Beranda / Romansa / WATER / Water 103

Share

Water 103

"Ya sudah. Habiskan makanannya lalu pulanglah dengan cepat. Dan nanti mama akan pergi ke toko untuk membeli bahan makanan karena isi kulkas mulai habis!" ucap mama Emi kemudian ikut makan dengan putrinya.

"Oh iya, apa ada yang Emi inginkan biar mama beli?"

Emi menggeleng, "Tidak, ma!"

Setelahnya semua di selimuti keheningan dan hanya ada bunyi suara sendok Emi yang terus berusaha mengeringkan brokoli hijaunya. Lalu memakannya dengan susah payah hingga tak terasa nasinya telah habis begitu juga dengan dagingnya.

Emi berpamitan dengan mamanya. Kemudian berlari ke garasi untuk membawa sepeda dan mengayuhnya ke jalanan bersama buku hariannya yang tak lupa ia bawa. 

Karena nantinya Emi akan menggambar setangkai bunga liar kecil yang ada di taman, bahkan Emi terus saja memikirkan posisi mana yang akan ia gambar agar bunga liar kecil itu dapat hidup di atas kertas Emi.

Jalanan agak sunyi karena sehabis hujan dan angin sangat dingin namun Emi tidak memperdulikan itu. Ia hanya terus memikirkan gambarannya hingga Emi sampai di taman yang hampir setiap hari ia kunjungi dan menjadi sumber utama gambarannya.

Dengan langkah pelan Emi membawa sepedanya menuju tempat sang bunga liar tumbuh. Tetapi ia tidak menemukannya, yang ada Emi malah bertemu dengan anak laki-laki yang semalam ia jumpai membuat wajah Emi seketika menjadi datar.

"Kalau ku tahu begini lebih tidak usah keluar!" batin Emi dengan jengkelnya.

"Kau tidak menemukannya?" seru seorang anak laki-laki yang tidak jauh dari tempat Emi berdiri.

Emi tidak mendengarnya, ia hanya menaiki sepedanya lalu pergi meninggalkan anak laki-laki itu. Tanpa berniat menjawab ucapan bodohnya yang akan membuat darah Emi mendidih di tengah udara dingin yang mulai menyerangnya.

Dengan pelan Emi menyusuri kota dan terus melihat betapa besarnya gedung-gedung yang ada di sekitarnya. Membuat Emi ingin sekali masuk ke dalam. 

Namun, Emi tidak bisa melakukannya karena bocah tidak diperbolehkan melakukan itu. Melakukan ini. Bocah hanya bisa menangis seperti badut yang di wajibkan untuk menghibur orang dewasa.

"Cih, orang dewasa memang menyebalkan membuatku merasa enggan untuk menjadi salah satu di antara mereka!" cecar Emi. 

Kemudian ia mengayuh sepedanya menuju tempat bermain khusus anak-anak, walau itu berbayar. Dan untungnya Emi masih memiliki beberapa koin untuk masuk ke dalam.

"Hidupku hampa seperti gurun pasir yang kering."

"Aku selalu menggambar namun belum bisa menggambar bagaimana kehidupanku agar lebih indah."

"Aku bernyanyi, hampa hidupku."

"Hampanya!" seru Emi dengan pelan sembari mengayunkan sepedanya ke tempat tujuan berharap ia dapat bertemu temannya di sana.

Entah keberuntungan apa yang Emi dapatkan sampai ia bisa bertemu dengan Daisy. Dan berkata jika ia sedang menunggu Emi sedari tadi membuat jiwa bangga Emi bergelora melihat betapa pentingnya dirinya di dalam hidup orang lain.

"Aku baru saja selesai makan siang!" jawab Emi lalu memarkirkan sepedanya yang bermotif bunga matahari yang telah di siapkan untuk anak yang membawa sepeda seperti Emi. Dan itu cukup membantu Emi agar sepedanya tidak hilang seperti yang pernah terjadi.

Setelahnya tangan Emi ditarik oleh Daisy yang tak lain adalah temannya yang telah lama ia kenal. Bahkan Emi yakin jika Daisy adalah adiknya yang hilang saat bencana yang menyerang mamanya. 

Tidak, Emi hanya bercanda. Ia tidak memiliki saudara atau saudari karena mamanya sangat mencintainya membuat Emi harus hidup sendiri yang di penuhi rasa hampa.

"Aku senang kau datang. Tadi pagi saat hujan, aku memiliki firasat jika kau akan kemari. Jadinya aku ke sini dan menunggumu hingga kau benar-benar nyata di depan mataku!" seru Daisy dengan semangat. 

Karena Daisy dapat bertemu dengan temannya yang telah lama tidak ia temui semenjak libur sekolah. Padahal jarak rumah mereka tidak terlalu jauh, tetapi itu tetap saja membuatnya tidak dapat bermain dengan Emi.

"Benarkah? Sungguh feeling yang bagus!" jawab Emi dengan wajah datarnya lalu jatuh dari perosotan yang sedikit bersalju dan tentunya sangat kotor akibat anak lain yang telah menaikinya terlebih dahulu.

Emi sedikit menikmati waktunya bersama Daisy walau ia harus merelakan waktu seninya yang telah hilang. Dan harus berakhir dengan tawa bodoh yang mengelilinginya yang membuat Emi berpikir jika sebentar lagi ia akan kehilangan telinganya akibat tawa badut mereka yang terus saja memenuhi rumah siputnya.

"Jangan murung saja Emi! Apa kau tidak bahagia dapat bertemu denganku setelah libur musim dingin? Oh iya, besok kita akan sekolah bukan?" tanya Daisy saat mereka berada di ayunan.

Emi menoleh dengan matanya yang hampir saja tertutup akibat kedinginan dan sialnya ia lupa membawa jaket yang mamanya katakan tadi. Sungguh memang sial karena tidak mendengarkan ucapan mamanya membuat Emi kembali menyesal dalam hidupnya.

"Hmm, aku bahagia. Yeah, aku tahu itu!" jawab Emi pendek lalu menatap langit yang sedikit biru di atas kepalanya.

"Bagaimana aku lupa saat mama terus saja bercerita tentang itu!" batin Emi dengan jengkelnya.

"Dan kau tahu Emi, ku dengar toko coklat yang ada di depan sebrang jalan akan di buka bertepatan dengan tanggal masuk sekolah kita. Aku menjadi tidak sabar untuk bersekolah!" ujar Daisy sembari tersenyum dengan air mukanya yang sangat bahagia.

Sedangkan Emi yang melihat itu hanya bisa bertanya di dalam benaknya bagaimana ia bisa menjadi seperti sosok temannya yang dapat menjalani hidupnya yang dipenuhi dengan tawa dan coklat di tangannya.

"Hm."

Rasanya saat ini Emi lebih bahagia karena dapat bermain seperti anak normal lainnya walau ia sedikit kesal dengan sifat bocah yang ada di sekelilingnya. Namun Emi tetap saja senang. 

Ia ingin menggambar suasana hatinya yang bahagia, tetapi itu tidak bisa karena Emi tidak suka saat orang lain entah itu Daisy atau mamanya sekalipun melihat gambarannya karena itu adalah harta terbaik di dalam hidup Emi.

"Andai saja aku memiliki hidup yang lebih berwarna mungkin aku akan lebih bersemangat dalam menjalani hidupku. Namun itu semua hanya ada di dalam mimpi, bahkan mimpipun enggan memberinya kepadaku."

"Entah sudah berapa kali aku berpikir tentang hidup baru tetapi tetap saja aku hanya memiliki hidup dimana aku harus merasakan hampa yang membuatku kadang kala lelah dengan semuanya."

"Ingin rasanya berhenti sejenak untuk memikirkan kehidupanku. Lalu bernyanyi dengan suaraku yang melambung tinggi setinggi langit biru agar burung-burung dapat mendengar betapa bahagianya aku!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status