Visha menatap calon mertuanya dengan penuh kegugupan. “Nyonya...”“Visha! Jangan panggil Mama dengan sebutan Nyonya!” kata Mirra memotong, suaranya sedikit meninggi.“Tapi, Nyonya! Kenapa? Lantas Visha harus panggil apa?” tanya Visha, bingung.“Visha sayang, Mamahku ini, Mamah kamu juga, jadi mulai sekarang panggil Mamah juga yah?” pinta Calvin, berusaha menenangkan suasana.“Tapi Mas!” protes Visha, tetapi langsung dipotong oleh Calvin.“Sssttt... jangan membantah! Mas gak suka dibantah.”Visha mengangguk perlahan, mengerti. Dia lantas kembali bertanya, “Mamah, kenapa Ibu dipecat?”“Visha, Ibu kamu besan Mamah, masa seorang besan harus bekerja di rumah besannya sendiri, Mamah nggak mau!” jawab Mirra, nada suaranya tegas.“Jadi maksud Mamah?” tanya Visha, masih belum sepenuhnya memahami.“Asih, Visha... mulai sekarang kalian tetap tinggal di paviliun, dan urus Kai dengan baik. Soal pekerjaan, saya akan cari pekerja baru!” kata Mirra, mengakhiri percakapan.“Nyonya... saya ti
Visha menggeleng perlahan, dia melerai pelukan Calvin dan berusaha agar tenang. “Sha, siapa yang berbicara itu padamu? Apa itu, Greta?” cecar Calvin.Visha mengangguk perlahan, “Ya, Mas. Mbak Greta. Dia bahkan telah mempersiapkan rumah agar aku pergi ninggalin kamu.”“Maksud kamu? Apa Greta sebelumnya tahu tentang Kai?” lanjut Calvin bertanya.“Ya, dia tahu kalau Kai anak kamu, Mas.”“Astaghfirullah... jadi!” Calvin tak bisa melanjutkan kembali, terlalu banyak kebohongan yang Greta simpan.“Maaf Mas!” ucap Visha tak enak hati. Calvin kembali memeluk Visha. Andai saja malam itu Visha tidak jatuh, mungkin dia akan benar-benar kehilangan Visha dan anaknya. “Ya sudah, kamu tidur di sini!” perintahnya.“Eum ... kita berdua?” tanya Visha, ragu.Calvin tersenyum jahil lalu berkata, “Memangnya kamu mau tidur bareng?”“T-tidak!” tolak Visha, cepat.Keduanya saling menatap, hingga ciuman kembali Calvin kecupkan di bibirnya. “Tidurlah, aku tidak sabar menunggu pernikahan kita.”V
Di dalam kamar mandi, Visha buru-buru menyelesaikan mandinya. Dia berharap mandi akan membantunya menemukan jawaban atas kegelisahan yang menghantuinya.Beberapa menit berlalu, Visha keluar dari kamar Calvin. Dia terkejut kembali melihat pelayan yang tadi.“Ayok, Nona?” ajak pelayan itu. Visha kehabisan akal. Saat kedua pelayan wanita memakaikannya gaun berwarna putih, dia terkesima. Gaun itu bermanikkan berlian putih yang berkilauan.“Mbak, cantik sekali gaunnya! Apa ini pantas untukku?” tanya Visha gugup.“Sangat pantas, Nona. Apalagi kulit Nona sangat putih,” jawab pelayan itu.Visha sendiri tidak yakin. Dia duduk di depan cermin yang tertutup, sehingga dia tidak bisa melihat dirinya.“Mbak, jangan terlalu tebal ya? Aku tidak suka berdandan seperti ini!” kata Visha saat salah satu pelayan memakaikannya riasan.“Tentu, Nona. Saya akan membuat Anda secantik mungkin!” jawab pelayan itu dengan semangat.Visha akhirnya pasrah. Jari jemari kedua pelayan itu merias wajahnya dan
Visha kembali terkejut saat beberapa orang masuk ke dalam ruangan itu. Di antara mereka, Asih, ibunya, dan anaknya, Kai, terlihat jelas. "Ayok sayang?" ajak Calvin. Visha terharu, saat Calvin mengucapkan janji suci pernikahannya di depan pengghulu, Calvin berjanji akan menjaga Visha sepenuh hatinya. Saat ijab qabul telah selesai, Calvin perlahan mengecup kening Visha, dia berjanji dalam hatinya akan menjaga wanita yang telah banyak menderita karena kesalahannya. "Bunda," panggil Kai, suaranya bersemangat. Visha langsung memeluk erat anaknya, dia perlahan mengecup pipinya. "Bunda rindu sekali. Apa ini rencana Papah dan kamu?" tanya Visha, matanya berkaca-kaca. Kai mengangguk, mata bulatnya menatap Calvin seolah memberi isyarat. "Sepertinya anak Bunda mulai nakal deh!" seru Visha, berusaha menyembunyikan rasa harunya. Kai tersenyum tipis, dia lantas menyatukan kedua tangan ibunya. "Bunda, Papah, kalian janji jangan pisah lagi, ya?" pinta Kai, suaranya terdengar polos nam
Calvin tertawa saat melihat wajah Visha yang gugup. "Apa kamu takut?" Visha mengangguk perlahan, meski begitu dia tak mau membuat Calvin kecewa. "Aku siap Mas!" jawab Visha, akhirnya. Calvin tersenyum, dia mengecup kening Visha perlahan. "Hemm, sayangnya Mas tidak akan melakukannya sekaranh. Oh yah, sayang... nanti siang persiapkan barang-barang Mas dan kamu yah, Mas akan ajak kamu pergi bulan madu!" "Bulan madu? Kai bagaimana Mas?" tanya Visha. "Sayang, Kai sementara sama orang tua kita dulu yah!" jawab Calvin, "Jangan khawatir, mereka pasti akan senang menjaga Kai." Visha terdiam sejenak, memikirkan hal itu. Dia tahu bahwa orang tua mereka sangat menyayangi Kai dan akan merawatnya dengan baik. Namun, tetap saja ada sedikit keraguan di hatinya. "Mas, apa kedua orang tua Mas nggak akan keberatan?" tanyanya. "Tentu tidak sayang," jawab Calvin, "Lagipula, kita tidak akan pergi terlalu lama. Hanya beberapa hari saja." Visha mengangguk, lega. "Baiklah Mas, aku persiapkan d
Selesai bersih-bersih, saat Calvin akan mencium bibir Visha, ponselnya berdering.“Mas, angkat dulu teleponnya, siapa tahu penting!” ucap Visha.“Huhh! Mengganggu saja, harusnya tadi Mas matikan dulu teleponnya!” keluhnya kesal, tangannya masih terulur hendak meraih Visha.Visha terkekeh pelan, menarik hidung Calvin gemas. “Angkat dulu, kita bisa memulainya nanti bukan.”“Hmm, baiklah! Mas angkat telepon dulu yah, kamu tunggu di tempat tidur.” Calvin berusaha menahan gejolak di hatinya, mencoba fokus pada panggilan yang mengusik ketenangannya.Visha mengangguk, Calvin meraih ponselnya yang di simpan di atas meja. Saat nama ‘Bara’ muncul di layar ponsel, dia mendengus kesal.“Ah, sial! Mengganggu saja!” pekiknya kesal, sembari tetap mengangkat panggilan itu.“Hallo, bos?” sapa Bara.“Ya, ada apa? Apa kamu tidak punya kerjaan mengganggu saya?” Nada Calvin terdengar dingin, penuh kekecewaan.“Cal, ini Papah!” ucap Mahessa.“Papah!” Calvin terkejut, jantungnya berdebar kencang.
Visha mengecup pipi Kai yang Chubby, meski hatinya terasa resah akan kelangsungan pernikahannya dengan Calvin. “Kenapa ini bisa terjadi di saat bulan madu kami?” gumam Visha tak mengerti.Di perusahaan Calvin, sang ayah, Pak Mahessa, memutuskan untuk memantau perkembangan para klien di rumah mereka. “Kita harus selalu memantau saham perusahaan, Calvin. Situasi perusahaan sedang tidak baik,” ujar Pak Mahessa. Calvin, Bara, bahkan Greta pun ikut pulang ke rumah mereka. Setibanya di sana, Kai berlari saat melihat Calvin. “Papah, sudah pulang? Adik bayinya mana?” tanya Kai, “Papah, ayok kita bermain?” ajak Kai dengan riang. Calvin yang sedang emosi langsung membentak Kai. “Kai, diam! Jangan ganggu Papah!”“Mas!” teriak Visha, “Kenapa kamu marahin Kai? Dia tidak tahu apa-apa Mas!”Calvin menatap wajah Visha kesal, “Harusnya kamu jaga anakmu. Sudah tahu Mas sedang pusing memikirkan perusahaan!”“Anakku? Oh, kamu benar, dia anakku.” Visha terdiam, matanya berkaca-kaca.“Astagh
Visha berdecak kesal, matanya menatap layar ponsel yang menampilkan pesan dari Calvin. Jari-jarinya menekan tombol Power, mematikan layar yang menampilkan pesan yang membuatnya geram.“Menyebalkan, apa kamu pikir aku butuh uangmu!” gerutu Visha, suaranya meninggi. Dia melempar ponselnya ke atas ranjang, kepalanya tertunduk lesu.Visha enggan untuk menelepon kembali Calvin, apalagi menjelaskannya. Perasaannya campur, antara kesal, kecewa, dan sedikit takut.“Huhh! Kenapa jadi seperti ini?” gumam Visha, lelah. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.Asih kembali mendekati Visha. “Bagaimana, apa suami kamu mengizinkannya?” tanyanya, matanya penuh harap.Visha menggigit bibirnya, ragu untuk mengatakan yang sebenarnya. “Iyah Bu, Mas Calvin sudah mengizinkan Visha untuk menginap di rumah Ibu,” jawabnya berbohong.“Ya sudah, ayok bantu Ibu membereskannya rumah ini?” Asih tersenyum, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Visha.Keduanya seharian membereskan ruma