Home / Romansa / WATER / Lotus 102

Share

Lotus 102

Pagi telah tiba namun Emi hanya mendapati hujan yang terus saja membasahi bumi yang membuatnya hanya bisa terdiam seperti orang bodoh di balik jendela kamar sembari melihat teman-temannya yang kegirangan di bawah langit yang siap membuat mereka menjadi manusia petir.

Emi tak habis pikir dengan orang-orang bodoh itu. Mereka terlihat sangat senang dengan cairan menjijikkan yang terus saja membasahi mereka. 

Tidak seperti Emi yang sangat membencinya bahkan Emi tidak ingin melihat atau bersentuhan dengan sejenisnya. Sekalipun itu air yang Emi minum sehari-hari bahkan ia lebih memilih untuk tidak minum daripada harus menelan racun itu.

Dengan hembusan nafas yang panjang, Emi melihat sekitarnya berharap sebuah cahaya matahari akan menghampirinya. Namun, entah telah berapa lama ia menunggu tetap saja tidak mendapatkan apa-apa. Membuat Emi hanya dapat menyantap mie yang mamanya berikan tadi pagi karena ia masih belum ingin bertatapan lebih lama dengan wanita yang telah melahirkannya.

Bola mata Emi melihat benda menjijikan yang terus saja membasahi taman bunga miliknya. Rasanya Emi ingin sekali menutupi harta karunnya dari semua itu, tetapi ia tidak bisa lakukan itu. Karena mamanya akan berteriak sebelum ia melangkahkan kakinya keluar yang alhasil Emi hanya bisa terdiam sembari menikmati mie yang mulai hampir habis karena mulut rakusnya.

"Air, air, air. Sungguh menjijikkan sama seperti orang-orang munafik itu!"

"Besok aku harus masuk sekolah," ucap Emi dengan wajah datarnya mengingat betapa menjengkelkannya teman-teman sekelasnya yang terus saja bersikap sok ramah. Padahal Emi tahu jika di belakangnya, mereka menceritakan keburukan Emi.

Memikirkan hal itu membuat Emi menjadi kehilangan nafsu makannya. Lalu dengan malas ia kembali berbaring di atas kasur putih bersih sesuai keinginan mamanya walau sebenarnya Emi tidak terlalu suka dengan itu semua. 

Emi melihat langit-langit kamarnya hingga ia teringat dengan surat yang ia dapat tadi subuh di dalam pot bunga yang ada di depan rumahnya. Dan untungnya Emi mengambilnya sebelum surat itu menjadi bubur yang hambar.

Dengan terburu-buru Emi merogoh surat itu dari balik buku harian miliknya. Emi mengambilnya kemudian menatapnya dengan senyum yang terukir di bibirnya. 

Walau Emi tidak tahu untuk apa ia tersenyum, padahal hari sebelumnya ia sangat marah. Tetapi apapun itu, jauh di lubuk hatinya Emi bahagia bisa mendapatkan surat bodoh itu.

"102, Emi."

"Entah apa maksudnya? Orang bodoh itu selalu menulis hal yang sama setiap memberiku surat!" batin Emi jengkel.

Melihat itu dengan kesal Emi berputar ke kiri ke kanan berharap kepalanya tidak lagi memberontak untuk sebuah jawaban yang dapat menenangkannya atau hal yang dapat ia lakukan di tengah hujan.

Sesaat Emi ingin berteriak karena frustasi, mamanya terlebih dahulu memanggilnya dari lantai bawah. Dan dengan langkah berat Emi menemui sang wanita yang super cerewet bahkan kepala kotor Emi pernah terlintas untuk berdoa kepada Tuhan agar mulut mamanya tidak lagi berfungsi. 

Namun setelahnya, ia langsung jatuh sakit bahkan Emi ingat jika ia demam hingga berhari-hari dan sembuh setelah ia meminta maaf. Sungguh pengalaman yang menyeramkan.

"Apa, ma?" tanya Emi dengan wajah datarnya.

Mama Emi tersenyum melihat putrinya yang semakin hari semakin besar saja, padahal rasanya ia baru saja melahirkan seorang bayi kecil. Dan kini bayi itu telah berubah menjadi seorang putri cantik baginya. 

Lalu ia pun menjawab, "Tadi temanmu memberikan bunga Mimosa untukmu padahal ini musim dingin. Entah darimana ia dapatkan itu. Oh iya, anak laki-laki itu juga berpesan agar kau tidak terlalu mengurung diri di dalam kamar! Mama juga setuju itu!"

Mendengarnya membuat dahi Emi berkerut bahkan rasanya Emi ingin sekali menemui orang sok bijak itu. Agar ia mengatakan bahwa omong kosongnya tidak berguna sama sekali. Dan Emi akan mengajarkannya tentang tata krama yang baik dan benar, agar besok sang pengirim surat tahu dalam berbicara sebelum Emi harus mendengar ocehan mamanya yang sangat berisik dalam ukuran seorang wanita yang seusia dengan wali kelasnya.

Walau kesal Emi tetap mengambil bunga yang mamanya berikan padanya. Setelahnya Emi menaiki tangga agar ia dapat kembali ke dalam kamarnya dan membiarkan jiwanya tenang di dalam suasana hening yang ia sukai tanpa harus mendengar suara mamanya yang begitu menjengkelkan.

Dan kini Emi kembali menatap surat yang tadi ia buang bersama dengan sebungkus coklat yang di dalam tumpukan bunga Mimosa yang indah membuat tangan Emi secepatnya untuk mengambil harta karun itu sebelum hancur atau mengotori lantainya dan ia harus berakhir dengan mamanya.

Emi melihat surat itu dan masih saja mendapati hal yang sama setiap harinya. Yaitu namanya yang di tulis dengan warna biru muda dan sebuah angka di dalamnya, tanpa ada kata-kata lain membuat Emi hanya dapat mendengus kesal.

"Sudahlah. Lupakan tentang suratnya dan mari lihat bunga mini ini!" pikir Emi.

Setelahnya Emi menyimpan surat itu ke dalam lacinya. Lalu memakan coklat yang terjatuh dari dalam tumpukan Mimosa. Emi memakannya tanpa ada rasa curiga sedikitpun.

Bahkan Emi tidak berpikir hal kotor seperti seseorang yang akan meracuninya atau mungkin ada orang lain yang ingin membunuhnya dengan cara menerornya dengan surat dan coklat yang telah habis Emi makan.

"Enak juga coklatnya. Mungkin pengirimnya seorang pembuat coklat atau penjual makanan kecil."

"Aku jadi penasaran siapa yang memberi coklat itu kepadaku. Tetapi aku tidak tahu harus mendapatkan jawaban dari siapa!" kata Emi dengan nada putus asanya.

"Andai saja orang yang mengirimnya adalah seorang pria tampan yang berusia 23 tahun yang memiliki gingsul, rambut pirang yang berantakan, hidung mancung, dan bola mata biru. Pasti dia sangat tampan. Andai saja dia mau dengan bocah sepertiku!"

"Tetapi aku yakin jika dia pasti sudah memiliki kekasih. Oh, teganya kau bang!" batin Emi sedih melihat kenyataan yang ada di depannya.

Dengan lemas Emi merentangkan kedua tangannya sembari melihat betapa hampa hidupnya yang terus saja seperti itu. Tanpa ada perubahan sedikitpun bahkan hari-hari yang ia miliki dapat Emi hitung dan perkiraan tanpa harus berpikir dua kali.

Dada Emi naik turun seiring dengan nafasnya yang keluar masuk dan wajah datarnya. Emi tidak tahu lagi harus melakukan apa, selain menatap langit-langit kamarnya yang kosong seperti jiwanya. Yang sama sekali tidak memiliki warna selain hitam dan putih seperti gambarannya.

"Emi, apa kau tidak lapar? Ini sudah jam makan siang! Dan kau tidak ingin bermain ke taman karena hujan telah berhenti!" ucap mama Emi dari balik pintu kamarnya dan tidak berniat masuk karena mamanya tahu jika putrinya paling tidak suka seseorang masuk ke dalam kamarnya.

Mendengar berita dari mamanya membuat Emi langsung melihat jendela kamar. Dan benar saja, semuanya yang telah kering walau matahari tidak ada. Karena salju masih saja turun namun itu lebih baik daripada cairan menjijikkan itu.

Dengan putus asa Emi mengikuti langkah mamanya yang menuju dapur yang ada di lantai satu. Hingga mereka sampai membuat Emi dapat melihat beberapa macam makanan kering seperti roti dan selai yang tersaji di atas meja.

"Kau mau segelas susu coklat, Emi?" tanya mama Emi yang tengah menyiapkan sayuran hijau yang ia tumis untuk putri kecilnya.

Emi menggeleng dengan cepat sebelum mamanya akan memberinya air berwarna coklat yang akan merusak tenggorokannya dengan cairan menjijikkan itu. Yang membuatnya tidak dapat berbicara untuk beberapa hari kedepannya dan Emi tidak ingin itu. 

Setelahnya ia menjawab, "Tidak!"

Mendengar itu membuat mama Emi hanya tersenyum lalu menyajikan sayur yang baru saja ia tumis, berharap Emi ingin memakannya agar tubuh putrinya lebih tinggi sedikit. 

Dan suatu hari nanti ia dapat melihat putrinya memakai high heels dengan gaun pengantin yang cantik. Namun itu terlalu cepat untuk anaknya yang masih saja berusia 11 tahun.

"Apa kau akan pergi ke taman?"

"Ya."

"Kalau begitu jangan lupa bawa sepedamu dan jaket agar kau tetap hangat karena mama menonton berita cuaca jika nanti akan ada badai salju."

"Mama tidak terlalu yakin, tetapi setidaknya kau membawanya untuk berjaga-jaga. Kau mendengar mama 'kan Emi?" tanya mama Emi lalu menatap Emi yang sibuk dengan nasi dan daging ayamnya.

Mendengar itu Emi pun menjawab, "Yeah, akan kulakukan!"

"Begitu juga dengan sayur menjijikkan ini! Aku harus bersusah payah mengeringkannya dari cairan bodoh ini sebelum semua isi perutku keluar dan aku harus tinggal di rumah hantu itu." batin Emi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status