"Nanti saat di sekolah kau jangan kebanyakan diam, karena itu tidak baik untukmu. Cobalah berbicara dengan teman sekelasmu. Misalnya, tanyakan apa mereka bersenang-senang dengan musim dinginnya? Atau kau bisa bicarakan hari musim dinginmu kepada mereka!"
"Akan kucoba!" jawab Emi lalu pergi berpamitan, sebelum ia benar-benar akan gila jika lebih lama lagi di dalam bersama mamanya dan semua mimpi buruk yang ia mimpikan tadi malam.
Emi begitu malas dengan semua orang-orang yang di sekitarnya. Ia tidak suka bersekolah di sekolah umum karena itu sangat melelahkan bagi seorang Emi tetapi ia tidak punya pilihan lain.
Lalu dengan langkah pelan Emi berjalan menuju sekolahnya yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Dan sialnya, ia lupa membawa sepeda untuk mempersingkat perjalanan membosankan ini.
"Kenapa harus sekolah kalau bisa tidur?"
"Kenapa harus tidur kalau bisa makan?"
"Kenapa harus makan kalau bisa makan pangkat dua?"
"Haha, makan-makan!" tawa Emi dengan lagu yang ia ciptakan sendiri dari beberapa menit yang lalu.
Emi kembali bersenandung tanpa memperdulikan wajah orang-orang yang di sekitarnya saat mendengar lagu indah miliknya. Emi tidak perduli akan itu, karena yang terpenting jiwanya dapat menghadapi masalah yang tengah ia hadapi. Dan Emi sadar jika tidak akan ada orang lain yang datang untung menolongnya sekalipun ia mati.
Tanpa terasa Emi telah sampai di depan pintu kelasnya yang begitu berisik dengan semua ocehan bodoh tentang musim dingin yang di temani dengan boneka salju yang telah meleleh karena hujan semalam dan hari ini hanya akan salju sepanjang hari.
Dengan hati berbunga-bunga Emi menjatuhkan bokongnya ke atas kursi yang sudah satu bulan lebih ia tinggalkan. Walau kadang ia datang kemari karena harus mengerjakan tugas bodoh yang gurunya berikan.
"Nikmatnya." batin Emi kesenangan.
Tetapi sebelum semua kebahagiaan itu datang untuk Emi. Tiba-tiba seorang anak laki-laki duduk di sampingnya dengan sebuah coklat dan setangkai bunga Mimosa di tangannya yang sepertinya Emi pernah lihat.
Walau Emi tidak suka dengan penganggu itu bukan berarti Emi akan marah-marah untuk kebahagiaan yang telah hancur berkeping-keping karena ulahnya. Emi tidak akan melakukan hal bodoh yang orang lain lakukan sebab Emi bukan salah satu dari orang bodoh itu.
"Emi!"
Mendengar seseorang memanggil namanya membuat Emi seketika menoleh ke arah sumber suara. Hingga ia mendapati sang penganggu itu tersenyum kepadanya.
Dan paling menjengkelkan orang bodoh itu sepertinya senang melihat wajah kesal Emi, membuat Emi seketika teringat akan ucapan mamanya yang berkata harus bersikap sopan kepada siapapun walau sekalipun itu orang gila.
"Kau memanggilku?" tanya Emi dengan sopan seolah tak ada yang terjadi.
Anak laki-laki itu menjawab, "Tidak."
Emi mengangguk paham lalu menyusun semua buku-bukunya ke dalam laci dan tentunya sebuah buku harian yang selalu ia bawa. Kemudian Emi menggambar seekor kupu-kupu merah yang tak sengaja lewat dari balik jendela yang tepat disampingnya.
Belum lagi Emi menyelesaikan gambarannya, wali kelasnya telah datang dengan seorang anak perempuan yang sangat cantik. Bahkan Emi yakin jika ia seorang laki-laki mungkin secepatnya akan menikahinya walau Emi tidak tahu akan memberinya makan dengan apa.
"Haha, mungkin dengan wajah tampanku." batin Emi tertawa walau tangannya masih saja sibuk dengan kupu-kupu kertasnya.
Tidak seperti dengan teman-teman sekelasnya yang sangat antusias dengan pemandangan yang tersaji di depan mata mereka, kecuali orang bodoh di sampingnya yang terus saja tersenyum padanya.
Entah apa yang wali kelasnya ucapkan, Emi tidak mendengarnya sama sekali. Bahkan Emi tidak berniat untuk melihat wajah wanita yang sangat mirip dengan mamanya atau mungkin itu adalah mamanya. Tetapi itu tidak pernah terjadi karena mamanya tidak pernah memakai sepatu high heels.
"Siap!"
Seekor kupu-kupu telah terbentuk di dalam buku hariannya membuat rasa bangga menyelimuti Emi saat ini. Hingga tanpa sadar Emi melempar ujung rambutnya ke udara dan suara tawa pun terdengar di telinganya.
Emi melihat ke samping, namun anak laki-laki itu telah menghilang. Tetapi tidak sampai pikiran Emi berkeliaran, ia mendengar suara yang sepertinya ia kenal sekarang tengah berdiri di depan bersama anak perempuan cantik itu.
"Namaku Queen Christy. Aku berharap dapat berteman dengan kalian semua!" ucap anak perempuan itu dengan wajah malu-malunya.
"Lalu perkenalkan namamu, nak!" titah wali kelas Emi kepada seorang anak laki-laki yang tadi di samping Emi, membuat Emi terlonjak kaget jika mengira ia adalah teman sekelasnya yang tidak pernah ia kenal.
"Evan. Kalian bisa memanggilku dengan Epan jika kalian sedang kesal denganku. Atau Erang jika kalian sedang marah padaku. Dan Evan Williams jika kalian ingin berteman denganku!"
Mendengar itu sontak seisi kelas tertawa akan candaan anak laki-laki itu. Walau Emi tidak ikut, karena ia merasa itu hanya ucapan bodoh atau lebih tepatnya seorang badut yang sedang menghibur bayi kecil yang tengah menangis.
"E panci jika aku sedang ingin mengejekmu, haha." batin Emi tertawa dengan ide cemerlang yang keluar dari kepala pintarnya dan itu membuat moodnya menjadi lebih bagus dari sebelumnya.
"Kalau begitu Evan, kau boleh duduk di samping Emi! Dan Queen di sebelahnya. Kalian mengerti?" ucap sang wali kelas dengan lembut.
Sembari memainkan jemarinya yang baru kemarin ia warnai dengan warna merah membuatnya tampak seperti penyihir kejam di dalam cerita snow white. Tetapi sang wali kelas tidak tahu itu, karena yang ia inginkan hanya terlihat cantik dan anggun di usianya yang tidak lagi muda.
Kedua bocah itu mengangguk lalu duduk seperti yang wali kelasnya ucapkan. Anak laki-laki yang bernama Evan itu sekilas menatap wajah Emi membuat Emi seperti sedang di pantau. Atau lebih parahnya sedang di intai seperti film penjahat yang ia tonton dari media sosial.
"E mie jika aku sedang ingin mengejekmu!" ucap Evan kepada Emi.
Lalu ia duduk di kursinya tanpa melepaskan kontak mata dari anak perempuan yang dapat membuatnya sedikit lebih bahagia di musim dinginnya yang terlalu indah untuk di akhiri.
Sedangkan Emi yang mendengar itu hanya dapat melongo bodoh. Karena tidak percaya dengan apa yang ia dengar dari badut yang terus saja memandanginya dengan senyum di bibirnya.Lalu dengan berusaha bersikap biasa Emi bertanya, "Apa kau mengejekku?""Tidak."Setelahnya kepala Emi, ia gunakan melihat wali kelasnya. sebelum ia benar-benar kehilangan akal karenanya. Emi mendengar wali kelasnya dan semua pelajaran membosankan yang harus ia terima setiap harinya, kecuali hari minggu. Karena hari itu mereka harus beribadah.Namun sudah beberapa kali mencoba untuk fokus, Emi tetap saja tidak bisa mendengar penjelasan wali kelasnya dengan baik. Sekalipun Emi telah membuka matanya lebar-lebar untuk melihat rumus bodoh yang harus ia ketahui dalam beberapa menit. Sebelum tugas payah itu datang untuk memberinya hari sial."Emi, apa kau mendengar penjelasan ibu?" tanya wali kelasnya.&nbs
Di penghujung jalan terlihatlah seorang anak perempuan yang sedang melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa agar ia dapat sampai di depan rumahnya secepat mungkin. Dan tak terjebak oleh badai salju yang kian besar. Walau ia ingat jika berita cuaca mengatakan hari akan cerah. Tetapi kali ini peramal itu salah besar membuat anak perempuan itu menyesal telah mendengarkan sang pembohong. Anak perempuan itu tidak tahu apa yang ia mimpikan semalam. Hingga mendapatkan kesialan yang terus-terusan menghampirinya bahkan sampai detik ini. Tetapi yang ia ingat jika tadi malam. Ia bermimpi tentang seekor ular kecil berwarna putih datang mengikutinya entah dari mana lalu mengejarnya. Hingga ular itu menggigit anak perempuan itu dan teriakan pagi pun keluar dari mulutnya yang mengharuskan ia mendengar ocehan mamanya yang sangat menyebalkan. Sungguh pagi yang sial. "Mimpi yang seram." batin anak perempuan itu bergidik ngeri
Lalu ia naik ke atas untuk sekedar berbaring menikmati hari-harinya yang hampa dan akan selalu seperti itu. Tanpa ada hal lainnya yang mungkin terjadi. Cukup menyedihkan, padahal Emi seharusnya mendapatkan hari-hari dengan tawa tetapi takdir tidak ingin itu.Kini Emi tengah merebahkan tubuhnya dengan sebuah surat di tangan kecil Emi yang mulai menghangat. Ia terus saja melihat kertas itu tanpa ada rasa bosan sedikitpun hingga tak sengaja Emi merobeknya membuat selembar kertas jatuh di atas tubuhnya.Dengan penuh hati-hati Emi membaca surat yang mungkin ke- 101 kalinya ia dapat dari tasnya yang entah dari siapa. Dan yang paling menjengkelkan adalah surat itu hanya berisi angka dan nama Emi yang tertulis dengan warna biru muda. Tidak ada hal lainnya dan itu berhasil membuat Emi sedikit emosi."101, Emi." Begitulah isi surat yang Emi dapatkan selama ini. Tidak ada hal lain yang menarik di dalamnya karena surat itu hanya sebuah permainan bodoh yang membuat siapapun
Pagi telah tiba namun Emi hanya mendapati hujan yang terus saja membasahi bumi yang membuatnya hanya bisa terdiam seperti orang bodoh di balik jendela kamar sembari melihat teman-temannya yang kegirangan di bawah langit yang siap membuat mereka menjadi manusia petir.Emi tak habis pikir dengan orang-orang bodoh itu. Mereka terlihat sangat senang dengan cairan menjijikkan yang terus saja membasahi mereka.Tidak seperti Emi yang sangat membencinya bahkan Emi tidak ingin melihat atau bersentuhan dengan sejenisnya. Sekalipun itu air yang Emi minum sehari-hari bahkan ia lebih memilih untuk tidak minum daripada harus menelan racun itu.Dengan hembusan nafas yang panjang, Emi melihat sekitarnya berharap sebuah cahaya matahari akan menghampirinya. Namun, entah telah berapa lama ia menunggu tetap saja tidak mendapatkan apa-apa. Membuat Emi hanya dapat menyantap mie yang mamanya berikan tadi pagi karena ia masih belum ingin
"Ya sudah. Habiskan makanannya lalu pulanglah dengan cepat. Dan nanti mama akan pergi ke toko untuk membeli bahan makanan karena isi kulkas mulai habis!" ucap mama Emi kemudian ikut makan dengan putrinya."Oh iya, apa ada yang Emi inginkan biar mama beli?"Emi menggeleng, "Tidak, ma!"Setelahnya semua di selimuti keheningan dan hanya ada bunyi suara sendok Emi yang terus berusaha mengeringkan brokoli hijaunya. Lalu memakannya dengan susah payah hingga tak terasa nasinya telah habis begitu juga dengan dagingnya.Emi berpamitan dengan mamanya. Kemudian berlari ke garasi untuk membawa sepeda dan mengayuhnya ke jalanan bersama buku hariannya yang tak lupa ia bawa.Karena nantinya Emi akan menggambar setangkai bunga liar kecil yang ada di taman, bahkan Emi terus saja memikirkan posisi mana yang akan ia gambar agar bunga liar kecil itu dapat hidup di atas kertas Emi.Jalanan agak sunyi karena sehabis hujan dan angin sangat dingin namun Emi t