Waktu yang Hilang- Pernikahan Akbar termenung menatap pekat malam dari balik jendela kamarnya. Ia duduk tepat menghadap ke jendela yang terbuka. Angin malam berembus masuk, menambah dingin suasana kamar.Di antara semua luka dan rasa kecewa, inilah yang bakal menjadi lukanya sepanjang hayat. Sesalnya luas tak berbatas. Meraih kembali hati Melati adalah kemustahilan. Sekarang pemiliknya merupakan rival terberat. Saga mungkin tidak memiliki harta, tapi Saga mempunyai kekayaan jiwa. Nasi sudah menjadi bubur. Segalanya hancur lebur karena pengkhianatannya. Miris, apa yang ia dapatkan dari pengkhianat itu hanya perempuan ja*ang tak mempunyai kehormatan. Mengingat siapa Nara, membuat Akbar merinding. Nara tak sebanding dengan Melati yang suci.Akbar menarik napas dalam-dalam sambil memejam. Entah mau dibawa ke mana pernikahannya dengan perempuan itu. Sejak kejadian sore tadi, Nara tidak keluar kamar sama sekali. Tak lama kemudian terdengar ketukan di pintu kamarnya. Ketika ia membuka p
"Saya tadi menyarankan supaya Saga dan Melati mempercepat pernikahannya, Mas. Lebih cepat lebih baik. Jujur aku khawatir kalau putramu atau istrimu akan mengacaukan rencana mereka. Saya saranin agar menikah di sini saja. Daripada di Jogja juga ribet ngurus surat." Bu Ariana mulai membahas mengenai pernikahan Saga."Saya setuju." Pak Norman bisa santai saat berbincang. Tidak setegang seperti di rumahnya sendiri tadi."Mas, kan yang kenal sama pihak-pihak pamong di wilayah sini. Saya harap, Mas Norman yang membantu Saga mengurus surat-surat biar cepat."Pak Norman mengangguk-angguk. Tentu saja dia tidak akan keberatan mengurus pernikahan putranya. Hal yang semestinya dibicarakan dengan sang istri, seperti pernikahan Akbar waktu itu. Tapi untuk pernikahan Saga, ia membahasnya dengan adik ipar sebagai ganti ibunya Saga. Benar saja, rasanya ia seperti duduk dengan Bu Ariani untuk membicarakan pernikahan putra mereka."Pernikahan mau di adakan di mana? Di rumah ini atau papa sewakan gedung
Waktu yang Hilang- Panggilan Untukmu"Nanti kalau kita sampai di rumah harus ingat, jangan pulang ke rumah masing-masing. Kita ini manten betulan, bukan main manten-mantenan seperti di bawah pohon mangga dulu," kata Saga lirih setelah duduk di mobil. Sengaja menggoda istrinya.Melati yang duduk disebelahnya tersenyum lebar."Dulu tak ada malam pertama, tapi kali ini ada."Mendengar ucapan jahil sang suami, wajah Melati merona. Antara malu dan gemas. Dia tersipu sambil menatap suami yang masih menggenggam tangan kanannya. Sedangkan tangan kiri mencubit pinggang suaminya.Saga bergeming. Meringgis sakit pun tidak."Memangnya nggak sakit aku cubit?""Aku sudah pernah merasakan yang lebih dari ini. Dibabat pisau karena kebencian, dipukul dan dihajar berkali-kali karena dendam, itu sudah biasa. Kalau cubitan cintamu ini, justru membuatku bahagia."Meski mendelik, wajah Melati tetap merona merah. Saga tersenyum menatap wajah ayu yang kini jadi miliknya.Saga berhenti menggoda, saat Bu Aria
Pak Norman tersenyum getir dengan ucapan panjang lebar adik iparnya. Namun ia serasa mendapatkan siraman rohani yang menyejukkan kalbunya. Bu Ariana benar, kenapa membebani diri dengan permasalahan yang tidak pernah selesai. Padahal permasalahan itu bisa saja selesai bertahun-tahun yang lalu."Maaf, Mas Norman. Kok saya jadi nasehatin Mas, sih. Harusnya saya nggak ikut campur.""Nggak, Jeng. Saya malah berterima kasih," jawab laki-laki itu sambil tersenyum lantas segera pamitan.Rumah Budhe Tami kembali sepi tengah hari itu. Saga mengajak Melati ke belakang. Melewati kebun sang budhe kemudian tembus ke belakang rumah milik Melati. Kebun itu tidak seluas lahan di belakang rumah Saga yang langsung berbatasan dengan persawahan penduduk desa."Di sini kita pernah menikah." Saga berhenti dibawah pohon Mangga Arummanis yang masih rindang. Sayangnya tidak ada buah karena baru mulai berbunga.Melati menggelar tikar kecil dan mereka berdua duduk di sana. Menikmati semilir angin menjelang sore.
Waktu yang Hilang- Malam yang IndahMelati terkesiap dan sempat merinding sesaat. Namun berusaha kembali tenang dan membalas kecupan Saga. Menghalau jauh perasaan asing yang menelusup dalam dada. Sudah terbiasa dengan Saga hanya teman biasa, kini laki-laki itu telah menjadi suaminya.Malam pertama di kamar yang dulu ditempati Bu Ariani dan Pak Norman. Ranjang kayu jati dengan ukiran indah itu menjadi saksi menyatunya jiwa raga sepasang kekasih yang telah halal di hadapan Rabb-nya.Desir angin malam menjadi simfoni indah yang mengiringi percintaan teman masa kecil itu. Saling memberi, saling menerima. Berjuang bersama dan lelah bersama juga. Saga tidak pernah memandang Melati itu bekas siapa. Baginya Melati tetap putih, sebersih bunga-bunga melati yang bermekaran di halaman depan sana. Melati tetap seindah gadis kecil yang dulu sering diboncengnya ketika bermain bersama. Dan sekarang teman masa kecil itu menjalani ritual sakral di malam pernikahannya.Seandainya saja dulu Saga mau ber
Dipandang dari samping, Pak Norman melihat sosok Bu Ariani yang anggun. Dadanya berdesir. Buru-buru dialihkan perhatiannya pada sang putra dan mengajak Saga menyisih sejenak untuk bicara. Moana sedang bercanda dengan mamanya dan Mbah Putri Ariana. "Hari ini kalian balik ke Jogja?" "Ya, Pa. Rencananya sore nanti. Malam sampai Jogja. Besok pagi saya harus masuk kerja. Tak enak sudah beberapa hari ngambil cuti. Kuliah juga bolos beberapa kali.""Papa akan ngurusi semua biaya kuliahmu.""Tak perlu, saya juga punya gaji, Pa.""Pendidikanmu tanggungjawab papa. Gajimu untuk istrimu. Setelah ini kalian butuh tempat tinggal juga, kan?""Ya. Sebelum dapat kontrakan, sementara saya akan tinggal di kafe. Setelah ujian semester nanti, baru fokus nyari rumah kontrakan. Sebenarnya Bulek Ariana meminta saya tinggal bersamanya, tapi saya yang tidak enak. Sungkan."Saga diam sejenak."Bertemu beliau serasa saya bertemu dengan ibu lagi." Saga memandang halaman rumah peninggalan ibunya. Pak Norman ter
Waktu yang Hilang- Hidup Baru Kelopak mawar dan melati menguarkan aroma wangi saat terlumat oleh aktivitas malam mereka. Bunga berjatuhan di atas karpet yang berada di bawah tempat tidur. Perjalanan berjam-jam tadi tidak membuat mereka lelah untuk mendaki bersama yang berakhir dengan senyum bahagia.Saga mendekap erat tubuh ramping sang istri. Ranjang sempit itu membuat mereka tidak leluasa untuk mengambil jarak dan bergerak. "Bang, kenapa janggal banget aku manggil dengan sebutan Abang. Panggilan Mas lebih terdengar manis dan menyenangkan. Ingat, nggak? Waktu aku kecil dulu juga memanggilmu Mas Saga. Setelah menikah dengan Mas Akbar saja, aku memanggilmu tanpa embel-embel Mas.""Oke, kamu manggil Mas juga tidak apa-apa," jawab Saga mengalah."Bener, Mas ikhlas?" Melati bertanya untuk meyakinkan diri."Tentu saja, Sayang. Senyamannya kamu saja."Melati tersenyum. Jemarinya meraba punggung Saga. Parut dari bekas luka-luka itu masih ada di tubuh tegap suaminya. Dibalik badannya yang
Cekalan Saga tidak mengendur sama sekali. Dia suka menjahili istrinya. Menatap lembut yang membuat pipi Melati merona. "Nanti kamu telat, loh!" ulang Melati.Sebelum kembali terbuai, Saga segera bangkit dan mengambil jaket yang tergantung di balik pintu kamar. Meninggalkan baju kotornya di sana, karena mereka akan tinggal di kafe untuk sementara waktu. Ketika mengantarkan sang suami hingga di halaman depan kafe. Suasana masih gelap. Namun geliat aktivitas di jalan depan sana, sudah mulai padat. Saga mencium kening Melati sebelum pergi.***LS***"Mas Saga, pergi ke mana dalam beberapa hari nggak kelihatan pulang ke kosan?" tanya Farhana yang tiba-tiba muncul dengan pakaian olahraga. Calon dokter itu memang rajin lari pagi. Tentu menjaga kebugaran adalah prioritas utamanya. Sesuai dengan profesi yang dipilih.Saga yang hendak membuka pintu kamar kosnya menoleh. "Saya beberapa hari ini pulang ke Malang, Mbak.""Oh, pantesan. Soalnya mama juga nanyain, kenapa beberapa hari ini nggak na