Melihatku datang, Maman yang tadinya tengah memegang uang, buru-buru dimasukkan ke dalam tasnya. Cih, dasar tikus!"Heh, Man! Kamu mau korupsi, ya? Itu uang kenapa kamu umpetin begitu melihat aku datang?" tanyaku di depan para pekerja.Aku sebenarnya sudah eneg sama mandor satu ini. Kadang suka melawan, makanya harus kukerasin."Nggak, Pak. Kan sudah selesai dihitung," kilahnya."Mana? Aku mau hitung juga!""Tapi, Pak...""Apa kamu mau, aku laporin ke adikku karena ketahuan mau korupsi?"Beberapa pekerja mulai bisik-bisik, sehingga mau tak mau akhirnya Maman mengeluarkan uang yang sedari tadi di dalam tasnya. Ia mengulurkan dengan wajah lesu, seperti tak ikhlas. Cih, aku ini kakaknya Fira, jadi lebih layak aku yang pegang daripada dia.Kuhitung semuanya. Sepertinya, baru ada pemborong yang datang. Terbukti di tangan ini ada uang lima juta."Nih!" Aku menyerahkan uang dua juta ke tangan Maman. Ia melongo menatap uang yang tetap ada dalam genggamanku."Lalu itu, Pak?""Apa?""Itu, kenap
Aku menggaruk tengkuk tak nyaman, karena sejujurnya aku tak pernah dalam posisi begini. Segininya mencari uang hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga sendiri dan dua orang tua. Ck, merepotkan!Akhirnya aku menyanggupi permintaan wanita itu yang mengajakku untuk ke curug hejo. Menggunakan mobilnya, kami berdua melalui beberapa desa untuk sampai di tempat rekreasi yang tengah ngetren itu."Namamu Helmi, kan?" tanya Priska begitu kami sampai di curug."Iya, Tante.""Ish, jangan Tante lah, gimana kalau kamu panggil aku dengan nama saja?" tawarnya."N-nama?""Iya. Kamu baru kali ini kaya gini, ya?"Aku mengangguk. Duh, udah macam anak polos aja aku ini."Kamu ganteng, Hel.""Makasih, Pris."Seharian itu kami lalui di curug. Priska memang memanjakanku, apa saja ia tawarkan. Mulai dari baju dan lain-lain saat ia membuka aplikasi berwarna orange itu.Pukul lima sore, kami sampai di warung kopi tadi, mengingat motorku masih ditinggal di sini."Nih, buat kamu," ucap Priska sambil mengulurkan s
Ibu menggeleng."Biarkan saja semuanya menjadi masa lalu. Yang terpenting, sekarang Ibu sudah tenang sama kamu. Terima kasih ya, Nduk, sudah mau Ibu susahkan. Padahal dulunya....""Sudah! Jangan lagi bahas masa lalu. Insya Allah, Fira ikhlas merawat Ibu. Fira bersyukur banget masih memiliki waktu untuk berbakti di masa tua Ibu. Bersyukur pula memiliki suami sehebat dan sebaik Mas lian. Jika saja ia tak ridho, mungkin sekarang ini, Ibu masih tersiksa di bawah terik matahari ... Bersama Mas Helmi."Aku tak sanggup menuntaskan kata-kata terakhir. Terlalu menyakitkan. Bahkan sampai sekarang tak terbayang lagi bagaimana perasaanku semasa melihat Ibu tengah terduduk di pinggir trotoar dengan satu kaki terikat. Astaghfirullah."Fira, beli!""Sebentar ya, Bu, ada yang beli."Ibu mengangguk kemudian menyuruhku untuk kembali ke depan."Mau beli apa, Bu Ati?" tanyaku padanya, si biang gosip."Beras dua kilo, telur setengah, sama gula sekilo."Aku pun mulai menimbang. Di sini memang takaran beras
Sebuah pesan dari Bu Naimah, ia mengancam akan melaporkanku ke polisi karena pencemaran nama baik. Nama baik? Hahaha, hampir saja aku tertawa.Toh, memang benar apa yang kukatakan tadi, bahwa anak gadis Bu Naimah sudah berbadan dua.[Awas kamu, Fira. Lihatin pokoknya!] pesan darinya masuk lagi. Kali ini, aku membalasnya.[Iya, Bu, tak lihatin sambil ngopi.][Loh, kok malah ngeledek?]Aku mengerutkan dahi. Bagian mana ngeledeknya? Dasar ibu-ibu kurang seons!Aku menoleh ke arah Mas Lian. Ia tengah mengutak-atik mesin jahit yang sudah lama tak terpakai. Ya, dulunya aku memang seorang penjahit. Namun karena kewalahan mengelola warung, akhirnya aku memilih merelakan pekerjaan itu. Padahal lumayan, seminggu bisa ada empat atau lima pembuatan baju, belum lagi yang ingin obras, ngecilin, motong, dan lain-lain.Kuhampiri ia yang tengah menunduk di bawah, tangannya terampil membuka"Mau diapain sih, Mas?""Mau Mas benerin aja. Kalau nggak salah, Ibu bisa menjahit, kan?"Aku menoleh ke arah Ibu
Pagi hari.Aku membuka warung selepas salat subuh, lalu menyapu rumah, sementara Ibu menyapu halaman. Aku sudah menyuruh beliau untuk diam saja, tapi tetap kekeuh ingin menyapu."Duh, pagi-pagi sudah nyapu aja, Bu."Aku yang mengenal suara ini, buru-buru keluar. Siapa lagi kalau bukan bigos alias biang gosip di kampung ini, Bu Romlah."Iya nih, Bu, nggak enak badan kalau diam saja sementara anak capek ngurus rumah.""Duh, Bu, ngurus rumah itu belum secapek ngurus anak. Dia mana tahu, kan belum ada," cetusnya."Duh, yang pagi-pagi sudah nyinyir. Hati-hati punya anak perempuan, nanti balik lagi omongan sampean itu. Mau?" tanyaku balik.Sepertinya, omonganku tadi manjur untuk mengusirnya. Terbukti kini Bu Romlah pergi dengan wajah merah padam."Jangan kaya gitu, Nduk. Nggak baik.""Alah, Bu, semua orang di sini sudah tahu wataknya. Kalau didiamin malah kebiasaan."Ibu hanya geleng-geleng kepala kemudian mengambil pengki dan menyerok sampah. Setelahnya, aku membuka kulkas dan masih ada ik
Aku kesal setengah mati membaca pesan dari Mas Helmi. Bisa-bisanya, ia menyamakanku dengannya? Jelas jauh berbeda."Kamu kenapa, Dek?""Baca aja WA dari Mas Helmi di grup. Bikin kesal.""Pasti kamu share foto mesin jahit ini, ya?" tebaknya.Aku mengangguk, sementara Mas Lian langsung menggelengkan kepalanya. Lah, salahnya di mana?"Pantas lah Mas Helmi pikirannya kaya gini, sedangkan kemarin kamu kan ngotot banget buat bawa Ibu ke sini sampai labrak dia lagi mantau Ibu ngemis."Aku menepuk dahi, benar juga yang dikatakan Mas Lian. Kok, aku nggak berpikiran ke sana, sih?"Terus, aku harus gimana, Mas?""Ya gimana? Kamu bilang aja yang sebenarnya."Aku mengangguk. Ya, mereka nggak boleh punya pikiran bahwa aku dan Mas Helmi itu sama.[Maaf ya, Adek memang berniat membetulkan mesin cuci ini untuk Ibu.]Kling!Sebuah pesan masuk lagi, bahkan di saat aku belum selesai mengatakan semuanya.@Mas Helmi[Kan...]Buru-buru aku mengetik lagi. S*al emang! Aturan tadi aku menulis jawaban di sini k
"Bu Naimah."Mataku membeliak. Bu Naimah?"Jadi, kamu dari tadi benerin mobilnya Bu Naimah, Mas?""Lah, iya, kamu tadi aku pamitin, nyawamu lagi ke mana?" godanya yang sukses kubalas dengan lemparan botol kosong."Aku nggak denger, loh. Pantas saja kamu nggak dikasih minum.""Lah, emang kenapa?""Ya pasti karena ada hubungannya dengan kejadian semalam. Pasti, dia mau balas dendam, tuh.""Hush, kamu itu. Sudah, Mas mau balik ke sana lagi.""Lah, emang belum selesai?" tanyakuMas Lian hanya menggeleng kemudian berlari karena melihat awan sudah mendung. Duh, sepertinya akan hujan ini.Aku masuk ke dalam, Mbak Imah baru saja habis dari dapur. Ia terlihat salah tingkah dengan tatapanku."Kenapa, Mbak?""Nggak. Kamu ngapain, senyam-senyum gitu?""Lah, emang nggak boleh?" tanyaku sambil melirik Ibu yang sedang mengelap bibirnya.Mbak Imah hanya melengos sambil memberikan sebuah amplop padaku."Ini, jatah untuk Ibu bulan ini," ucap Mbak Imah."Makasih, ya, Mbak. Oh iya, nanti sore jadwal Bapa
"Silakan duduk, Bu," ucap dokter muda tersebut. Aku dan Mbak Imah saling pandang, karena merasa bingung kenapa di bawa ke ruangan ini? Sementara Bapak sedang berada di dalam ruangan itu. "Jadi begini, apa Pak Burhan baru saja mengonsumsi makanan atau minuman dengan kadar gula tinggi?" tanya dokter yang bernama Muhrizal itu. "Iya, Dok. Saya lagi di kamar mandi, nggak tahu kalau Bapak makan segitu banyaknya.""Apakah beliau masih belum mengerti jika penderita diabetes ini tak boleh makan makanan yang mengandung kadar gula tinggi?" "Tahu, Dok. Cuma ya gitu, Bapak ini susah dibilangin. Karena sudah terbiasa makan nasi dalam porsi besar dan juga beberapa gelas es teh manis dalam sehari. Lalu, bagaimana kondisi beliau sekarang?" tanyaku. Dokter Muhrizal menghela napasnya, lalu meletakkan kacamata yang semula bertengger di hidungnya, ke atas meja. "Penyakit diabetes Pak Burhan ini sudah cukup parah. Apalagi sudah melukai ginjal. Tolong, setelah ini benar-benar jaga asupan makanan belia