Waktu yang Hilang- Bukan Mantan"Laki-laki apa perempuan?" tanya Melati pada gadis berjilbab hitam di depannya."Perempuan, Mbak.""Oke, suruh tunggu sebentar, ya." Selama di Jogja, Melati tidak memiliki teman dekat. Kenal hanya sepintas saja karena seringnya mereka ke kafe. Cuma say hello, ngobrol sejenak, gitu saja. Terkadang ada juga langganannya tukang daging itu yang sering mengajak anak dan istrinya makan di kafe. Tapi jarang memanggilnya, biasa Melati yang menghampiri untuk menyapa mereka. Kalau pun ada yang booking tempat atau mau pesan makanan, biasanya langsung ke karyawan nanti baru pekerjanya yang menyampaikan kepada Melati.Setelah anak buahnya pergi, Melati mengangkat nampan. Dia harus mengutamakan meladeni makan malam untuk suaminya lebih dulu.Di luar, Saga menunggu di salah satu bangku kosong paling tepi di bawah pohon bunga tabebuya. Lelaki itu tersenyum pada sang istri yang menghampiri sambil membawa nampan.Menu yang sederhana. Semangkuk sayur pakis, tempe goren
Kalau langsung diberitahu, pasti Saga bakalan kaget. Merusak suasana makan malam mereka. Walaupun Saga pernah bilang tidak memiliki perasaan pada Alita, tapi bagaimanapun juga mereka dulunya adalah teman kuliah. Bahkan Saga pernah menyetujui dijodohkan dengan gadis itu. Kalau setuju menikah, berarti siap hidup dengan Alita selamanya.Ketika tengah menikmati makan malam dan berbincang dengan sang istri. Ponsel Saga berdering. Ada panggilan dari Bu Ariana."Assalamu'alaikum, Bulek.""Wa'alaikumsalam, Ga. Kamu sudah pulang?""Iya, saya di kafe sekarang.""Tadi siang kamu ketemu Gama di kantor?""Iya.""Bulek cuman mau ngasih tahu. Gama memang agak angkuh, Ga. Kamu nggak usah kaget dengan apapun yang dia ucapkan. Ambisinya terlalu tinggi. Dia ingin menguasai banyak hal. Dipikir berkarir di luar negeri bisa menjadikannya jauh lebih besar, makanya dia meninggalkan perusahaan, meninggalkan istri dan anaknya. "Tapi kenyataannya dia gagal. Karir gagal, rumah tangga pun berantakan. Sekarang dia
Waktu yang Hilang- Cemburu Alita yang hendak ke kamar mandi berdiri terpaku memandang Saga. Kaget karena bertemu laki-laki itu di Jogja sini, apalagi di kafenya Melati. Tadi Melati tidak memberitahu kalau ada Saga di kafenya.Saga mengulurkan tangan. "Apa kabar, Alita?""Kabar baik," jawab gadis itu gugup sambil menyambut uluran tangan Saga. "Kamu ada di sini, Ga.""Ya, aku sudah hampir enam bulan tinggal di Jogja."Perempuan itu tampak heran sekaligus juga bingung, tapi ada binar bahagia pada tatapannya. Kenapa Saga ada di kafe Melati juga? Apa seperti dirinya yang sengaja datang karena tahu kalau kafe itu milik Melati? Mantan kakak ipar Saga sendiri."Aku dan Melati menikah belum ada seminggu."Alita makin terbeliak kaget. Bibirnya sampai membentuk huruf O seraya menatap serius pada Saga.Pada saat yang bersamaan, muncul Melati dari dalam. Wanita itu pun kaget karena tiba-tiba saja Alita sudah ada di dekat suaminya. Dipikir sudah pergi karena kafe mau tutup."Sayang, sini!" Saga m
Melihat Saga melangkah ke arahnya, Melati buru-buru meletakkan bunga di meja kasir lantas mematikan lampu ruang depan dan melangkah menghampiri sang suami."Kok lama banget," tegur Saga."Aku sengaja nungguin dia sampai jalan menjauh, Mas. Kasihan pulang sendirian.""Alita sudah terbiasa seperti itu," jawab Saga sambil menggandeng tangan istrinya untuk naik ke lantai atas."Mas, kok tahu?""Dia anak metropolitan. Lahir besar di Surabaya. Jadi sudah terbiasa dengan aktivitas malam di kota besar."Benar juga. Bukan seperti dirinya yang lahir, besar, di kaki gunung. Habis maghrib masuk rumah, ngunci pintu, dan baru keluar lagi kalau matahari sudah menampakkan diri. Bukan takut ada penjahat atau orang iseng. Tapi karena sudah kebiasaan hidup di desa seperti itu, apalagi yang jauh dari perkotaan. Habis Maghrib atau setidaknya setelah salat isya, suasana sudah sunyi. Biasanya yang suka berkumpul dan ngobrol di luar itu kaum laki-laki. Bagi perempuan, bergerombolnya kalau siang. Itu pun bagi
Waktu yang Hilang- Batas Kesabaran "Perempuan siapa, Ma?" tanya Pak Norman sambil menatap istrinya. Dia paling tidak suka jika diajak ribut untuk membahas persoalan lama.Bu Rista diam. Tentu saja kehadiran Bu Ariana sangat mengusiknya."Kita ini sudah tua. Kenapa harus mengungkit-ungkit permasalahan yang sudah lewat tiga puluh tahun yang lalu. Mama, nggak lelah?"Masih diam."Sefatal itu kesalahanku di matamu?" Pak Norman menarik napas panjang seraya mengalihkan perhatian. "Papa memang pernah breng*ek, tapi tidak cukupkah puluhan tahun mama memberikan hukuman? Mama, nggak capek dengan dendam yang bersemayam nggak ada habisnya.""Bagaimana bisa selesai, setelah dia tiada pun, Papa masih menyimpannya dengan rapi dalam hati."Pak Norman menghela nafas berat. Sebab Bu Rista tidak pernah berusaha memenangkan hatinya. Yang ia tunjukkan hanya dendam dan pembalasan. Tidak terhadapnya saja, tapi pada orang-orang yang dekat dengan Ariani. Pada Saga yang selalu terancam keselamatannya. Demi
Saga telah menyelesaikan sarapan. Melati bangkit untuk mengambil jaket dan ponsel suaminya di kamar. Keduanya beriringan menuruni tangga. "Aku sebenarnya khawatir, setelah Mas cerita mengenai sepupu Mas kemarin."Keduanya berhenti di tengah kafe."Apa yang kamu cemaskan?" "Kepikiran saja setelah peristiwa-peristiwa yang dulu itu. Dikeroyok preman, terluka berkali-kali, nyawa Mas terancam." Gurat kecemasan tampak di wajah Melati. Bayangan Saga yang selalu menemuinya dengan luka memanjang di punggung, seolah tampak lagi di depan mata. Darah segar mengalir dari bekas tusukan atau sabetan, membuat Melati merinding dalam rasa cemasnya. Rasa takut kehilangan memuncak dalam dada. Gama tentunya lebih cerdik dan leluasa bergerak daripada Bu Rista yang hanya bisa menyewa preman."Tak perlu khawatir. Aku tidak memiliki masalah dengan Gama.""Tapi lebih mengkhawatirkan lagi kalau dia menganggap Mas itu masalah baginya."Saga menangkupkan telapak tangannya pada kedua sisi wajah sang istri. Membu
Waktu yang Hilang- Penuh Kenangan 1"Aku berharap hari ini Mama Rista ikut ke sini. Biar beliau tahu keluarga Mas di sini. Biar nggak memandang rendah lagi anak yang ia sia-siakan sejak kecil," kata Melati saat ia dan Saga masih bersiap-siap di kamar. Saga tersenyum. "Tidak mungkin beliau ikut, Sayang. Kebencian sudah mendarah daging dalam jiwanya," jawab Saga sambil menatap istrinya. "Damage dari sebuah pengkhianatan sungguh luar biasa. Lukanya berdarah sepanjang hidup. Bahkan ibuku membawa permasalahan yang tak pernah selesai hingga beliau tiada," lanjut laki-laki itu.Melati berdiri dan memeluk suaminya. "Jangan salahkan ibu. Nggak ada satu pun perempuan yang mau hidup seperti ini, Mas. Lagian Mas sudah tahu awal mula kisah mereka itu seperti apa.""Ya. Berawal dari papa yang nggak mau jujur pada ibu atau pun Mama Rista." Hening. Tangan Melati masih melingkar di pinggang Saga. Pipinya bersandar pada dada bidang suaminya."Ayo, kita turun. Papa sudah menunggu." Melati hendak mena
Tatapan Melati menerawang. "Terkadang aku masih takut jika dikhianati lagi. Aku sudah pernah merasakan bagaimana hancur dan kehilangan rasa percaya diri."Saga memandang istrinya. "Siapa yang kamu takutkan akan mengkhianatimu?""Mas," jawab Melati cepat. Jujur saja, kadang dalam diamnya ada kekhawatiran itu. Bagaimana jika tiba-tiba saja Saga kepincut dengan seorang perawan. Teman kuliahnya, rekan kerja, atau pada rekan lama yang baru bertemu lagi sekarang. Alita tentunya.Senyum menghiasi bibir Saga. "Kamu pikir aku doyan dengan semua perempuan? Memilikimu sudah cukup bagiku."Saat kamu menikah dengan Mas Akbar, aku tidak pernah kehilangan perasaanku terhadapmu. Padahal kala itu belum tentu aku bisa bersamamu. Bahkan aku masih berusaha untuk menyelamatkan pernikahan kalian. Hingga akhirnya kita dipertemukan lagi dengan cara yang luar biasa."Keduanya diam sesaat. Mengingat banyaknya pengkhianatan disekitarnya, pernah mengalaminya sendiri, membuat Melati memiliki kekhawatiran berlebih