Pak Slamet tidak kalah sedihnya. Dia bisa mengobatkan istri, menyekolahkan anak, juga dari kerjanya pada Pak Norman. Belum lagi bantuan lain di luar gaji. Seandainya saja anak semata wayangnya dulu tidak memutuskan untuk menikah muda, mungkin sekarang ini tidak perlu merantau jauh ke Papua. Pasti akan mendapatkan pekerjaan yang layak di Jawa. Pak Slamet sangat berharap putrinya jadi seorang Guru. Dan Pak Norman siap membiayai. Tapi sang anak lebih kepincut menikah muda dengan teman SMA-nya."Ah, sudahlah. Ini sudah takdir," ucap Pak Slamet dalam hati sambil mengusap air mata dengan punggung tangannya."Kita nggak akan pernah bertemu lagi setelah ini," ujar Pak Norman lirih."Ya, Pak. Kita harus berpisah sebelum kematian menjemput."Dua laki-laki itu larut dalam kesedihan. Kebersamaan puluhan tahun akan berakhir beberapa hari lagi. Sedih yang teramat sangat bagi keduanya. Mereka sudah seperti saudara."Kamu jangan lupa nelepon kalau ada waktu," ujar Pak Norman.Laki-laki di hadapannya
Waktu yang Hilang- Sah di Minggu Pagi Moana sangat ceria pagi itu. Berjalan centil memasuki halaman sekolah dengan tangan kanan berada dalam gandengan sang nenek. Senyumnya lebar. Tak biasanya dia seceria itu jika tanpa Tini. Entah bagaimana tadi Akbar membujuk, hingga Moana manut saja di antar oleh kakek dan neneknya.Beberapa wali murid di sana menyapa ramah pada Bu Rista. Wanita yang kini telah berubah banyak. Tidak hanya penampilan, tapi juga sikapnya.Bu Rista menemui wali kelasnya Moana. Menitipkan gadis kecil itu dan akan dijemput saat jam pulang sekolah nanti."Nanti nenek yang jemput Moa lagi. Bekal sudah disiapkan Mbak Tini di tas," pesannya pada sang cucu."Nenek mau pulang?""Enggak. Nenek mau belanja sama kakek. Moa, mau dibeliin apa?""Cokelat.""Nanti nenek belikan. Tapi yang kecil saja ya. Papa bilang apa sama Moa. Enggak boleh makan cokelat banyak-banyak. Nanti gigi Moa keropos."Gadis kecil itu mengangguk patuh sambil memandang sang nenek.Setelah Moana berlari ber
Pak Norman mengangguk. Lalu berbincang tentang hal-hal lain yang sebenarnya tidak penting untuk mereka bicarakan. Bu Rista yang menunggu kata untuk perubahan status mereka, hanya diam mengikuti arah pembicaraan Pak Norman yang tidak sedikit pun menyentuh ke arah kata rujuk.Terlalu geli. Seharusnya dia sudah berhenti memikirkan hal itu. Apa yang diharapkan lagi. Semua telah selesai. Mereka sudah sama-sama tua. Lebih baik berpikir untuk memperbaiki ibadah dan bertaubat saja."Pak Slamet kira-kira kapan mau berangkat ke Papua?""Minggu depan kayaknya. Nanti kalau Akbar repot, Mama saja yang ikut nganterin Pak Slamet ke Bandara. Sekalian kita bisa mampir di rumahnya Pak Yahya."Bu Rista mengangguk cepat tanpa berpikir panjang.***LS***Hari itu banyak barang yang dibeli Tini atas saran Akbar. Beberapa stel baju, gamis, beserta jilbabnya. Sandal, sepatu, tas, bahkan perhiasan. Tentu saja Akbar tidak ingin melihat Tini tampil seperti biasanya jika sudah bergelar istrinya. Tini harus berbe
Waktu yang Hilang- Malam Resepsi Suasana sangat semarak. Sepasang pengantin sibuk menyalami dan menerima ucapan dari para kerabat, teman, dan tetangga.Sebagian adalah teman sekolahnya Akbar dan Tini waktu SD. Namun mengingat status sosial yang berbeda, mereka seperti orang asing yang tidak saling kenal setelah sama-sama dewasa. Meski dulu juga sekolah bareng dan bermain bersama sewaktu masih kecil. Sekarang seperti ada sekat karena sudah sibuk dengan kehidupan masing-masing, juga karena perbedaan status. Akbar yang pemilik perkebunan sangat sibuk dengan usahanya sendiri dan jarang bertemu dengan mereka. Sedangkan teman-temannya yang hanya petani biasa sangat segan untuk mendekati.Berbeda dengan Tini yang masih akrab dengan teman-teman masa kecilnya.Saga bangkit dari duduknya lalu menyalami dan mengucapkan selamat pada sang kakak. Akbar merangkulnya beberapa saat. Rasa haru menyeruak, menembus batas tak kasat mata yang selama ini membentengi keduanya. Tirai halus yang membuat mer
Kamar itu sudah pernah disinggahi oleh dua wanita dan Tini menjadi yang ketiga. Bagi Tini hal itu tidak menjadi masalah. Terlalu kekanak-kanakan jika ia minta tidur di tempat lain. Bersedia dinikahi Akbar, berarti dia siap menerima semuanya.Wanita itu masih diam menatap dirinya di cermin kamar mandi. Jantung yang memompa darah itu serasa tak seperti biasanya. Lebih cepat dan mengalirkan getaran hebat di seluruh pembuluh darah di sekujur tubuhnya.Ini malam pertamanya bergelar istri. Membayangkan apa yang akan terjadi beberapa menit ke depan membuat Tini gemetar. Tentunya mereka akan menunaikan ritual itu. Sebuah malam yang pernah ia lewati bersama laki-laki lain. Pria yang meninggalkan setelah mereguk madunya.Tini menghela nafas sejenak. Kemudian menarik napas panjang, mengembuskan. Setelah siap, ia membuka pintu kamar mandi.Saat itu Akbar tengah menutup gorden pintu geser yang menghubungkan kamar dengan balkon.Mereka saling pandang dan tersenyum. Akbar mematikan lampu kamar dan m
Waktu yang Hilang- RomansaTerlalu tua jika Bu Rista harus merona malu mendengar ucapan putra tirinya. Saat bersitatap dengan Pak Norman, sebisa mungkin ia menjaga sikap. Hampir setahun bercerai dan berharap. Nyatanya tidak ada tindakan apa-apa dari pria yang diharapkan. Patah hati lagi di usia tua. Ah, miris sekali. Mungkin jodoh mereka telah selesai. Atau tidak ada cinta lagi. Apa cinta itu penting sangat di usia senja begini?"Saga, jodoh kami telah selesai, Nak. Mungkin antara mama dan papa kamu, sudah cukup begini saja. Menjadi sahabat." Akhirnya Bu Rista bicara setelah rentang waktu mereka diam dan menunggu jawaban.Melati dan Kartini yang duduk paling belakang sambil memangku anak-anak saling pandang. Moana dan Shaka bercanda riang dengan bahasa anak-anak.Sedih. Harapan mereka untuk melihat orang tuanya bersatu lagi sia-sia.Saga mengalihkan perhatian pada ramainya kendaraan di parkiran. Cukup keras kepala juga papanya. Seusia mereka apa cinta masih menjadi prioritas utama?
Sampai rumah sudah sore. Saga buru-buru mandi dan mengajak istrinya ke makam Bu Ariani. Shaka ditinggal di rumah bersama Budhe Tami dan Ana yang sengaja datang untuk bertemu bayi ganteng itu.Sedangkan Moana ikut pulang Akbar. Sebab besok pagi ia dan Melati harus berangkat kembali ke Jogja.Melati menaburkan bunga mawar di atas pusara ibu mertuanya setelah Saga selesai memimpin doa. Saga sendiri menunduk sambil memandang batu nisan yang terukir nama sang ibu. Sekarang tidak sesedih dulu. Sudah ada Melati dan Shaka yang menjadi sumber kekuatannya. Dia juga tidak bicara kalau sang papa akan rujuk dengan Bu Rista. Alam mereka sudah berbeda. Yang telah tiada sudah selesai dengan urusan dunia, biarlah yang masih ada, meneruskan kehidupannya."Masih ada waktu, kita keliling perkebunan," ajak Saga setelah melihat jam tangannya."Yuk!" Melati juga kangen dengan aroma daun teh yang bercampur wangi bunga melati.Saga menggenggam jemari istrinya sambil melangkah keluar pemakaman yang sepi sore i
Waktu yang Hilang- Romantis "Mbok Kiyem, tolong ambilkan dua kursi plastik," teriak Bu Rista memanggil Mbok Kiyem.ART yang tengah ada di dapur itu tergopoh-gopoh mengantarkan dua kursi plastik pada majikannya. Dan langsung menaruhnya di kamar mandi atas permintaan Bu Rista.Pelan-pelan wanita itu membimbing sang suami untuk duduk di salah satu kursi. "Kaki kirinya papa angkat saja dan letakkan di atas kursi ini." Bu Rista menunjuk kursi yang satunya lagi.Pak Norman menurut saja dengan arahan dari Bu Rista. Ia memang agak kesulitan jika harus membuka resleting celana sambil duduk. Kenapa tadi tidak ganti dengan celana kolor saja. Terpaksa Bu Rista membantu. Sebenarnya malu dan merasa tak etis. Terlebih keduanya sekarang ini telah banyak berubah dan aktif di kegiatan keagamaan."Aku keluar dulu, nanti kalau sudah selesai papa bisa kasih tahu. Kutunggu di depan pintu," ujar Bu Rista kemudian keluar dan berdiri di balik pintu kamar mandi.Tiga puluh tiga tahun pernah menikah, tentunya