âPesan kok cuma sebungkus, Dan. Sudah enggak pernah beli,â jawab Mbak Asih.âHe, maaf Mbak, kami baru datang malam ini, karena Mbak pasti tahulah alasannya,â kata Mas Danu. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.âYa, aku tahu. Pasti kamu enggak punya duit, kan? Hidup kok susah melulu Dan, kapan kamu bisa nyenengin kami semua,â omel Mbak Asih.âYa, sudah sana duduk tunggu dulu, ini aku masih buatkan untuk 3 orang lagi, kasihan mereka sudah nunggu dari tadi.â Aku dan Mas Danu mencari tempat duduk yang kosong.âAlhamdulillah warung Mbak Asih rame banget ya, Mas. Aku senang kalau lihat orang buka usaha terus ramai pembelinya,â kataku sambil memperhatikan sekeliling. Mereka para pembeli sepertinya sangat menikmati sekali pecel lele buatan Mbak Asih."Alhamdulillah, Dik. Mas juga ikut senang. Semoga warung Mbak Asih setiap harinya selalu ramai," sahut Mas Danu."Aamiin ...." jawabku tulus.Kia minta turun karena dia lihat ada kucing di bawah meja. Aku menurunkan Kia dari gendongan. Kucin
âEnggak kok, Mas, aku lagi fokus jalan ini, kan, gelap,â jawabku.Jarak rumah dari tempat dagang Mbak Asih memang tidak jauh, hanya menempuh perjalanan 10 menit saja itu juga jalan kaki santai.Kami lihat rumah ibu lampunya menyala semua tumben sekali biasanya ibu akan pelit ngidupin lampu demi menghemat listrik.âIbu, kok, di luar?â tanya Mas Danu. Ibu diam saja pandangannya lurus ke depan tidak menoleh pada kami sama sekali.âApa Ibu, sakit?â tanya Mas Danu lagi.âMas, ayok, pulang. Mungkin Ibu lagi marah dengan kita makanya diam saja.âIbu, aku pulang, ya?â Diam. Ibu sama sekali tidak menjawab.âAneh,â gumas Mas Danu.Aku juga heran kenapa ibu jadi seperti orang linglung begitu. Mbak Lili juga tidak ada.âMas, tunggu sebentar ya, aku buat sambal orek dulu.â Aku segera menyiapkan nasi dan membuat sambal. Kubuang sambal yang dapat beli dari Mbak Asih tadi.âKenapa bikin sambal lagi, Dik? Bukannya tadi dapat sambal dari Mbak Asih?â tanya Mas Danu penasaran.Lalu kuceritakan semua yang
âMbak Asih, lagi apa?â tanyaku heran. Tadi ibu bilang Mbak Asih sudah tidur, ini kok lagi gali-gali tanah dekat sumur di bawah pohon pisang.Ibu sama Mas Danu masih di rumah masih mencoba menghubungi Mas Eko. Aku pingin sekali ke toilet panggilan alam mendesak, makanya bisa tahu Mbak Asih sedang sibuk gali-gali tanah tengah malam begini.âBuang isi ikan sama jeroan ayam, Ta. Kalau enggak dikubur begini nanti akan bau,â jawab Mbak Asih gugup.âOh, iya benar juga. Kalau bau busuk ke mana-mana. Ya, sudah aku masuk duluan ya, Mbak.ââIya!â jawabnya singkat lalu masuk ke rumah.âBagaimana Mas? Apa bisa dihubungkan nomor Mas Eko?ââBisa, Dik, tapi tidak jawab. Mungkin sudah tidur tengah malam begini.ââKasihan, Lili, Dan. Ke mana dia,â ucap Ibu.âTunggu saja Bu, barangkali sebentar lagi Mbak Lilinya pulang,â sahutku.âKamu enggak tahu apa-apa lebih baik diam!â bentak ibu padaku."Ini gara-gara istrimu yang bod*h ini Dan, jadi Eko nikah dia enggak kasih tahu kami. Atau barangkali dia sengaja
đ¸đ¸đ¸đ¸đ¸âDonat! Bolu pisang!ââDonat! Bolu pisang!â"Donat! Bolu pisang!"Aku menjajakan kue buatanku ini keliling kampung, separuh sudah aku taruh di warung Wak Haji. Alhamdulillah tadi baru kutaruh saja sudah ada beberapa pembeli.Aku berangkat sejak selepas subuh tadi. Aku masih membawa pisau dapur yang sudah diasah sangat tajam oleh Mas Danu untuk jaga-jaga takut kejadian seperti malam itu.Aku pun sengaja tidak menaruh semua daganganku di warung Wak Haji, biar aku bisa keliling sekaligus mencari Mbak Lili.Sampai rumah kontrakan Mbak Desi masih sepi, tapi ada Mbak Lili di teras dia, memeluk lututnya. Tepat di depan pintu. Kasihan sekali. Lagi begitu aku merasa sangat kasihan.âMbak Lili!â Aku teriak dan menghampiri dia. Mbak Lili kaget kemudian mencoba biasa saja. Di sebelahnya ada pisau dapur yang dibawa. Berarti ibu semalam tidak bohong.âMbak, ngapain di sini ayo, pulang!â ajakku. Suaraku sengaja aku kuatkan agar Mas Eko dengar.âEnggak mau! Aku mau ketemu pelakor itu, mau
âIya, jelek begitu. Mending cari yang lain Mbak!â sahut yang lain.âBiar jelek yang penting kuat Bu, enggak loyo makanya dia bisa beristri tiga!ââNgawur kamu! Mbak yang jualan donat itu adik iparnya. Itu yang kemarin dulu ke sini!ââWalah, iya!ââDuh, Kasihan dagangannya di berantakin begitu!ââPerempuan sama-sama enggak bener begitu tinggalin aja ngapain juga punya istri dua, tapi bar-bar semuanya!âDan masih banyak lagi omongan para tetangga. Aku tidak bisa menanggapi karena aku sendiri pusing daganganku hancur.Ponselku sengaja aku tinggal di rumah jadi aku tidak bisa menelepon Mas Danu ataupun Mbak Asih. Aku juga tidak hafal nomornya.Lebih dari satu jam mereka bertengkar setelah daganganku benar-benar hancur dan juga mungkin mereka sudah lelah. Mereka berhenti sendiri. Mas Eko seperti tidak peduli keributan yang dibuat oleh ke dua istrinya. Dia malah sibuk menimang-nimang bayi Mbak Desi yang tadi nangis.Seperti dugaanku, Mbak Desi senyum penuh kemenangan dia merasa menang karen
Aku sampai rumah sudah lumayan siang, jam 9 pagi, Kia juga sudah menangis pasti dia sudah haus, meski dia dikasih tajin dan juga biskuit tetap saja masih haus kalau belum minum ASI.Gegas aku bersih-bersih badan, kudengar pertengkaran dari rumah ibu, entah itu suara siapa tidak begitu jelas karena ada suara tangisan juga.âMas, sini Kianya dia pasti sudah sangat haus.â Mas Danu memberikan Kia padaku.âIya, Dik benar. Kamu kenapa lama biasanya jam 7 sudah pulang?â tanya Mas Danu, dari raut wajahnya tampak khawatir.Kuceritakan semua pada Mas Danu. Dia cukup terkejut dan juga tertawa karena ulah mereka yang menghamburkan kue daganganku.âNanti kita bantu bicara pada Mas Eko, semoga saja ada jalan terbaik. Sekarang kita sarapan dulu ya, Dik, ini Mas tadi bikin nasi goreng lagi, sayang nasi sisa kemarin kalau enggak di masak.â Aku mengiyakan. Kami sarapan bersama. Mas Danu dengan telaten menyuapiku yang sedang menyusui Kia.Nasi goreng bawang begini dengan lauk ikan asin goreng bagi kami
âTunggu Mbak!â Aku memanggil Mbak Lili yang sudah hampir sampai pintu dapur ibu. Mbak Lili berhenti dan aku gegas menghampirinya.âAda apa lagi? Apa kurang duitnya ... nih, aku tambahin.â Mbak Lili melemparkan koin padaku.Kuambil koin itu dan juga uang 50 ribu rupiah yang tadi dari Mbak Lili. Kulempar tepat mengenai hidung mancung Mbak Lili.âAmbil uang itu, aku tidak butuh. Tanganku masih bisa mengais rezeki lebih dari itu.ââAaa ... sakit, Ta!â teriaknya.âIni belum seberapa dibandingkan perlakuan Mbak Lili padaku.â Kutinggalkan Mbak Lili yang memaki-makiku.Sore hari saat aku pulang dari warung Wak Haji, ada mobil pick-up terparkir di depan rumah ibu. Mobil itu membawa dipan, lemari, dan juga meja rias.Aku pikir Mbak Lili atau Mbak Asih yang membeli itu, tapi ternyata bukan.Ada Mbak Desi di sana, ah apa mungkin Mbak Desi mau tinggal di rumah ibu? Nekat sekali dia. Di rumah ibu sudah ada Mbak asih dan suaminya Padahal dia punya rumah sendiri.Mbak Asih juga aneh, punya rumah send
âMas, kamu ada Ibu ke sini kok dicuekin malah sibuk nganyam?ââMas, sebal sama Ibu, Dik,â jawab Mas Danu singkat.âSebal kenapa, Mas?â tanyaku penasaran.âTadi itu, ceritanya Mas telepon Wak Ratno, Mas mau jual kebun karet kita dua hektar. Mas pingin buka usaha grosir kelontongan yang besar sekalian di pasar sana. Kamu, kan pinter dagang, Dik. Semoga ini bisa untuk jalan kita,â jawab Mas Danu serius.âLalu apa hubungannya dengan Ibu, Mas?ââIbu itu dengar obrolan kami, karena tadi pas Mas telepon di halaman rumah situ, sambil berjemur sama Kia," jelas Mas Danu.âPantas saja Ibu mau main sama, Kia,â sahutku.âIya, tadi juga Ibu bilang minta bagian kalau tidak mau kasih Ibu mau pinjem uang hasil penjualan kebun kita itu,â kata Mas Danu lagi.âYa Allah, Bu-ibu. Giliran ada maunya aja baik."âDik.ââHem .... apa?ââMaaf ya, tadi Mas telepon Wak Ratno tanpa minta persetujuan kamu, maaf juga tadi Mas baca WAG keluarga kamu,â ucap Mas Danu.âKenapa Mas mesti minta maaf. Aku akan selalu dukun