"Ya sudah. Habiskan makanannya lalu pulanglah dengan cepat. Dan nanti mama akan pergi ke toko untuk membeli bahan makanan karena isi kulkas mulai habis!" ucap mama Emi kemudian ikut makan dengan putrinya.
"Oh iya, apa ada yang Emi inginkan biar mama beli?"
Emi menggeleng, "Tidak, ma!"
Setelahnya semua di selimuti keheningan dan hanya ada bunyi suara sendok Emi yang terus berusaha mengeringkan brokoli hijaunya. Lalu memakannya dengan susah payah hingga tak terasa nasinya telah habis begitu juga dengan dagingnya.
Emi berpamitan dengan mamanya. Kemudian berlari ke garasi untuk membawa sepeda dan mengayuhnya ke jalanan bersama buku hariannya yang tak lupa ia bawa.
Karena nantinya Emi akan menggambar setangkai bunga liar kecil yang ada di taman, bahkan Emi terus saja memikirkan posisi mana yang akan ia gambar agar bunga liar kecil itu dapat hidup di atas kertas Emi.
Jalanan agak sunyi karena sehabis hujan dan angin sangat dingin namun Emi tidak memperdulikan itu. Ia hanya terus memikirkan gambarannya hingga Emi sampai di taman yang hampir setiap hari ia kunjungi dan menjadi sumber utama gambarannya.
Dengan langkah pelan Emi membawa sepedanya menuju tempat sang bunga liar tumbuh. Tetapi ia tidak menemukannya, yang ada Emi malah bertemu dengan anak laki-laki yang semalam ia jumpai membuat wajah Emi seketika menjadi datar.
"Kalau ku tahu begini lebih tidak usah keluar!" batin Emi dengan jengkelnya.
"Kau tidak menemukannya?" seru seorang anak laki-laki yang tidak jauh dari tempat Emi berdiri.
Emi tidak mendengarnya, ia hanya menaiki sepedanya lalu pergi meninggalkan anak laki-laki itu. Tanpa berniat menjawab ucapan bodohnya yang akan membuat darah Emi mendidih di tengah udara dingin yang mulai menyerangnya.
Dengan pelan Emi menyusuri kota dan terus melihat betapa besarnya gedung-gedung yang ada di sekitarnya. Membuat Emi ingin sekali masuk ke dalam.
Namun, Emi tidak bisa melakukannya karena bocah tidak diperbolehkan melakukan itu. Melakukan ini. Bocah hanya bisa menangis seperti badut yang di wajibkan untuk menghibur orang dewasa.
"Cih, orang dewasa memang menyebalkan membuatku merasa enggan untuk menjadi salah satu di antara mereka!" cecar Emi.
Kemudian ia mengayuh sepedanya menuju tempat bermain khusus anak-anak, walau itu berbayar. Dan untungnya Emi masih memiliki beberapa koin untuk masuk ke dalam.
"Hidupku hampa seperti gurun pasir yang kering."
"Aku selalu menggambar namun belum bisa menggambar bagaimana kehidupanku agar lebih indah."
"Aku bernyanyi, hampa hidupku."
"Hampanya!" seru Emi dengan pelan sembari mengayunkan sepedanya ke tempat tujuan berharap ia dapat bertemu temannya di sana.
Entah keberuntungan apa yang Emi dapatkan sampai ia bisa bertemu dengan Daisy. Dan berkata jika ia sedang menunggu Emi sedari tadi membuat jiwa bangga Emi bergelora melihat betapa pentingnya dirinya di dalam hidup orang lain.
"Aku baru saja selesai makan siang!" jawab Emi lalu memarkirkan sepedanya yang bermotif bunga matahari yang telah di siapkan untuk anak yang membawa sepeda seperti Emi. Dan itu cukup membantu Emi agar sepedanya tidak hilang seperti yang pernah terjadi.
Setelahnya tangan Emi ditarik oleh Daisy yang tak lain adalah temannya yang telah lama ia kenal. Bahkan Emi yakin jika Daisy adalah adiknya yang hilang saat bencana yang menyerang mamanya.
Tidak, Emi hanya bercanda. Ia tidak memiliki saudara atau saudari karena mamanya sangat mencintainya membuat Emi harus hidup sendiri yang di penuhi rasa hampa.
"Aku senang kau datang. Tadi pagi saat hujan, aku memiliki firasat jika kau akan kemari. Jadinya aku ke sini dan menunggumu hingga kau benar-benar nyata di depan mataku!" seru Daisy dengan semangat.
Karena Daisy dapat bertemu dengan temannya yang telah lama tidak ia temui semenjak libur sekolah. Padahal jarak rumah mereka tidak terlalu jauh, tetapi itu tetap saja membuatnya tidak dapat bermain dengan Emi.
"Benarkah? Sungguh feeling yang bagus!" jawab Emi dengan wajah datarnya lalu jatuh dari perosotan yang sedikit bersalju dan tentunya sangat kotor akibat anak lain yang telah menaikinya terlebih dahulu.
Emi sedikit menikmati waktunya bersama Daisy walau ia harus merelakan waktu seninya yang telah hilang. Dan harus berakhir dengan tawa bodoh yang mengelilinginya yang membuat Emi berpikir jika sebentar lagi ia akan kehilangan telinganya akibat tawa badut mereka yang terus saja memenuhi rumah siputnya.
"Jangan murung saja Emi! Apa kau tidak bahagia dapat bertemu denganku setelah libur musim dingin? Oh iya, besok kita akan sekolah bukan?" tanya Daisy saat mereka berada di ayunan.
Emi menoleh dengan matanya yang hampir saja tertutup akibat kedinginan dan sialnya ia lupa membawa jaket yang mamanya katakan tadi. Sungguh memang sial karena tidak mendengarkan ucapan mamanya membuat Emi kembali menyesal dalam hidupnya.
"Hmm, aku bahagia. Yeah, aku tahu itu!" jawab Emi pendek lalu menatap langit yang sedikit biru di atas kepalanya.
"Bagaimana aku lupa saat mama terus saja bercerita tentang itu!" batin Emi dengan jengkelnya.
"Dan kau tahu Emi, ku dengar toko coklat yang ada di depan sebrang jalan akan di buka bertepatan dengan tanggal masuk sekolah kita. Aku menjadi tidak sabar untuk bersekolah!" ujar Daisy sembari tersenyum dengan air mukanya yang sangat bahagia.
Sedangkan Emi yang melihat itu hanya bisa bertanya di dalam benaknya bagaimana ia bisa menjadi seperti sosok temannya yang dapat menjalani hidupnya yang dipenuhi dengan tawa dan coklat di tangannya.
"Hm."
Rasanya saat ini Emi lebih bahagia karena dapat bermain seperti anak normal lainnya walau ia sedikit kesal dengan sifat bocah yang ada di sekelilingnya. Namun Emi tetap saja senang.
Ia ingin menggambar suasana hatinya yang bahagia, tetapi itu tidak bisa karena Emi tidak suka saat orang lain entah itu Daisy atau mamanya sekalipun melihat gambarannya karena itu adalah harta terbaik di dalam hidup Emi.
"Andai saja aku memiliki hidup yang lebih berwarna mungkin aku akan lebih bersemangat dalam menjalani hidupku. Namun itu semua hanya ada di dalam mimpi, bahkan mimpipun enggan memberinya kepadaku."
"Entah sudah berapa kali aku berpikir tentang hidup baru tetapi tetap saja aku hanya memiliki hidup dimana aku harus merasakan hampa yang membuatku kadang kala lelah dengan semuanya."
"Ingin rasanya berhenti sejenak untuk memikirkan kehidupanku. Lalu bernyanyi dengan suaraku yang melambung tinggi setinggi langit biru agar burung-burung dapat mendengar betapa bahagianya aku!"
Dengan rasa malas Emi harus bangun pagi untuk bersekolah yang membuatnya hanya bisa pasrah dengan semua ocehan berisik mamanya yang terus mengulangi perkataannya tentang langkah baru yang membuat Emi menyesal dapat melihat langit kamarnya."Nanti saat di sekolah kau jangan kebanyakan diam, karena itu tidak baik untukmu. Cobalah berbicara dengan teman sekelasmu. Misalnya, tanyakan apa mereka bersenang-senang dengan musim dinginnya? Atau kau bisa bicarakan hari musim dinginmu kepada mereka!""Akan kucoba!" jawab Emi lalu pergi berpamitan, sebelum ia benar-benar akan gila jika lebih lama lagi di dalam bersama mamanya dan semua mimpi buruk yang ia mimpikan tadi malam.Emi begitu malas dengan semua orang-orang yang di sekitarnya. Ia tidak suka bersekolah di sekolah umum karena itu sangat melelahkan bagi seorang Emi tetapi ia tidak punya pilihan lain.Lalu dengan langkah pelan Emi berjalan menuju sekolahnya yang tidak terlalu jauh dari rumahny
Sedangkan Emi yang mendengar itu hanya dapat melongo bodoh. Karena tidak percaya dengan apa yang ia dengar dari badut yang terus saja memandanginya dengan senyum di bibirnya.Lalu dengan berusaha bersikap biasa Emi bertanya, "Apa kau mengejekku?""Tidak."Setelahnya kepala Emi, ia gunakan melihat wali kelasnya. sebelum ia benar-benar kehilangan akal karenanya. Emi mendengar wali kelasnya dan semua pelajaran membosankan yang harus ia terima setiap harinya, kecuali hari minggu. Karena hari itu mereka harus beribadah.Namun sudah beberapa kali mencoba untuk fokus, Emi tetap saja tidak bisa mendengar penjelasan wali kelasnya dengan baik. Sekalipun Emi telah membuka matanya lebar-lebar untuk melihat rumus bodoh yang harus ia ketahui dalam beberapa menit. Sebelum tugas payah itu datang untuk memberinya hari sial."Emi, apa kau mendengar penjelasan ibu?" tanya wali kelasnya.&nbs
Di penghujung jalan terlihatlah seorang anak perempuan yang sedang melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa agar ia dapat sampai di depan rumahnya secepat mungkin. Dan tak terjebak oleh badai salju yang kian besar. Walau ia ingat jika berita cuaca mengatakan hari akan cerah. Tetapi kali ini peramal itu salah besar membuat anak perempuan itu menyesal telah mendengarkan sang pembohong. Anak perempuan itu tidak tahu apa yang ia mimpikan semalam. Hingga mendapatkan kesialan yang terus-terusan menghampirinya bahkan sampai detik ini. Tetapi yang ia ingat jika tadi malam. Ia bermimpi tentang seekor ular kecil berwarna putih datang mengikutinya entah dari mana lalu mengejarnya. Hingga ular itu menggigit anak perempuan itu dan teriakan pagi pun keluar dari mulutnya yang mengharuskan ia mendengar ocehan mamanya yang sangat menyebalkan. Sungguh pagi yang sial. "Mimpi yang seram." batin anak perempuan itu bergidik ngeri
Lalu ia naik ke atas untuk sekedar berbaring menikmati hari-harinya yang hampa dan akan selalu seperti itu. Tanpa ada hal lainnya yang mungkin terjadi. Cukup menyedihkan, padahal Emi seharusnya mendapatkan hari-hari dengan tawa tetapi takdir tidak ingin itu.Kini Emi tengah merebahkan tubuhnya dengan sebuah surat di tangan kecil Emi yang mulai menghangat. Ia terus saja melihat kertas itu tanpa ada rasa bosan sedikitpun hingga tak sengaja Emi merobeknya membuat selembar kertas jatuh di atas tubuhnya.Dengan penuh hati-hati Emi membaca surat yang mungkin ke- 101 kalinya ia dapat dari tasnya yang entah dari siapa. Dan yang paling menjengkelkan adalah surat itu hanya berisi angka dan nama Emi yang tertulis dengan warna biru muda. Tidak ada hal lainnya dan itu berhasil membuat Emi sedikit emosi."101, Emi." Begitulah isi surat yang Emi dapatkan selama ini. Tidak ada hal lain yang menarik di dalamnya karena surat itu hanya sebuah permainan bodoh yang membuat siapapun
Pagi telah tiba namun Emi hanya mendapati hujan yang terus saja membasahi bumi yang membuatnya hanya bisa terdiam seperti orang bodoh di balik jendela kamar sembari melihat teman-temannya yang kegirangan di bawah langit yang siap membuat mereka menjadi manusia petir.Emi tak habis pikir dengan orang-orang bodoh itu. Mereka terlihat sangat senang dengan cairan menjijikkan yang terus saja membasahi mereka.Tidak seperti Emi yang sangat membencinya bahkan Emi tidak ingin melihat atau bersentuhan dengan sejenisnya. Sekalipun itu air yang Emi minum sehari-hari bahkan ia lebih memilih untuk tidak minum daripada harus menelan racun itu.Dengan hembusan nafas yang panjang, Emi melihat sekitarnya berharap sebuah cahaya matahari akan menghampirinya. Namun, entah telah berapa lama ia menunggu tetap saja tidak mendapatkan apa-apa. Membuat Emi hanya dapat menyantap mie yang mamanya berikan tadi pagi karena ia masih belum ingin