaskan, tetapi Calvin langs
Tanpa merasa curiga, Visha masuk ke dalam ruangan itu. Dia duduk di sofa, sesekali menatap satu per satu ruangan yang tampak mewah. "Jadi ini ruangan kerja Mas Calvin," ucapnya bangga.Visha berjalan menuju jendela, menatap indahnya pemandangan dari atas gedung bertingkat lima. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, membawanya pada lamunan tentang masa depan bersama Calvin."Semoga saja dengan kedatanganku kemari, Mas Calvin akan sangat bahagia," gumam Visha, matanya berkaca-kaca.Pada saat Visha sedang melamun, pintu ruangan terbuka dengan suara berderit. Seorang pria gendut berwajah garang terkejut dengan pemandangan wanita yang berbaju merah berdiri dengan anggunnya di dekat jendela."Wow, bukannya aku baru beberapa menit memesan wanita cantik? Rupanya Carles cepat sekali mendapatkan wanita cantik!" katanya sembari melangkah mendekati Visha.Visha yang sedang melamun tak menyadari gerakan langkah kaki yang mendekat. Dia tersentak kaget saat merasakan tangan kekar itu melingka
Visha berjongkok di depan Kai, puteranya yang polos. Tangannya menggenggam erat tangan mungil Kai, mencoba menenangkan. "Sayang, Jangan berbicara seperti itu yah, Nak. Papah Calvin—""Stop Bunda, Om Superman bukan Papah Kai!" teriak Kai, suaranya bergetar menahan tangis."Nak!" Visha terkesiap, hatinya tersayat mendengar kata-kata putranya.Kai menghempaskan tangannya, dia berbalik mendekati Asih, neneknya. "Nek, Kai mau tinggal di sini sama Nenek, Kai tidak mau bertemu dengan Om jahat."Asih memeluk erat Kai, tangannya mengusap perlahan rambut Kai. "Sayang, ayok sekarang Kai cuci kaki dan kita berangkat sekolah. Nanti Nenek yang antar kamu ke sekolah."Kai mengangguk, matanya berkaca-kaca. Dia pun bergegas pergi meninggalkan Visha yang berdiri terpaku, air matanya menetes perlahan."Bu?" panggil Visha, suaranya terengah-engah. "Kamu harus bersabar, Kai masih trauma pada Ayahnya, biarkan dia tenang dulu!" kata Asih, lembut.Visha hanya bisa mengangguk, hatinya pedih meliha
Visha berdecak kesal, matanya menatap layar ponsel yang menampilkan pesan dari Calvin. Jari-jarinya menekan tombol Power, mematikan layar yang menampilkan pesan yang membuatnya geram.“Menyebalkan, apa kamu pikir aku butuh uangmu!” gerutu Visha, suaranya meninggi. Dia melempar ponselnya ke atas ranjang, kepalanya tertunduk lesu.Visha enggan untuk menelepon kembali Calvin, apalagi menjelaskannya. Perasaannya campur, antara kesal, kecewa, dan sedikit takut.“Huhh! Kenapa jadi seperti ini?” gumam Visha, lelah. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.Asih kembali mendekati Visha. “Bagaimana, apa suami kamu mengizinkannya?” tanyanya, matanya penuh harap.Visha menggigit bibirnya, ragu untuk mengatakan yang sebenarnya. “Iyah Bu, Mas Calvin sudah mengizinkan Visha untuk menginap di rumah Ibu,” jawabnya berbohong.“Ya sudah, ayok bantu Ibu membereskannya rumah ini?” Asih tersenyum, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Visha.Keduanya seharian membereskan ruma
Visha mengecup pipi Kai yang Chubby, meski hatinya terasa resah akan kelangsungan pernikahannya dengan Calvin. “Kenapa ini bisa terjadi di saat bulan madu kami?” gumam Visha tak mengerti.Di perusahaan Calvin, sang ayah, Pak Mahessa, memutuskan untuk memantau perkembangan para klien di rumah mereka. “Kita harus selalu memantau saham perusahaan, Calvin. Situasi perusahaan sedang tidak baik,” ujar Pak Mahessa. Calvin, Bara, bahkan Greta pun ikut pulang ke rumah mereka. Setibanya di sana, Kai berlari saat melihat Calvin. “Papah, sudah pulang? Adik bayinya mana?” tanya Kai, “Papah, ayok kita bermain?” ajak Kai dengan riang. Calvin yang sedang emosi langsung membentak Kai. “Kai, diam! Jangan ganggu Papah!”“Mas!” teriak Visha, “Kenapa kamu marahin Kai? Dia tidak tahu apa-apa Mas!”Calvin menatap wajah Visha kesal, “Harusnya kamu jaga anakmu. Sudah tahu Mas sedang pusing memikirkan perusahaan!”“Anakku? Oh, kamu benar, dia anakku.” Visha terdiam, matanya berkaca-kaca.“Astagh
Selesai bersih-bersih, saat Calvin akan mencium bibir Visha, ponselnya berdering.“Mas, angkat dulu teleponnya, siapa tahu penting!” ucap Visha.“Huhh! Mengganggu saja, harusnya tadi Mas matikan dulu teleponnya!” keluhnya kesal, tangannya masih terulur hendak meraih Visha.Visha terkekeh pelan, menarik hidung Calvin gemas. “Angkat dulu, kita bisa memulainya nanti bukan.”“Hmm, baiklah! Mas angkat telepon dulu yah, kamu tunggu di tempat tidur.” Calvin berusaha menahan gejolak di hatinya, mencoba fokus pada panggilan yang mengusik ketenangannya.Visha mengangguk, Calvin meraih ponselnya yang di simpan di atas meja. Saat nama ‘Bara’ muncul di layar ponsel, dia mendengus kesal.“Ah, sial! Mengganggu saja!” pekiknya kesal, sembari tetap mengangkat panggilan itu.“Hallo, bos?” sapa Bara.“Ya, ada apa? Apa kamu tidak punya kerjaan mengganggu saya?” Nada Calvin terdengar dingin, penuh kekecewaan.“Cal, ini Papah!” ucap Mahessa.“Papah!” Calvin terkejut, jantungnya berdebar kencang.
Calvin tertawa saat melihat wajah Visha yang gugup. "Apa kamu takut?" Visha mengangguk perlahan, meski begitu dia tak mau membuat Calvin kecewa. "Aku siap Mas!" jawab Visha, akhirnya. Calvin tersenyum, dia mengecup kening Visha perlahan. "Hemm, sayangnya Mas tidak akan melakukannya sekaranh. Oh yah, sayang... nanti siang persiapkan barang-barang Mas dan kamu yah, Mas akan ajak kamu pergi bulan madu!" "Bulan madu? Kai bagaimana Mas?" tanya Visha. "Sayang, Kai sementara sama orang tua kita dulu yah!" jawab Calvin, "Jangan khawatir, mereka pasti akan senang menjaga Kai." Visha terdiam sejenak, memikirkan hal itu. Dia tahu bahwa orang tua mereka sangat menyayangi Kai dan akan merawatnya dengan baik. Namun, tetap saja ada sedikit keraguan di hatinya. "Mas, apa kedua orang tua Mas nggak akan keberatan?" tanyanya. "Tentu tidak sayang," jawab Calvin, "Lagipula, kita tidak akan pergi terlalu lama. Hanya beberapa hari saja." Visha mengangguk, lega. "Baiklah Mas, aku persiapkan d