🌸🌸🌸🌸🌸“Donat! Bolu pisang!”“Donat! Bolu pisang!”"Donat! Bolu pisang!"Aku menjajakan kue buatanku ini keliling kampung, separuh sudah aku taruh di warung Wak Haji. Alhamdulillah tadi baru kutaruh saja sudah ada beberapa pembeli.Aku berangkat sejak selepas subuh tadi. Aku masih membawa pisau dapur yang sudah diasah sangat tajam oleh Mas Danu untuk jaga-jaga takut kejadian seperti malam itu.Aku pun sengaja tidak menaruh semua daganganku di warung Wak Haji, biar aku bisa keliling sekaligus mencari Mbak Lili.Sampai rumah kontrakan Mbak Desi masih sepi, tapi ada Mbak Lili di teras dia, memeluk lututnya. Tepat di depan pintu. Kasihan sekali. Lagi begitu aku merasa sangat kasihan.“Mbak Lili!” Aku teriak dan menghampiri dia. Mbak Lili kaget kemudian mencoba biasa saja. Di sebelahnya ada pisau dapur yang dibawa. Berarti ibu semalam tidak bohong.“Mbak, ngapain di sini ayo, pulang!” ajakku. Suaraku sengaja aku kuatkan agar Mas Eko dengar.“Enggak mau! Aku mau ketemu pelakor itu, mau
“Iya, jelek begitu. Mending cari yang lain Mbak!” sahut yang lain.“Biar jelek yang penting kuat Bu, enggak loyo makanya dia bisa beristri tiga!”“Ngawur kamu! Mbak yang jualan donat itu adik iparnya. Itu yang kemarin dulu ke sini!”“Walah, iya!”“Duh, Kasihan dagangannya di berantakin begitu!”“Perempuan sama-sama enggak bener begitu tinggalin aja ngapain juga punya istri dua, tapi bar-bar semuanya!”Dan masih banyak lagi omongan para tetangga. Aku tidak bisa menanggapi karena aku sendiri pusing daganganku hancur.Ponselku sengaja aku tinggal di rumah jadi aku tidak bisa menelepon Mas Danu ataupun Mbak Asih. Aku juga tidak hafal nomornya.Lebih dari satu jam mereka bertengkar setelah daganganku benar-benar hancur dan juga mungkin mereka sudah lelah. Mereka berhenti sendiri. Mas Eko seperti tidak peduli keributan yang dibuat oleh ke dua istrinya. Dia malah sibuk menimang-nimang bayi Mbak Desi yang tadi nangis.Seperti dugaanku, Mbak Desi senyum penuh kemenangan dia merasa menang karen
Aku sampai rumah sudah lumayan siang, jam 9 pagi, Kia juga sudah menangis pasti dia sudah haus, meski dia dikasih tajin dan juga biskuit tetap saja masih haus kalau belum minum ASI.Gegas aku bersih-bersih badan, kudengar pertengkaran dari rumah ibu, entah itu suara siapa tidak begitu jelas karena ada suara tangisan juga.“Mas, sini Kianya dia pasti sudah sangat haus.” Mas Danu memberikan Kia padaku.“Iya, Dik benar. Kamu kenapa lama biasanya jam 7 sudah pulang?” tanya Mas Danu, dari raut wajahnya tampak khawatir.Kuceritakan semua pada Mas Danu. Dia cukup terkejut dan juga tertawa karena ulah mereka yang menghamburkan kue daganganku.“Nanti kita bantu bicara pada Mas Eko, semoga saja ada jalan terbaik. Sekarang kita sarapan dulu ya, Dik, ini Mas tadi bikin nasi goreng lagi, sayang nasi sisa kemarin kalau enggak di masak.” Aku mengiyakan. Kami sarapan bersama. Mas Danu dengan telaten menyuapiku yang sedang menyusui Kia.Nasi goreng bawang begini dengan lauk ikan asin goreng bagi kami
“Tunggu Mbak!” Aku memanggil Mbak Lili yang sudah hampir sampai pintu dapur ibu. Mbak Lili berhenti dan aku gegas menghampirinya.“Ada apa lagi? Apa kurang duitnya ... nih, aku tambahin.” Mbak Lili melemparkan koin padaku.Kuambil koin itu dan juga uang 50 ribu rupiah yang tadi dari Mbak Lili. Kulempar tepat mengenai hidung mancung Mbak Lili.“Ambil uang itu, aku tidak butuh. Tanganku masih bisa mengais rezeki lebih dari itu.”“Aaa ... sakit, Ta!” teriaknya.“Ini belum seberapa dibandingkan perlakuan Mbak Lili padaku.” Kutinggalkan Mbak Lili yang memaki-makiku.Sore hari saat aku pulang dari warung Wak Haji, ada mobil pick-up terparkir di depan rumah ibu. Mobil itu membawa dipan, lemari, dan juga meja rias.Aku pikir Mbak Lili atau Mbak Asih yang membeli itu, tapi ternyata bukan.Ada Mbak Desi di sana, ah apa mungkin Mbak Desi mau tinggal di rumah ibu? Nekat sekali dia. Di rumah ibu sudah ada Mbak asih dan suaminya Padahal dia punya rumah sendiri.Mbak Asih juga aneh, punya rumah send
“Mas, kamu ada Ibu ke sini kok dicuekin malah sibuk nganyam?”“Mas, sebal sama Ibu, Dik,” jawab Mas Danu singkat.“Sebal kenapa, Mas?” tanyaku penasaran.“Tadi itu, ceritanya Mas telepon Wak Ratno, Mas mau jual kebun karet kita dua hektar. Mas pingin buka usaha grosir kelontongan yang besar sekalian di pasar sana. Kamu, kan pinter dagang, Dik. Semoga ini bisa untuk jalan kita,” jawab Mas Danu serius.“Lalu apa hubungannya dengan Ibu, Mas?”“Ibu itu dengar obrolan kami, karena tadi pas Mas telepon di halaman rumah situ, sambil berjemur sama Kia," jelas Mas Danu.“Pantas saja Ibu mau main sama, Kia,” sahutku.“Iya, tadi juga Ibu bilang minta bagian kalau tidak mau kasih Ibu mau pinjem uang hasil penjualan kebun kita itu,” kata Mas Danu lagi.“Ya Allah, Bu-ibu. Giliran ada maunya aja baik."“Dik.”“Hem .... apa?”“Maaf ya, tadi Mas telepon Wak Ratno tanpa minta persetujuan kamu, maaf juga tadi Mas baca WAG keluarga kamu,” ucap Mas Danu.“Kenapa Mas mesti minta maaf. Aku akan selalu dukun
Assalamualaikum ... selamat pagi semu terima kasih banyak yang sudah ngikutin cerita Ita sampai sejauh ini. Yuk, bantu follow akunku. Biar aku makin semangat.Bayinya nangis, Mas Eko sigap mengambil bayi Mbak Desi lalu menggendongnya.“Mas! Kamu ... iihh!” Mbak Lili merajuk membanting barang belanjaannya begitu saja lalu menghampiri ibu.“Ini ada apa ramai-ramai dan ada barang-barang sebanyak ini?” tanya Mas Eko dia pun sepertinya tidak tahu kalau istri mudanya mau tinggal di sini.“Aku mau tinggal di sini, Mas” jawab Mbak Desi dengan manja.“Apa! Heh, sudah gila kamu! Ini rumah ibuku mana bisa kamu tinggal di sini!” teriak Mbak Lili, dia menoyor kepala Mbak Desi.“Yang menentukan aku tinggal di sini atau bukan itu Mas Eko bukan kamu!” teriak Mbak Desi. Sigap Mbak Lili menabok mulut Mbak Desi.“Teriak sekali lagi, aku tusuk mulutmu pakai ini!” Mbak Lili mengacungkan gagang sapu pada Mbak Desi.“Kamu lagi, ngapain di sini! Kamu mau ngetawain aku, hah! Sudah Kebagusan kamu rupanya di si
“Heh, Ta, kok malah bengong begitu! Ini ambil!” titah ibu mertuaku.“Eh, i—iya ... Bu,” jawabku terbata.“Ya, sudah, Ibu pulang dulu, ya, Nak ... semoga kamu suka oleh-oleh dari Lili.” Tiba-tiba mulut ibu manis sekali.Jadi, Maghrib ini aku tidak hanya dikejutkan oleh sosok dua ibu mertuaku, tapi juga oleh sikap manisnya yang tiba-tiba datang.Kututup pintu dan gegas ke kamar, menghampiri Mas Danu. Ritme jantungku tidak teratur. Aku deg-degan dan juga sedikit takut.“Sudah Mas, zikirnya?” Mas Danu heran dengan pertanyaanku.“Alhamdulillah ... ada apa, Dik. Kamu seperti gelisah gitu?”Aku jawab pertanyaan Mas Danu dengan cerita yang barusan saja aku alami. Dia tidak percaya, tapi aku bilang dapat bingkisan juga dari ibu yang pertama datang.Kami gegas ke dapur, bingkisan tadi aku taruh di meja makan. Kugendong Kia yang sudah ngantuk aku takut Kia kenapa-napa kalau aku tinggal sendiri di kamar.“Mas, ya Allah itu bingkisannya masih!” teriakku.Mas Danu mengambil bingkisan itu, mengendus
Mas Danu pun ikut tertawa lalu dia menceritakan yang aku alami Maghrib tadi Wak Ratno berkali-kali mengucapkan istighfar dan menasihati kami untuk selalu berhati-hati.“Besok Wak Ratno saja yang ke rumah kamu, Dan. Sekalian ngajak kamu ke kebun karetmu. Waktu itu Wak sudah ke sana, tapi hanya sebentar karena anak Wak yang di Jakarta tiba-tiba pulang dalam keadaan sakit.”“Baik, Wak, aku ikut Wak aja gimana baiknya.”“Jangan ngikut-ngikut saja, Dan. Ha-ha ....”“Kami percaya Wak orang baik,” jawab Mas Danu.“Aamiin ... semoga Wak bisa terus seperti ini pada siapa pun ya, Dan. Bisa Istiqomah dalam kebaikan.”“Aamiin ... Wak, kami do’akan. Ya, sudah Wak, istirahat jaga kesehatan. Sampai jumpa besok,” ucap Mas Danu.“Iya, Dan. Terima kasih. Assalamualaikum ....”“Wa’alaikumsalam, Wak.”Aku dan Mas Danu berpelukan saking senangnya. Semoga jalan kami di permudah.“Sayang, besok kalau Wak sudah bayar uangnya jangan lupa kita bayar zakat yang 2.5 persen kan, selama ini kita enggak pernah baya