Bu Rista memandang Pak Norman yang tengah diajak berbincang oleh Pak Wira. Sungguh hebat mantan suaminya itu, dia bisa menggaet putri seorang bangsawan berdarah biru, padahal sudah jelas statusnya yang telah beristri dan memiliki satu anak. Bahkan berhasil menjadikan wanita itu istri keduanya.Sekarang Akbar juga tahu, kalau Saga memang berasal dari keluarga ningrat yang penuh adab dan saling menghargai. Salut pada mereka yang menerima Saga dengan tangan terbuka. Akbar melirik sekilas pada Melati. Ibu dari putrinya itu tidak salah mengambil keputusan menikah dengan Saga. Hidup dengan Saga sungguh jauh berbeda dengan hidup bersamanya. Dari cara memandang dan bicara saja ia bisa merasakan bagaimana besarnya cinta Saga untuk Melati. Apakah memang sejak dulu Saga diam-diam menyukai Melati? Ah, tidak mungkin. Kala itu Saga masih berusaha memperjuangkan supaya hubungannya dengan Melati tidak kandas. Bahkan Saga pun pernah berkata, andai ada niatan Melati untuk rujuk dengannya, Saga tidak a
Waktu yang Hilang- MelamarmuAkbar memperhatikan Tini yang melangkah memasuki gerbang sekolahan sambil menggandeng Moana. Tampak beberapa wali murid di sana menyapanya dengan ramah. Anak-anak juga berlarian menghampiri Moana, setelah itu mereka tersenyum dan tertawa bersama. Entah apa yang mereka omongkan hingga terasa lucu.Ditariknya napas dalam-dalam dan mengalihkan perhatian pada jalanan yang sibuk.Semalaman bahkan sudah hampir dua bulan ini ia sudah memikirkan tentang keputusannya pagi ini. Jika ia menunggu sampai benar-benar melupakan, maka tidak akan pernah ada keputusan.Berusaha bangkit dari keterpurukan yang memporak-porandakan perasaannya. Jika dulu ia berkuasa atas semuanya, bahkan ia tidak peduli dengan perasaan Melati, tapi kini dialah orang yang paling tidak berdaya.Melati sudah bahagia dan dia masih sekarat di tempat. Akbar menoleh ketika ada ketukan di kaca mobil. Segera ia membukanya."Mas, tunggu sebentar sampai Moana masuk kelas ya. Sebab mau ada pengumuman dar
Debaran dada Tini kian bergemuruh. Tubuhnya terasa panas dingin. Jemarinya saling bertaut dan gemetar. Padahal Akbar belum bicara apa-apa. "Ten-tentang apa, Mas?" tanya Tini terbata.Akbar diam sejenak. Kemudian kembali bicara. "Saya ingin melamarmu untuk jadi ibunya Moana."Tini terhenyak juga meski awalnya sudah menduga-duga. Wajahnya mungkin sudah memucat, karena kulitnya yang sawo matang membuat perubahan itu tidak begitu kentara."Sa-saya jadi bingung, Mas." Entah apalah yang Tini ucapkan karena terlanjur kelu lidahnya. Bahkan ia tidak berani memandang sang majikan dihadapannya."Saya serius. Moana sudah sangat dekat denganmu. Saya percaya kamu sangat menyayangi Moana."Hening. Tini terasa kikuk. Menjadi ibunya Moana berarti menjadi istrinya Akbar. Mimpi apa semalam, ternyata pagi ini ia mendengarkan sesuatu yang sudah ia ketahui dua bulan yang lalu. Dan hampir ia lupakan karena baginya itu hanya sebuah kemustahilan."Apa saya pantas, Mas Akbar. Saya hanya gadis lulusan SMA. Ngg
Waktu yang Hilang- Percakapan Tengah Malam[Sudah tidur apa belum, Tin? Lomba mewarnai kemarin Moana dapat juara, nggak?]Tini sampai lupa mau memberitahu Melati kalau Moana dapat juara dua kemarin. Pikirkannya yang montang-manting membuatnya tak sempat mengabari. Biasanya Tini selalu cepat mengirim pesan pada Melati.Dinyalakannya kembali lampu kamar. Dengan cepat ia mengambil foto piala yang dipajang di atas meja belajar Moana. Diketiknya balasan dengan cepat.[Maaf, Mbak Mel. Saya sampai lupa mau ngabari. Alhamdulillah, Moana dapat juara dua kemarin. Ini pialanya.][Alhamdulillah. Seneng banget aku, Tin. Terima kasih banyak, ya.][Sama-sama, Mbak. Oh ya, jam segini Mbak Melati belum tidur?][Belum. Mas Saga ke Semarang tiga hari ini menghadiri workshop. Mungkin besok sore baru pulang.][Mbak Melati, sendirian ini?][Iya. Karyawan kafe banyak pesanan untuk besok, jadi kasihan kalau harus nemeni aku.]Tini memandang ke arah jam dinding. Sudah jam sebelas malam. Ingin menelepon Melat
Dua wanita itu ngobrol hingga beberapa waktu kemudian. Melati membesarkan hati Tini, karena merasa tidak percaya diri berhadapan dengan Akbar. Wanita itu sendiri merasa lega setelah berbincang dengan Melati. Tidak sedikit pun menjelekkan Akbar, kendati pernah dilukai demikian dalam.Tini kembali berbaring di ranjangnya setelah menyudahi percakapan dengan Melati. Perasaannya lega usai mengeluarkan uneg-uneg yang mengganjal dalam dada. Tinggal besok ia bicara dengan ibunya. Ia diizinkan pulang untuk bicara dengan keluarganya.Sementara di seberang sana, Melati juga berbaring di ranjangnya. Sepi. Karena Saga memang tidak ada di rumah. Wanita yang tengah melamun itu dikagetkan dengan ponselnya yang kembali berpendar."Halo, Mas," sapa Melati pada Saga yang kembali menelepon."Yang, kamu online dengan siapa barusan."Ah, Saga sejeli itu ternyata. Dia memperhatikan nyala aplikasi pesannya yang hampir satu jam lamanya ngobrol dengan Tini. Rupanya dia belum tidur setelah ngobrol di telepon ta
Waktu yang Hilang- Jujur Tergesa Tini masuk kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Kemudian membuka lemari dan mengambil baju yang jarang ia pakai. Tunik warna soft pink, celana hitam, dan jilbab warna merah jambu bercorak bunga. Wajahnya kembali disapu bedak dan bibirnya dipoles lipstik warna deep red. Lipstik yang dipilihkan oleh Melati waktu mereka punya kesempatan jalan-jalan itu. Terakhir menjelang Akbar dan Melati akan berpisah. Sudah lama memang. Tapi hampir tidak pernah ia pakai. Mungkin jika itu milik orang yang suka berdandan, pasti sudah dibuang. Dianggap kadaluarsa atau sudah diganti dengan yang baru dan warna lain."Warna ini saja, Tin. Sesuai dengan kulitmu yang eksotis.""Bilang saja sawo matang, Mbak. Eksotis itu kok terlalu 'wah' bagi saya.""Biar keren."Tini tersenyum lebar. "Beneran warna ini pantes untuk saya, Mbak?""Iya, cocok. Kulitmu bagus. Cantik nggak harus putih. Katanya putih itu kecantikan standart yang udah ketinggalan zaman. Cantik itu harus jadi diri
Akhirnya mereka sampai juga di kota Batu. Kota wisata yang mungkin udaranya tak sedingin dulu. Masih dingin lereng Arjuno tempat tinggal mereka.Akbar mengajak mampir sarapan di restoran langganan. Tempat yang selalu ia singgahi jika dia pergi ke Batu. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Wisata Alam Brakseng. Meski sudah terbiasa di kelilingi oleh pemandangan alam di daerah mereka, tapi tetap saja ingin pergi ke pemandangan alam di tempat lain. Menikmati hamparan padang rumput yang berlatar pemandangan bukit menghijau dan tanaman bunga yang menawan mata memandang. Namun di atas ketinggian 1.700 MDPL, hawa terasa sangat sejuk. Berbeda dengan udara di tengah kota Batu."Kamu sudah bicara dengan orang tuamu?" tanya Bu Rista pada Tini. Ketika mereka tengah duduk beralaskan tikar sambil menikmati pemandangan dan cemilan. Tempat itu lumayan ramai jika akhir pekan begini.Tini mengangguk. "Apa ibumu setuju?"Tini kembali mengangguk. Meski ibunya bilang kalau semua keputusan dikembalikan ke
Waktu yang Hilang- SaranJam makan siang sudah lewat, tapi kafe tidak benar-benar bisa dikatakan sepi. Selalu saja ada pengunjung yang masih menempati deretan meja minimalis. Furniture modern tapi terlihat klasik. Kafe Kasturi memang cocok dijadikan tempat nongkrong di waktu-waktu luang atau untuk mengerjakan beberapa tugas bagi pekerja freelance atau pun anak-anak kuliah.Diiringi gerimis lembut di luar sana, menambah suasana kian syahdu dan membuat malas untuk beranjak.Melati memandang pada Shaka yang ditidurkan di stroller-nya. Dia selalu jadi bayi yang manis dan anteng di tengah kesibukan sang mama yang mengurus kafe sambil momong."Wah, si bayi ganteng udah tidur, Mbak," seloroh seorang karyawati yang membungkukkan badan menatap Shaka di stroller."Iya, baru saja bobo.""Enak adem, makanya cepet banget boboknya.""Rum, kamu handle sini ya. Mbak bawa Shaka pulang ke belakang.""Njih, Mbak. Mari saya bantu bawain botol susunya."Gadis bernama Rum itu mengangkat tas berisi perleng