Di penghujung jalan terlihatlah seorang anak perempuan yang sedang melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa agar ia dapat sampai di depan rumahnya secepat mungkin. Dan tak terjebak oleh badai salju yang kian besar. Walau ia ingat jika berita cuaca mengatakan hari akan cerah. Tetapi kali ini peramal itu salah besar membuat anak perempuan itu menyesal telah mendengarkan sang pembohong.
Anak perempuan itu tidak tahu apa yang ia mimpikan semalam. Hingga mendapatkan kesialan yang terus-terusan menghampirinya bahkan sampai detik ini.
Tetapi yang ia ingat jika tadi malam. Ia bermimpi tentang seekor ular kecil berwarna putih datang mengikutinya entah dari mana lalu mengejarnya. Hingga ular itu menggigit anak perempuan itu dan teriakan pagi pun keluar dari mulutnya yang mengharuskan ia mendengar ocehan mamanya yang sangat menyebalkan. Sungguh pagi yang sial.
"Mimpi yang seram." batin anak perempuan itu bergidik ngeri mengingat mimpi menakutkan itu menghampiri kepalanya.
Ia berharap itu semua tidak pernah terjadi di dalam hidupnya atau untuk detik ini. Tidak sampai ia bertemu seseorang yang akan mengubah hidupnya.
Anak perempuan itu menoleh ke sana kemari untuk melihat situasi jalan. Apakah ia telah diperbolehkan untuk menyebrang karena ia tidak mau mati setelah bermimpi di gigit ular putih menakutkan, tetapi saat lampu telah berganti warna hijau. Kakinya harus berhenti karena sebuah suara yang menyerukan namanya dan menghampiri telinganya membuat ia seketika berdiri seperti patung hidup.
"Hei!" seru seseorang.
Anak perempuan itu menoleh ke belakang dan matanya menangkap sosok anak laki-laki yang mungkin seusianya yang kini tengah berdiri menatapnya.
Tatapan mereka terkunci satu sama lain. Waktu seketika berhenti. Angin menerpa kulit tubuh kecil kedua sang bocah. Mata anak laki-laki itu begitu indah bagi sang anak perempuan. Yang membuatnya terpaku di dalam sejuta keindahan di bawah hujan salju yang mengenai mereka.
Bibir anak perempuan itu berucap, "Ya?"
Anak laki-laki itu mendengarnya. Ia beranjak dari tempat ia berdiri dan menghampiri seorang gadis kecil dengan rambut pirang sebahu yang di kuncir seperti ekor kuda membuat sebuah senyuman terukir di bibir kecilnya yang begitu manis untuk orang lain. Tetapi tidak untuk anak perempuan yang terus saja mematung tanpa berniat sedikitpun untuk pergi walau salju semakin besar dan mungkin akan ada badai salju.
"Emi," ucapnya.
Anak perempuan itu hanya terdiam tanpa mengucapkan sepatah katapun. Ia telah berdiri di hadapannya dengan sebungkus coklat dan setangkai bunga Mimosa di tangannya.
Anak laki-laki itu kembali tersenyum, namun anak perempuan yang bernama Emi itu masih saja terdiam. Ia bingung tidak tahu harus mengatakan apa-apa selain melihat apa yang akan bocah itu lakukan.
Bulan Januari sebentar lagi akan berakhir. Salju masih turun dengan orang-orang mulai kembali dengan kesibukan rutinitasnya setelah merayakan natal dan tahun baru yang sekali dalam setahun terjadi yang sangat membahagiakan. Begitu pula dengan perasaan anak laki-laki itu sesaat melihat seorang gadis cantik yang hampir setiap hari berada dipikirannya.
Ia masih saja berdiri menatap anak perempuan itu. Yang dapat terus membuatnya tersenyum walau sekalipun musim dinginnya sebentar lagi akan usai. Tetapi itu tidak membuatnya bersedih karena musim lainnya akan datang menghampirinya. Lalu dengan penuh semangat ia kembali berseru, "Emi!"
Dahi anak perempuan itu mulai berkerut karena ia merasa jika orang aneh itu sepertinya ingin mengusilinya membuat berbagai pertanyaan muncul di kepala kecilnya.
"Siapa orang gila ini?" batinnya.
"Aku bukan orang gila, tetapi aku hanya ingin bertemu dengan orang yang ingin kutemui!" jawab anak laki-laki itu. Seakan ia dapat membaca pikiran sang gadis kuncir kuda yang terlihat imut bersama dengan hidungnya yang kecil dan berwarna merah karena kedinginan oleh cuaca.
Anak perempuan itu masih saja terdiam. Ia tidak tahu orang seperti apa yang sedang ia hadapi saat ini. Namun, ia tidak pernah berpikir jika tiba hari dimana dirinya akan menjumpai orang sepertinya. Lalu semua hari-harinya yang harus ia lalui bersamanya kelak.
"Emi!" ucap anak laki-laki itu untuk ketiga kalinya membuat dahi anak perempuan itu berhasil berkerut. Tapi itu tidak membuat wajah anak perempuan itu menjadi jelek bahkan ia terlihat seperti tetesan air hujan yang indah di mata anak laki-laki itu.
Setelahnya ia pergi meninggalkan anak perempuan itu sendirian di trotoar jalan menuju rumahnya. Dengan sedikit menggeleng lalu Emi berjalan pulang karena hari hampir gelap bahkan tanpa sadar matahari sudah tidak lagi di atas kepalanya. Membuat Emi secepatnya berlari agar seorang wanita yang ada di rumah ia tumpangi tidak menceramahinya dan akan membuat telinganya pecah atau sekedar mempekikan rumah siputnya.
Dengan nafas yang terengah-engah Emi memasuki rumah yang ia tinggali. Ia menyesal karena hari ini tidak membawa sepeda. Tetapi Emi bahagia dapat melihat bola mata seindah itu. Ya, walaupun pemiliknya sedikit menyebalkan dan tentunya aneh dalam ukuran anak normal lainnya.
"Kenapa pulang malam, Emi?" tanya seorang wanita paruh baya yang tengah berjalan mendekatinya dengan dress pendek berwarna putih membuat siapapun yang melihatnya tidak akan percaya jika wanita itu telah memiliki seorang putri yang telah besar dan sebentar lagi akan menjadi seorang gadis yang begitu cantik.
Emi menoleh mendapati mamanya dari atas tangga membuat kepalanya mengernyit seolah sesuatu yang tak ia inginkan telah terjadi membuatnya dengan cepat bertanya, "Mama tidak dari kamarku bukan?"
Wanita itu menggeleng sembari tersenyum lalu dengan pelan ia membawa tas Emi. Ia mengeluarkan sebuah sapu tangan putih untuk mengelap cairan yang terus keluar dari pelipis putrinya. Bahkan rasanya cairan itu telah menjadi dingin akibat cuaca yang semakin menurun di tambah langit malam.
Melihat gelengan mamanya membuat Emi dapat bernafas lega karena hal yang tak ia inginkan tidak terjadi. Jika itu terjadi maka habislah ia dan semua jiwa raganya yang harus mendengar omong kosong mamanya yang dapat membuatnya lebih hancur dari hari-hari sebelumnya.
"Apa saat pulang tadi Emi pergi ke rumah Daisy untuk merayakan tahun baru? Kalau memang iya. Apa yang Emi bawa untuk mama?" tanya wanita itu lagi sembari mengelap seluruh wajah putrinya dengan lembut agar putrinya tak kesakitan karena tangannya.
"Tidak. Aku hanya bermain lebih lama karena sekolah dua hari lagi akan di buka!" jawab Emi yang tengah berdiri menunggu mamanya berhenti melakukan hal memalukan itu dan tentunya sangat menyebalkan karena ia paling tidak suka jika seseorang menyentuh tubuhnya. Tetapi wanita itu tidak pernah tahu bahkan mungkin tak akan pernah tahu.
Setelah cukup dirasa lalu wanita itu menyuruh Emi untuk naik ke kamarnya agar ia dapat secepatnya mandi. Sebelum air semakin dingin dan mengajaknya untuk makan malam.
Namun, Emi menolaknya membuat wanita itu hanya dapat menatap punggung putrinya yang semakin jauh. Seperti hubungan mereka yang semakin hari kian renggang bahkan rasanya mereka tidak lagi memiliki hal yang dapat dilakukan bersama seperti dulu.
"Sehabis mandi kau turun ke bawah agar kita makan malam atau Emi punya keinginan? Kalau memang ada. Beritahu mama biar mama masak, selagi kau mandi dan mama janji itu tidak akan lama. Apa kau mau, nak?"
"Tidak, mama saja yang makan. Aku tidak lapar!" jawab Emi pendek.
Lalu ia naik ke atas untuk sekedar berbaring menikmati hari-harinya yang hampa dan akan selalu seperti itu. Tanpa ada hal lainnya yang mungkin terjadi. Cukup menyedihkan, padahal Emi seharusnya mendapatkan hari-hari dengan tawa tetapi takdir tidak ingin itu.Kini Emi tengah merebahkan tubuhnya dengan sebuah surat di tangan kecil Emi yang mulai menghangat. Ia terus saja melihat kertas itu tanpa ada rasa bosan sedikitpun hingga tak sengaja Emi merobeknya membuat selembar kertas jatuh di atas tubuhnya.Dengan penuh hati-hati Emi membaca surat yang mungkin ke- 101 kalinya ia dapat dari tasnya yang entah dari siapa. Dan yang paling menjengkelkan adalah surat itu hanya berisi angka dan nama Emi yang tertulis dengan warna biru muda. Tidak ada hal lainnya dan itu berhasil membuat Emi sedikit emosi."101, Emi." Begitulah isi surat yang Emi dapatkan selama ini. Tidak ada hal lain yang menarik di dalamnya karena surat itu hanya sebuah permainan bodoh yang membuat siapapun
Pagi telah tiba namun Emi hanya mendapati hujan yang terus saja membasahi bumi yang membuatnya hanya bisa terdiam seperti orang bodoh di balik jendela kamar sembari melihat teman-temannya yang kegirangan di bawah langit yang siap membuat mereka menjadi manusia petir.Emi tak habis pikir dengan orang-orang bodoh itu. Mereka terlihat sangat senang dengan cairan menjijikkan yang terus saja membasahi mereka.Tidak seperti Emi yang sangat membencinya bahkan Emi tidak ingin melihat atau bersentuhan dengan sejenisnya. Sekalipun itu air yang Emi minum sehari-hari bahkan ia lebih memilih untuk tidak minum daripada harus menelan racun itu.Dengan hembusan nafas yang panjang, Emi melihat sekitarnya berharap sebuah cahaya matahari akan menghampirinya. Namun, entah telah berapa lama ia menunggu tetap saja tidak mendapatkan apa-apa. Membuat Emi hanya dapat menyantap mie yang mamanya berikan tadi pagi karena ia masih belum ingin
"Ya sudah. Habiskan makanannya lalu pulanglah dengan cepat. Dan nanti mama akan pergi ke toko untuk membeli bahan makanan karena isi kulkas mulai habis!" ucap mama Emi kemudian ikut makan dengan putrinya."Oh iya, apa ada yang Emi inginkan biar mama beli?"Emi menggeleng, "Tidak, ma!"Setelahnya semua di selimuti keheningan dan hanya ada bunyi suara sendok Emi yang terus berusaha mengeringkan brokoli hijaunya. Lalu memakannya dengan susah payah hingga tak terasa nasinya telah habis begitu juga dengan dagingnya.Emi berpamitan dengan mamanya. Kemudian berlari ke garasi untuk membawa sepeda dan mengayuhnya ke jalanan bersama buku hariannya yang tak lupa ia bawa.Karena nantinya Emi akan menggambar setangkai bunga liar kecil yang ada di taman, bahkan Emi terus saja memikirkan posisi mana yang akan ia gambar agar bunga liar kecil itu dapat hidup di atas kertas Emi.Jalanan agak sunyi karena sehabis hujan dan angin sangat dingin namun Emi t
Dengan rasa malas Emi harus bangun pagi untuk bersekolah yang membuatnya hanya bisa pasrah dengan semua ocehan berisik mamanya yang terus mengulangi perkataannya tentang langkah baru yang membuat Emi menyesal dapat melihat langit kamarnya."Nanti saat di sekolah kau jangan kebanyakan diam, karena itu tidak baik untukmu. Cobalah berbicara dengan teman sekelasmu. Misalnya, tanyakan apa mereka bersenang-senang dengan musim dinginnya? Atau kau bisa bicarakan hari musim dinginmu kepada mereka!""Akan kucoba!" jawab Emi lalu pergi berpamitan, sebelum ia benar-benar akan gila jika lebih lama lagi di dalam bersama mamanya dan semua mimpi buruk yang ia mimpikan tadi malam.Emi begitu malas dengan semua orang-orang yang di sekitarnya. Ia tidak suka bersekolah di sekolah umum karena itu sangat melelahkan bagi seorang Emi tetapi ia tidak punya pilihan lain.Lalu dengan langkah pelan Emi berjalan menuju sekolahnya yang tidak terlalu jauh dari rumahny
Sedangkan Emi yang mendengar itu hanya dapat melongo bodoh. Karena tidak percaya dengan apa yang ia dengar dari badut yang terus saja memandanginya dengan senyum di bibirnya.Lalu dengan berusaha bersikap biasa Emi bertanya, "Apa kau mengejekku?""Tidak."Setelahnya kepala Emi, ia gunakan melihat wali kelasnya. sebelum ia benar-benar kehilangan akal karenanya. Emi mendengar wali kelasnya dan semua pelajaran membosankan yang harus ia terima setiap harinya, kecuali hari minggu. Karena hari itu mereka harus beribadah.Namun sudah beberapa kali mencoba untuk fokus, Emi tetap saja tidak bisa mendengar penjelasan wali kelasnya dengan baik. Sekalipun Emi telah membuka matanya lebar-lebar untuk melihat rumus bodoh yang harus ia ketahui dalam beberapa menit. Sebelum tugas payah itu datang untuk memberinya hari sial."Emi, apa kau mendengar penjelasan ibu?" tanya wali kelasnya.&nbs