Lalu ia naik ke atas untuk sekedar berbaring menikmati hari-harinya yang hampa dan akan selalu seperti itu. Tanpa ada hal lainnya yang mungkin terjadi. Cukup menyedihkan, padahal Emi seharusnya mendapatkan hari-hari dengan tawa tetapi takdir tidak ingin itu.
Kini Emi tengah merebahkan tubuhnya dengan sebuah surat di tangan kecil Emi yang mulai menghangat. Ia terus saja melihat kertas itu tanpa ada rasa bosan sedikitpun hingga tak sengaja Emi merobeknya membuat selembar kertas jatuh di atas tubuhnya.
Dengan penuh hati-hati Emi membaca surat yang mungkin ke- 101 kalinya ia dapat dari tasnya yang entah dari siapa. Dan yang paling menjengkelkan adalah surat itu hanya berisi angka dan nama Emi yang tertulis dengan warna biru muda. Tidak ada hal lainnya dan itu berhasil membuat Emi sedikit emosi.
"101, Emi." Begitulah isi surat yang Emi dapatkan selama ini. Tidak ada hal lain yang menarik di dalamnya karena surat itu hanya sebuah permainan bodoh yang membuat siapapun akan berteriak kesal, karena telah dipermainkan oleh bocah badut yang kini mungkin telah menertawakan wajah kesal Emi.
"Apa si bodoh itu tak bosan mengerjaiku dengan suratnya? Apa dia pikir aku akan marah-marah seperti yang ia inginkan? Oh, tentu tidak! Karena aku tidak pernah melakukan hal bodoh itu karena aku bukanlah badut sama sepertinya!" cecar Emi kepada dirinya sendiri karena disini hanya ada dia dan tak ada lagi orang lain.
Kepala Emi bertanya-tanya tentang siapakah pemilik surat itu dan mengapa ia memberikannya. Namun, semua pertanyaan itu masih saja belum mendapatkan jawaban sampai sekarang. Bahkan Emi mulai tidak memperdulikan itu lagi. Yang ada ia seperti merasakan jika di dunia lain tengah menguntitnya.
Saking asyiknya berpikir waktu telah menunjukkan pukul sembilan kurang yang berarti ia harus segera tidur. Sebelum mamanya harus menina bobokannya seperti bayi bodoh yang sangat ia benci.
Membayangkan itu saja membuat Emi ingin sekali cepat-cepat tak sadarkan diri agar ia tidak lagi dapat mendengar atau merasakan sentuhan mamanya.
Dengan perlahan Emi menutup matanya. Angin malam begitu dingin menyentuh tubuhnya tetapi itu dapat membuatnya lebih tenang. Daripada harus menikmati malam dengan sebuah hujan deras dan benda menjijikkan yang berjatuhan mengenai jendelanya.
Malam yang indah untuk seorang Emi. Dia hanya seorang anak perempuan yang masih berusia 11 tahun dan hampir tidak memiliki kehidupan yang istimewa selama ia hidup di dunia hampa ini. Dan hanya akan ada penyesalan yang terus ia buat di setiap hari yang ia miliki karena itulah hidup Emi. Hidup yang entah kapan berhenti mengerjainya.
Emi tidak memiliki masalah bahkan ia sangat mirip seperti anak normal yang ada di sekitarnya. Contohnya saja temannya bermain, Emi juga begitu. Temannya bersekolah, Emi juga begitu. Temannya menangis, Emi tentu tidak begitu. Karena ia tidak suka saat cairan menjijikkan itu keluar dari matanya dan membuat matanya harus bengkak hanya karena ulah bodohnya dan itu tidak akan pernah lagi terjadi.
Emi hanya salah satu dari sekian banyaknya anak perempuan yang memiliki cerita hidup yang sedikit dramatis dibandingkan yang lainnya.
Ia tidak memiliki cita-cita apapun seperti temannya. Kecuali ia ingin hidup di dunianya sendiri tanpa ada orang lain yang dapat melihat dan berbicara dengannya. Ia membenci air, lendir, dan tentunya orang bodoh seperti temannya yang bernama Daisy.
Emi suka makan namun malas untuk memasak. Ia menyukai uang namun enggan untuk meminta. Emi tidak pernah melakukan hal selain menggambar dan menanam bunga mawar di taman buatannya sendiri. Ia tidak memiliki hal lain yang bisa ia lakukan atau lebih tepatnya hal yang Emi inginkan seperti anak perempuan lainnya.
Begitu banyak yang Emi benci. Namun, itu tidak membuatnya menjadi pribadi yang menjengkelkan seperti orang yang tadi sore ia jumpai. Walau ia hanya memiliki teman badutnya yang selalu berbicara dengan mulut besarnya yang tak akan pernah lelah mengoceh yang kadang membuat Emi ingin sekali mengoyak bibirnya.
Mengingat tentang teman membuat ingatan Emi kembali melayang pada adegan saat dimana ia bertemu dengan anak laki-laki itu. Peristiwa yang menjengkelkan karena ia harus berdiri di tengah salju hanya untuk seorang badut bodoh.
Tetapi entah mengapa Emi merasa mereka akan berjumpa lagi, mungkin. Tetapi Emi percaya dengan keyakinannya. Dan memikirkan tentang itu membuat Emi berhasil tidak dapat tidur walau tubuhnya sudah terlalu lelah bahkan otaknya menjadi panas akibat terus berpikir. Yang akhirnya Emi memilih untuk menggambar langit malam di buku hariannya.
Dengan cekatan Emi menggambar suasana malam yang ia rasakan saat ini. Bulan sabit yang indah di atas kepala Emi. Lalu ditemani oleh bintang-bintang kecil di sekitarnya bahkan lebih mirip seperti pasir di pantai yang telah lama ia tak kunjungi. Walau mamanya terus mengajaknya untuk bertamasya ke sana. Tetapi, Emi terlalu membenci cairan itu membuatnya hanya mengelilingi sekitar rumah dan kamarnya saja.
Emi terus mencoret buku hariannya hingga tanpa sadar tubuhnya terjatuh ke atas ranjang. Lalu tangannya menarik selimut tebal yang hangat untuk cuaca malam lalu menutupi sebagian tubuh kecilnya. Tidur dengan nyenyak untuk sekedar beristirahat dengan tenang setelah hari berat yang ia alami.
Emi kecil telah menemui mimpi indahnya dan kehidupannya akan berubah menjadi lebih baik setelah ia kembali sekolah.
Begitulah yang akan terjadi di dalam hidupnya karena takdir telah berkata begitu. Dan ia akan mendapatkan orang-orang yang akan mengubah hidupnya yang membuat Emi kembali mendapatkan kehangatan yang tak pernah ia rasakan semenjak hari itu.
Ini hanya cerita sederhana dari seorang anak perempuan yang bernama Emi yang berusia 11 tahun yang bercerita tentang kehidupannya yang hampa, ocehan berisik mamanya, kebenciannya dengan air, para badut yang ia temui, dan cerita lainnya yang akan menghampiri hari-harinya.
Cerita ini tidaklah istimewa karena semua kata-kata yang ada hanya sebuah dongeng biasa yang orang-orang alami dan di bungkus dalam kalimat yang berantakan.
Tidak ada hal yang indah di dalamnya karena Emi tidak menyukai hal-hal seperti itu dan ia benci dengan semua orang-orang yang ada di sekitarnya membuat cerita ini semakin tidak istimewa.
Tetapi apapun itu, cerita Emi hanya akan membawamu ke dalam dunia sunyi dimana kau tak akan dapat menemukan hal yang sering kau temui karena cerita ini hanya tulisan sebuah keputusasaan dalam hidup.
Dan seorang anak kecil yang baru saja mengenal musim semi di dalam hidupnya. Di sini Emi akan bertemu dengan takdirnya. Entah itu kesedihan. Entah itu penyesalan. Entah itu musim semi. Atau mungkin kematiannya?
Pagi telah tiba namun Emi hanya mendapati hujan yang terus saja membasahi bumi yang membuatnya hanya bisa terdiam seperti orang bodoh di balik jendela kamar sembari melihat teman-temannya yang kegirangan di bawah langit yang siap membuat mereka menjadi manusia petir.Emi tak habis pikir dengan orang-orang bodoh itu. Mereka terlihat sangat senang dengan cairan menjijikkan yang terus saja membasahi mereka.Tidak seperti Emi yang sangat membencinya bahkan Emi tidak ingin melihat atau bersentuhan dengan sejenisnya. Sekalipun itu air yang Emi minum sehari-hari bahkan ia lebih memilih untuk tidak minum daripada harus menelan racun itu.Dengan hembusan nafas yang panjang, Emi melihat sekitarnya berharap sebuah cahaya matahari akan menghampirinya. Namun, entah telah berapa lama ia menunggu tetap saja tidak mendapatkan apa-apa. Membuat Emi hanya dapat menyantap mie yang mamanya berikan tadi pagi karena ia masih belum ingin
"Ya sudah. Habiskan makanannya lalu pulanglah dengan cepat. Dan nanti mama akan pergi ke toko untuk membeli bahan makanan karena isi kulkas mulai habis!" ucap mama Emi kemudian ikut makan dengan putrinya."Oh iya, apa ada yang Emi inginkan biar mama beli?"Emi menggeleng, "Tidak, ma!"Setelahnya semua di selimuti keheningan dan hanya ada bunyi suara sendok Emi yang terus berusaha mengeringkan brokoli hijaunya. Lalu memakannya dengan susah payah hingga tak terasa nasinya telah habis begitu juga dengan dagingnya.Emi berpamitan dengan mamanya. Kemudian berlari ke garasi untuk membawa sepeda dan mengayuhnya ke jalanan bersama buku hariannya yang tak lupa ia bawa.Karena nantinya Emi akan menggambar setangkai bunga liar kecil yang ada di taman, bahkan Emi terus saja memikirkan posisi mana yang akan ia gambar agar bunga liar kecil itu dapat hidup di atas kertas Emi.Jalanan agak sunyi karena sehabis hujan dan angin sangat dingin namun Emi t
Dengan rasa malas Emi harus bangun pagi untuk bersekolah yang membuatnya hanya bisa pasrah dengan semua ocehan berisik mamanya yang terus mengulangi perkataannya tentang langkah baru yang membuat Emi menyesal dapat melihat langit kamarnya."Nanti saat di sekolah kau jangan kebanyakan diam, karena itu tidak baik untukmu. Cobalah berbicara dengan teman sekelasmu. Misalnya, tanyakan apa mereka bersenang-senang dengan musim dinginnya? Atau kau bisa bicarakan hari musim dinginmu kepada mereka!""Akan kucoba!" jawab Emi lalu pergi berpamitan, sebelum ia benar-benar akan gila jika lebih lama lagi di dalam bersama mamanya dan semua mimpi buruk yang ia mimpikan tadi malam.Emi begitu malas dengan semua orang-orang yang di sekitarnya. Ia tidak suka bersekolah di sekolah umum karena itu sangat melelahkan bagi seorang Emi tetapi ia tidak punya pilihan lain.Lalu dengan langkah pelan Emi berjalan menuju sekolahnya yang tidak terlalu jauh dari rumahny
Sedangkan Emi yang mendengar itu hanya dapat melongo bodoh. Karena tidak percaya dengan apa yang ia dengar dari badut yang terus saja memandanginya dengan senyum di bibirnya.Lalu dengan berusaha bersikap biasa Emi bertanya, "Apa kau mengejekku?""Tidak."Setelahnya kepala Emi, ia gunakan melihat wali kelasnya. sebelum ia benar-benar kehilangan akal karenanya. Emi mendengar wali kelasnya dan semua pelajaran membosankan yang harus ia terima setiap harinya, kecuali hari minggu. Karena hari itu mereka harus beribadah.Namun sudah beberapa kali mencoba untuk fokus, Emi tetap saja tidak bisa mendengar penjelasan wali kelasnya dengan baik. Sekalipun Emi telah membuka matanya lebar-lebar untuk melihat rumus bodoh yang harus ia ketahui dalam beberapa menit. Sebelum tugas payah itu datang untuk memberinya hari sial."Emi, apa kau mendengar penjelasan ibu?" tanya wali kelasnya.&nbs
Di penghujung jalan terlihatlah seorang anak perempuan yang sedang melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa agar ia dapat sampai di depan rumahnya secepat mungkin. Dan tak terjebak oleh badai salju yang kian besar. Walau ia ingat jika berita cuaca mengatakan hari akan cerah. Tetapi kali ini peramal itu salah besar membuat anak perempuan itu menyesal telah mendengarkan sang pembohong. Anak perempuan itu tidak tahu apa yang ia mimpikan semalam. Hingga mendapatkan kesialan yang terus-terusan menghampirinya bahkan sampai detik ini. Tetapi yang ia ingat jika tadi malam. Ia bermimpi tentang seekor ular kecil berwarna putih datang mengikutinya entah dari mana lalu mengejarnya. Hingga ular itu menggigit anak perempuan itu dan teriakan pagi pun keluar dari mulutnya yang mengharuskan ia mendengar ocehan mamanya yang sangat menyebalkan. Sungguh pagi yang sial. "Mimpi yang seram." batin anak perempuan itu bergidik ngeri