Waktu yang Hilang- Ibu untuk MoanaMelati yang awalnya bicara tanpa menoleh, kini memandang Akbar karena terkejut. Namun segera bisa menguasai diri. Senyum terbit di bibir wanita cantik itu. "Maaf aku nggak bisa ikut campur, Mas. Pendapat papa dan mamanya Mas Akbar jauh lebih penting. Tapi bagiku Tini perempuan baik. Dia tulus menyayangi Moana sejak bayi. Kalau Mas ingin menikahinya, jangan sakiti dia. Tini itu sangat polos."Akbar menunduk. Ternyata Melati memang menyimpan luka yang teramat dalam. Itulah alasan kenapa dia menolak diajak rujuk. Bahkan masih sempat mengultimatum supaya dia tidak mengkhianati Tini. Melihat caranya berbicara dan menjaga jarak darinya. Mungkin rasa untuknya sudah tidak tersisa? Cintanya sudah menjadi milik Saga sepenuhnya."Aku hanya ingin menikah dengan perempuan yang bisa menyayangi Moana.""Aku percaya, Mas pasti memikirkan kebahagiaan Moana. Tini wanita yang nggak neko-neko. Bukankah kita sudah tahu bagaimana dia selama ini. Moana juga menyayanginya
Melati menggeleng. "Saya khawatir nggak nemu pengasuh seperti Tini, Ma. Yang sangat sayang sama anak-anak," jawab Melati sambil menoleh pada Tini yang duduk di samping Bu Rista, kemudian menatap Akbar sekilas."Bulek Ariana sebenarnya mau nyariin pengasuh, Ma. Cuman ditolak oleh Melati." Saga menimpali."Tapi ya nggak apa-apalah. Lagian sudah banyak pekerja di kafe. Jadi Melati nggak harus repot-repot turun tangan langsung di kafe dan bisa fokus merawat Shaka," ujar Bu Rista.Melati tersenyum samar. Mungkin ibu mertuanya itu memang sudah banyak berubah. Buktinya ia tidak ingat bagaimana dulu ia memaksa Melati agar menyerahkan bayinya pada pengasuh. Dengan alasan supaya dia bisa membantu Akbar di perkebunan. Padahal sebenarnya agar ia tidak setiap menit bertemu dengan menantu yang tidak disukainya di rumah besar mereka. Supaya ia bisa selalu bersama dengan cucu yang sangat didambakannya.Bu Rista lebih percaya pada pengasuh yang bisa ia kendalikan daripada menantu yang melahirkan sang
Waktu yang Hilang- Pertemuan di Jogja Pak Norman sama Bu Rista sampai kaget saat Saga mencari jeda percakapan mereka dan bicara pada Alita. Saga meminta maaf karena ingin mengajak papa dan mamanya serta Akbar pergi ke rumah kerabatnya."Maaf, kami harus pergi sekarang!" "Oh iya, nggak apa-apa. Aku tadi mau beli steak." Alita merasa jengkel melihat Saga yang menunjukkan wajah dingin terhadapnya. Masa iya tidak sopan dengan memotong keseruan percakapan mereka.Gadis itu menyalami Pak Norman, Bu Rista, dan Akbar. Kemudian memesan makanan pada seorang pelayan perempuan. Akbar pun heran dengan sikap Saga. Namun tidak berkomentar apa-apa dan langsung melangkah ke luar kafe sambil menggandeng Moana.Akhirnya mereka berangkat ke rumah Bu Ariana dengan mengendarai mobilnya Akbar. Saga yang pegang kemudi dan Akbar duduk disebelahnya sambil memangku Moana. Di bangku tengah ada Pak Norman sama Bu Rista yang memangku Shaka. Bangku belakang, Melati dan Tini.Karena capek, Moana ketiduran di pan
Bu Rista memandang Pak Norman yang tengah diajak berbincang oleh Pak Wira. Sungguh hebat mantan suaminya itu, dia bisa menggaet putri seorang bangsawan berdarah biru, padahal sudah jelas statusnya yang telah beristri dan memiliki satu anak. Bahkan berhasil menjadikan wanita itu istri keduanya.Sekarang Akbar juga tahu, kalau Saga memang berasal dari keluarga ningrat yang penuh adab dan saling menghargai. Salut pada mereka yang menerima Saga dengan tangan terbuka. Akbar melirik sekilas pada Melati. Ibu dari putrinya itu tidak salah mengambil keputusan menikah dengan Saga. Hidup dengan Saga sungguh jauh berbeda dengan hidup bersamanya. Dari cara memandang dan bicara saja ia bisa merasakan bagaimana besarnya cinta Saga untuk Melati. Apakah memang sejak dulu Saga diam-diam menyukai Melati? Ah, tidak mungkin. Kala itu Saga masih berusaha memperjuangkan supaya hubungannya dengan Melati tidak kandas. Bahkan Saga pun pernah berkata, andai ada niatan Melati untuk rujuk dengannya, Saga tidak a
Waktu yang Hilang- MelamarmuAkbar memperhatikan Tini yang melangkah memasuki gerbang sekolahan sambil menggandeng Moana. Tampak beberapa wali murid di sana menyapanya dengan ramah. Anak-anak juga berlarian menghampiri Moana, setelah itu mereka tersenyum dan tertawa bersama. Entah apa yang mereka omongkan hingga terasa lucu.Ditariknya napas dalam-dalam dan mengalihkan perhatian pada jalanan yang sibuk.Semalaman bahkan sudah hampir dua bulan ini ia sudah memikirkan tentang keputusannya pagi ini. Jika ia menunggu sampai benar-benar melupakan, maka tidak akan pernah ada keputusan.Berusaha bangkit dari keterpurukan yang memporak-porandakan perasaannya. Jika dulu ia berkuasa atas semuanya, bahkan ia tidak peduli dengan perasaan Melati, tapi kini dialah orang yang paling tidak berdaya.Melati sudah bahagia dan dia masih sekarat di tempat. Akbar menoleh ketika ada ketukan di kaca mobil. Segera ia membukanya."Mas, tunggu sebentar sampai Moana masuk kelas ya. Sebab mau ada pengumuman dar
Debaran dada Tini kian bergemuruh. Tubuhnya terasa panas dingin. Jemarinya saling bertaut dan gemetar. Padahal Akbar belum bicara apa-apa. "Ten-tentang apa, Mas?" tanya Tini terbata.Akbar diam sejenak. Kemudian kembali bicara. "Saya ingin melamarmu untuk jadi ibunya Moana."Tini terhenyak juga meski awalnya sudah menduga-duga. Wajahnya mungkin sudah memucat, karena kulitnya yang sawo matang membuat perubahan itu tidak begitu kentara."Sa-saya jadi bingung, Mas." Entah apalah yang Tini ucapkan karena terlanjur kelu lidahnya. Bahkan ia tidak berani memandang sang majikan dihadapannya."Saya serius. Moana sudah sangat dekat denganmu. Saya percaya kamu sangat menyayangi Moana."Hening. Tini terasa kikuk. Menjadi ibunya Moana berarti menjadi istrinya Akbar. Mimpi apa semalam, ternyata pagi ini ia mendengarkan sesuatu yang sudah ia ketahui dua bulan yang lalu. Dan hampir ia lupakan karena baginya itu hanya sebuah kemustahilan."Apa saya pantas, Mas Akbar. Saya hanya gadis lulusan SMA. Ngg
Waktu yang Hilang- Percakapan Tengah Malam[Sudah tidur apa belum, Tin? Lomba mewarnai kemarin Moana dapat juara, nggak?]Tini sampai lupa mau memberitahu Melati kalau Moana dapat juara dua kemarin. Pikirkannya yang montang-manting membuatnya tak sempat mengabari. Biasanya Tini selalu cepat mengirim pesan pada Melati.Dinyalakannya kembali lampu kamar. Dengan cepat ia mengambil foto piala yang dipajang di atas meja belajar Moana. Diketiknya balasan dengan cepat.[Maaf, Mbak Mel. Saya sampai lupa mau ngabari. Alhamdulillah, Moana dapat juara dua kemarin. Ini pialanya.][Alhamdulillah. Seneng banget aku, Tin. Terima kasih banyak, ya.][Sama-sama, Mbak. Oh ya, jam segini Mbak Melati belum tidur?][Belum. Mas Saga ke Semarang tiga hari ini menghadiri workshop. Mungkin besok sore baru pulang.][Mbak Melati, sendirian ini?][Iya. Karyawan kafe banyak pesanan untuk besok, jadi kasihan kalau harus nemeni aku.]Tini memandang ke arah jam dinding. Sudah jam sebelas malam. Ingin menelepon Melat
Dua wanita itu ngobrol hingga beberapa waktu kemudian. Melati membesarkan hati Tini, karena merasa tidak percaya diri berhadapan dengan Akbar. Wanita itu sendiri merasa lega setelah berbincang dengan Melati. Tidak sedikit pun menjelekkan Akbar, kendati pernah dilukai demikian dalam.Tini kembali berbaring di ranjangnya setelah menyudahi percakapan dengan Melati. Perasaannya lega usai mengeluarkan uneg-uneg yang mengganjal dalam dada. Tinggal besok ia bicara dengan ibunya. Ia diizinkan pulang untuk bicara dengan keluarganya.Sementara di seberang sana, Melati juga berbaring di ranjangnya. Sepi. Karena Saga memang tidak ada di rumah. Wanita yang tengah melamun itu dikagetkan dengan ponselnya yang kembali berpendar."Halo, Mas," sapa Melati pada Saga yang kembali menelepon."Yang, kamu online dengan siapa barusan."Ah, Saga sejeli itu ternyata. Dia memperhatikan nyala aplikasi pesannya yang hampir satu jam lamanya ngobrol dengan Tini. Rupanya dia belum tidur setelah ngobrol di telepon ta