Pada malam harinya, Semua para tamu undangan hadir dalam acara pertunangan Calvin, mereka saling berbisik membisikan Calvin menyayangkan harus bertunangan dengan Greta. Namun, suasana penuh dengan kegembiraan dan ucapan selamat itu, terlihat jelas di wajah Greta.“Greet, selamat yah? Akhirnya kamu bertunangan juga dengan Calvin,” ucap sahabatnya.“Tentu, kami saling mencintai. Mungkin setelah pertunangan ini, kita akan melangsungkan pernikahan,” kata Greta, dengan percaya diri.Di sisi lain, kedua orang tua Calvin berdiri menyapa para tamu undangan, senyum merekah di wajah mereka, mencerminkan kebahagiaan yang meresap dalam jiwa. Namun, pada saat itu, mata Mirra tak sengaja melihat Kai yang berada di sana.“Astaghfirullah,” ucap Mirra terkejut, suaranya bergetar sedikit, saat melihat Kai yang mirip sekali dengan Calvin saat kecil. Rambut hitam legam, mata yang jelita, dan senyum yang menawan, seolah mencerminkan bayan
Tiba waktunya Calvin menghampiri pembawa acara dan Greta. Greta yang sedaritadi sudah berdiri di sana tersenyum menyambut Calvin dengan lega."Akhirnya kamu datang juga!" gumam Greta, suaranya terdengar lega.Di balik kerumunan para tamu, Visha meremas ujung bajunya. Hatinya berdegup kencang. Apakah kali ini Calvin benar-benar akan membatalkan pertunangan itu? Atau malah sebaliknya, dia mematahkan harapan Visha serta anak kandung mereka berdua?Namun, di salah satu kerumunan para tamu, tampak berdiri Raka, pria masa lalu Visha yang selama lima tahun ini masih menyimpan perasaan cinta untuknya."Tavisha!" gumamnya, terkejut. "Visha ada di sini? Apa aku salah lihat?" pikir Raka sembari terus mengucek matanya, berharap semua ini hanya mimpi.Namun, apa yang dia harapkan adalah sebuah kenyataan. Visha yang malam itu tampil dengan anggun membuat Raka benar-benar hampir saja tak mengenali dirinya.Dengan rasa penasaran, Raka menghampiri Visha dan meninggalkan Dewi, istrinya yang sedan
Calvin turun ke bawah, matanya terus menatap tajam Visha yang bergetar karena ketakutan. Visha menggeleng perlahan, berharap Calvin tidak percaya pada kata-kata Dewi.“Kalian semuanya harus tahu!” kata Calvin, meninggikan suaranya. Dia ingin semua tamu mendengar. “Saya punya bukti tes DNA— ya, anak kecil ini adalah anak kandung saya!”Visha kembali berkaca-kaca. Akhirnya, Calvin mempercayai ucapannya dan tak mempercayai apa kata Dewi.Calvin perlahan menghampiri Visha dan Kai yang sedang ketakutan. “Ayo sayang, sini sama Papah!” ucap Calvin, berusaha memenangkan hati Kai yang ketakutan.Mata kecil Kai menatap dalam bola mata Visha, ibunya. Menanti jawaban dari sang ibu, Visha mengangguk perlahan, membiarkan Kai berada dalam pelukan hangat ayahnya.Greta tak terima. “Calvin, wanita itu telah menipu kamu!” teriaknya.“Greta, diam!” bentak Calvin. “Aku tahu apa yang terjadi. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menghancurkan kebahagiaanku.”Visha menatap Calvin dengan penuh harap
Dewi mengelak, dia lantas menarik tangan Raka pergi dari ruangan itu. “Lepas!” teriak Raka, matanya memerah menahan amarah.“Mas, ayok kita pulang?” ajak Dewi, gugup. “Mereka... mereka salah, bukan aku yang mencelakakan Visha.” “Jadi kamu yang membuat Visha cacat? Jawab aku, Dewi!” teriak Raka.“Mas, kamu percaya sama omongan mereka?” balas Dewi tak kalah teriaknya. “Oh... atau jangan-jangan kamu selama ini masih cinta sama wanita pelacur itu!”“Ya, aku masih cinta! Bahkan sampai detik ini!” jawab Raka, suaranya bergetar menahan emosi.Visha terkejut dengan ucapan Raka, tetapi Calvin yang berdiri di sampingnya segera meraih tangan Visha.“Ayok, sayang? Sebaiknya kamu istirahat!” titahnya. “Bu Asih, tolong bawa Visha ke dalam kamarnya!”“Baik Den!” jawab Asih, dia segera memapah tubuh anaknya.“Visha ... tunggu,” sergah Raka, dia hendak mengejar Visha, tetapi Calvin langsung mencegahnya.“Sebaiknya Anda pergi, Pak Raka!”“Brengsek!” pekik Raka, tangannya memukul wajah Calv
Calvin tertunduk, tak bisa menjawab pertanyaan ayahnya.“Apa kamu melakukan perbuatan bejat ini, Calvin!” teriak Mahessa.“Iyah, Pah! Visha hamil gara-gara jebakan itu!” jawab Calvin, suaranya bergetar gugup.“Astaghfirullah ...,” ucap kedua orang tuanya, wajah mereka dipenuhi keputusasaan.“Maafkan Calvin, Papah, Mamah ... Calvin dijebak,” ungkapnya lirih, matanya berkaca-kaca.“Papah benar-benar kecewa sama kamu, Vin! Bagaimana bisa kamu membuat Visha dan anak kamu selama ini di luaran sana menanggung beban sendiri?” tanya Mahessa, suaranya bergetar menahan amarah.“Calvin sudah berusaha mencari Visha, Pah... tapi Calvin kehilangan jejaknya, dan baru kali ini Calvin menemukan mereka,” jawab Calvin, berusaha menjelaskan.Visha yang berada di samping menggenggam erat tangan Calvin, memberikan kekuatannya. Matanya menatap Calvin dengan penuh kasih dan pengertian. Dia tahu betapa berat beban yang dipikul Calvin saat ini.“Asih, kenapa kamu tidak cerita ke kami sejak awal? Kalau
Visha menatap calon mertuanya dengan penuh kegugupan. “Nyonya...”“Visha! Jangan panggil Mama dengan sebutan Nyonya!” kata Mirra memotong, suaranya sedikit meninggi.“Tapi, Nyonya! Kenapa? Lantas Visha harus panggil apa?” tanya Visha, bingung.“Visha sayang, Mamahku ini, Mamah kamu juga, jadi mulai sekarang panggil Mamah juga yah?” pinta Calvin, berusaha menenangkan suasana.“Tapi Mas!” protes Visha, tetapi langsung dipotong oleh Calvin.“Sssttt... jangan membantah! Mas gak suka dibantah.”Visha mengangguk perlahan, mengerti. Dia lantas kembali bertanya, “Mamah, kenapa Ibu dipecat?”“Visha, Ibu kamu besan Mamah, masa seorang besan harus bekerja di rumah besannya sendiri, Mamah nggak mau!” jawab Mirra, nada suaranya tegas.“Jadi maksud Mamah?” tanya Visha, masih belum sepenuhnya memahami.“Asih, Visha... mulai sekarang kalian tetap tinggal di paviliun, dan urus Kai dengan baik. Soal pekerjaan, saya akan cari pekerja baru!” kata Mirra, mengakhiri percakapan.“Nyonya... saya ti
Visha menggeleng perlahan, dia melerai pelukan Calvin dan berusaha agar tenang. “Sha, siapa yang berbicara itu padamu? Apa itu, Greta?” cecar Calvin.Visha mengangguk perlahan, “Ya, Mas. Mbak Greta. Dia bahkan telah mempersiapkan rumah agar aku pergi ninggalin kamu.”“Maksud kamu? Apa Greta sebelumnya tahu tentang Kai?” lanjut Calvin bertanya.“Ya, dia tahu kalau Kai anak kamu, Mas.”“Astaghfirullah... jadi!” Calvin tak bisa melanjutkan kembali, terlalu banyak kebohongan yang Greta simpan.“Maaf Mas!” ucap Visha tak enak hati. Calvin kembali memeluk Visha. Andai saja malam itu Visha tidak jatuh, mungkin dia akan benar-benar kehilangan Visha dan anaknya. “Ya sudah, kamu tidur di sini!” perintahnya.“Eum ... kita berdua?” tanya Visha, ragu.Calvin tersenyum jahil lalu berkata, “Memangnya kamu mau tidur bareng?”“T-tidak!” tolak Visha, cepat.Keduanya saling menatap, hingga ciuman kembali Calvin kecupkan di bibirnya. “Tidurlah, aku tidak sabar menunggu pernikahan kita.”V
Di dalam kamar mandi, Visha buru-buru menyelesaikan mandinya. Dia berharap mandi akan membantunya menemukan jawaban atas kegelisahan yang menghantuinya.Beberapa menit berlalu, Visha keluar dari kamar Calvin. Dia terkejut kembali melihat pelayan yang tadi.“Ayok, Nona?” ajak pelayan itu. Visha kehabisan akal. Saat kedua pelayan wanita memakaikannya gaun berwarna putih, dia terkesima. Gaun itu bermanikkan berlian putih yang berkilauan.“Mbak, cantik sekali gaunnya! Apa ini pantas untukku?” tanya Visha gugup.“Sangat pantas, Nona. Apalagi kulit Nona sangat putih,” jawab pelayan itu.Visha sendiri tidak yakin. Dia duduk di depan cermin yang tertutup, sehingga dia tidak bisa melihat dirinya.“Mbak, jangan terlalu tebal ya? Aku tidak suka berdandan seperti ini!” kata Visha saat salah satu pelayan memakaikannya riasan.“Tentu, Nona. Saya akan membuat Anda secantik mungkin!” jawab pelayan itu dengan semangat.Visha akhirnya pasrah. Jari jemari kedua pelayan itu merias wajahnya dan