Dua wanita itu ngobrol hingga beberapa waktu kemudian. Melati membesarkan hati Tini, karena merasa tidak percaya diri berhadapan dengan Akbar. Wanita itu sendiri merasa lega setelah berbincang dengan Melati. Tidak sedikit pun menjelekkan Akbar, kendati pernah dilukai demikian dalam.Tini kembali berbaring di ranjangnya setelah menyudahi percakapan dengan Melati. Perasaannya lega usai mengeluarkan uneg-uneg yang mengganjal dalam dada. Tinggal besok ia bicara dengan ibunya. Ia diizinkan pulang untuk bicara dengan keluarganya.Sementara di seberang sana, Melati juga berbaring di ranjangnya. Sepi. Karena Saga memang tidak ada di rumah. Wanita yang tengah melamun itu dikagetkan dengan ponselnya yang kembali berpendar."Halo, Mas," sapa Melati pada Saga yang kembali menelepon."Yang, kamu online dengan siapa barusan."Ah, Saga sejeli itu ternyata. Dia memperhatikan nyala aplikasi pesannya yang hampir satu jam lamanya ngobrol dengan Tini. Rupanya dia belum tidur setelah ngobrol di telepon ta
Waktu yang Hilang- Jujur Tergesa Tini masuk kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Kemudian membuka lemari dan mengambil baju yang jarang ia pakai. Tunik warna soft pink, celana hitam, dan jilbab warna merah jambu bercorak bunga. Wajahnya kembali disapu bedak dan bibirnya dipoles lipstik warna deep red. Lipstik yang dipilihkan oleh Melati waktu mereka punya kesempatan jalan-jalan itu. Terakhir menjelang Akbar dan Melati akan berpisah. Sudah lama memang. Tapi hampir tidak pernah ia pakai. Mungkin jika itu milik orang yang suka berdandan, pasti sudah dibuang. Dianggap kadaluarsa atau sudah diganti dengan yang baru dan warna lain."Warna ini saja, Tin. Sesuai dengan kulitmu yang eksotis.""Bilang saja sawo matang, Mbak. Eksotis itu kok terlalu 'wah' bagi saya.""Biar keren."Tini tersenyum lebar. "Beneran warna ini pantes untuk saya, Mbak?""Iya, cocok. Kulitmu bagus. Cantik nggak harus putih. Katanya putih itu kecantikan standart yang udah ketinggalan zaman. Cantik itu harus jadi diri
Akhirnya mereka sampai juga di kota Batu. Kota wisata yang mungkin udaranya tak sedingin dulu. Masih dingin lereng Arjuno tempat tinggal mereka.Akbar mengajak mampir sarapan di restoran langganan. Tempat yang selalu ia singgahi jika dia pergi ke Batu. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Wisata Alam Brakseng. Meski sudah terbiasa di kelilingi oleh pemandangan alam di daerah mereka, tapi tetap saja ingin pergi ke pemandangan alam di tempat lain. Menikmati hamparan padang rumput yang berlatar pemandangan bukit menghijau dan tanaman bunga yang menawan mata memandang. Namun di atas ketinggian 1.700 MDPL, hawa terasa sangat sejuk. Berbeda dengan udara di tengah kota Batu."Kamu sudah bicara dengan orang tuamu?" tanya Bu Rista pada Tini. Ketika mereka tengah duduk beralaskan tikar sambil menikmati pemandangan dan cemilan. Tempat itu lumayan ramai jika akhir pekan begini.Tini mengangguk. "Apa ibumu setuju?"Tini kembali mengangguk. Meski ibunya bilang kalau semua keputusan dikembalikan ke
Waktu yang Hilang- SaranJam makan siang sudah lewat, tapi kafe tidak benar-benar bisa dikatakan sepi. Selalu saja ada pengunjung yang masih menempati deretan meja minimalis. Furniture modern tapi terlihat klasik. Kafe Kasturi memang cocok dijadikan tempat nongkrong di waktu-waktu luang atau untuk mengerjakan beberapa tugas bagi pekerja freelance atau pun anak-anak kuliah.Diiringi gerimis lembut di luar sana, menambah suasana kian syahdu dan membuat malas untuk beranjak.Melati memandang pada Shaka yang ditidurkan di stroller-nya. Dia selalu jadi bayi yang manis dan anteng di tengah kesibukan sang mama yang mengurus kafe sambil momong."Wah, si bayi ganteng udah tidur, Mbak," seloroh seorang karyawati yang membungkukkan badan menatap Shaka di stroller."Iya, baru saja bobo.""Enak adem, makanya cepet banget boboknya.""Rum, kamu handle sini ya. Mbak bawa Shaka pulang ke belakang.""Njih, Mbak. Mari saya bantu bawain botol susunya."Gadis bernama Rum itu mengangkat tas berisi perleng
Pak Slamet tidak kalah sedihnya. Dia bisa mengobatkan istri, menyekolahkan anak, juga dari kerjanya pada Pak Norman. Belum lagi bantuan lain di luar gaji. Seandainya saja anak semata wayangnya dulu tidak memutuskan untuk menikah muda, mungkin sekarang ini tidak perlu merantau jauh ke Papua. Pasti akan mendapatkan pekerjaan yang layak di Jawa. Pak Slamet sangat berharap putrinya jadi seorang Guru. Dan Pak Norman siap membiayai. Tapi sang anak lebih kepincut menikah muda dengan teman SMA-nya."Ah, sudahlah. Ini sudah takdir," ucap Pak Slamet dalam hati sambil mengusap air mata dengan punggung tangannya."Kita nggak akan pernah bertemu lagi setelah ini," ujar Pak Norman lirih."Ya, Pak. Kita harus berpisah sebelum kematian menjemput."Dua laki-laki itu larut dalam kesedihan. Kebersamaan puluhan tahun akan berakhir beberapa hari lagi. Sedih yang teramat sangat bagi keduanya. Mereka sudah seperti saudara."Kamu jangan lupa nelepon kalau ada waktu," ujar Pak Norman.Laki-laki di hadapannya
Waktu yang Hilang- Sah di Minggu Pagi Moana sangat ceria pagi itu. Berjalan centil memasuki halaman sekolah dengan tangan kanan berada dalam gandengan sang nenek. Senyumnya lebar. Tak biasanya dia seceria itu jika tanpa Tini. Entah bagaimana tadi Akbar membujuk, hingga Moana manut saja di antar oleh kakek dan neneknya.Beberapa wali murid di sana menyapa ramah pada Bu Rista. Wanita yang kini telah berubah banyak. Tidak hanya penampilan, tapi juga sikapnya.Bu Rista menemui wali kelasnya Moana. Menitipkan gadis kecil itu dan akan dijemput saat jam pulang sekolah nanti."Nanti nenek yang jemput Moa lagi. Bekal sudah disiapkan Mbak Tini di tas," pesannya pada sang cucu."Nenek mau pulang?""Enggak. Nenek mau belanja sama kakek. Moa, mau dibeliin apa?""Cokelat.""Nanti nenek belikan. Tapi yang kecil saja ya. Papa bilang apa sama Moa. Enggak boleh makan cokelat banyak-banyak. Nanti gigi Moa keropos."Gadis kecil itu mengangguk patuh sambil memandang sang nenek.Setelah Moana berlari ber
Pak Norman mengangguk. Lalu berbincang tentang hal-hal lain yang sebenarnya tidak penting untuk mereka bicarakan. Bu Rista yang menunggu kata untuk perubahan status mereka, hanya diam mengikuti arah pembicaraan Pak Norman yang tidak sedikit pun menyentuh ke arah kata rujuk.Terlalu geli. Seharusnya dia sudah berhenti memikirkan hal itu. Apa yang diharapkan lagi. Semua telah selesai. Mereka sudah sama-sama tua. Lebih baik berpikir untuk memperbaiki ibadah dan bertaubat saja."Pak Slamet kira-kira kapan mau berangkat ke Papua?""Minggu depan kayaknya. Nanti kalau Akbar repot, Mama saja yang ikut nganterin Pak Slamet ke Bandara. Sekalian kita bisa mampir di rumahnya Pak Yahya."Bu Rista mengangguk cepat tanpa berpikir panjang.***LS***Hari itu banyak barang yang dibeli Tini atas saran Akbar. Beberapa stel baju, gamis, beserta jilbabnya. Sandal, sepatu, tas, bahkan perhiasan. Tentu saja Akbar tidak ingin melihat Tini tampil seperti biasanya jika sudah bergelar istrinya. Tini harus berbe
Waktu yang Hilang- Malam Resepsi Suasana sangat semarak. Sepasang pengantin sibuk menyalami dan menerima ucapan dari para kerabat, teman, dan tetangga.Sebagian adalah teman sekolahnya Akbar dan Tini waktu SD. Namun mengingat status sosial yang berbeda, mereka seperti orang asing yang tidak saling kenal setelah sama-sama dewasa. Meski dulu juga sekolah bareng dan bermain bersama sewaktu masih kecil. Sekarang seperti ada sekat karena sudah sibuk dengan kehidupan masing-masing, juga karena perbedaan status. Akbar yang pemilik perkebunan sangat sibuk dengan usahanya sendiri dan jarang bertemu dengan mereka. Sedangkan teman-temannya yang hanya petani biasa sangat segan untuk mendekati.Berbeda dengan Tini yang masih akrab dengan teman-teman masa kecilnya.Saga bangkit dari duduknya lalu menyalami dan mengucapkan selamat pada sang kakak. Akbar merangkulnya beberapa saat. Rasa haru menyeruak, menembus batas tak kasat mata yang selama ini membentengi keduanya. Tirai halus yang membuat mer