Debaran dada Tini kian bergemuruh. Tubuhnya terasa panas dingin. Jemarinya saling bertaut dan gemetar. Padahal Akbar belum bicara apa-apa. "Ten-tentang apa, Mas?" tanya Tini terbata.Akbar diam sejenak. Kemudian kembali bicara. "Saya ingin melamarmu untuk jadi ibunya Moana."Tini terhenyak juga meski awalnya sudah menduga-duga. Wajahnya mungkin sudah memucat, karena kulitnya yang sawo matang membuat perubahan itu tidak begitu kentara."Sa-saya jadi bingung, Mas." Entah apalah yang Tini ucapkan karena terlanjur kelu lidahnya. Bahkan ia tidak berani memandang sang majikan dihadapannya."Saya serius. Moana sudah sangat dekat denganmu. Saya percaya kamu sangat menyayangi Moana."Hening. Tini terasa kikuk. Menjadi ibunya Moana berarti menjadi istrinya Akbar. Mimpi apa semalam, ternyata pagi ini ia mendengarkan sesuatu yang sudah ia ketahui dua bulan yang lalu. Dan hampir ia lupakan karena baginya itu hanya sebuah kemustahilan."Apa saya pantas, Mas Akbar. Saya hanya gadis lulusan SMA. Ngg
Waktu yang Hilang- Percakapan Tengah Malam[Sudah tidur apa belum, Tin? Lomba mewarnai kemarin Moana dapat juara, nggak?]Tini sampai lupa mau memberitahu Melati kalau Moana dapat juara dua kemarin. Pikirkannya yang montang-manting membuatnya tak sempat mengabari. Biasanya Tini selalu cepat mengirim pesan pada Melati.Dinyalakannya kembali lampu kamar. Dengan cepat ia mengambil foto piala yang dipajang di atas meja belajar Moana. Diketiknya balasan dengan cepat.[Maaf, Mbak Mel. Saya sampai lupa mau ngabari. Alhamdulillah, Moana dapat juara dua kemarin. Ini pialanya.][Alhamdulillah. Seneng banget aku, Tin. Terima kasih banyak, ya.][Sama-sama, Mbak. Oh ya, jam segini Mbak Melati belum tidur?][Belum. Mas Saga ke Semarang tiga hari ini menghadiri workshop. Mungkin besok sore baru pulang.][Mbak Melati, sendirian ini?][Iya. Karyawan kafe banyak pesanan untuk besok, jadi kasihan kalau harus nemeni aku.]Tini memandang ke arah jam dinding. Sudah jam sebelas malam. Ingin menelepon Melat
Dua wanita itu ngobrol hingga beberapa waktu kemudian. Melati membesarkan hati Tini, karena merasa tidak percaya diri berhadapan dengan Akbar. Wanita itu sendiri merasa lega setelah berbincang dengan Melati. Tidak sedikit pun menjelekkan Akbar, kendati pernah dilukai demikian dalam.Tini kembali berbaring di ranjangnya setelah menyudahi percakapan dengan Melati. Perasaannya lega usai mengeluarkan uneg-uneg yang mengganjal dalam dada. Tinggal besok ia bicara dengan ibunya. Ia diizinkan pulang untuk bicara dengan keluarganya.Sementara di seberang sana, Melati juga berbaring di ranjangnya. Sepi. Karena Saga memang tidak ada di rumah. Wanita yang tengah melamun itu dikagetkan dengan ponselnya yang kembali berpendar."Halo, Mas," sapa Melati pada Saga yang kembali menelepon."Yang, kamu online dengan siapa barusan."Ah, Saga sejeli itu ternyata. Dia memperhatikan nyala aplikasi pesannya yang hampir satu jam lamanya ngobrol dengan Tini. Rupanya dia belum tidur setelah ngobrol di telepon ta
Waktu yang Hilang- Jujur Tergesa Tini masuk kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Kemudian membuka lemari dan mengambil baju yang jarang ia pakai. Tunik warna soft pink, celana hitam, dan jilbab warna merah jambu bercorak bunga. Wajahnya kembali disapu bedak dan bibirnya dipoles lipstik warna deep red. Lipstik yang dipilihkan oleh Melati waktu mereka punya kesempatan jalan-jalan itu. Terakhir menjelang Akbar dan Melati akan berpisah. Sudah lama memang. Tapi hampir tidak pernah ia pakai. Mungkin jika itu milik orang yang suka berdandan, pasti sudah dibuang. Dianggap kadaluarsa atau sudah diganti dengan yang baru dan warna lain."Warna ini saja, Tin. Sesuai dengan kulitmu yang eksotis.""Bilang saja sawo matang, Mbak. Eksotis itu kok terlalu 'wah' bagi saya.""Biar keren."Tini tersenyum lebar. "Beneran warna ini pantes untuk saya, Mbak?""Iya, cocok. Kulitmu bagus. Cantik nggak harus putih. Katanya putih itu kecantikan standart yang udah ketinggalan zaman. Cantik itu harus jadi diri
Akhirnya mereka sampai juga di kota Batu. Kota wisata yang mungkin udaranya tak sedingin dulu. Masih dingin lereng Arjuno tempat tinggal mereka.Akbar mengajak mampir sarapan di restoran langganan. Tempat yang selalu ia singgahi jika dia pergi ke Batu. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Wisata Alam Brakseng. Meski sudah terbiasa di kelilingi oleh pemandangan alam di daerah mereka, tapi tetap saja ingin pergi ke pemandangan alam di tempat lain. Menikmati hamparan padang rumput yang berlatar pemandangan bukit menghijau dan tanaman bunga yang menawan mata memandang. Namun di atas ketinggian 1.700 MDPL, hawa terasa sangat sejuk. Berbeda dengan udara di tengah kota Batu."Kamu sudah bicara dengan orang tuamu?" tanya Bu Rista pada Tini. Ketika mereka tengah duduk beralaskan tikar sambil menikmati pemandangan dan cemilan. Tempat itu lumayan ramai jika akhir pekan begini.Tini mengangguk. "Apa ibumu setuju?"Tini kembali mengangguk. Meski ibunya bilang kalau semua keputusan dikembalikan ke
Waktu yang Hilang- SaranJam makan siang sudah lewat, tapi kafe tidak benar-benar bisa dikatakan sepi. Selalu saja ada pengunjung yang masih menempati deretan meja minimalis. Furniture modern tapi terlihat klasik. Kafe Kasturi memang cocok dijadikan tempat nongkrong di waktu-waktu luang atau untuk mengerjakan beberapa tugas bagi pekerja freelance atau pun anak-anak kuliah.Diiringi gerimis lembut di luar sana, menambah suasana kian syahdu dan membuat malas untuk beranjak.Melati memandang pada Shaka yang ditidurkan di stroller-nya. Dia selalu jadi bayi yang manis dan anteng di tengah kesibukan sang mama yang mengurus kafe sambil momong."Wah, si bayi ganteng udah tidur, Mbak," seloroh seorang karyawati yang membungkukkan badan menatap Shaka di stroller."Iya, baru saja bobo.""Enak adem, makanya cepet banget boboknya.""Rum, kamu handle sini ya. Mbak bawa Shaka pulang ke belakang.""Njih, Mbak. Mari saya bantu bawain botol susunya."Gadis bernama Rum itu mengangkat tas berisi perleng
Pak Slamet tidak kalah sedihnya. Dia bisa mengobatkan istri, menyekolahkan anak, juga dari kerjanya pada Pak Norman. Belum lagi bantuan lain di luar gaji. Seandainya saja anak semata wayangnya dulu tidak memutuskan untuk menikah muda, mungkin sekarang ini tidak perlu merantau jauh ke Papua. Pasti akan mendapatkan pekerjaan yang layak di Jawa. Pak Slamet sangat berharap putrinya jadi seorang Guru. Dan Pak Norman siap membiayai. Tapi sang anak lebih kepincut menikah muda dengan teman SMA-nya."Ah, sudahlah. Ini sudah takdir," ucap Pak Slamet dalam hati sambil mengusap air mata dengan punggung tangannya."Kita nggak akan pernah bertemu lagi setelah ini," ujar Pak Norman lirih."Ya, Pak. Kita harus berpisah sebelum kematian menjemput."Dua laki-laki itu larut dalam kesedihan. Kebersamaan puluhan tahun akan berakhir beberapa hari lagi. Sedih yang teramat sangat bagi keduanya. Mereka sudah seperti saudara."Kamu jangan lupa nelepon kalau ada waktu," ujar Pak Norman.Laki-laki di hadapannya
Waktu yang Hilang- Sah di Minggu Pagi Moana sangat ceria pagi itu. Berjalan centil memasuki halaman sekolah dengan tangan kanan berada dalam gandengan sang nenek. Senyumnya lebar. Tak biasanya dia seceria itu jika tanpa Tini. Entah bagaimana tadi Akbar membujuk, hingga Moana manut saja di antar oleh kakek dan neneknya.Beberapa wali murid di sana menyapa ramah pada Bu Rista. Wanita yang kini telah berubah banyak. Tidak hanya penampilan, tapi juga sikapnya.Bu Rista menemui wali kelasnya Moana. Menitipkan gadis kecil itu dan akan dijemput saat jam pulang sekolah nanti."Nanti nenek yang jemput Moa lagi. Bekal sudah disiapkan Mbak Tini di tas," pesannya pada sang cucu."Nenek mau pulang?""Enggak. Nenek mau belanja sama kakek. Moa, mau dibeliin apa?""Cokelat.""Nanti nenek belikan. Tapi yang kecil saja ya. Papa bilang apa sama Moa. Enggak boleh makan cokelat banyak-banyak. Nanti gigi Moa keropos."Gadis kecil itu mengangguk patuh sambil memandang sang nenek.Setelah Moana berlari ber