“Mas, kamu ada Ibu ke sini kok dicuekin malah sibuk nganyam?”“Mas, sebal sama Ibu, Dik,” jawab Mas Danu singkat.“Sebal kenapa, Mas?” tanyaku penasaran.“Tadi itu, ceritanya Mas telepon Wak Ratno, Mas mau jual kebun karet kita dua hektar. Mas pingin buka usaha grosir kelontongan yang besar sekalian di pasar sana. Kamu, kan pinter dagang, Dik. Semoga ini bisa untuk jalan kita,” jawab Mas Danu serius.“Lalu apa hubungannya dengan Ibu, Mas?”“Ibu itu dengar obrolan kami, karena tadi pas Mas telepon di halaman rumah situ, sambil berjemur sama Kia," jelas Mas Danu.“Pantas saja Ibu mau main sama, Kia,” sahutku.“Iya, tadi juga Ibu bilang minta bagian kalau tidak mau kasih Ibu mau pinjem uang hasil penjualan kebun kita itu,” kata Mas Danu lagi.“Ya Allah, Bu-ibu. Giliran ada maunya aja baik."“Dik.”“Hem .... apa?”“Maaf ya, tadi Mas telepon Wak Ratno tanpa minta persetujuan kamu, maaf juga tadi Mas baca WAG keluarga kamu,” ucap Mas Danu.“Kenapa Mas mesti minta maaf. Aku akan selalu dukun
Assalamualaikum ... selamat pagi semu terima kasih banyak yang sudah ngikutin cerita Ita sampai sejauh ini. Yuk, bantu follow akunku. Biar aku makin semangat.Bayinya nangis, Mas Eko sigap mengambil bayi Mbak Desi lalu menggendongnya.“Mas! Kamu ... iihh!” Mbak Lili merajuk membanting barang belanjaannya begitu saja lalu menghampiri ibu.“Ini ada apa ramai-ramai dan ada barang-barang sebanyak ini?” tanya Mas Eko dia pun sepertinya tidak tahu kalau istri mudanya mau tinggal di sini.“Aku mau tinggal di sini, Mas” jawab Mbak Desi dengan manja.“Apa! Heh, sudah gila kamu! Ini rumah ibuku mana bisa kamu tinggal di sini!” teriak Mbak Lili, dia menoyor kepala Mbak Desi.“Yang menentukan aku tinggal di sini atau bukan itu Mas Eko bukan kamu!” teriak Mbak Desi. Sigap Mbak Lili menabok mulut Mbak Desi.“Teriak sekali lagi, aku tusuk mulutmu pakai ini!” Mbak Lili mengacungkan gagang sapu pada Mbak Desi.“Kamu lagi, ngapain di sini! Kamu mau ngetawain aku, hah! Sudah Kebagusan kamu rupanya di si
“Heh, Ta, kok malah bengong begitu! Ini ambil!” titah ibu mertuaku.“Eh, i—iya ... Bu,” jawabku terbata.“Ya, sudah, Ibu pulang dulu, ya, Nak ... semoga kamu suka oleh-oleh dari Lili.” Tiba-tiba mulut ibu manis sekali.Jadi, Maghrib ini aku tidak hanya dikejutkan oleh sosok dua ibu mertuaku, tapi juga oleh sikap manisnya yang tiba-tiba datang.Kututup pintu dan gegas ke kamar, menghampiri Mas Danu. Ritme jantungku tidak teratur. Aku deg-degan dan juga sedikit takut.“Sudah Mas, zikirnya?” Mas Danu heran dengan pertanyaanku.“Alhamdulillah ... ada apa, Dik. Kamu seperti gelisah gitu?”Aku jawab pertanyaan Mas Danu dengan cerita yang barusan saja aku alami. Dia tidak percaya, tapi aku bilang dapat bingkisan juga dari ibu yang pertama datang.Kami gegas ke dapur, bingkisan tadi aku taruh di meja makan. Kugendong Kia yang sudah ngantuk aku takut Kia kenapa-napa kalau aku tinggal sendiri di kamar.“Mas, ya Allah itu bingkisannya masih!” teriakku.Mas Danu mengambil bingkisan itu, mengendus
Mas Danu pun ikut tertawa lalu dia menceritakan yang aku alami Maghrib tadi Wak Ratno berkali-kali mengucapkan istighfar dan menasihati kami untuk selalu berhati-hati.“Besok Wak Ratno saja yang ke rumah kamu, Dan. Sekalian ngajak kamu ke kebun karetmu. Waktu itu Wak sudah ke sana, tapi hanya sebentar karena anak Wak yang di Jakarta tiba-tiba pulang dalam keadaan sakit.”“Baik, Wak, aku ikut Wak aja gimana baiknya.”“Jangan ngikut-ngikut saja, Dan. Ha-ha ....”“Kami percaya Wak orang baik,” jawab Mas Danu.“Aamiin ... semoga Wak bisa terus seperti ini pada siapa pun ya, Dan. Bisa Istiqomah dalam kebaikan.”“Aamiin ... Wak, kami do’akan. Ya, sudah Wak, istirahat jaga kesehatan. Sampai jumpa besok,” ucap Mas Danu.“Iya, Dan. Terima kasih. Assalamualaikum ....”“Wa’alaikumsalam, Wak.”Aku dan Mas Danu berpelukan saking senangnya. Semoga jalan kami di permudah.“Sayang, besok kalau Wak sudah bayar uangnya jangan lupa kita bayar zakat yang 2.5 persen kan, selama ini kita enggak pernah baya
“Katanya ngubur sampah kok, dicari ya, Mas?”“Bukan sampah beneran, Dik. Itu hanya alasan mereka saja.” Kami bicara bisik-bisik.“Apa yang sudah kita bakar semalam ya, Mas?”“Sepertinya iya, sudah ayo, kita lanjutkan buat kuenya nanti kesiangan. Biarkan saja mereka nanti kalau tidak ketemu juga pulang lagi.” Aku setuju dengan Mas Danu.Aku sampai bergidik ngeri membayangkan kalau itu benar yang dilakukan Mbak Asih. Maka pasti dagangnya enggak akan bertahan lama. Dia sudah merugikan banyak orang dan juga dirinya sendiri.“Mas, nanti Kia biar aku saja yang mandiin, kan aku cuma sebentar naganter saja ke warung Wak Haji.”“Iya, Dik, kamu hati-hati ya, pisaunya di bawa ya, Dik untuk jaga-jaga.” Aku pamit lalu menggowes sepeda lumayan kebut agar cepat sampai ke warung.Di sana sudah ramai ibu-ibu belanja ada juga yang sudah menungguku.“Ita, ini uangmu yang kemarin, sudah Wak potong utangmu. Sudah lunas,” ucap Wak Haji perempuan.“Alhamdulillah ... terima kasih banyak ya, Wak. Oh, iya, ak
“Enggak! Aku enggak mau Mas, aku cinta sama kamu, aku sayang sama kamu, tolong jangan ceraikan aku.” Mbak Desi menangis pilu dia sampai memohon di kaki Mas Eko, tapi Mas Eko bergeming.“Perkaranya sudah selesai aku pulang dulu, Bu,” pamit Mas Danu.Ibu hanya diam saja sepertinya beliau cukup syok akan kejadian pagi ini.“Mas, kok, bisa sih, Mbak Desi itu ...." tanyaku penasaran.“Mana Mas tahu Dik, namanya juga hidup susah ditebak,” jawab Mas Danu.“Tapi, bisa ya, kebetulan gitu,” kataku masih penasaran. Ipar ketemu ipar mantan pacar istri mudanya ipar. Ah, rumit otakku tidak sampai.“Sudah, enggak usah dipikirkan, mendingan kita pikirkan masa depan kita aja.” Mas Danu mengambil ayam dari tanganku untuk disembelih.“Danu, mau makan enak kamu rupanya,” teriak Mbak Asih dia pun sedang membersihkan ayam-ayam dan juga lele untuk jualannya.“Sudah kaya kau rupanya, Dan. Makan ayam hari ini,” sahut Mas Roni.Merek berdua ajaib sekali. Barusan saja tangis-tangisan ini sudah bisa mengejek ora
“Ini, Ta, kami bawa oleh-oleh, kamu itu enggak aktif terus HP-nya jadi kami susah hubungi padahal kita ngobrol seru di grup,” ujar Mbak Ning.“Aktif terus kok, Mbak.”“Iya, memang aktif, maksudnya enggak online loh, Ta,” sahut Mbak Susi.“Jadi, maksud kedatangan kami ke sini ngantar Mbak-mbakmu untuk minta maaf, Nak. Mereka berjanji tidak akan begitu lagi,” ucap bapak memulai pembicaraan.“Kalau aku pribadi sudah memaafkan, Pak, Bu. Tapi, salah mereka kan, ke Mas Danu bukan sama aku,” jawabku tegas. Aku ingin mereka meminta maaf pada suamiku langsung.“Nah, itu dia, Danu sama Kia,” ujar bapak.“Aku kira tadi yang datang Wak Ratno, ternyata Ibu sama Bapak.” Mas Danu menyalami ibu dan bapak, tapi tidak pada kakak-kakakku.“Danu, aku ke sini mau minta maaf,” ucap Mbak Ning.“Aku juga, Dan,” sahut Mbak Nur dan Mbak Susi.“Kamu harus tahu kami begitu karena kami memang tidak suka padamu dan juga tidak mau Adik kami menanggung malu karena kamu cacat,” ucap Mbak Ning lagi berasalan.“Iya, Mb
🌸🌸🌸🌸“Ini kebun karet Danu ... beneran?” ucap Mbak Susi mungkin dia takjub atau heran atau tidak percaya.“Halah, baru segini doang udah heboh kamu Sus?” sahut Mbak Ning.“Heboh dong, Mbak. Kita kan, tahunya Danu miskin,” bisik Mbak Nur, tapi aku masih bisa mendengar.“Ini warisan dari mana kok, ujug-ujug si Danu punya kebun karet?” Mbak Susi masih kepo.“Ssstt ... jangan kuat-kuat nanti Ita dengar gede rasa jadinya,” kata Mbak Ning.Di depanku Mbak Asih dan Mbak Lili jalan berdekatan dengan Mas Danu, aku yang istrinya saja disingkirkan. Seolah dua kakaknya itulah yang paling berjasa.“Ibu enggak tahu kalau kebun kita sudah seperti ini, dulu Ibu terakhir ke sini enggak begini.” Ibu mertuaku juga takjub tangannya tak henti-hentinya towel sana towel sini pada mangkuk kecil tempat getah karet yang menggantung di pohonnya.“Kebun kita? Ini bukan punya kamu, Yem. Ini punya Danu!” ucap Wak Ratno mengingatkan.Ibu mingsep-mingsep bibirnya.“Alhamdulillah Mbak ikut senang akhirnya kehidup