Share

Bab 16

Penulis: Jingga Rinjani
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-23 00:49:39

"Elah, kamu, Don!"

Ambar melengos pergi begitu melihat Dono datang. Ia memang seperti begitu, katanya kapan aku hidupnya maju kalau masih saja berteman dengan pengangguran?

Ah masa bodo, yang penting aku punya rumah dan tanah, meskipun sudah tak luas lagi.

"Kenapa, Don?"

"Aku, mau memberikan opsi kedua buatmu supaya dapat uang lagi, nih. Mau, nggak?"

Alisku bertaut. Apalagi yang akan ditawarkannya padaku?

---

Pov Imah

"Mas, maaf, ya, kalau kita sampai merawat Bapak," ucapku tak enak pada Mas Suryo.

"Iya, nggak papa, Ma. Insya Allah aku ikhlas."

Hatiku terenyuh, sangat beruntung memiliki suami sebaik dan sesabar dirinya. Bapak sedang berada di kamar, mungkin masih asing tinggal di sini, karenanya beliau lebih asyik di dalam kamar.

"Terima kasih, Mas. Padahal orang tuamu juga sedang sakit. Tapi aku malah menambah bebanmu."

Mas Suryo tersenyum sambil mengelus kepalaku. Empat belas tahun menikah dengannya, aku tak pernah merasakan kecewa. Semoga saja, jangan.

"Nduk, Bapak mau duduk di lua
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 17

    Aku merebut ponsel di tangan Mas Suryo. Alangkah terkejutnya aku membaca pesan itu. Gigiku gemeletuk, ini nggak bisa dibiarkan!"Kamu kenapa, Nduk?" tanya Bapak mengagetkanku."Eh, anu ... Nggak kok, Pak. Bapak mau ke mana?""Mau ke kamar mandi."Mas Suryo sigap membantu Bapak, membuatku makin tak enak hati dengannya. Tapi, Insya Allah ini akan menjadi ladang pahala buatku dan juga suamiku."Ma, makan pake apa?" Bagas--anakku, dagang tiba-tiba setelah main seharian."Liat di bawah tudung saji."Bagas mengangguk, kemudian berjalan menuju dapur. Aku masih duduk di ruang tamu. Si Helmi, kalau dibiarin malah makin meresahkan.Kusambar kunci dan meminta izin pada Mas Suryo melalui isyarat, kemudian dia di depan kamar mandi. Jika aku bersuara, pasti Bapak akan bertanya-tanya.Sampai di depan rumah Fira, kulihat ia tengah duduk termenung bersama di bengkel milik suaminya. Kulihat bengkel itu ramai."Dek!""Eh, jya, Mbak?""Ayo masuk rumah, Mbak mau bicara!"Aku mengikuti Fira yang lebih dulu

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-23
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 18

    Melihatku datang, Maman yang tadinya tengah memegang uang, buru-buru dimasukkan ke dalam tasnya. Cih, dasar tikus!"Heh, Man! Kamu mau korupsi, ya? Itu uang kenapa kamu umpetin begitu melihat aku datang?" tanyaku di depan para pekerja.Aku sebenarnya sudah eneg sama mandor satu ini. Kadang suka melawan, makanya harus kukerasin."Nggak, Pak. Kan sudah selesai dihitung," kilahnya."Mana? Aku mau hitung juga!""Tapi, Pak...""Apa kamu mau, aku laporin ke adikku karena ketahuan mau korupsi?"Beberapa pekerja mulai bisik-bisik, sehingga mau tak mau akhirnya Maman mengeluarkan uang yang sedari tadi di dalam tasnya. Ia mengulurkan dengan wajah lesu, seperti tak ikhlas. Cih, aku ini kakaknya Fira, jadi lebih layak aku yang pegang daripada dia.Kuhitung semuanya. Sepertinya, baru ada pemborong yang datang. Terbukti di tangan ini ada uang lima juta."Nih!" Aku menyerahkan uang dua juta ke tangan Maman. Ia melongo menatap uang yang tetap ada dalam genggamanku."Lalu itu, Pak?""Apa?""Itu, kenap

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-24
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 19

    Aku menggaruk tengkuk tak nyaman, karena sejujurnya aku tak pernah dalam posisi begini. Segininya mencari uang hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga sendiri dan dua orang tua. Ck, merepotkan!Akhirnya aku menyanggupi permintaan wanita itu yang mengajakku untuk ke curug hejo. Menggunakan mobilnya, kami berdua melalui beberapa desa untuk sampai di tempat rekreasi yang tengah ngetren itu."Namamu Helmi, kan?" tanya Priska begitu kami sampai di curug."Iya, Tante.""Ish, jangan Tante lah, gimana kalau kamu panggil aku dengan nama saja?" tawarnya."N-nama?""Iya. Kamu baru kali ini kaya gini, ya?"Aku mengangguk. Duh, udah macam anak polos aja aku ini."Kamu ganteng, Hel.""Makasih, Pris."Seharian itu kami lalui di curug. Priska memang memanjakanku, apa saja ia tawarkan. Mulai dari baju dan lain-lain saat ia membuka aplikasi berwarna orange itu.Pukul lima sore, kami sampai di warung kopi tadi, mengingat motorku masih ditinggal di sini."Nih, buat kamu," ucap Priska sambil mengulurkan s

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-24
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 20

    Ibu menggeleng."Biarkan saja semuanya menjadi masa lalu. Yang terpenting, sekarang Ibu sudah tenang sama kamu. Terima kasih ya, Nduk, sudah mau Ibu susahkan. Padahal dulunya....""Sudah! Jangan lagi bahas masa lalu. Insya Allah, Fira ikhlas merawat Ibu. Fira bersyukur banget masih memiliki waktu untuk berbakti di masa tua Ibu. Bersyukur pula memiliki suami sehebat dan sebaik Mas lian. Jika saja ia tak ridho, mungkin sekarang ini, Ibu masih tersiksa di bawah terik matahari ... Bersama Mas Helmi."Aku tak sanggup menuntaskan kata-kata terakhir. Terlalu menyakitkan. Bahkan sampai sekarang tak terbayang lagi bagaimana perasaanku semasa melihat Ibu tengah terduduk di pinggir trotoar dengan satu kaki terikat. Astaghfirullah."Fira, beli!""Sebentar ya, Bu, ada yang beli."Ibu mengangguk kemudian menyuruhku untuk kembali ke depan."Mau beli apa, Bu Ati?" tanyaku padanya, si biang gosip."Beras dua kilo, telur setengah, sama gula sekilo."Aku pun mulai menimbang. Di sini memang takaran beras

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-24
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 21

    Sebuah pesan dari Bu Naimah, ia mengancam akan melaporkanku ke polisi karena pencemaran nama baik. Nama baik? Hahaha, hampir saja aku tertawa.Toh, memang benar apa yang kukatakan tadi, bahwa anak gadis Bu Naimah sudah berbadan dua.[Awas kamu, Fira. Lihatin pokoknya!] pesan darinya masuk lagi. Kali ini, aku membalasnya.[Iya, Bu, tak lihatin sambil ngopi.][Loh, kok malah ngeledek?]Aku mengerutkan dahi. Bagian mana ngeledeknya? Dasar ibu-ibu kurang seons!Aku menoleh ke arah Mas Lian. Ia tengah mengutak-atik mesin jahit yang sudah lama tak terpakai. Ya, dulunya aku memang seorang penjahit. Namun karena kewalahan mengelola warung, akhirnya aku memilih merelakan pekerjaan itu. Padahal lumayan, seminggu bisa ada empat atau lima pembuatan baju, belum lagi yang ingin obras, ngecilin, motong, dan lain-lain.Kuhampiri ia yang tengah menunduk di bawah, tangannya terampil membuka"Mau diapain sih, Mas?""Mau Mas benerin aja. Kalau nggak salah, Ibu bisa menjahit, kan?"Aku menoleh ke arah Ibu

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-24
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 22

    Pagi hari.Aku membuka warung selepas salat subuh, lalu menyapu rumah, sementara Ibu menyapu halaman. Aku sudah menyuruh beliau untuk diam saja, tapi tetap kekeuh ingin menyapu."Duh, pagi-pagi sudah nyapu aja, Bu."Aku yang mengenal suara ini, buru-buru keluar. Siapa lagi kalau bukan bigos alias biang gosip di kampung ini, Bu Romlah."Iya nih, Bu, nggak enak badan kalau diam saja sementara anak capek ngurus rumah.""Duh, Bu, ngurus rumah itu belum secapek ngurus anak. Dia mana tahu, kan belum ada," cetusnya."Duh, yang pagi-pagi sudah nyinyir. Hati-hati punya anak perempuan, nanti balik lagi omongan sampean itu. Mau?" tanyaku balik.Sepertinya, omonganku tadi manjur untuk mengusirnya. Terbukti kini Bu Romlah pergi dengan wajah merah padam."Jangan kaya gitu, Nduk. Nggak baik.""Alah, Bu, semua orang di sini sudah tahu wataknya. Kalau didiamin malah kebiasaan."Ibu hanya geleng-geleng kepala kemudian mengambil pengki dan menyerok sampah. Setelahnya, aku membuka kulkas dan masih ada ik

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-24
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 23

    Aku kesal setengah mati membaca pesan dari Mas Helmi. Bisa-bisanya, ia menyamakanku dengannya? Jelas jauh berbeda."Kamu kenapa, Dek?""Baca aja WA dari Mas Helmi di grup. Bikin kesal.""Pasti kamu share foto mesin jahit ini, ya?" tebaknya.Aku mengangguk, sementara Mas Lian langsung menggelengkan kepalanya. Lah, salahnya di mana?"Pantas lah Mas Helmi pikirannya kaya gini, sedangkan kemarin kamu kan ngotot banget buat bawa Ibu ke sini sampai labrak dia lagi mantau Ibu ngemis."Aku menepuk dahi, benar juga yang dikatakan Mas Lian. Kok, aku nggak berpikiran ke sana, sih?"Terus, aku harus gimana, Mas?""Ya gimana? Kamu bilang aja yang sebenarnya."Aku mengangguk. Ya, mereka nggak boleh punya pikiran bahwa aku dan Mas Helmi itu sama.[Maaf ya, Adek memang berniat membetulkan mesin cuci ini untuk Ibu.]Kling!Sebuah pesan masuk lagi, bahkan di saat aku belum selesai mengatakan semuanya.@Mas Helmi[Kan...]Buru-buru aku mengetik lagi. S*al emang! Aturan tadi aku menulis jawaban di sini k

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-24
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 24

    "Bu Naimah."Mataku membeliak. Bu Naimah?"Jadi, kamu dari tadi benerin mobilnya Bu Naimah, Mas?""Lah, iya, kamu tadi aku pamitin, nyawamu lagi ke mana?" godanya yang sukses kubalas dengan lemparan botol kosong."Aku nggak denger, loh. Pantas saja kamu nggak dikasih minum.""Lah, emang kenapa?""Ya pasti karena ada hubungannya dengan kejadian semalam. Pasti, dia mau balas dendam, tuh.""Hush, kamu itu. Sudah, Mas mau balik ke sana lagi.""Lah, emang belum selesai?" tanyakuMas Lian hanya menggeleng kemudian berlari karena melihat awan sudah mendung. Duh, sepertinya akan hujan ini.Aku masuk ke dalam, Mbak Imah baru saja habis dari dapur. Ia terlihat salah tingkah dengan tatapanku."Kenapa, Mbak?""Nggak. Kamu ngapain, senyam-senyum gitu?""Lah, emang nggak boleh?" tanyaku sambil melirik Ibu yang sedang mengelap bibirnya.Mbak Imah hanya melengos sambil memberikan sebuah amplop padaku."Ini, jatah untuk Ibu bulan ini," ucap Mbak Imah."Makasih, ya, Mbak. Oh iya, nanti sore jadwal Bapa

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-24

Bab terbaru

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 84

    "Apa kamu tahu, Helmi masuk rumah sakit?" tanya Mbak Imah. "Apa Mbak Imah dan Fira kerja sama dengan Mas Helmi? Kemarin Fira juga ngomong gitu ... Loh." Suara Mbak Ambar menggantung saat kamera kubalik menggunakan kamera belakang. Bisa kulihat ia tertegun beberapa saat. Mungkin ia terkejut, karena sedari kemarin hanya menganggapku berbohong. "I-itu, Mas Helmi?" tanya Mbak Ambar, setelah menguasai diri. "Ya, itu suami yang kamu bilang kerja sama dengan kami. Bagaimana caranya kami kerja sama kalau keadaannya juga begitu?" tanya Mbak Imah, seraya terisak. Aku melihat air mata Mbak Ambar mengalir, lalu kuhembuskan napas yang terasa sesak. Apa ia sungguh-sungguh akan menceraikan Mas Helmi jika kenyataannya begini? "Aku akan ke sana," ucap Mbak Ambar. "Nggak perlu. Masih ada kami, keluarganya. Kamu fokus lah dulu pada kesembuhanmu sendiri. Jangan pedulikan Helmi," ucap Mbak Imah sambil mematikan ponsel. Hening. Isak tangis Mbak Imah masih terdengar. Meski ia bawel, cerewet, dan bah

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 83

    "Halo, Fir? Kok diam? Mana Mas Helminya?" Aku semakin bingung saat mendengar Mbak Ambar menanyakan Mas Helmi. Tak apakah jika aku memberitahunya? "Mbak, tolong pikirkan lagi soal perceraian itu," ucapku pada akhirnya. Terdengar helaan napas panjang dari arah seberang telepon. Mungkin, ini berat bagi Mbak Ambar. "Berat, Fir. Apalagi kakakmu kasusnya sudah sampai menikahi orang lain dan tak memberitahuku. Apa kamu yakin, bakal diam saja kalau Lian nikah lagi? Apa kamu yakin, bakal menerima semuanya meski itu hanyalah masa lalu?" Lagi-lagi aku terdiam. Benar, beban setiap orang itu berbeda. Aku yakin, yang ditimpa Mbak Ambar sekarang ini begitu berat. Apalagi ini menyangkut mental. "Mana Mas Helminya? Biar Mbak suruh untuk menandatangi dan mengirimkannya sekarang juga." "Mas Helmi, ada di rumh sakit." "Rumah sakit? Apa Naura sakit? Atau, Ibu?" "Mbak, apa kamu pikir, Mas Helmi tidak bisa sakit sehingga yang kamu tanyakan hanyalah mertuamu dan anakmu sendiri. Mas Helmi, kecelakaan

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 82

    "Apanya?" "Retak di bagian batok kepala, pendarahan di otak, dan juga patah kaki kiri." Mbak Imah langsung beristighfar. Benar memang, di antara satu garis keturunan, pasti ada satu yang berbeda, dan di keluarga kami adalah Mas Helmi. Entah sudah berapa kali masalah dan musibah yang menghampirinya. Kalau dulu, masih ada Bapak yang menjadi jalan mengadu kami, kalau sekarang? Kami harus bergotong-royong demi menyebabkan masalah yang ia lakan. "Setengahnya dicover bpjs katanya, Mbak. Jadi kita hanya perlu setengah lagi. Apa, kita perlu menjual rumah Mas Helmi di Bogor?" "Tapi, kalau kita ke sana nanti, bagaimana, Fir?" Aku menghela napas. Benar, di mana tempat kami akan tinggal jika suatu hari nanti kami ke sana? Karena masih banyak saudara dari Ibu, sehingga sudah pasti suatu hari nanti akan berkunjung. "Nanti, biar Fira yang atur, Mbak. Sekarang aku mau masuk dulu," ucapku pada Mbak Imah saat melihat Mas Surya keluar. Aku pun masuk, melihat berbagai selang yang dipasang di tubuh

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 81

    "Apa, Mas?" "Nih." Dengan dad berdebar, segera kusaut ponsel dari Mas Lian. Setelah mengatur debar dalam dada, aku mulai berbicara. "Iya, saya Fira." "Korban bernama Pak Helmi, menjadi korban kecelakaan dengan mobil. Saat ini kondisinya kritis.""Ya Allah! Di rumah sakit mana, Bu?" Setelah mengantongi nama rumah sakitnya, segera aku menelepon Mbak Imah supaya bisa menemani ke sana. Untuk Mas Cahyo, mungkin nanti akan kuhubungi dan berangkat terpisah, mengingat jarak kami yang lumayan jauh. "Sudah siap, Fir?" tanya Mbak Imah. "Sudah, Mbak. Mas, tolong jagain Aya, ya. Kalau kamu kuajak, kasihan Ibu harus jagain dua cucunya." "Iya, beres. Sudah, sekarang kamu berangkat saja sana. Nggak usah pikirin yang di rumah, semoga Mas Helmi segera pulih. Jangan lupa kasih kabar, ya," ucap Mas Lian yang segera kuangguki. Setelah memakai jaket, kami langsung berangkat. Di sepanjang jalan tak hentinya aku beristighfar, semoga tak ada satu pun hal buruk yang menimpa kakakku itu. "Kok bisa kec

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 80

    Habis magrib, Mas Helmi datang ke sini. Mas Surya pun ke sini lagi bersama Mbak Imah, karena aku kekeuh tak ingin memberikan surat itu. "Wih, ngumpul, nih." "Hel, tarik napas dulu," ucap Mas Surya. "Kenapa sih, Mas?" "Sudah, tarik napas dulu." Mas Helmi menuruti perkataan Mas Surya dan melakukannya. Saat sudah selesai, Mas Surya segera memberikan amplop tadi pagi. "Apa ini?" tanya Mas Helmi. "Buka saja." Mas Helmi pun mengambil amplop itu dengan bingung, lalu membuka isinya. Matanya membeliak saat membaca kop suratnya. "Pengadilan? Mas Surya mau menceraikan Mbak Imah?" Pletak! Mbak Imah melemparkan sendok ke kepala Mas Helmi. "Ngawur ngomongnya. Buka dulu. Lagian, nggak kamu baca itu siapa pengirimnya?" Mas Helmi tak menghiraukan ucapan Mbak Imah, lalu membuka surat itu. Matanya dua kali lebih besar dari yang tadi. Tentu saja, ia pasti amat terkejut karena itu. "I-ini, nggak benar, kan?" "Masa iya kami prank?" "Nggak mungkin, Mas. Masa iya Ambar menceraikanku?" Mas Su

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 79

    "Mas!" teriakku. Mas Lian dan Ibu yang tengah menggendong Aya, segera menghampiri saat aku berteriak. Bagaimana aku tak marah, jika surat dari pengadilan ada di tanganku? "Kenapa, Dek?" "Apa ini?" "Maksudnya?" "Kamu mau menceraikan aku?" "Hahhh? Apa sih Dek? Jangan mengada-ada." "Lalu ini apa?" Mas Lian segera mengambil surat itu dari tanganku dan membacanya. Matanya membeliak, lalu menepuk jidatnya sendiri. Kenapa ia berekspresi seperti itu? "Ini, bukan untuk kam, Dek. Tapi untuk Mas Helmi." "Apa?" Kali ini giliran aku yang terkejut, hingga Athaya menangis karena mendengar teriakan kami. "Uuh, Sayang, maafkan Bunda, ya. Kaget, ya?" tanyaku sambil mengelus kepala anak yang sudah aktif itu. "Mas Helmi? Apa Mbak Ambar menceraikannya?" "Bisa jadi." "Tapi kan dia lagi hamil loh, Mas. Mana boleh cerai." "Kan perkiraan minggu depan lahiran." Aku menepuk jidat. Benar-benar telmi aku ini. Kenapa Mbak Ambar menggugat cerai Mas Helmi? Mengingat kali terakhir sebelum ia pergi, si

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 78

    "Nggak, Mas, aku cuma nanya doang kok." "Awas macem-macem." "Perasaan dulu yang ngejar kamu, Fir, kok sekarang yang bucin malah Mas Lian?" "Mau tau rahasianya?" "Iya, apa?" tanya Fitri sambil mencondongkan badannya demi mendengarkan jawabanku. Namun justru itu yang membuatku menahan tawa. "Pesonaku." "Njiiir!" Pletak! Aku malah dijitak oleh Fitri.--Esok hari. Aku mengantar Naura berangkat sekolah. Ia masih terlihat lemas, mungkin karena efek berjauhan dengan ibunya. "Apa kamu nggak curiga, kok Mbak Ambar tega ninggalin anaknya?" "Astaghfirullah, Fitri! Kalau mau gabung, panggil dulu, kek, jangan asal ngomong aja. Kaget!"Fitri hanya nyengir saja, namun aku kepikiran dengan kata-katanya. Benar, kenapa Mbak Ambar tega meninggalkan Naura? Apa benar, sekolah menjadi alasan utama, atau ada alasan yang lainnya? "Kenapa? Baru kepikiran?" Aku mengangguk, lalu membenarkan topi yang dikenakan oleh Aya. Cuaca sedang panas, jam setengah tujuh pagi saja matahari sudah menunjukkan si

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 77

    Mbak Ambar menatap Mas Helmi, "Iya, sama Papa." Entah kenapa, aku merasa ada yang aneh dari tatapan kakak iparku itu. Setelah berpamitan, mobil mulai melaju. Tangis Naura terus terdengar. Wajar, ia baru berusia sepuluh tahun dan juga begitu dimanja oleh Mbak Ambar, sehingga pasti sangat kehilangan. "Emangnya, jadwal Ambar lahiran, kapan, Hel?" tanya Mbak Imah. "Dua mingguan lagi, Mbak. Mungkin, dia masih takut apa-apanya sendiri, jadi mau lahiran di rumah Mama. Padahal dia sudah punya pengalaman. Tapi ya sudah lah, nggak papa, toh cuma dua mingguan ini. Nanti bisa ke sana pas Ambar mau melahirkan.""Lagian bukan kamu ikut ke sana, Hel," ucap Bu Romlah, entah kapan ia ada di sini. "Saya kan kerja, Bu. Kalau nggak kerja dan di sana cuma nganggur, ya ga enak. Meski mertua saya nggak kaya Bu Romlah, tetep aja ga enak, toh?" "Loh, memangnya saya kenapa?" tanya Bu Romlah. "Cerewet, bawel, tukang gosip!" jawab kami bersamaan lalu masuk ke dalam rumahku. --Pagi hari. Aku sedang sibuk

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 76

    "Makanya, kalau nggak mau jadi bahan gosip mereka, nggak usah betingkah." "Siapa yang betingkah sih, Yang? Orang Riska ke sini sendiri, kok. Aku nggak mungkin lah, nolak pelanggan." "Pelanggan tapi nggak bayar!" ucapku, lalu keluar kamar, hendak mengambil Athaya di rumah Mbak Ambar, karena kata Ibu, tadi di bawa oleh Kak Ratih saat aku dan Mas Lian di kamar menuju rumah Mbak Ambar. Ketika di teras, aku terkejut melihat Riska masih di sini, bahkan duduk di teras warungku. Kuambil napas banyak, lalu menghampirinya. "Ada apa lagi?" "Aku bukan orang miskin, jadi mau bayar ongkos isi angin tadi. Nih," ucapnya sambil memberikan uang pada Mas Lian, padahal jelas-jelas aku yang lebih dekat dengan tempatnya berdiri. "Terima kasih," ucapku sambil merebut uang itu dan meminta Mas Cahyo untuk menutup bengkel Mas Lian. Bener-bener si Riska, gak ada malunya meski ada aku, istri sahnya Mas Lian. "Yang, kamu jangan cemburu gitu, dong! Aku sama Riska itu nggak ada apa-apa. Masa kamu marah-marah

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status