Mas Danu pun ikut tertawa lalu dia menceritakan yang aku alami Maghrib tadi Wak Ratno berkali-kali mengucapkan istighfar dan menasihati kami untuk selalu berhati-hati.“Besok Wak Ratno saja yang ke rumah kamu, Dan. Sekalian ngajak kamu ke kebun karetmu. Waktu itu Wak sudah ke sana, tapi hanya sebentar karena anak Wak yang di Jakarta tiba-tiba pulang dalam keadaan sakit.”“Baik, Wak, aku ikut Wak aja gimana baiknya.”“Jangan ngikut-ngikut saja, Dan. Ha-ha ....”“Kami percaya Wak orang baik,” jawab Mas Danu.“Aamiin ... semoga Wak bisa terus seperti ini pada siapa pun ya, Dan. Bisa Istiqomah dalam kebaikan.”“Aamiin ... Wak, kami do’akan. Ya, sudah Wak, istirahat jaga kesehatan. Sampai jumpa besok,” ucap Mas Danu.“Iya, Dan. Terima kasih. Assalamualaikum ....”“Wa’alaikumsalam, Wak.”Aku dan Mas Danu berpelukan saking senangnya. Semoga jalan kami di permudah.“Sayang, besok kalau Wak sudah bayar uangnya jangan lupa kita bayar zakat yang 2.5 persen kan, selama ini kita enggak pernah baya
“Katanya ngubur sampah kok, dicari ya, Mas?”“Bukan sampah beneran, Dik. Itu hanya alasan mereka saja.” Kami bicara bisik-bisik.“Apa yang sudah kita bakar semalam ya, Mas?”“Sepertinya iya, sudah ayo, kita lanjutkan buat kuenya nanti kesiangan. Biarkan saja mereka nanti kalau tidak ketemu juga pulang lagi.” Aku setuju dengan Mas Danu.Aku sampai bergidik ngeri membayangkan kalau itu benar yang dilakukan Mbak Asih. Maka pasti dagangnya enggak akan bertahan lama. Dia sudah merugikan banyak orang dan juga dirinya sendiri.“Mas, nanti Kia biar aku saja yang mandiin, kan aku cuma sebentar naganter saja ke warung Wak Haji.”“Iya, Dik, kamu hati-hati ya, pisaunya di bawa ya, Dik untuk jaga-jaga.” Aku pamit lalu menggowes sepeda lumayan kebut agar cepat sampai ke warung.Di sana sudah ramai ibu-ibu belanja ada juga yang sudah menungguku.“Ita, ini uangmu yang kemarin, sudah Wak potong utangmu. Sudah lunas,” ucap Wak Haji perempuan.“Alhamdulillah ... terima kasih banyak ya, Wak. Oh, iya, ak
“Enggak! Aku enggak mau Mas, aku cinta sama kamu, aku sayang sama kamu, tolong jangan ceraikan aku.” Mbak Desi menangis pilu dia sampai memohon di kaki Mas Eko, tapi Mas Eko bergeming.“Perkaranya sudah selesai aku pulang dulu, Bu,” pamit Mas Danu.Ibu hanya diam saja sepertinya beliau cukup syok akan kejadian pagi ini.“Mas, kok, bisa sih, Mbak Desi itu ...." tanyaku penasaran.“Mana Mas tahu Dik, namanya juga hidup susah ditebak,” jawab Mas Danu.“Tapi, bisa ya, kebetulan gitu,” kataku masih penasaran. Ipar ketemu ipar mantan pacar istri mudanya ipar. Ah, rumit otakku tidak sampai.“Sudah, enggak usah dipikirkan, mendingan kita pikirkan masa depan kita aja.” Mas Danu mengambil ayam dari tanganku untuk disembelih.“Danu, mau makan enak kamu rupanya,” teriak Mbak Asih dia pun sedang membersihkan ayam-ayam dan juga lele untuk jualannya.“Sudah kaya kau rupanya, Dan. Makan ayam hari ini,” sahut Mas Roni.Merek berdua ajaib sekali. Barusan saja tangis-tangisan ini sudah bisa mengejek ora
“Ini, Ta, kami bawa oleh-oleh, kamu itu enggak aktif terus HP-nya jadi kami susah hubungi padahal kita ngobrol seru di grup,” ujar Mbak Ning.“Aktif terus kok, Mbak.”“Iya, memang aktif, maksudnya enggak online loh, Ta,” sahut Mbak Susi.“Jadi, maksud kedatangan kami ke sini ngantar Mbak-mbakmu untuk minta maaf, Nak. Mereka berjanji tidak akan begitu lagi,” ucap bapak memulai pembicaraan.“Kalau aku pribadi sudah memaafkan, Pak, Bu. Tapi, salah mereka kan, ke Mas Danu bukan sama aku,” jawabku tegas. Aku ingin mereka meminta maaf pada suamiku langsung.“Nah, itu dia, Danu sama Kia,” ujar bapak.“Aku kira tadi yang datang Wak Ratno, ternyata Ibu sama Bapak.” Mas Danu menyalami ibu dan bapak, tapi tidak pada kakak-kakakku.“Danu, aku ke sini mau minta maaf,” ucap Mbak Ning.“Aku juga, Dan,” sahut Mbak Nur dan Mbak Susi.“Kamu harus tahu kami begitu karena kami memang tidak suka padamu dan juga tidak mau Adik kami menanggung malu karena kamu cacat,” ucap Mbak Ning lagi berasalan.“Iya, Mb
🌸🌸🌸🌸“Ini kebun karet Danu ... beneran?” ucap Mbak Susi mungkin dia takjub atau heran atau tidak percaya.“Halah, baru segini doang udah heboh kamu Sus?” sahut Mbak Ning.“Heboh dong, Mbak. Kita kan, tahunya Danu miskin,” bisik Mbak Nur, tapi aku masih bisa mendengar.“Ini warisan dari mana kok, ujug-ujug si Danu punya kebun karet?” Mbak Susi masih kepo.“Ssstt ... jangan kuat-kuat nanti Ita dengar gede rasa jadinya,” kata Mbak Ning.Di depanku Mbak Asih dan Mbak Lili jalan berdekatan dengan Mas Danu, aku yang istrinya saja disingkirkan. Seolah dua kakaknya itulah yang paling berjasa.“Ibu enggak tahu kalau kebun kita sudah seperti ini, dulu Ibu terakhir ke sini enggak begini.” Ibu mertuaku juga takjub tangannya tak henti-hentinya towel sana towel sini pada mangkuk kecil tempat getah karet yang menggantung di pohonnya.“Kebun kita? Ini bukan punya kamu, Yem. Ini punya Danu!” ucap Wak Ratno mengingatkan.Ibu mingsep-mingsep bibirnya.“Alhamdulillah Mbak ikut senang akhirnya kehidup
“Kamu makan saja yang benar, nanti keselek, rumah sakit jauh!” ucap Wak Ratno pada ibu.“Makan secukupnya saja, Mas, ini Alhamdulillah kami sudah kenyang,” jawab bapak.“Wak, aku mau bawa pulang ya, buat Mas Roni,” ucap Mbak Asih.“Aku juga, Wak,” sahut Mbak Lili.“Iya, bungkus aja buat makan besok, lumayan,” timpal ibu.Kakak-kakakku yang mendengar cekikikan.“Orang kaya makannya dibungkus. Cari gratisan,” sindir Mbak Ning.“Aji mumpung tahu, Mbak,” cibir Mbak Nur. Lagi mereka tertawa.“Eh, rejeki itu enggak boleh ditolak pamali!” sahut Mbak Lili.“Rejeki ngerampok ha-ha ....” ejek Mbak Ning.“Sudah, kalian ini ribut aja!” Ibu sepertinya sudah jengah dari tadi kalah telak kena sindir kakak-kakakku.“Nah, sudah, selesai semua ayo, pulang!” Wak Ratno ke kasir untuk membayar semua makanan.“Ta, tunggu. Kamu jangan asal percaya sama orang meski itu saudara Danu. Ini uang bnyak loh, Ta. Ratusan juta. Kalau aku jadi kamu mending ikut saja ke rumah Wak Ratno. Takut tertipu,” ucap Mbak Ning.
“Kita pulang ke rumah Wak semuanya, tadi saudara Ita, sudah memberi masukan biar besok ke Bank bisa berangkat lebih pagi,” ucap Wak Ratno. Padahal tadi kakak-kakakku tidak bilang seperti itu. Aku jadi malu, ya Allah Wak padahal baik begini masih saja ada yang salah sangka.“Oh, gitu, apa tidak merepotkan, Wak?” tanya Mas Danu. Dia pasti heran.“Tentu saja tidak, malah Wak senang banget rumah jadi rame kebetulan anak-anak Wak lagi ke rumah mertua. Mungkin besok baru pulang,” jawab Wak Ratno sambil tertawa.“Baiklah kalau kata Wak begitu, aku nurut saja,” jawab Mas Danu.“Bukan gitu lah, Dan. Tadi aku tuh dengar ini orang kaya baru si kakak-kakaknya Ita, bilang takut uangnya dibawa kabur Wak Ratno, takut juga kena tipu, makanya mereka minta kita ke sana aja,” sahut Mbak Lili.Mas Danu lalu memandangku penuh tanya, aku mengangguk membenarkan ucapan Mbak Lili.“Enggak apa-apa, wajar mereka begitu, karena ini memang uang dalam jumlah banyak,” bela Wak Ratno. Mbak Lili mendengus kesal mende
“Iya, Ita ... sudah jangan begitu. Mungkin maksud saudara kamu baik.” Wak Ratno sungguh baik, semoga jika aku diamanahi harta seperti Wak Ratno aku bisa tetap rendah hati.Saat kami ke luar kamar, di ruang keluarga sedang terjadi keributan. Mereka memperebutkan bingkisan yang dibawa bibi.“Orang kaya, itu enggak perlu beginian. Beli sendiri juga bisa!” ucap Mbak Ning.“Ayo, kita ke Indoapril dulu, beli. Mumpung belum malam!” ajak Mbak Nur. Ketiga kakakku lantas pergi ke luar rumah.“Kalau ada yang gratis ngapain ngeluarin duit, ya enggak, Li?” ujar Mbak Asih.“Bener, lumayan, kan, uangnya bisa untuk yang lain,” jawab Mbak Lili.Ternyata mereka memperebutkan under wear sekali pakai. Bibi yang belanja.Hebatnya bibi bisa menghandle semuanya termasuk tamu-tamu Wak Ratno bahkan tahu kebutuhan-kebutuhan terperinci tamu-tamu majikannya.🌸🌸🌸Paginya kami sudah bersiap tinggal menunggu Wak Ratno.Masya Allah sekali saudara-saudaraku sudah mau dandan ke pesta saja.Mbak Lili dan Mbak Asih s
~k~u 🌸🌸🌸“Mas, siapa perempuan ini?” Akhirnya kutanyakan langsung foto yang tadi siang dikirim oleh paman.Mas Danu mengerutkan keningnya matanya menatapku penuh selidik.“Ini nomor Paman Mas, lihat tuh, WA-nya dari atas,” jelasku. Mas Danu memang tidak paham jika pakai smartphone.“Ini dikirim tadi pagi kenapa enggak bilang langsung, Dik?”“Gimana mau bilang kan, Mas sibuk di toko.”“Siapa wanita berbaju orange itu, Mas?” cecarku.“Itu ... em, tapi kamu jangan marah, ya?” Mendengar jawaban Mas Danu justru aku semakin takut. Takut kalau apa yang aku pikirkan benar.“Jawablah, Mas jangan berkelit gitu.”“Namanya Maya, dia teman sekolah Mas waktu SD. Waktu itu tanpa sengaja bertemu di toko. Setelah pertemuan pertama dia sering datang dan banyak bercerita tentang rumah tangganya ....” Mas Danu menjeda ceritanya.Aku sudah berkeringat panas padahal suhu udara malam ini dingin karena tadi sore hujan sangat deras dan sekarang pun masih gerimis kecil.“Karena Mas kasihan makanya Mas seri
“Enggak bersih berarti tidak ada acara masuk rumah.” Mamah Atik ikut menimpali.“Apa ini sudah cukup, Bu?” tanya Evi memperlihatkan irik yang berisi pucuk daun singkong.“Belum! Petik yang banyak, di rumah banyak orang jadi banyak juga yang makan kalau cuma segini habis sama kamu aja!” Mamah Atik pun tidak kalah sengit memarahi Evi.“Aku adukan kalian sama Mas Danu biar kapok!” Ancam Evi.“Adukan saja sana! Danu tidak akan pernah ambil pusing,” jawab Mamah Atik.“Paman, jangan main HP terus nanti HP-nya masuk parit kami lagi yang disalahin dan suruh ganti,” kataku agak kuat karena jarak kami lumayan jauh.“Eh, iya, Ya. Ini aku hanya kirim pesan pada Danu saja,” jawab paman.Benar saja setelah kucek ponsel Mas Danu yang ada di saku celanaku ternyata ada pesan masuk lagi dari paman.[Keputusanmu akan menentukan nasib rumah tanggamu, Dan. Cepat katakan iya atau tidak!]Lagi hanya kubaca saja. Aku tidak berminat sama sekali untuk membalas.“Sudah ada gledek, tuh! Buruan nanti keburu turun
🌸🌸🌸Hidup sejatinya adalah perjalanan. Sekarang tergantung kita mau pilih jalan yang mana. Di depan sana ada banyak sekali rintangannya. Berkelok-kelok, lurus mulus, licin berlumpur atau naik turun.Aku menghela nafas berat saat membaca pesan dari paman Mas Danu. Pesan itu langsung kuteruskan ke ponselku.Paman Mas Danu sebenarnya belum selesai berbicara dengan Mas Danu hanya saja tadi tiba-tiba Joko menelepon ada pelanggan tetap mau belanja bulanan dan jumlahnya sangat banyak. Makanya Mas Danu buru-buru pergi ke toko.Paman dan juga Evi kami persilakan untuk menunggu di rumah. Bagaimana pun juga mereka adalah tamu.‘... Barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya .... HR. Bukhari dan Muslim.Aku memang bukan seorang yang mulus tanpa dosa, tapi aku akan selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun meski dianggap bodoh.Bapakku selalu berpesan untuk selalu berbuat baik meski kita dimanfaatkan, meski kita tidak dianggap. Karena kebaikan itu aka
~k~u🌸🌸🌸“Loh, siapa kamu!” tegur Mamah Atik saat melihat pria seumuran bapak main nyelonong duduk di teras rumah tanpa permisi.Kami sedang berjemur sekalian menyuapi Kia. Beberapa hari ini hujan terus udara di sini pun sangat dingin.Orang itu bukannya menyahut malah menyalakan rokok.“Paman, ini sarapannya. Nasi uduk aja, ya? Duitku nipis,” ucap Evi. Kami kaget ternyata itu pamannya Mas Danu.“Kamu itu kenapa juga beli beginian. Rumah Mamasmu ini besar gendongan tentunya di dalam banyak makanan. Makan nasi uduk begini Paman mules perutnya.”“Kalian ngapain lihat-lihat! Sekarang mana Mas Danu. Aku mau ketemu Mas Danu,” bentak Evi pada kami.Baru saja aku hendak menyangkal ucapan Evi, Mas Danu sudah ke luar rumah.“Masss ....” Evi lari menghampiri Mas Danu.“Danu. Akhirnya kita bisa bertemu lagi. Paman dari kemarin sudah ada di sini, tapi anak buahmu bilang kamu ada urusan keluarga dan enggak pulang.” Orang yang mengaku Paman Mas Danu pun tergopoh-gopoh menghampiri Mas Danu.Mas Da
Assalamualaikum everyone ....Alhamdulillah bisa up bab baru. Yuk, bantu follow akunku 😍🌸🌸🌸“Sini, Ta, biar Mamah yang telepon, Joko!” Kuberikan ponselku pada Mamah.Tidak menunggu lama telepon tersambung.“Halo, Mas Joko! Ini Mamah Atik. Tolong itu barang-barang yang mau diangkut sama Susi ambil lagi!”“Loh, a—nu, Bu. Itu katanya sudah dapat izin dari Ita,” jawab Mas Joko terbata pasti Mas Joko kaget Mamah Atik to the poin begitu.“Enggak! Baik Ita ataupun Danu enggak ada yang izinin. Di mana Susi? Apa sudah pulang?”“Be—lum, Bu. Ma—sih nimbang telur.”“Dasar orang tidak tahu malu. Pokoknya aku enggak mau tahu, ya, ambil lagi apa yang mau diangkut Susi kalau enggak gaji kamu bulan ini tidak aku berikan!” Ancam Mamah Atik.“Aduh! Ba—ik, Bu.”Tuuuutt ....Mamah mematikan telepon.“Ini, Ta. 10 menit lagi kita telepon Joko. Kamu itu menyek-menyek jadi orang makanya saudara-saudara kamu itu selalu saja meremehkanmu.”“Aku hanya tidak ingin hubungan yang sudah tidak baik makin tidak b
Hatiku panas mendengar perempuan lain mengagumi suamiku.“Mana anakmu kenapa tidak kamu ajak?” tanya Mas Danu.“Mas aku capek loh, nungguin kamu panas dan haus juga kamu malah tega tanya ini dan itu di sini,” rengeknya.Kami masuk dan Evi membuntuti kami.“Mas, rumahmu bagus banget ya, pantas paman selalu membanggakan kamu.” Mas Danu diam saja. Dia fokus minum dan menikmati donat yang kusuguhkan.“Danu, kamu makan dulu. Pasti kamu lapar,” titah Mamah Atik.“Iya, Mah. Dik, temani Mas makan, ya?”“Aku juga mau makan Mas. Yuk, aku temani.” Evi gegas berdiri dan menarik tangan Mas Danu.“Bukan Dik, kamu. Itu panggilan untuk istriku. Aku memanggilmu dengan namamu saja.” Mas Danu menampik tangan Evi. Dia seperti menahan malu.“Mas meja makanmu bagus banget. Seumur-umur aku baru lihat,” ucap Evi. Dia langsung duduk dan mengambil makan tanpa kami suruh terlebih dahulu.“Evi, sebentar lagi kami mau pergi sebaiknya kamu pulang dulu. Rumah ini akan kami kosongkan.”“Apa? Ya ampun, Mas! Aku jauh-
“Terserah Mbak aja mau bilang apa,” sungutku.“Eh, Ta. Aku cuma mau kasih tahu, ini Ibu lagi sakit, tadi pas ambil wudu untuk salat Zuhur terpeleset dan jatuh. Kami sudah bawa ke klinik. Ibu sekarang di rawat. Kamu ke sini, ya? Eh, jangan lupa bawa uang kami tidak ada duit untuk bayar biaya rawat Ibu.” Sebenarnya aku sangat syok dan juga sedih mendengar kabar ini, tapi karena yang memberi tahu adalah Mbak Susi aku jadi kesal padanya.“I—ya, Mbak. Insya Allah aku ke sana.”“Jangan pakai insya Allah, Ta! Kamu harus segera ke sini!”“Iya, Mbak. Insya Allah.”“Kamu itu insya Allah terus. Aku ti ....” Tuuutt! Kumatikan telepon. Percuma saja ngasih tahu Mbak Susi.Ponsel kembali berdering. Tapi, tidak kujawab. Biarkan saja. Mbak Susi itu bisanya ngajak ribut saja.“Siapa, Ta. Kok kayaknya kamu kesal gitu?”“Mbak Susi, Mah. Ngasih tahu kalau ibu masuk rumah sakit. Jatuh di kamar mandi,” jawabku sedih.“Innalillahi wa’innailaihiroji’un. Terus gimana kondisi ibumu, Ta?”“Aku enggak tanya sama
*Cinta adalah perbuatan. kata-kata dan tulisan indah hanyalah omong kosong! (Tere Liye)*Assalamualaikum semuaaaaaaa senang sekali Danu kembali hadir. Semoga kalian sehat dan bahagia selalu. Bantu follow, yuk!🌸🌸🌸 “Maaf siapa, ya?”Bukannya menjawab pertanyaanku justru perempuan ini nyelonong masuk begitu saja lalu duduk manis di sofa.“Eh, siapa kamu! Datang-datang enggak sopan!” bentak Mamah Atik.“Perkenalkan aku Evi, adik Mas Danu,” ucapnya bangga.Aku dan Mamah Atik saling berpandangan. Mamah Atik seolah menanyakan apa benar. Aku hanya menggeleng tidak tahu.“Salah alamat kali. Kan, banyak ‘tu yang namanya Danu,” ujar Mamah Atik lagi.“Enggak, dong! Nih, lihat!” Wanita yang bernama Evi ini memperlihatkan foto Mas Danu. Dari mana dia dapat foto terbaru Mas Danu. Itu foto diambil dua hari yang lalu saat kami jalan-jalan ke air terjun. Itu foto bersamaku bisa-bisanya fotonya dicrop begitu saja.“Iya, benar ini Danu anakku, dan ini Ita istri Danu,” ucap Mamah Atik. Wanita yang b
“Mainan sama Kia. Anakmu ini cantik dan pintar sekali ya, Dan. Aku jadi pingin punya anak,” jawab Mbak Asih seolah-olah dia tidak sedang sakit.“Alhamdulillah iya, Mbak.“ Mas Danu memangku Kia. Aku ikut duduk di lantai bersama mereka.“Mbak Asih kemarin ke mana sih, katanya kerja kok, enggak pulang?” tanyaku hati-hati. Mbak Asih hanya menggeleng saja.“Mbak Asih, Ita itu mau ngajak shopping beli baju baru. Eh, malahan Mbak Asih enggak pulang-pulang,” kata Mas Danu lagi.“Harusnya kamu telepon dulu, Ta. Jangan main asal tunggu. Kalau kamu kasih tahu mau ngajakin aku shopping pasti aku enggak mau janjian sama Mas Roni,” jawab Mbak Asih sambil menoyor kepalaku.“Oh, jadi Mbak Asih pergi shopping sama Mas Roni?” tanyaku.“Bukan shopping sih, tapi bulan madu. Kami tidur di hotel.” Mendengar pengakuan Mbak Asih Mas Danu sangat marah. Aku pun kaget. Kalau sudah ngomongin hotel sudah pasti ada bumbu-bumbu di dalamnya.“Mbak, harusnya jangan mau diajak Mas Roni kalau enggak shopping. Enak shop