Aku begitu miris melihat Bapak yang kini hidungnya telah dipasangi selang oksigen. Andai saja, Bapak dan Ibu masih halal, pasti aku takkan keberatan merawat mereka. Apalagi merawat orang tua di usia senja, surga jaminannya. Eh, iya! Aku lupa ngabarin Mas Helmi dan Mas Cahyo.[Assalamu'alaikum, Mas. Adek mau menyampaikan berita duka. Bapak, dilarikan ke rumah sakit. Diabetesnya kambuh, malah katanya semakin parah. Mohon do'anya.] Belum ada yang membalas, mungkin sedang tidak online. Tak lama kemudian, Mas Suryo dan Mbak Imah datang. Wajah keduanya begitu sedih. Aku tahu bagaimana rasanya jadi mereka. Karena bagaimanapun, kejadian ini ada di rumahnya. Beberapa orang perawat mendorong brankar yang di atasnya ada tubuh Bapak ke dalam ruang kelas VIP. Aku menoleh ke arah Mbak Imah, ia tersenyum. "Tak apa, Dek. Bentuk penyesalanku, bahkan ini belum sepadan karena kecerobohanku. Aku ingin Bapak istirahat tenang." Aku mengangguk. Karena jujur saja, pembayaran kamar VIP itu mahal, dan aku
[Bu, ini Mang Maman. Maaf, kalau terlambat memberitahu ini. Beberapa hari lalu, Pak Helmi datang ke sini. Saat itu, saya baru saja menjual manggis ke pengepul. Jumlahnya lima juta rupiah, tapi Pak Helmi tahu dan membawanya tiga juta. Hari ini pun sama, dia membawa hasil dua juta lima ratus dan pergi begitu saja.] Mataku hampir saja terlepas saat membaca pesan dari orang kepercayaanku itu. Mas Helmi, kapan tobatnya, sih? "Kamu kenapa melotot-melotot gitu, Dek?" "Mas, baca ini! Bisa bangkrut aku kalau benalu itu terus mengganggu!" ucapku berapi-api. "Benalu?" Mas Lian buru-buru mengambil ponsel dan membacanya. Rahangnya mengeras, sungguh aku sangat takut melihat penampakan Mas Lian saat ini."Kakakmu benar-benar gila, Dek! Aku sudah cukup sabar karena selalu saja disindir dan bahkan dihina. Tapi jika kelakuannya begini, aku tak bisa tinggal diam. Saudaramu ada tiga, tapi cuma dia yang banyak tingkahnya!" Aku hanya diam saja, memberi ruang untuk suamiku mengeluarkan unek-uneknya. S
Segera kumembukanya. Ternyata, Mbak Imah mengirimkan poto Ibu yang tengah tertidur di samping ranjang Bapak. Tak terasa, air mataku pun mengalir melihat pemandangan ini. Apakah salah, jika seorang anak menginginkan kedua orang tuanya kembali bersatu? [Dek, kamu berpikir yang kaya Mbak pikir sekarang, nggak?] Sebuah pesan masuk lagi dari Mbak Imah. [Maksudnya, Mbak ingin Ibu dan Bapak kembali bersatu?] [Iya, Dek.] [Sama, Mbak, tapi apa Bapak tau? Mbak tahu sendiri bagaimana Bapak dulu melewati hari-hari.] [Iya juga, sih. Semoga saja mau, Dek.] [Aamiin.] Setelahnya, mataku terasa mengantuk. Alhamdulillah, malam ini aku menemukan jawaban dari do'aku. ---Selesai salat subuh, aku sudah bersiap, begitu pun dengan Mas Lian yang sedang memanaskan mobil. Karena semalam Mbak Imah mengatakan untuk tak lagi datang ke sana, jadi pagi ini kami bergantian untuk menjaga Bapak. "Sudah bawa baju Bapak, Dek?" "Nih!" ucapku sambil menenteng tas kecil. Mas Lian membukakan pintu untukku, dan
[Fira! Apa-apaan kamu? Kamu mengadu sama Mas Cahyo, kan? Berani kamu sama aku?] Dengan santai, jemariku ini menari di atas keyboard dan menekan tombol send begitu pesan selesai diketik. [Segera kembalikan seluruh uang yang pernah kamu ambil dariku, Mas. Aku tunggu!] Aku pun beralih pada Mang Maman, lalu mengetik sebuah pesan padanya. Biar semua gamblang dan tak ada dusta di antar kita, eaaak! [Mang, kalau boleh tahu, berapa jumlah semuanya?] tanyaku, kebetulan Mang Maman temgah online. [Semuanya dua belas juta, Bu.] Melihat balasan Mang Maman, sontak membuatku ingin mencak-mencak. Jika tak sadar di mana sekarang aku berada, mungkin saat ini sudah kumaki-maki Mas Helmi meskipun kami tak sedang bersitatap. Kembali ukirim pesan pada kakakku itu, biar dia bertanggung jawab dari kesalahannya![Aku kasih waktu satu bulan untuk kamu kembalikan uangku, atau kamu aku laporkan ke polisi, Mas!] Tak ada lagi balasan karena tulisan online di bawah namanya pun sudah lenyap. Aku menghela napa
"Nggak papa, Nduk. Biar Ibu tebus kesalahan Ibu dulu. Meskipun bukan mahram, tapi untuk sekedar menemani dan menyuapi nggak papa, kan?" Aku dan Mas Lian tersenyum, begitupun dengan Mbak Imah. Akhir-akhir ini, ia semakin dekat dengan Ibu. Di jalan, aku dan Mas Lian menyempatkan diri untuk makan karena memang belum makan sedari siang. "Makan apa, Mas?" tanyaku. "Bakso enak kali, ya?" "Oke." Mobil melaju menyurusi jalanan, kemudian berbelok ke arah alun-alun dan berhenti di Bakso Pekih. Ini bakso terenak di Purwokerto, menurutku. Porsinya banyak, juga tetelannya bukan hanya lemak. Lah, jadi promosi, hehehe. Kami masuk berdesakkan dengan yang lain. Alhamdulillah, masih kebagian tempat. Di sini memang sangat ramai, jika sedang tak beruntung, kita harus mengantri di belakang yang sedang makan. Beda dari yang lain, kan? Jika yang lain ngantri di depan gerobak bakso, kami justru mengantri di belakang orang yang sedang makan. Tak sopan memang, tapi begitulah adanya. Jika tak begitu, ma
Aku tersadar di suatu ruangan yang pengap dengan posisi duduk. Kuedarkan pandangan, di mana ini? Kenapa semuanya asing? Mataku awas meniti setiap sudut ruangan. Sepertinya, ini adalah gudang tua yang sudah lama tak terurus. "Aw!" Pergelangan tanganku terasa sakit saat akan menarik tangan ini. Ah, s*al! Siapa yang berani melakukan hal ini padaku? Aku terus berusaha mengingat, siapakah orang yang selama ini terlihat bersaing atau menunjukkan gelagat tak suka padaku? "Apa jangan-jangan, suaminya Priska?" Mataku membulat. Jika memang benar ini perbuatan suaminya Priska, matilah aku! Bisa-bisa viral dan Ambar tahu. Padahal niatku hanya bermain-main saja dengannya. "Tolong! Tolong!" Aku berteriak sekeras dan sesering mungkin hingga tenggorokan ini rasanya sakit. Namun nihil, tak kunjung terdengar suara apapun. Aku jadu merinding sendiri. "Tolong, lepaskan saya!" Akhirnya, aku terdiam. Terbayang lagi, jika sampai suaminya Priska membunuhku di sini. Bagaimana dengan Ambar? Naura? Sudah
Ia langsung panik dan membantuku untuk masuk ke dalam. Setelah selesai, Maman pamit undur diri. "Makasih, ya, Man," ucapku. "Sama-sama, Pak. Kebetulan saja, saya tadi memang mau ke juragan Pendi." "Juragan Pendi?" tanyaku. Karena setahuku, Juragan Pendi adalah pemilik perkebunan sayur. Sering kali kami bertemu, namun karena sifatnya yang slengean membuatku malas bergaul dengannya. "Iya, Pak. Mulai besok, saya kerja di sana," ucap Maman. "Loh, kamu nggak kerja di Fira lagi?" tanyaku memastikan. Maman menggeleng, tatapannya berubah sendu. Ada apa dengan perkebunan milik Fira? Tidak mungkin jika adikku itu memecat Maman, karena ia sudah bekerja semenjak tanam benih pertama. "Bapak tidak tahu?" Kali ini, giliran aku yang menggeleng. "Kebun Bu Fira sudah dijual." Rasanya mataku hendak keluar saat mendengar kabar ini. Apa? Dijual? Kenapa Fira tak berbicara padaku tentang hal ini? "Ya sudah, Pak, saya permisi dulu." Aku mengangguk, membiarkan Maman pergi dan meneruskan tujuannya
Aku segera berjalan ke luar sambil memegangi daster, maklum emak-emak kalau buru-buru pasti langsung menaikkan daster dan berjalan cepat. Mas Lian menghampiriku, raut wajahnya sudah tak enak. Entah mengapa, melihat sepasang kaki itu membuatku perasaanku tak enak. Sepasang kaki? Ya, karena badannya masih tertutup dengan pintu yang masih terbuka Disusul oleh dua pasang kaki lainnya. "Terima kasih ya, Pak!" Brak! Pintu itu ditutup dengan kencang. Mataku membulat, begitupun dengan Mas Lian. Perasaan tak enak kami pun terbukti, Mas Helmi dan keluarganya datang membawa tas serta koper. "Assalamu'alaikum," ucap Mas Helmi sambil tersenyum. "Wa'alaikum salam," jawabku. Mereka masuk, tanpa kupersilakan. Memang seperti itu, kebiasaan. Mendengar suara anak lelakinya, Bapak keluar dengan kursi rodanya. "Pak," sapa Mas Helmi pada Bapak sambil mencium tangan beliau, diikuti oleh Mbak Ambar dan juga Naura. Aku dan Mas Lian buru-buru duduk dan menarik lengan Mas Helmi. Apa maksudnya, dia d
"Apa kamu tahu, Helmi masuk rumah sakit?" tanya Mbak Imah. "Apa Mbak Imah dan Fira kerja sama dengan Mas Helmi? Kemarin Fira juga ngomong gitu ... Loh." Suara Mbak Ambar menggantung saat kamera kubalik menggunakan kamera belakang. Bisa kulihat ia tertegun beberapa saat. Mungkin ia terkejut, karena sedari kemarin hanya menganggapku berbohong. "I-itu, Mas Helmi?" tanya Mbak Ambar, setelah menguasai diri. "Ya, itu suami yang kamu bilang kerja sama dengan kami. Bagaimana caranya kami kerja sama kalau keadaannya juga begitu?" tanya Mbak Imah, seraya terisak. Aku melihat air mata Mbak Ambar mengalir, lalu kuhembuskan napas yang terasa sesak. Apa ia sungguh-sungguh akan menceraikan Mas Helmi jika kenyataannya begini? "Aku akan ke sana," ucap Mbak Ambar. "Nggak perlu. Masih ada kami, keluarganya. Kamu fokus lah dulu pada kesembuhanmu sendiri. Jangan pedulikan Helmi," ucap Mbak Imah sambil mematikan ponsel. Hening. Isak tangis Mbak Imah masih terdengar. Meski ia bawel, cerewet, dan bah
"Halo, Fir? Kok diam? Mana Mas Helminya?" Aku semakin bingung saat mendengar Mbak Ambar menanyakan Mas Helmi. Tak apakah jika aku memberitahunya? "Mbak, tolong pikirkan lagi soal perceraian itu," ucapku pada akhirnya. Terdengar helaan napas panjang dari arah seberang telepon. Mungkin, ini berat bagi Mbak Ambar. "Berat, Fir. Apalagi kakakmu kasusnya sudah sampai menikahi orang lain dan tak memberitahuku. Apa kamu yakin, bakal diam saja kalau Lian nikah lagi? Apa kamu yakin, bakal menerima semuanya meski itu hanyalah masa lalu?" Lagi-lagi aku terdiam. Benar, beban setiap orang itu berbeda. Aku yakin, yang ditimpa Mbak Ambar sekarang ini begitu berat. Apalagi ini menyangkut mental. "Mana Mas Helminya? Biar Mbak suruh untuk menandatangi dan mengirimkannya sekarang juga." "Mas Helmi, ada di rumh sakit." "Rumah sakit? Apa Naura sakit? Atau, Ibu?" "Mbak, apa kamu pikir, Mas Helmi tidak bisa sakit sehingga yang kamu tanyakan hanyalah mertuamu dan anakmu sendiri. Mas Helmi, kecelakaan
"Apanya?" "Retak di bagian batok kepala, pendarahan di otak, dan juga patah kaki kiri." Mbak Imah langsung beristighfar. Benar memang, di antara satu garis keturunan, pasti ada satu yang berbeda, dan di keluarga kami adalah Mas Helmi. Entah sudah berapa kali masalah dan musibah yang menghampirinya. Kalau dulu, masih ada Bapak yang menjadi jalan mengadu kami, kalau sekarang? Kami harus bergotong-royong demi menyebabkan masalah yang ia lakan. "Setengahnya dicover bpjs katanya, Mbak. Jadi kita hanya perlu setengah lagi. Apa, kita perlu menjual rumah Mas Helmi di Bogor?" "Tapi, kalau kita ke sana nanti, bagaimana, Fir?" Aku menghela napas. Benar, di mana tempat kami akan tinggal jika suatu hari nanti kami ke sana? Karena masih banyak saudara dari Ibu, sehingga sudah pasti suatu hari nanti akan berkunjung. "Nanti, biar Fira yang atur, Mbak. Sekarang aku mau masuk dulu," ucapku pada Mbak Imah saat melihat Mas Surya keluar. Aku pun masuk, melihat berbagai selang yang dipasang di tubuh
"Apa, Mas?" "Nih." Dengan dad berdebar, segera kusaut ponsel dari Mas Lian. Setelah mengatur debar dalam dada, aku mulai berbicara. "Iya, saya Fira." "Korban bernama Pak Helmi, menjadi korban kecelakaan dengan mobil. Saat ini kondisinya kritis.""Ya Allah! Di rumah sakit mana, Bu?" Setelah mengantongi nama rumah sakitnya, segera aku menelepon Mbak Imah supaya bisa menemani ke sana. Untuk Mas Cahyo, mungkin nanti akan kuhubungi dan berangkat terpisah, mengingat jarak kami yang lumayan jauh. "Sudah siap, Fir?" tanya Mbak Imah. "Sudah, Mbak. Mas, tolong jagain Aya, ya. Kalau kamu kuajak, kasihan Ibu harus jagain dua cucunya." "Iya, beres. Sudah, sekarang kamu berangkat saja sana. Nggak usah pikirin yang di rumah, semoga Mas Helmi segera pulih. Jangan lupa kasih kabar, ya," ucap Mas Lian yang segera kuangguki. Setelah memakai jaket, kami langsung berangkat. Di sepanjang jalan tak hentinya aku beristighfar, semoga tak ada satu pun hal buruk yang menimpa kakakku itu. "Kok bisa kec
Habis magrib, Mas Helmi datang ke sini. Mas Surya pun ke sini lagi bersama Mbak Imah, karena aku kekeuh tak ingin memberikan surat itu. "Wih, ngumpul, nih." "Hel, tarik napas dulu," ucap Mas Surya. "Kenapa sih, Mas?" "Sudah, tarik napas dulu." Mas Helmi menuruti perkataan Mas Surya dan melakukannya. Saat sudah selesai, Mas Surya segera memberikan amplop tadi pagi. "Apa ini?" tanya Mas Helmi. "Buka saja." Mas Helmi pun mengambil amplop itu dengan bingung, lalu membuka isinya. Matanya membeliak saat membaca kop suratnya. "Pengadilan? Mas Surya mau menceraikan Mbak Imah?" Pletak! Mbak Imah melemparkan sendok ke kepala Mas Helmi. "Ngawur ngomongnya. Buka dulu. Lagian, nggak kamu baca itu siapa pengirimnya?" Mas Helmi tak menghiraukan ucapan Mbak Imah, lalu membuka surat itu. Matanya dua kali lebih besar dari yang tadi. Tentu saja, ia pasti amat terkejut karena itu. "I-ini, nggak benar, kan?" "Masa iya kami prank?" "Nggak mungkin, Mas. Masa iya Ambar menceraikanku?" Mas Su
"Mas!" teriakku. Mas Lian dan Ibu yang tengah menggendong Aya, segera menghampiri saat aku berteriak. Bagaimana aku tak marah, jika surat dari pengadilan ada di tanganku? "Kenapa, Dek?" "Apa ini?" "Maksudnya?" "Kamu mau menceraikan aku?" "Hahhh? Apa sih Dek? Jangan mengada-ada." "Lalu ini apa?" Mas Lian segera mengambil surat itu dari tanganku dan membacanya. Matanya membeliak, lalu menepuk jidatnya sendiri. Kenapa ia berekspresi seperti itu? "Ini, bukan untuk kam, Dek. Tapi untuk Mas Helmi." "Apa?" Kali ini giliran aku yang terkejut, hingga Athaya menangis karena mendengar teriakan kami. "Uuh, Sayang, maafkan Bunda, ya. Kaget, ya?" tanyaku sambil mengelus kepala anak yang sudah aktif itu. "Mas Helmi? Apa Mbak Ambar menceraikannya?" "Bisa jadi." "Tapi kan dia lagi hamil loh, Mas. Mana boleh cerai." "Kan perkiraan minggu depan lahiran." Aku menepuk jidat. Benar-benar telmi aku ini. Kenapa Mbak Ambar menggugat cerai Mas Helmi? Mengingat kali terakhir sebelum ia pergi, si
"Nggak, Mas, aku cuma nanya doang kok." "Awas macem-macem." "Perasaan dulu yang ngejar kamu, Fir, kok sekarang yang bucin malah Mas Lian?" "Mau tau rahasianya?" "Iya, apa?" tanya Fitri sambil mencondongkan badannya demi mendengarkan jawabanku. Namun justru itu yang membuatku menahan tawa. "Pesonaku." "Njiiir!" Pletak! Aku malah dijitak oleh Fitri.--Esok hari. Aku mengantar Naura berangkat sekolah. Ia masih terlihat lemas, mungkin karena efek berjauhan dengan ibunya. "Apa kamu nggak curiga, kok Mbak Ambar tega ninggalin anaknya?" "Astaghfirullah, Fitri! Kalau mau gabung, panggil dulu, kek, jangan asal ngomong aja. Kaget!"Fitri hanya nyengir saja, namun aku kepikiran dengan kata-katanya. Benar, kenapa Mbak Ambar tega meninggalkan Naura? Apa benar, sekolah menjadi alasan utama, atau ada alasan yang lainnya? "Kenapa? Baru kepikiran?" Aku mengangguk, lalu membenarkan topi yang dikenakan oleh Aya. Cuaca sedang panas, jam setengah tujuh pagi saja matahari sudah menunjukkan si
Mbak Ambar menatap Mas Helmi, "Iya, sama Papa." Entah kenapa, aku merasa ada yang aneh dari tatapan kakak iparku itu. Setelah berpamitan, mobil mulai melaju. Tangis Naura terus terdengar. Wajar, ia baru berusia sepuluh tahun dan juga begitu dimanja oleh Mbak Ambar, sehingga pasti sangat kehilangan. "Emangnya, jadwal Ambar lahiran, kapan, Hel?" tanya Mbak Imah. "Dua mingguan lagi, Mbak. Mungkin, dia masih takut apa-apanya sendiri, jadi mau lahiran di rumah Mama. Padahal dia sudah punya pengalaman. Tapi ya sudah lah, nggak papa, toh cuma dua mingguan ini. Nanti bisa ke sana pas Ambar mau melahirkan.""Lagian bukan kamu ikut ke sana, Hel," ucap Bu Romlah, entah kapan ia ada di sini. "Saya kan kerja, Bu. Kalau nggak kerja dan di sana cuma nganggur, ya ga enak. Meski mertua saya nggak kaya Bu Romlah, tetep aja ga enak, toh?" "Loh, memangnya saya kenapa?" tanya Bu Romlah. "Cerewet, bawel, tukang gosip!" jawab kami bersamaan lalu masuk ke dalam rumahku. --Pagi hari. Aku sedang sibuk
"Makanya, kalau nggak mau jadi bahan gosip mereka, nggak usah betingkah." "Siapa yang betingkah sih, Yang? Orang Riska ke sini sendiri, kok. Aku nggak mungkin lah, nolak pelanggan." "Pelanggan tapi nggak bayar!" ucapku, lalu keluar kamar, hendak mengambil Athaya di rumah Mbak Ambar, karena kata Ibu, tadi di bawa oleh Kak Ratih saat aku dan Mas Lian di kamar menuju rumah Mbak Ambar. Ketika di teras, aku terkejut melihat Riska masih di sini, bahkan duduk di teras warungku. Kuambil napas banyak, lalu menghampirinya. "Ada apa lagi?" "Aku bukan orang miskin, jadi mau bayar ongkos isi angin tadi. Nih," ucapnya sambil memberikan uang pada Mas Lian, padahal jelas-jelas aku yang lebih dekat dengan tempatnya berdiri. "Terima kasih," ucapku sambil merebut uang itu dan meminta Mas Cahyo untuk menutup bengkel Mas Lian. Bener-bener si Riska, gak ada malunya meski ada aku, istri sahnya Mas Lian. "Yang, kamu jangan cemburu gitu, dong! Aku sama Riska itu nggak ada apa-apa. Masa kamu marah-marah