Ibu menggeleng."Biarkan saja semuanya menjadi masa lalu. Yang terpenting, sekarang Ibu sudah tenang sama kamu. Terima kasih ya, Nduk, sudah mau Ibu susahkan. Padahal dulunya....""Sudah! Jangan lagi bahas masa lalu. Insya Allah, Fira ikhlas merawat Ibu. Fira bersyukur banget masih memiliki waktu untuk berbakti di masa tua Ibu. Bersyukur pula memiliki suami sehebat dan sebaik Mas lian. Jika saja ia tak ridho, mungkin sekarang ini, Ibu masih tersiksa di bawah terik matahari ... Bersama Mas Helmi."Aku tak sanggup menuntaskan kata-kata terakhir. Terlalu menyakitkan. Bahkan sampai sekarang tak terbayang lagi bagaimana perasaanku semasa melihat Ibu tengah terduduk di pinggir trotoar dengan satu kaki terikat. Astaghfirullah."Fira, beli!""Sebentar ya, Bu, ada yang beli."Ibu mengangguk kemudian menyuruhku untuk kembali ke depan."Mau beli apa, Bu Ati?" tanyaku padanya, si biang gosip."Beras dua kilo, telur setengah, sama gula sekilo."Aku pun mulai menimbang. Di sini memang takaran beras
Sebuah pesan dari Bu Naimah, ia mengancam akan melaporkanku ke polisi karena pencemaran nama baik. Nama baik? Hahaha, hampir saja aku tertawa.Toh, memang benar apa yang kukatakan tadi, bahwa anak gadis Bu Naimah sudah berbadan dua.[Awas kamu, Fira. Lihatin pokoknya!] pesan darinya masuk lagi. Kali ini, aku membalasnya.[Iya, Bu, tak lihatin sambil ngopi.][Loh, kok malah ngeledek?]Aku mengerutkan dahi. Bagian mana ngeledeknya? Dasar ibu-ibu kurang seons!Aku menoleh ke arah Mas Lian. Ia tengah mengutak-atik mesin jahit yang sudah lama tak terpakai. Ya, dulunya aku memang seorang penjahit. Namun karena kewalahan mengelola warung, akhirnya aku memilih merelakan pekerjaan itu. Padahal lumayan, seminggu bisa ada empat atau lima pembuatan baju, belum lagi yang ingin obras, ngecilin, motong, dan lain-lain.Kuhampiri ia yang tengah menunduk di bawah, tangannya terampil membuka"Mau diapain sih, Mas?""Mau Mas benerin aja. Kalau nggak salah, Ibu bisa menjahit, kan?"Aku menoleh ke arah Ibu
Pagi hari.Aku membuka warung selepas salat subuh, lalu menyapu rumah, sementara Ibu menyapu halaman. Aku sudah menyuruh beliau untuk diam saja, tapi tetap kekeuh ingin menyapu."Duh, pagi-pagi sudah nyapu aja, Bu."Aku yang mengenal suara ini, buru-buru keluar. Siapa lagi kalau bukan bigos alias biang gosip di kampung ini, Bu Romlah."Iya nih, Bu, nggak enak badan kalau diam saja sementara anak capek ngurus rumah.""Duh, Bu, ngurus rumah itu belum secapek ngurus anak. Dia mana tahu, kan belum ada," cetusnya."Duh, yang pagi-pagi sudah nyinyir. Hati-hati punya anak perempuan, nanti balik lagi omongan sampean itu. Mau?" tanyaku balik.Sepertinya, omonganku tadi manjur untuk mengusirnya. Terbukti kini Bu Romlah pergi dengan wajah merah padam."Jangan kaya gitu, Nduk. Nggak baik.""Alah, Bu, semua orang di sini sudah tahu wataknya. Kalau didiamin malah kebiasaan."Ibu hanya geleng-geleng kepala kemudian mengambil pengki dan menyerok sampah. Setelahnya, aku membuka kulkas dan masih ada ik
Aku kesal setengah mati membaca pesan dari Mas Helmi. Bisa-bisanya, ia menyamakanku dengannya? Jelas jauh berbeda."Kamu kenapa, Dek?""Baca aja WA dari Mas Helmi di grup. Bikin kesal.""Pasti kamu share foto mesin jahit ini, ya?" tebaknya.Aku mengangguk, sementara Mas Lian langsung menggelengkan kepalanya. Lah, salahnya di mana?"Pantas lah Mas Helmi pikirannya kaya gini, sedangkan kemarin kamu kan ngotot banget buat bawa Ibu ke sini sampai labrak dia lagi mantau Ibu ngemis."Aku menepuk dahi, benar juga yang dikatakan Mas Lian. Kok, aku nggak berpikiran ke sana, sih?"Terus, aku harus gimana, Mas?""Ya gimana? Kamu bilang aja yang sebenarnya."Aku mengangguk. Ya, mereka nggak boleh punya pikiran bahwa aku dan Mas Helmi itu sama.[Maaf ya, Adek memang berniat membetulkan mesin cuci ini untuk Ibu.]Kling!Sebuah pesan masuk lagi, bahkan di saat aku belum selesai mengatakan semuanya.@Mas Helmi[Kan...]Buru-buru aku mengetik lagi. S*al emang! Aturan tadi aku menulis jawaban di sini k
"Bu Naimah."Mataku membeliak. Bu Naimah?"Jadi, kamu dari tadi benerin mobilnya Bu Naimah, Mas?""Lah, iya, kamu tadi aku pamitin, nyawamu lagi ke mana?" godanya yang sukses kubalas dengan lemparan botol kosong."Aku nggak denger, loh. Pantas saja kamu nggak dikasih minum.""Lah, emang kenapa?""Ya pasti karena ada hubungannya dengan kejadian semalam. Pasti, dia mau balas dendam, tuh.""Hush, kamu itu. Sudah, Mas mau balik ke sana lagi.""Lah, emang belum selesai?" tanyakuMas Lian hanya menggeleng kemudian berlari karena melihat awan sudah mendung. Duh, sepertinya akan hujan ini.Aku masuk ke dalam, Mbak Imah baru saja habis dari dapur. Ia terlihat salah tingkah dengan tatapanku."Kenapa, Mbak?""Nggak. Kamu ngapain, senyam-senyum gitu?""Lah, emang nggak boleh?" tanyaku sambil melirik Ibu yang sedang mengelap bibirnya.Mbak Imah hanya melengos sambil memberikan sebuah amplop padaku."Ini, jatah untuk Ibu bulan ini," ucap Mbak Imah."Makasih, ya, Mbak. Oh iya, nanti sore jadwal Bapa
"Silakan duduk, Bu," ucap dokter muda tersebut. Aku dan Mbak Imah saling pandang, karena merasa bingung kenapa di bawa ke ruangan ini? Sementara Bapak sedang berada di dalam ruangan itu. "Jadi begini, apa Pak Burhan baru saja mengonsumsi makanan atau minuman dengan kadar gula tinggi?" tanya dokter yang bernama Muhrizal itu. "Iya, Dok. Saya lagi di kamar mandi, nggak tahu kalau Bapak makan segitu banyaknya.""Apakah beliau masih belum mengerti jika penderita diabetes ini tak boleh makan makanan yang mengandung kadar gula tinggi?" "Tahu, Dok. Cuma ya gitu, Bapak ini susah dibilangin. Karena sudah terbiasa makan nasi dalam porsi besar dan juga beberapa gelas es teh manis dalam sehari. Lalu, bagaimana kondisi beliau sekarang?" tanyaku. Dokter Muhrizal menghela napasnya, lalu meletakkan kacamata yang semula bertengger di hidungnya, ke atas meja. "Penyakit diabetes Pak Burhan ini sudah cukup parah. Apalagi sudah melukai ginjal. Tolong, setelah ini benar-benar jaga asupan makanan belia
Aku begitu miris melihat Bapak yang kini hidungnya telah dipasangi selang oksigen. Andai saja, Bapak dan Ibu masih halal, pasti aku takkan keberatan merawat mereka. Apalagi merawat orang tua di usia senja, surga jaminannya. Eh, iya! Aku lupa ngabarin Mas Helmi dan Mas Cahyo.[Assalamu'alaikum, Mas. Adek mau menyampaikan berita duka. Bapak, dilarikan ke rumah sakit. Diabetesnya kambuh, malah katanya semakin parah. Mohon do'anya.] Belum ada yang membalas, mungkin sedang tidak online. Tak lama kemudian, Mas Suryo dan Mbak Imah datang. Wajah keduanya begitu sedih. Aku tahu bagaimana rasanya jadi mereka. Karena bagaimanapun, kejadian ini ada di rumahnya. Beberapa orang perawat mendorong brankar yang di atasnya ada tubuh Bapak ke dalam ruang kelas VIP. Aku menoleh ke arah Mbak Imah, ia tersenyum. "Tak apa, Dek. Bentuk penyesalanku, bahkan ini belum sepadan karena kecerobohanku. Aku ingin Bapak istirahat tenang." Aku mengangguk. Karena jujur saja, pembayaran kamar VIP itu mahal, dan aku
[Bu, ini Mang Maman. Maaf, kalau terlambat memberitahu ini. Beberapa hari lalu, Pak Helmi datang ke sini. Saat itu, saya baru saja menjual manggis ke pengepul. Jumlahnya lima juta rupiah, tapi Pak Helmi tahu dan membawanya tiga juta. Hari ini pun sama, dia membawa hasil dua juta lima ratus dan pergi begitu saja.] Mataku hampir saja terlepas saat membaca pesan dari orang kepercayaanku itu. Mas Helmi, kapan tobatnya, sih? "Kamu kenapa melotot-melotot gitu, Dek?" "Mas, baca ini! Bisa bangkrut aku kalau benalu itu terus mengganggu!" ucapku berapi-api. "Benalu?" Mas Lian buru-buru mengambil ponsel dan membacanya. Rahangnya mengeras, sungguh aku sangat takut melihat penampakan Mas Lian saat ini."Kakakmu benar-benar gila, Dek! Aku sudah cukup sabar karena selalu saja disindir dan bahkan dihina. Tapi jika kelakuannya begini, aku tak bisa tinggal diam. Saudaramu ada tiga, tapi cuma dia yang banyak tingkahnya!" Aku hanya diam saja, memberi ruang untuk suamiku mengeluarkan unek-uneknya. S