Visha kembali ke kamar dengan piring berisi nasi goreng hangat. Dia mendapati Kai, yang ceria, sedang asyik menggambar bersama Calvin. Suasana kamar yang tadinya sepi, kini terasa hangat dengan tawa dan obrolan kecil antara ayah dan anak itu.“Kai, ayok sayang katanya mau makan?” tawar Visha dengan nada lembut, berusaha memecah keseruan yang tengah terjadi“Ok Bunda!” seru Kai antusias, segera meninggalkan krayon dan kertas gambar di lantai.“Papah Kainya enggak ditawari?” goda Calvin dengan kerlingan nakal, matanya berbinar menantang Visha yang tampak terganggu.Visha hanya berdecak kesal. Perasaannya masih belum sepenuhnya pulih dari pertengkaran kecil mereka pagi itu. Hatinya yang dingin tak semudah itu luluh hanya karena rayuan singkat Calvin.“Papah, ayok?” ajak Kai, tidak menyadari ketegangan yang terjadi, sambil menarik lengan Calvin agar segera bergabung di meja makan.Dengan langkah gontai, Calvin menghampiri meja dan duduk di sebelah Kai yang sudah bersemangat dengan
Calvin masih berdiri di depan Visha, matanya menatap tajam wanita yang tanpa status, namun telah menjadi ibu dari anaknya. Dia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Visha, wanita yang telah mengisi hatinya, tidak memiliki ikatan resmi dengannya. “Terima kasih nasi gorengnya, aku sangat menyukainya,” ucap Calvin, berusaha bersikap biasa. “Oh yah, besok siang aku ingin mengajak kamu ke dokter.” “Dokter? Untuk apa Tuan?” tanya Visha, raut wajahnya penuh tanda tanya. Calvin tersenyum jahil. “Memeriksakan otakmu.” “Otakku, memangnya otakku kenapa?” tanya Visha, polos. Dia tidak mengerti maksud Calvin. Calvin terkekeh, lalu mencubit hidung Visha yang kecil, membuat Visha mengerutkan kening. “Aku bercanda, nanti juga kamu tahu. Ya sudah, aku ke kamar dulu.” Sebelum Calvin pergi, hatinya berbisik untuk memeluk Visha. Dia tidak tahu kenapa, tetapi dia ingin merasakan kehangatan tubuh Visha. Dan tanpa sadar, dia pun melakukannya. Visha terkejut, tubuhnya menegang. “T-tuan!” uc
Namun, Calvin yang diliputi rasa cemburu segera memboyong tubuh Visha ke atas ranjang. "Tuan, lepaskan!" teriak Visha putus asa, suaranya bergetar hebat. Kejadian malam nahas lima tahun yang lalu, seolah terulang kembali. "Aku tidak akan melepaskan kamu!" Ancam Calvin, suaranya terdengar dingin, menunjukkan rasa marah. Dia menjatuhkan tubuh mungil Visha di atas ranjang. "Tuan, jangan lakukan ini kembali, aku mohon... ini salah!" ucap Visha lirih, suaranya penuh keputusasaan. Calvin yang dibakar api cemburu segera meraih tubuh Visha dan menciuminya. Visha terisak, hanya bisa memukul punggung Calvin berulangkali. Namun, tangisan Visha membuat Calvin sadar dengan tindakannya. "Berhenti! Saya mohon jangan lakukan ini lagi?" "Maaf," ucapnya lirih, suaranya terdengar menyesal. Dia menyelimuti tubuh Visha yang telah terbuka. Visha masih terisak penuh ketakutan. "Kenapa Anda melakukan ini lagi? Belum cukup lima tahun lalu Anda membuat hidup saya hancur, Tuan?" tanya Visha, suar
Cahaya lampu tidur yang remang-remang menerangi kamar kecil Kai. Di atas ranjang Kai sudah terbaring dengan selimut menutupi tubuh mungilnya. Calvin duduk di sampingnya, tangannya terulur mengelus lembut rambut Kai yang lebat. Visha yang duduk di sisi ranjang yang lain, matanya tak lepas dari kedua orang itu.“Astaghfirullah, Kai ... kenapa kamu jadi manja seperti ini sih!” gerutu Visha dalam hati, kesal.Calvin, dengan senyum tipis, hanya menggeleng pelan. Anaknya ini selalu saja tahu cara mendekatkan dirinya dan ibu kandungnya.“Papah?” panggil Kai, suaranya mengantuk.“Ya, sayang? Ada apa?” tanya Calvin, suaranya lembut.“Kapan Kai punya Adek?”Visha tersentak, jantungnya berdebar kencang. “Uhuk!” Dia terbatuk, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.Calvin, melihat reaksi Visha, menahan tawa. “Kenapa, Bundanya Kai?” tanyanya, matanya berbinar. “Tidak... aku tidak kenapa-kenapa!” jawab Visha, gugup.“Bunda?” panggil Kai lagi.“Ah, iya sayang?” sahut Visha, suaranya ter
Pagi itu, aroma nasi goreng yang harum memenuhi ruang makan keluarga Calvin. Asih tersenyum melihat Calvin menikmati sarapan bersama kedua orang tuanya yang selalu sibuk pergi ke luar negeri. Meskipun kedua orang tua Calvin sibuk, mereka berdua selalu berusaha meluangkan waktu untuk berkumpul bersama.Visha yang sedang membantu Asih, tersenyum tipis saat Calvin menatapnya. Tatapan Calvin yang hangat membuat pipinya merona.“Visha!” panggil Asih.Visha tersentak, gugup. “Ah, iya Bu. Ada apa?” tanyanya.“Sha, apa kamu menyukai Den Calvin?” Asih bertanya dengan lembut, namun ada kekhawatiran tersirat dalam suaranya.Visha terdiam sejenak, jantungnya berdebar kencang. “Tidak Bu,” jawabnya pelan.“Sayang, kita harus sadar diri. Den Calvin dan kita jauh berbeda. Ibu tidak mau kamu sampai dihina dan terluka karena status kita yang berbeda,” ujar Asih, suaranya sedikit bergetar.Visha mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Visha mengerti, Bu.”“Syukurlah, maafkan Ibu ya?” Asih mengusap le
Visha dan Calvin saling menatap, sebuah keheningan canggung menyelimuti mereka. Calvin berjanji pada dirinya sendiri untuk mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkan rahasia masa lalunya, tentang anak yang pernah dia miliki kepada kedua orang tuanya. Namun, hati Visha dipenuhi keraguan. Keadaan kakinya yang cacat membuatnya merasa tidak pantas untuk bersanding dengan Calvin, pria tampan dan sukses yang juga seorang CEO muda.“Mas,” panggil Visha, suaranya sedikit gemetar.Calvin menoleh, matanya bertemu dengan tatapan Visha yang penuh keraguan. “Ya?” tanyanya lembut, berusaha menenangkan Visha. “Ada apa?”“Eumm, aku titip Kai, boleh?” pinta Visha, matanya tertuju pada anak kecil mereka yang sedang asyik bermain.“Memangnya kamu mau ke mana?” tanya Calvin, rasa penasaran terpancar dari suaranya.“Kerja, Mas. Ke mana lagi, nanti jika Ibu sudah selesai bekerja, Ibu pasti akan mengambil Kai,” ucap Visha, berusaha bersikap biasa saja.“Kerja? Tidak! Mulai hari ini kamu diam di
Pada malam harinya, Semua para tamu undangan hadir dalam acara pertunangan Calvin, mereka saling berbisik membisikan Calvin menyayangkan harus bertunangan dengan Greta. Namun, suasana penuh dengan kegembiraan dan ucapan selamat itu, terlihat jelas di wajah Greta.“Greet, selamat yah? Akhirnya kamu bertunangan juga dengan Calvin,” ucap sahabatnya.“Tentu, kami saling mencintai. Mungkin setelah pertunangan ini, kita akan melangsungkan pernikahan,” kata Greta, dengan percaya diri.Di sisi lain, kedua orang tua Calvin berdiri menyapa para tamu undangan, senyum merekah di wajah mereka, mencerminkan kebahagiaan yang meresap dalam jiwa. Namun, pada saat itu, mata Mirra tak sengaja melihat Kai yang berada di sana.“Astaghfirullah,” ucap Mirra terkejut, suaranya bergetar sedikit, saat melihat Kai yang mirip sekali dengan Calvin saat kecil. Rambut hitam legam, mata yang jelita, dan senyum yang menawan, seolah mencerminkan bayan
Tiba waktunya Calvin menghampiri pembawa acara dan Greta. Greta yang sedaritadi sudah berdiri di sana tersenyum menyambut Calvin dengan lega."Akhirnya kamu datang juga!" gumam Greta, suaranya terdengar lega.Di balik kerumunan para tamu, Visha meremas ujung bajunya. Hatinya berdegup kencang. Apakah kali ini Calvin benar-benar akan membatalkan pertunangan itu? Atau malah sebaliknya, dia mematahkan harapan Visha serta anak kandung mereka berdua?Namun, di salah satu kerumunan para tamu, tampak berdiri Raka, pria masa lalu Visha yang selama lima tahun ini masih menyimpan perasaan cinta untuknya."Tavisha!" gumamnya, terkejut. "Visha ada di sini? Apa aku salah lihat?" pikir Raka sembari terus mengucek matanya, berharap semua ini hanya mimpi.Namun, apa yang dia harapkan adalah sebuah kenyataan. Visha yang malam itu tampil dengan anggun membuat Raka benar-benar hampir saja tak mengenali dirinya.Dengan rasa penasaran, Raka menghampiri Visha dan meninggalkan Dewi, istrinya yang sedan