Sedangkan Emi yang mendengar itu hanya dapat melongo bodoh. Karena tidak percaya dengan apa yang ia dengar dari badut yang terus saja memandanginya dengan senyum di bibirnya.
Lalu dengan berusaha bersikap biasa Emi bertanya, "Apa kau mengejekku?"
"Tidak."
Setelahnya kepala Emi, ia gunakan melihat wali kelasnya. sebelum ia benar-benar kehilangan akal karenanya. Emi mendengar wali kelasnya dan semua pelajaran membosankan yang harus ia terima setiap harinya, kecuali hari minggu. Karena hari itu mereka harus beribadah.
Namun sudah beberapa kali mencoba untuk fokus, Emi tetap saja tidak bisa mendengar penjelasan wali kelasnya dengan baik. Sekalipun Emi telah membuka matanya lebar-lebar untuk melihat rumus bodoh yang harus ia ketahui dalam beberapa menit. Sebelum tugas payah itu datang untuk memberinya hari sial.
"Emi, apa kau mendengar penjelasan ibu?" tanya wali kelasnya.
"Tidak bu." batin Emi.
"Kau mendengar ibu 'kan Emi?" tanya wali kelas Emi untuk kedua kalinya. Karena Emi tidak menjawab sama sekali. Walau matanya tertuju kepada wajah wali kelasnya yang mulai naik darah. Hanya karena siswinya yang tidak pernah tobat dari sifat masa bodohnya.
"Iya bu!" jawab Emi pendek. Dan mencoba untuk bersabar menghadapi wanita cerewet yang terus saja bertanya mengenai hal yang sudah tentu ia ketahui jawabannya.
"Baiklah, kalau begitu dengar ibu! Karena ini adalah rumus penting untuk masa depanmu sebelum kau menjadi gelandangan!"
"Yeah, setidaknya aku punya kekasih daripada menjadi perawan tua!" jawab Emi pelan.
Namun entah angin apa yang mengantar pesannya membuat wali kelasnya menjadi marah besar karena ucapan bijak Emi. Yang telah berhasil membawanya ke depan tiang bendera. Dan ditemani orang yang sama setiap tahunnya.
"Di hukum lagi?"
"Apa kedua bola mata itu hanya sebuah pajangan?" tanya Emi dengan kesal melihat orang bodoh yang selalu menanyakan hal yang sudah ia ketahui. Sama seperti wanita yang telah mengantarkannya ke sini dengan susah payah. Yang hanya untuk menghormati benda mati yang melayang-layang bersama angin.
"Haha, kau tidak berubah walau musim dingin telah datang. Apa sinterklas tidak mengunjungimu?" tanyanya.
"Bisa diam tidak? Aku tidak suka mendengar kebacotanmu di pagi hari sial ini!" jawab Emi. Lalu ia pergi berjalan menuju tempat dimana seharusnya ia di tempatkan. Yang tidak lain dan tidak bukan adalah kantin.
Emi melihat dompet Doraemonnya terlebih dahulu sebelum ia kehilangan kendali akan hidupnya. Setelahnya ia memesan semangkok mie pedas. Dan tentunya itu kering, tidak basah dengan benda menjijikkan itu.
"Ini dia mie yang nona pesan. Kalau mau sesuatu cukup panggil bibi ya!"
Emi tidak menjawab melainkan langsung memakan mienya tanpa memperdulikan sosok bodoh yang terus saja menatapnya. Bahkan Emi yakin jika bola mata orang itu akan meledak saat sendok garpu yang ada di tangannya menyentuhnya.
"Bisa tidak jangan tatap aku?" ucap Emi dengan jengkelnya. Karena terus ditatap seakan ia seorang buronon. Bahkan rasanya Emi seperti sedang di permainkan oleh badut pembuat onar di sekolahnya. Walau Emi sebenarnya belum benar-benar mengenal mahluk itu.
Anak laki-laki itu tertawa mendengar suara Emi yang terdengar seperti anak anjingnya yang sedang marah. Imut dan tentunya menyeramkan. Ia terus saja tertawa walau wajah Emi semakin pahit seperti es kopi di tangannya. Namun, baginya itu adalah bagian terbaik dari seorang Emi.
"Haha, bagaimana bisa kau makan dengan tenang saat wali kelasmu menghukummu? Apa kau kehilangan akal karena kelaparan?" godanya.
Karena menurutnya menjahili seorang Emi adalah salah satu cara menghibur diri dari masalah yang sedang terjadi. Dan membuatnya harus melakukan hal yang akan mempererat hubungan mereka, yaitu menggoda anak perempuan pendiam itu.
Emi menggerutu. Lalu menjawab, "Apa bedanya denganmu?"
"Bedanya aku seorang laki-laki dan kau adalah perempuan!" jawabnya dengan cepat.
"Cih!"
"Diskriminasi!" sambung Emi dengan mulutnya yang langsung melahap mienya sebelum wali kelas cerewet itu datang. Dan melihat kejahatan yang ia lakukan. Yang mungkin akan membuat Emi mendapatkan masalah paling berat di dalam hidupnya. Yaitu, harus mendengar dua wanita cerewet berbicara sekaligus di depan telinganya.
Sedangkan anak laki-laki itu malah tertawa mendengar jawaban Emi. Bahkan Emi dapat melihat air matanya yang telah keluar saking bahagianya ia dengan ucapan Emi. Yang membuat Emi hanya dapat melihat bocah bodoh itu tertawa di saat masa kritis hidupnya.
"Itu bukan diskriminasi tetapi adiliminasi!"
Emi tidak menjawab. Ia hanya terus memakan mienya walau sesekali harus menoleh ke kiri dan ke kanan. Karena untuk memastikan jika wanita cerewet itu tidak datang lagi dengan sejuta kamus yang menempel di bibir merahnya.
Bahkan sesekali terlintas di kepala Emi untuk mengatakan bahwa mulut wali kelasnya sama seperti kereta api ekspres. Begitu cepat dan berisik.
"Aku siap!" seru Emi dengan lantang. Lalu menghampiri penjaga kantin dan membayar makanannya. Tanpa membeli minuman untuk meredakan rasa sakit di perutnya.
Anak laki-laki itu masih saja duduk di tempatnya sembari melihat langkah kaki Emi yang berjalan ke lapangan. Yang tepat di bawahnya, karena kantin yang mereka singgahi berada di lantai 2 sedangkan kelas mereka ada di lantai 4.
Emi tersenyum melihat bendera itu telah menghilang dari tiang bodoh yang hampir setiap hari ia kunjungi. Hanya karena ucapan bijaknya yang tidak pernah dihargai oleh guru-gurunya. Bahkan Emi pernah di suruh mengelilingi sekolah karena mengatakan penjelasan dan tugas yang gurunya berikan tidak masuk akal sama seperti nasehat mereka.
"Yosh!" ucap Emi. Lalu ia berdiri di depan tiang yang seperti ia lakukan tadi. Dan menunggu detik-detik terakhir bunyi suara kemerdekaan.
"1, 2, 3, 4, 5."
"8, 9, dan 10!"
Teng.. teng..
"Istirahat!!" teriak Emi dengan kerasnya. Kemudian dengan cepat ia berlari ke lantai 4 untuk menemui kotak makan siang yang mamanya buatkan.
Tetapi sesaat telah sampai, wali kelasnya masih saja di dalam membuat Emi jengkel sendiri. Lalu dengan kesal, Emi menunggu wali kelasnya di balik tubuh temannya. Yang tak lain adalah Daisy yang ada di kelas sebelah.
"Kau masih saja berulah padahal sudah sebesar ini. Memangnya kau tidak bosan dengan semuanya, Emi?" tanya Daisy yang harus membawanya ke dalam kelasnya. Karena telah lelah untuk terus berdiri seperti orang gila yang sedang bercosplay roti lapis.
Sedangkan Emi yang sudah tidak tahan lagi dengan semua ocehan bodoh temannya. Membuat sebuah pensil menyentuh bibir anak perempuan itu. Bahkan dengan sengaja Emi memasukkan ke dalam mulutnya sembari bersenandung tanpa ada rasa bersalah.
"Apa yang kau lakukan Emi? Apa kau sudah buta jika itu pensil? Kau tidak tahu jika perbuatanmu ini dapat dikenakan pasal pembunuhan. Dan kau bisa saja di penjarakan kurun waktu 3 tahun!" teriak Daisy membuat seisi kelas melihat mereka.
Tetapi Emi tidak memperdulikan itu. Karena yang ia pikirkan saat ini adalah kotak makan siangnya yang berisi daging kenikmatan.
Dengan santai Emi menjawab, "Aku masih berusia 11 tahun. Dan bocah berusia 11 tahun tidak bisa di penjara kecuali hakimnya bodoh sepertimu!"
"Dan tentunya sok bijak. Padahal hanya mengandalkan g****e saja." sambung batin Emi.
Mendengar itu membuat Daisy langsung berteriak histeris saking kesalnya ia dengan jawaban Emi. Dan itu benar-benar menjengkelkan. Bahkan rasanya Daisy ingin sekali melakukan hal buruk kepadanya.
Namun, anak perempuan itu tidak bisa. Karena Emi adalah pahlawannya dari kecil. Yang membuatnya hanya bisa bersabar dan berdoa agar Tuhan mau menjauhkannya dari segala macam iblis. Terutama iblis bermulut kotor.
Emi tidak mendengar ocehan temannya. Malah ia terus saja melihat pintu hingga wali kelasnya telah keluar. Yang membuat Emi dengan cepat berlari meninggalkan Daisy dan semua ocehan sok bijaknya.
"Emi!!!"
Di penghujung jalan terlihatlah seorang anak perempuan yang sedang melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa agar ia dapat sampai di depan rumahnya secepat mungkin. Dan tak terjebak oleh badai salju yang kian besar. Walau ia ingat jika berita cuaca mengatakan hari akan cerah. Tetapi kali ini peramal itu salah besar membuat anak perempuan itu menyesal telah mendengarkan sang pembohong. Anak perempuan itu tidak tahu apa yang ia mimpikan semalam. Hingga mendapatkan kesialan yang terus-terusan menghampirinya bahkan sampai detik ini. Tetapi yang ia ingat jika tadi malam. Ia bermimpi tentang seekor ular kecil berwarna putih datang mengikutinya entah dari mana lalu mengejarnya. Hingga ular itu menggigit anak perempuan itu dan teriakan pagi pun keluar dari mulutnya yang mengharuskan ia mendengar ocehan mamanya yang sangat menyebalkan. Sungguh pagi yang sial. "Mimpi yang seram." batin anak perempuan itu bergidik ngeri
Lalu ia naik ke atas untuk sekedar berbaring menikmati hari-harinya yang hampa dan akan selalu seperti itu. Tanpa ada hal lainnya yang mungkin terjadi. Cukup menyedihkan, padahal Emi seharusnya mendapatkan hari-hari dengan tawa tetapi takdir tidak ingin itu.Kini Emi tengah merebahkan tubuhnya dengan sebuah surat di tangan kecil Emi yang mulai menghangat. Ia terus saja melihat kertas itu tanpa ada rasa bosan sedikitpun hingga tak sengaja Emi merobeknya membuat selembar kertas jatuh di atas tubuhnya.Dengan penuh hati-hati Emi membaca surat yang mungkin ke- 101 kalinya ia dapat dari tasnya yang entah dari siapa. Dan yang paling menjengkelkan adalah surat itu hanya berisi angka dan nama Emi yang tertulis dengan warna biru muda. Tidak ada hal lainnya dan itu berhasil membuat Emi sedikit emosi."101, Emi." Begitulah isi surat yang Emi dapatkan selama ini. Tidak ada hal lain yang menarik di dalamnya karena surat itu hanya sebuah permainan bodoh yang membuat siapapun
Pagi telah tiba namun Emi hanya mendapati hujan yang terus saja membasahi bumi yang membuatnya hanya bisa terdiam seperti orang bodoh di balik jendela kamar sembari melihat teman-temannya yang kegirangan di bawah langit yang siap membuat mereka menjadi manusia petir.Emi tak habis pikir dengan orang-orang bodoh itu. Mereka terlihat sangat senang dengan cairan menjijikkan yang terus saja membasahi mereka.Tidak seperti Emi yang sangat membencinya bahkan Emi tidak ingin melihat atau bersentuhan dengan sejenisnya. Sekalipun itu air yang Emi minum sehari-hari bahkan ia lebih memilih untuk tidak minum daripada harus menelan racun itu.Dengan hembusan nafas yang panjang, Emi melihat sekitarnya berharap sebuah cahaya matahari akan menghampirinya. Namun, entah telah berapa lama ia menunggu tetap saja tidak mendapatkan apa-apa. Membuat Emi hanya dapat menyantap mie yang mamanya berikan tadi pagi karena ia masih belum ingin
"Ya sudah. Habiskan makanannya lalu pulanglah dengan cepat. Dan nanti mama akan pergi ke toko untuk membeli bahan makanan karena isi kulkas mulai habis!" ucap mama Emi kemudian ikut makan dengan putrinya."Oh iya, apa ada yang Emi inginkan biar mama beli?"Emi menggeleng, "Tidak, ma!"Setelahnya semua di selimuti keheningan dan hanya ada bunyi suara sendok Emi yang terus berusaha mengeringkan brokoli hijaunya. Lalu memakannya dengan susah payah hingga tak terasa nasinya telah habis begitu juga dengan dagingnya.Emi berpamitan dengan mamanya. Kemudian berlari ke garasi untuk membawa sepeda dan mengayuhnya ke jalanan bersama buku hariannya yang tak lupa ia bawa.Karena nantinya Emi akan menggambar setangkai bunga liar kecil yang ada di taman, bahkan Emi terus saja memikirkan posisi mana yang akan ia gambar agar bunga liar kecil itu dapat hidup di atas kertas Emi.Jalanan agak sunyi karena sehabis hujan dan angin sangat dingin namun Emi t
Dengan rasa malas Emi harus bangun pagi untuk bersekolah yang membuatnya hanya bisa pasrah dengan semua ocehan berisik mamanya yang terus mengulangi perkataannya tentang langkah baru yang membuat Emi menyesal dapat melihat langit kamarnya."Nanti saat di sekolah kau jangan kebanyakan diam, karena itu tidak baik untukmu. Cobalah berbicara dengan teman sekelasmu. Misalnya, tanyakan apa mereka bersenang-senang dengan musim dinginnya? Atau kau bisa bicarakan hari musim dinginmu kepada mereka!""Akan kucoba!" jawab Emi lalu pergi berpamitan, sebelum ia benar-benar akan gila jika lebih lama lagi di dalam bersama mamanya dan semua mimpi buruk yang ia mimpikan tadi malam.Emi begitu malas dengan semua orang-orang yang di sekitarnya. Ia tidak suka bersekolah di sekolah umum karena itu sangat melelahkan bagi seorang Emi tetapi ia tidak punya pilihan lain.Lalu dengan langkah pelan Emi berjalan menuju sekolahnya yang tidak terlalu jauh dari rumahny
Sedangkan Emi yang mendengar itu hanya dapat melongo bodoh. Karena tidak percaya dengan apa yang ia dengar dari badut yang terus saja memandanginya dengan senyum di bibirnya.Lalu dengan berusaha bersikap biasa Emi bertanya, "Apa kau mengejekku?""Tidak."Setelahnya kepala Emi, ia gunakan melihat wali kelasnya. sebelum ia benar-benar kehilangan akal karenanya. Emi mendengar wali kelasnya dan semua pelajaran membosankan yang harus ia terima setiap harinya, kecuali hari minggu. Karena hari itu mereka harus beribadah.Namun sudah beberapa kali mencoba untuk fokus, Emi tetap saja tidak bisa mendengar penjelasan wali kelasnya dengan baik. Sekalipun Emi telah membuka matanya lebar-lebar untuk melihat rumus bodoh yang harus ia ketahui dalam beberapa menit. Sebelum tugas payah itu datang untuk memberinya hari sial."Emi, apa kau mendengar penjelasan ibu?" tanya wali kelasnya.&nbs
Dengan rasa malas Emi harus bangun pagi untuk bersekolah yang membuatnya hanya bisa pasrah dengan semua ocehan berisik mamanya yang terus mengulangi perkataannya tentang langkah baru yang membuat Emi menyesal dapat melihat langit kamarnya."Nanti saat di sekolah kau jangan kebanyakan diam, karena itu tidak baik untukmu. Cobalah berbicara dengan teman sekelasmu. Misalnya, tanyakan apa mereka bersenang-senang dengan musim dinginnya? Atau kau bisa bicarakan hari musim dinginmu kepada mereka!""Akan kucoba!" jawab Emi lalu pergi berpamitan, sebelum ia benar-benar akan gila jika lebih lama lagi di dalam bersama mamanya dan semua mimpi buruk yang ia mimpikan tadi malam.Emi begitu malas dengan semua orang-orang yang di sekitarnya. Ia tidak suka bersekolah di sekolah umum karena itu sangat melelahkan bagi seorang Emi tetapi ia tidak punya pilihan lain.Lalu dengan langkah pelan Emi berjalan menuju sekolahnya yang tidak terlalu jauh dari rumahny
"Ya sudah. Habiskan makanannya lalu pulanglah dengan cepat. Dan nanti mama akan pergi ke toko untuk membeli bahan makanan karena isi kulkas mulai habis!" ucap mama Emi kemudian ikut makan dengan putrinya."Oh iya, apa ada yang Emi inginkan biar mama beli?"Emi menggeleng, "Tidak, ma!"Setelahnya semua di selimuti keheningan dan hanya ada bunyi suara sendok Emi yang terus berusaha mengeringkan brokoli hijaunya. Lalu memakannya dengan susah payah hingga tak terasa nasinya telah habis begitu juga dengan dagingnya.Emi berpamitan dengan mamanya. Kemudian berlari ke garasi untuk membawa sepeda dan mengayuhnya ke jalanan bersama buku hariannya yang tak lupa ia bawa.Karena nantinya Emi akan menggambar setangkai bunga liar kecil yang ada di taman, bahkan Emi terus saja memikirkan posisi mana yang akan ia gambar agar bunga liar kecil itu dapat hidup di atas kertas Emi.Jalanan agak sunyi karena sehabis hujan dan angin sangat dingin namun Emi t
Pagi telah tiba namun Emi hanya mendapati hujan yang terus saja membasahi bumi yang membuatnya hanya bisa terdiam seperti orang bodoh di balik jendela kamar sembari melihat teman-temannya yang kegirangan di bawah langit yang siap membuat mereka menjadi manusia petir.Emi tak habis pikir dengan orang-orang bodoh itu. Mereka terlihat sangat senang dengan cairan menjijikkan yang terus saja membasahi mereka.Tidak seperti Emi yang sangat membencinya bahkan Emi tidak ingin melihat atau bersentuhan dengan sejenisnya. Sekalipun itu air yang Emi minum sehari-hari bahkan ia lebih memilih untuk tidak minum daripada harus menelan racun itu.Dengan hembusan nafas yang panjang, Emi melihat sekitarnya berharap sebuah cahaya matahari akan menghampirinya. Namun, entah telah berapa lama ia menunggu tetap saja tidak mendapatkan apa-apa. Membuat Emi hanya dapat menyantap mie yang mamanya berikan tadi pagi karena ia masih belum ingin
Lalu ia naik ke atas untuk sekedar berbaring menikmati hari-harinya yang hampa dan akan selalu seperti itu. Tanpa ada hal lainnya yang mungkin terjadi. Cukup menyedihkan, padahal Emi seharusnya mendapatkan hari-hari dengan tawa tetapi takdir tidak ingin itu.Kini Emi tengah merebahkan tubuhnya dengan sebuah surat di tangan kecil Emi yang mulai menghangat. Ia terus saja melihat kertas itu tanpa ada rasa bosan sedikitpun hingga tak sengaja Emi merobeknya membuat selembar kertas jatuh di atas tubuhnya.Dengan penuh hati-hati Emi membaca surat yang mungkin ke- 101 kalinya ia dapat dari tasnya yang entah dari siapa. Dan yang paling menjengkelkan adalah surat itu hanya berisi angka dan nama Emi yang tertulis dengan warna biru muda. Tidak ada hal lainnya dan itu berhasil membuat Emi sedikit emosi."101, Emi." Begitulah isi surat yang Emi dapatkan selama ini. Tidak ada hal lain yang menarik di dalamnya karena surat itu hanya sebuah permainan bodoh yang membuat siapapun
Di penghujung jalan terlihatlah seorang anak perempuan yang sedang melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa agar ia dapat sampai di depan rumahnya secepat mungkin. Dan tak terjebak oleh badai salju yang kian besar. Walau ia ingat jika berita cuaca mengatakan hari akan cerah. Tetapi kali ini peramal itu salah besar membuat anak perempuan itu menyesal telah mendengarkan sang pembohong. Anak perempuan itu tidak tahu apa yang ia mimpikan semalam. Hingga mendapatkan kesialan yang terus-terusan menghampirinya bahkan sampai detik ini. Tetapi yang ia ingat jika tadi malam. Ia bermimpi tentang seekor ular kecil berwarna putih datang mengikutinya entah dari mana lalu mengejarnya. Hingga ular itu menggigit anak perempuan itu dan teriakan pagi pun keluar dari mulutnya yang mengharuskan ia mendengar ocehan mamanya yang sangat menyebalkan. Sungguh pagi yang sial. "Mimpi yang seram." batin anak perempuan itu bergidik ngeri