🌸🌸🌸🌸“Ini kebun karet Danu ... beneran?” ucap Mbak Susi mungkin dia takjub atau heran atau tidak percaya.“Halah, baru segini doang udah heboh kamu Sus?” sahut Mbak Ning.“Heboh dong, Mbak. Kita kan, tahunya Danu miskin,” bisik Mbak Nur, tapi aku masih bisa mendengar.“Ini warisan dari mana kok, ujug-ujug si Danu punya kebun karet?” Mbak Susi masih kepo.“Ssstt ... jangan kuat-kuat nanti Ita dengar gede rasa jadinya,” kata Mbak Ning.Di depanku Mbak Asih dan Mbak Lili jalan berdekatan dengan Mas Danu, aku yang istrinya saja disingkirkan. Seolah dua kakaknya itulah yang paling berjasa.“Ibu enggak tahu kalau kebun kita sudah seperti ini, dulu Ibu terakhir ke sini enggak begini.” Ibu mertuaku juga takjub tangannya tak henti-hentinya towel sana towel sini pada mangkuk kecil tempat getah karet yang menggantung di pohonnya.“Kebun kita? Ini bukan punya kamu, Yem. Ini punya Danu!” ucap Wak Ratno mengingatkan.Ibu mingsep-mingsep bibirnya.“Alhamdulillah Mbak ikut senang akhirnya kehidup
“Kamu makan saja yang benar, nanti keselek, rumah sakit jauh!” ucap Wak Ratno pada ibu.“Makan secukupnya saja, Mas, ini Alhamdulillah kami sudah kenyang,” jawab bapak.“Wak, aku mau bawa pulang ya, buat Mas Roni,” ucap Mbak Asih.“Aku juga, Wak,” sahut Mbak Lili.“Iya, bungkus aja buat makan besok, lumayan,” timpal ibu.Kakak-kakakku yang mendengar cekikikan.“Orang kaya makannya dibungkus. Cari gratisan,” sindir Mbak Ning.“Aji mumpung tahu, Mbak,” cibir Mbak Nur. Lagi mereka tertawa.“Eh, rejeki itu enggak boleh ditolak pamali!” sahut Mbak Lili.“Rejeki ngerampok ha-ha ....” ejek Mbak Ning.“Sudah, kalian ini ribut aja!” Ibu sepertinya sudah jengah dari tadi kalah telak kena sindir kakak-kakakku.“Nah, sudah, selesai semua ayo, pulang!” Wak Ratno ke kasir untuk membayar semua makanan.“Ta, tunggu. Kamu jangan asal percaya sama orang meski itu saudara Danu. Ini uang bnyak loh, Ta. Ratusan juta. Kalau aku jadi kamu mending ikut saja ke rumah Wak Ratno. Takut tertipu,” ucap Mbak Ning.
“Kita pulang ke rumah Wak semuanya, tadi saudara Ita, sudah memberi masukan biar besok ke Bank bisa berangkat lebih pagi,” ucap Wak Ratno. Padahal tadi kakak-kakakku tidak bilang seperti itu. Aku jadi malu, ya Allah Wak padahal baik begini masih saja ada yang salah sangka.“Oh, gitu, apa tidak merepotkan, Wak?” tanya Mas Danu. Dia pasti heran.“Tentu saja tidak, malah Wak senang banget rumah jadi rame kebetulan anak-anak Wak lagi ke rumah mertua. Mungkin besok baru pulang,” jawab Wak Ratno sambil tertawa.“Baiklah kalau kata Wak begitu, aku nurut saja,” jawab Mas Danu.“Bukan gitu lah, Dan. Tadi aku tuh dengar ini orang kaya baru si kakak-kakaknya Ita, bilang takut uangnya dibawa kabur Wak Ratno, takut juga kena tipu, makanya mereka minta kita ke sana aja,” sahut Mbak Lili.Mas Danu lalu memandangku penuh tanya, aku mengangguk membenarkan ucapan Mbak Lili.“Enggak apa-apa, wajar mereka begitu, karena ini memang uang dalam jumlah banyak,” bela Wak Ratno. Mbak Lili mendengus kesal mende
“Iya, Ita ... sudah jangan begitu. Mungkin maksud saudara kamu baik.” Wak Ratno sungguh baik, semoga jika aku diamanahi harta seperti Wak Ratno aku bisa tetap rendah hati.Saat kami ke luar kamar, di ruang keluarga sedang terjadi keributan. Mereka memperebutkan bingkisan yang dibawa bibi.“Orang kaya, itu enggak perlu beginian. Beli sendiri juga bisa!” ucap Mbak Ning.“Ayo, kita ke Indoapril dulu, beli. Mumpung belum malam!” ajak Mbak Nur. Ketiga kakakku lantas pergi ke luar rumah.“Kalau ada yang gratis ngapain ngeluarin duit, ya enggak, Li?” ujar Mbak Asih.“Bener, lumayan, kan, uangnya bisa untuk yang lain,” jawab Mbak Lili.Ternyata mereka memperebutkan under wear sekali pakai. Bibi yang belanja.Hebatnya bibi bisa menghandle semuanya termasuk tamu-tamu Wak Ratno bahkan tahu kebutuhan-kebutuhan terperinci tamu-tamu majikannya.🌸🌸🌸Paginya kami sudah bersiap tinggal menunggu Wak Ratno.Masya Allah sekali saudara-saudaraku sudah mau dandan ke pesta saja.Mbak Lili dan Mbak Asih s
“Duh, Nyonya baru bangun, ya? Sini-sini lihat ini aku bawa apa buat kamu?” Aku kaget sekali saat membuka pintu kamar ternyata sudah ada Mbak Asih yang sedang menyiapkan sarapan.Pasti karena pintu rumah tidak dikunci makanya dia bisa masuk rumah senaknya. Tadi pagi Mas Danu izin ke Masjid untuk salat subuh, dia mau rutinkan subuhan di Masjid lagi karena kakinya sudah banyak perubahan.Padahal aku bangun juga masih terbilang cukup pagi, jam 05.35 WIB. Ajaib sekali Mbak Asih sudah di sini.“Ada acara apa ya, Mbak, kok pagi-pagi sudah ada antar makanan ke sini?” tanyaku penasaran.“Ya, enggak ada acara apa-apa loh, Ta. Ini namanya bentuk dari cinta keluarga. Aku tahu kamu capek setelah kemarin seharian ngurus ini dan itu makanya aku berbaik hati memberi sarapan enak ini untuk kamu dan Danu,” jawab Mbak Asih. Ngomongnya lancar kayak jalan tol.“Oh, begitu, tapi enggak biasanya, loh?”“Kali ini akan terbiasa, Ta. Biar kamu enggak repot dan enggak capek. Kamu cukup urus saja usaha kamu nant
“Iya, Ibu nyuruh Mas cepat-cepat beli kendaraan katanya takut uangnya habis.”“Lah, kok? Habis gimana uang saja ada di rekening semua. Ah, pasti ibu curiga padaku,” kataku kesal.“Sssstt ... jangan cemberut begitu, biarkan saja Ibu mau ngomong apa yang penting Mas enggak terpengaruh. Kan, kita sudah sepakat untuk tidak buru-buru kita harus merencanakan semuanya dengan baik,” ucap Mas Danu.“Iya, sih, Mas, tapi aku lama-lama juga kesel sama Ibu.”“Sabar, ya? Oh, iya ini ada sarapan dari siapa kok enak sekali. Padahal semalam kamu bilang mau masak sayur bening bayam.”“Dari Mbak Asih, Mas.” Mas Danu yang sudah mengambil tempe goreng langsung ditaruh lagi.“Kita jangan makan-makanan yang dikasih Mbak Asih, Dik.”“Kenapa, Mas?”“Enggak apa-apa. Waspada lebih baik, tho?”“Ya, sudah aku masak bentar ya, Mas. Tolong jagain Kia.”Aku masak seadanya sayur bening bayam dan juga goreng tempe, sambal orek. Kalau masak begini Kia bisa sekalian makan jadi hemat energi juga.“Danu, gimana tawaran Ib
Setelah ini kami pergi ke tempat juragan ikan, dia itu yang punya ruko-ruko di pasar induk, kami berniat menyewa di sana.“Dik, Mas Mandi dulu, kamu siap-siap, ya?” titah Mas Danu.“Iya, Mas.““Eh, kalian mau ke mana? Kok Ibu enggak diajak?” tanya ibu kepo.“Mau ke pulau cinta, Bu. Kalau Ibu ikut, kami malu dong, dilihatin,” candaku.“Owalah, dasar bocah edan! Ditanya baik-baik malah jawabannya begitu!”“Benar kata Ita, Bu,” sahut Mas Danu. Ibu kesal kemudian beliau pulang sambil ngomel-ngomel.“Mas, kita berangkat sama siapa?”“Sama Joko dan temannya. Aman insya Allah. Kamu siap-siap, ya, salat duha dulu.”Aku dan Mas Danu pergi ke sumur belakang. Alhamdulillah suara Mbak Lili sudah tidak terdengar lagi. Aman. Pasti Mbak Desi sudah pergi.“Eh, Danu baru mau mandi? Sudah enggak usah nimba, biar aku colokin sanyonya,” ucap Mbak Lili.“Enggak usah Mbak, sudah biasa kami nimba,” jawab Mas Danu.“Jangan, ih. Nanti kamu enggak sembuh-sembuh. Sudah tuh, airny sudah ngalir sudah sana masuk s
“Nurut dong, Ta. Aku ini kan, saudara yang baik Ha-ha.” Dia tertawa sumbang.“Masa, dulu juga pas juragan ikan ke rumah, Mbak buru-buru pulang. Ada apa sih?” tanyaku penasaran.“Kepo aja kamu, Ta. Kami kasih tahu juga situ enggak bakalan ngerti otaknya enggak sampai kamu kan tol*l,” maki Mbak Asih.“Bu, tolonglah. Ini aku bukan lagi main-main.” Mohon Mas Danu. Mereka akhirnya pulang meski ngomel-ngomel.Sampai rumah juragan ikan, Joko dan temannya tidak mau ikut masuk. Mereka bilang itu privasinya kami, syukurlah teman Mas Danu punya adab yang bagus.Rukonya dikontrakkan 10 juta per tahun, air lancar, listrik 1300 KWH. Lingkungan juga aman insya Allah.Kami sepakat bayar kontrakan hari ini, kata juragan Teras Bank BRI dekat ruko yang akan kami sewa buka sampai jam 2 siang.Siang ini kami langsung ke lokasi untuk melihat. Sebenarnya kami juga sudah tahu lokasinya makanya kami cepat-cepat menemui juragan karena kalau tidak nanti diambil orang lain. Rukonya pas perempatan pasar jadi sang
~k~u 🌸🌸🌸“Mas, siapa perempuan ini?” Akhirnya kutanyakan langsung foto yang tadi siang dikirim oleh paman.Mas Danu mengerutkan keningnya matanya menatapku penuh selidik.“Ini nomor Paman Mas, lihat tuh, WA-nya dari atas,” jelasku. Mas Danu memang tidak paham jika pakai smartphone.“Ini dikirim tadi pagi kenapa enggak bilang langsung, Dik?”“Gimana mau bilang kan, Mas sibuk di toko.”“Siapa wanita berbaju orange itu, Mas?” cecarku.“Itu ... em, tapi kamu jangan marah, ya?” Mendengar jawaban Mas Danu justru aku semakin takut. Takut kalau apa yang aku pikirkan benar.“Jawablah, Mas jangan berkelit gitu.”“Namanya Maya, dia teman sekolah Mas waktu SD. Waktu itu tanpa sengaja bertemu di toko. Setelah pertemuan pertama dia sering datang dan banyak bercerita tentang rumah tangganya ....” Mas Danu menjeda ceritanya.Aku sudah berkeringat panas padahal suhu udara malam ini dingin karena tadi sore hujan sangat deras dan sekarang pun masih gerimis kecil.“Karena Mas kasihan makanya Mas seri
“Enggak bersih berarti tidak ada acara masuk rumah.” Mamah Atik ikut menimpali.“Apa ini sudah cukup, Bu?” tanya Evi memperlihatkan irik yang berisi pucuk daun singkong.“Belum! Petik yang banyak, di rumah banyak orang jadi banyak juga yang makan kalau cuma segini habis sama kamu aja!” Mamah Atik pun tidak kalah sengit memarahi Evi.“Aku adukan kalian sama Mas Danu biar kapok!” Ancam Evi.“Adukan saja sana! Danu tidak akan pernah ambil pusing,” jawab Mamah Atik.“Paman, jangan main HP terus nanti HP-nya masuk parit kami lagi yang disalahin dan suruh ganti,” kataku agak kuat karena jarak kami lumayan jauh.“Eh, iya, Ya. Ini aku hanya kirim pesan pada Danu saja,” jawab paman.Benar saja setelah kucek ponsel Mas Danu yang ada di saku celanaku ternyata ada pesan masuk lagi dari paman.[Keputusanmu akan menentukan nasib rumah tanggamu, Dan. Cepat katakan iya atau tidak!]Lagi hanya kubaca saja. Aku tidak berminat sama sekali untuk membalas.“Sudah ada gledek, tuh! Buruan nanti keburu turun
🌸🌸🌸Hidup sejatinya adalah perjalanan. Sekarang tergantung kita mau pilih jalan yang mana. Di depan sana ada banyak sekali rintangannya. Berkelok-kelok, lurus mulus, licin berlumpur atau naik turun.Aku menghela nafas berat saat membaca pesan dari paman Mas Danu. Pesan itu langsung kuteruskan ke ponselku.Paman Mas Danu sebenarnya belum selesai berbicara dengan Mas Danu hanya saja tadi tiba-tiba Joko menelepon ada pelanggan tetap mau belanja bulanan dan jumlahnya sangat banyak. Makanya Mas Danu buru-buru pergi ke toko.Paman dan juga Evi kami persilakan untuk menunggu di rumah. Bagaimana pun juga mereka adalah tamu.‘... Barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya .... HR. Bukhari dan Muslim.Aku memang bukan seorang yang mulus tanpa dosa, tapi aku akan selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun meski dianggap bodoh.Bapakku selalu berpesan untuk selalu berbuat baik meski kita dimanfaatkan, meski kita tidak dianggap. Karena kebaikan itu aka
~k~u🌸🌸🌸“Loh, siapa kamu!” tegur Mamah Atik saat melihat pria seumuran bapak main nyelonong duduk di teras rumah tanpa permisi.Kami sedang berjemur sekalian menyuapi Kia. Beberapa hari ini hujan terus udara di sini pun sangat dingin.Orang itu bukannya menyahut malah menyalakan rokok.“Paman, ini sarapannya. Nasi uduk aja, ya? Duitku nipis,” ucap Evi. Kami kaget ternyata itu pamannya Mas Danu.“Kamu itu kenapa juga beli beginian. Rumah Mamasmu ini besar gendongan tentunya di dalam banyak makanan. Makan nasi uduk begini Paman mules perutnya.”“Kalian ngapain lihat-lihat! Sekarang mana Mas Danu. Aku mau ketemu Mas Danu,” bentak Evi pada kami.Baru saja aku hendak menyangkal ucapan Evi, Mas Danu sudah ke luar rumah.“Masss ....” Evi lari menghampiri Mas Danu.“Danu. Akhirnya kita bisa bertemu lagi. Paman dari kemarin sudah ada di sini, tapi anak buahmu bilang kamu ada urusan keluarga dan enggak pulang.” Orang yang mengaku Paman Mas Danu pun tergopoh-gopoh menghampiri Mas Danu.Mas Da
Assalamualaikum everyone ....Alhamdulillah bisa up bab baru. Yuk, bantu follow akunku 😍🌸🌸🌸“Sini, Ta, biar Mamah yang telepon, Joko!” Kuberikan ponselku pada Mamah.Tidak menunggu lama telepon tersambung.“Halo, Mas Joko! Ini Mamah Atik. Tolong itu barang-barang yang mau diangkut sama Susi ambil lagi!”“Loh, a—nu, Bu. Itu katanya sudah dapat izin dari Ita,” jawab Mas Joko terbata pasti Mas Joko kaget Mamah Atik to the poin begitu.“Enggak! Baik Ita ataupun Danu enggak ada yang izinin. Di mana Susi? Apa sudah pulang?”“Be—lum, Bu. Ma—sih nimbang telur.”“Dasar orang tidak tahu malu. Pokoknya aku enggak mau tahu, ya, ambil lagi apa yang mau diangkut Susi kalau enggak gaji kamu bulan ini tidak aku berikan!” Ancam Mamah Atik.“Aduh! Ba—ik, Bu.”Tuuuutt ....Mamah mematikan telepon.“Ini, Ta. 10 menit lagi kita telepon Joko. Kamu itu menyek-menyek jadi orang makanya saudara-saudara kamu itu selalu saja meremehkanmu.”“Aku hanya tidak ingin hubungan yang sudah tidak baik makin tidak b
Hatiku panas mendengar perempuan lain mengagumi suamiku.“Mana anakmu kenapa tidak kamu ajak?” tanya Mas Danu.“Mas aku capek loh, nungguin kamu panas dan haus juga kamu malah tega tanya ini dan itu di sini,” rengeknya.Kami masuk dan Evi membuntuti kami.“Mas, rumahmu bagus banget ya, pantas paman selalu membanggakan kamu.” Mas Danu diam saja. Dia fokus minum dan menikmati donat yang kusuguhkan.“Danu, kamu makan dulu. Pasti kamu lapar,” titah Mamah Atik.“Iya, Mah. Dik, temani Mas makan, ya?”“Aku juga mau makan Mas. Yuk, aku temani.” Evi gegas berdiri dan menarik tangan Mas Danu.“Bukan Dik, kamu. Itu panggilan untuk istriku. Aku memanggilmu dengan namamu saja.” Mas Danu menampik tangan Evi. Dia seperti menahan malu.“Mas meja makanmu bagus banget. Seumur-umur aku baru lihat,” ucap Evi. Dia langsung duduk dan mengambil makan tanpa kami suruh terlebih dahulu.“Evi, sebentar lagi kami mau pergi sebaiknya kamu pulang dulu. Rumah ini akan kami kosongkan.”“Apa? Ya ampun, Mas! Aku jauh-
“Terserah Mbak aja mau bilang apa,” sungutku.“Eh, Ta. Aku cuma mau kasih tahu, ini Ibu lagi sakit, tadi pas ambil wudu untuk salat Zuhur terpeleset dan jatuh. Kami sudah bawa ke klinik. Ibu sekarang di rawat. Kamu ke sini, ya? Eh, jangan lupa bawa uang kami tidak ada duit untuk bayar biaya rawat Ibu.” Sebenarnya aku sangat syok dan juga sedih mendengar kabar ini, tapi karena yang memberi tahu adalah Mbak Susi aku jadi kesal padanya.“I—ya, Mbak. Insya Allah aku ke sana.”“Jangan pakai insya Allah, Ta! Kamu harus segera ke sini!”“Iya, Mbak. Insya Allah.”“Kamu itu insya Allah terus. Aku ti ....” Tuuutt! Kumatikan telepon. Percuma saja ngasih tahu Mbak Susi.Ponsel kembali berdering. Tapi, tidak kujawab. Biarkan saja. Mbak Susi itu bisanya ngajak ribut saja.“Siapa, Ta. Kok kayaknya kamu kesal gitu?”“Mbak Susi, Mah. Ngasih tahu kalau ibu masuk rumah sakit. Jatuh di kamar mandi,” jawabku sedih.“Innalillahi wa’innailaihiroji’un. Terus gimana kondisi ibumu, Ta?”“Aku enggak tanya sama
*Cinta adalah perbuatan. kata-kata dan tulisan indah hanyalah omong kosong! (Tere Liye)*Assalamualaikum semuaaaaaaa senang sekali Danu kembali hadir. Semoga kalian sehat dan bahagia selalu. Bantu follow, yuk!🌸🌸🌸 “Maaf siapa, ya?”Bukannya menjawab pertanyaanku justru perempuan ini nyelonong masuk begitu saja lalu duduk manis di sofa.“Eh, siapa kamu! Datang-datang enggak sopan!” bentak Mamah Atik.“Perkenalkan aku Evi, adik Mas Danu,” ucapnya bangga.Aku dan Mamah Atik saling berpandangan. Mamah Atik seolah menanyakan apa benar. Aku hanya menggeleng tidak tahu.“Salah alamat kali. Kan, banyak ‘tu yang namanya Danu,” ujar Mamah Atik lagi.“Enggak, dong! Nih, lihat!” Wanita yang bernama Evi ini memperlihatkan foto Mas Danu. Dari mana dia dapat foto terbaru Mas Danu. Itu foto diambil dua hari yang lalu saat kami jalan-jalan ke air terjun. Itu foto bersamaku bisa-bisanya fotonya dicrop begitu saja.“Iya, benar ini Danu anakku, dan ini Ita istri Danu,” ucap Mamah Atik. Wanita yang b
“Mainan sama Kia. Anakmu ini cantik dan pintar sekali ya, Dan. Aku jadi pingin punya anak,” jawab Mbak Asih seolah-olah dia tidak sedang sakit.“Alhamdulillah iya, Mbak.“ Mas Danu memangku Kia. Aku ikut duduk di lantai bersama mereka.“Mbak Asih kemarin ke mana sih, katanya kerja kok, enggak pulang?” tanyaku hati-hati. Mbak Asih hanya menggeleng saja.“Mbak Asih, Ita itu mau ngajak shopping beli baju baru. Eh, malahan Mbak Asih enggak pulang-pulang,” kata Mas Danu lagi.“Harusnya kamu telepon dulu, Ta. Jangan main asal tunggu. Kalau kamu kasih tahu mau ngajakin aku shopping pasti aku enggak mau janjian sama Mas Roni,” jawab Mbak Asih sambil menoyor kepalaku.“Oh, jadi Mbak Asih pergi shopping sama Mas Roni?” tanyaku.“Bukan shopping sih, tapi bulan madu. Kami tidur di hotel.” Mendengar pengakuan Mbak Asih Mas Danu sangat marah. Aku pun kaget. Kalau sudah ngomongin hotel sudah pasti ada bumbu-bumbu di dalamnya.“Mbak, harusnya jangan mau diajak Mas Roni kalau enggak shopping. Enak shop