“Enggak kok, Mas, aku lagi fokus jalan ini, kan, gelap,” jawabku.Jarak rumah dari tempat dagang Mbak Asih memang tidak jauh, hanya menempuh perjalanan 10 menit saja itu juga jalan kaki santai.Kami lihat rumah ibu lampunya menyala semua tumben sekali biasanya ibu akan pelit ngidupin lampu demi menghemat listrik.“Ibu, kok, di luar?” tanya Mas Danu. Ibu diam saja pandangannya lurus ke depan tidak menoleh pada kami sama sekali.“Apa Ibu, sakit?” tanya Mas Danu lagi.“Mas, ayok, pulang. Mungkin Ibu lagi marah dengan kita makanya diam saja.“Ibu, aku pulang, ya?” Diam. Ibu sama sekali tidak menjawab.“Aneh,” gumas Mas Danu.Aku juga heran kenapa ibu jadi seperti orang linglung begitu. Mbak Lili juga tidak ada.“Mas, tunggu sebentar ya, aku buat sambal orek dulu.” Aku segera menyiapkan nasi dan membuat sambal. Kubuang sambal yang dapat beli dari Mbak Asih tadi.“Kenapa bikin sambal lagi, Dik? Bukannya tadi dapat sambal dari Mbak Asih?” tanya Mas Danu penasaran.Lalu kuceritakan semua yang
“Mbak Asih, lagi apa?” tanyaku heran. Tadi ibu bilang Mbak Asih sudah tidur, ini kok lagi gali-gali tanah dekat sumur di bawah pohon pisang.Ibu sama Mas Danu masih di rumah masih mencoba menghubungi Mas Eko. Aku pingin sekali ke toilet panggilan alam mendesak, makanya bisa tahu Mbak Asih sedang sibuk gali-gali tanah tengah malam begini.“Buang isi ikan sama jeroan ayam, Ta. Kalau enggak dikubur begini nanti akan bau,” jawab Mbak Asih gugup.“Oh, iya benar juga. Kalau bau busuk ke mana-mana. Ya, sudah aku masuk duluan ya, Mbak.”“Iya!” jawabnya singkat lalu masuk ke rumah.“Bagaimana Mas? Apa bisa dihubungkan nomor Mas Eko?”“Bisa, Dik, tapi tidak jawab. Mungkin sudah tidur tengah malam begini.”“Kasihan, Lili, Dan. Ke mana dia,” ucap Ibu.“Tunggu saja Bu, barangkali sebentar lagi Mbak Lilinya pulang,” sahutku.“Kamu enggak tahu apa-apa lebih baik diam!” bentak ibu padaku."Ini gara-gara istrimu yang bod*h ini Dan, jadi Eko nikah dia enggak kasih tahu kami. Atau barangkali dia sengaja
🌸🌸🌸🌸🌸“Donat! Bolu pisang!”“Donat! Bolu pisang!”"Donat! Bolu pisang!"Aku menjajakan kue buatanku ini keliling kampung, separuh sudah aku taruh di warung Wak Haji. Alhamdulillah tadi baru kutaruh saja sudah ada beberapa pembeli.Aku berangkat sejak selepas subuh tadi. Aku masih membawa pisau dapur yang sudah diasah sangat tajam oleh Mas Danu untuk jaga-jaga takut kejadian seperti malam itu.Aku pun sengaja tidak menaruh semua daganganku di warung Wak Haji, biar aku bisa keliling sekaligus mencari Mbak Lili.Sampai rumah kontrakan Mbak Desi masih sepi, tapi ada Mbak Lili di teras dia, memeluk lututnya. Tepat di depan pintu. Kasihan sekali. Lagi begitu aku merasa sangat kasihan.“Mbak Lili!” Aku teriak dan menghampiri dia. Mbak Lili kaget kemudian mencoba biasa saja. Di sebelahnya ada pisau dapur yang dibawa. Berarti ibu semalam tidak bohong.“Mbak, ngapain di sini ayo, pulang!” ajakku. Suaraku sengaja aku kuatkan agar Mas Eko dengar.“Enggak mau! Aku mau ketemu pelakor itu, mau
“Iya, jelek begitu. Mending cari yang lain Mbak!” sahut yang lain.“Biar jelek yang penting kuat Bu, enggak loyo makanya dia bisa beristri tiga!”“Ngawur kamu! Mbak yang jualan donat itu adik iparnya. Itu yang kemarin dulu ke sini!”“Walah, iya!”“Duh, Kasihan dagangannya di berantakin begitu!”“Perempuan sama-sama enggak bener begitu tinggalin aja ngapain juga punya istri dua, tapi bar-bar semuanya!”Dan masih banyak lagi omongan para tetangga. Aku tidak bisa menanggapi karena aku sendiri pusing daganganku hancur.Ponselku sengaja aku tinggal di rumah jadi aku tidak bisa menelepon Mas Danu ataupun Mbak Asih. Aku juga tidak hafal nomornya.Lebih dari satu jam mereka bertengkar setelah daganganku benar-benar hancur dan juga mungkin mereka sudah lelah. Mereka berhenti sendiri. Mas Eko seperti tidak peduli keributan yang dibuat oleh ke dua istrinya. Dia malah sibuk menimang-nimang bayi Mbak Desi yang tadi nangis.Seperti dugaanku, Mbak Desi senyum penuh kemenangan dia merasa menang karen
Aku sampai rumah sudah lumayan siang, jam 9 pagi, Kia juga sudah menangis pasti dia sudah haus, meski dia dikasih tajin dan juga biskuit tetap saja masih haus kalau belum minum ASI.Gegas aku bersih-bersih badan, kudengar pertengkaran dari rumah ibu, entah itu suara siapa tidak begitu jelas karena ada suara tangisan juga.“Mas, sini Kianya dia pasti sudah sangat haus.” Mas Danu memberikan Kia padaku.“Iya, Dik benar. Kamu kenapa lama biasanya jam 7 sudah pulang?” tanya Mas Danu, dari raut wajahnya tampak khawatir.Kuceritakan semua pada Mas Danu. Dia cukup terkejut dan juga tertawa karena ulah mereka yang menghamburkan kue daganganku.“Nanti kita bantu bicara pada Mas Eko, semoga saja ada jalan terbaik. Sekarang kita sarapan dulu ya, Dik, ini Mas tadi bikin nasi goreng lagi, sayang nasi sisa kemarin kalau enggak di masak.” Aku mengiyakan. Kami sarapan bersama. Mas Danu dengan telaten menyuapiku yang sedang menyusui Kia.Nasi goreng bawang begini dengan lauk ikan asin goreng bagi kami
“Tunggu Mbak!” Aku memanggil Mbak Lili yang sudah hampir sampai pintu dapur ibu. Mbak Lili berhenti dan aku gegas menghampirinya.“Ada apa lagi? Apa kurang duitnya ... nih, aku tambahin.” Mbak Lili melemparkan koin padaku.Kuambil koin itu dan juga uang 50 ribu rupiah yang tadi dari Mbak Lili. Kulempar tepat mengenai hidung mancung Mbak Lili.“Ambil uang itu, aku tidak butuh. Tanganku masih bisa mengais rezeki lebih dari itu.”“Aaa ... sakit, Ta!” teriaknya.“Ini belum seberapa dibandingkan perlakuan Mbak Lili padaku.” Kutinggalkan Mbak Lili yang memaki-makiku.Sore hari saat aku pulang dari warung Wak Haji, ada mobil pick-up terparkir di depan rumah ibu. Mobil itu membawa dipan, lemari, dan juga meja rias.Aku pikir Mbak Lili atau Mbak Asih yang membeli itu, tapi ternyata bukan.Ada Mbak Desi di sana, ah apa mungkin Mbak Desi mau tinggal di rumah ibu? Nekat sekali dia. Di rumah ibu sudah ada Mbak asih dan suaminya Padahal dia punya rumah sendiri.Mbak Asih juga aneh, punya rumah send
“Mas, kamu ada Ibu ke sini kok dicuekin malah sibuk nganyam?”“Mas, sebal sama Ibu, Dik,” jawab Mas Danu singkat.“Sebal kenapa, Mas?” tanyaku penasaran.“Tadi itu, ceritanya Mas telepon Wak Ratno, Mas mau jual kebun karet kita dua hektar. Mas pingin buka usaha grosir kelontongan yang besar sekalian di pasar sana. Kamu, kan pinter dagang, Dik. Semoga ini bisa untuk jalan kita,” jawab Mas Danu serius.“Lalu apa hubungannya dengan Ibu, Mas?”“Ibu itu dengar obrolan kami, karena tadi pas Mas telepon di halaman rumah situ, sambil berjemur sama Kia," jelas Mas Danu.“Pantas saja Ibu mau main sama, Kia,” sahutku.“Iya, tadi juga Ibu bilang minta bagian kalau tidak mau kasih Ibu mau pinjem uang hasil penjualan kebun kita itu,” kata Mas Danu lagi.“Ya Allah, Bu-ibu. Giliran ada maunya aja baik."“Dik.”“Hem .... apa?”“Maaf ya, tadi Mas telepon Wak Ratno tanpa minta persetujuan kamu, maaf juga tadi Mas baca WAG keluarga kamu,” ucap Mas Danu.“Kenapa Mas mesti minta maaf. Aku akan selalu dukun
Assalamualaikum ... selamat pagi semu terima kasih banyak yang sudah ngikutin cerita Ita sampai sejauh ini. Yuk, bantu follow akunku. Biar aku makin semangat.Bayinya nangis, Mas Eko sigap mengambil bayi Mbak Desi lalu menggendongnya.“Mas! Kamu ... iihh!” Mbak Lili merajuk membanting barang belanjaannya begitu saja lalu menghampiri ibu.“Ini ada apa ramai-ramai dan ada barang-barang sebanyak ini?” tanya Mas Eko dia pun sepertinya tidak tahu kalau istri mudanya mau tinggal di sini.“Aku mau tinggal di sini, Mas” jawab Mbak Desi dengan manja.“Apa! Heh, sudah gila kamu! Ini rumah ibuku mana bisa kamu tinggal di sini!” teriak Mbak Lili, dia menoyor kepala Mbak Desi.“Yang menentukan aku tinggal di sini atau bukan itu Mas Eko bukan kamu!” teriak Mbak Desi. Sigap Mbak Lili menabok mulut Mbak Desi.“Teriak sekali lagi, aku tusuk mulutmu pakai ini!” Mbak Lili mengacungkan gagang sapu pada Mbak Desi.“Kamu lagi, ngapain di sini! Kamu mau ngetawain aku, hah! Sudah Kebagusan kamu rupanya di si
~k~u 🌸🌸🌸“Mas, siapa perempuan ini?” Akhirnya kutanyakan langsung foto yang tadi siang dikirim oleh paman.Mas Danu mengerutkan keningnya matanya menatapku penuh selidik.“Ini nomor Paman Mas, lihat tuh, WA-nya dari atas,” jelasku. Mas Danu memang tidak paham jika pakai smartphone.“Ini dikirim tadi pagi kenapa enggak bilang langsung, Dik?”“Gimana mau bilang kan, Mas sibuk di toko.”“Siapa wanita berbaju orange itu, Mas?” cecarku.“Itu ... em, tapi kamu jangan marah, ya?” Mendengar jawaban Mas Danu justru aku semakin takut. Takut kalau apa yang aku pikirkan benar.“Jawablah, Mas jangan berkelit gitu.”“Namanya Maya, dia teman sekolah Mas waktu SD. Waktu itu tanpa sengaja bertemu di toko. Setelah pertemuan pertama dia sering datang dan banyak bercerita tentang rumah tangganya ....” Mas Danu menjeda ceritanya.Aku sudah berkeringat panas padahal suhu udara malam ini dingin karena tadi sore hujan sangat deras dan sekarang pun masih gerimis kecil.“Karena Mas kasihan makanya Mas seri
“Enggak bersih berarti tidak ada acara masuk rumah.” Mamah Atik ikut menimpali.“Apa ini sudah cukup, Bu?” tanya Evi memperlihatkan irik yang berisi pucuk daun singkong.“Belum! Petik yang banyak, di rumah banyak orang jadi banyak juga yang makan kalau cuma segini habis sama kamu aja!” Mamah Atik pun tidak kalah sengit memarahi Evi.“Aku adukan kalian sama Mas Danu biar kapok!” Ancam Evi.“Adukan saja sana! Danu tidak akan pernah ambil pusing,” jawab Mamah Atik.“Paman, jangan main HP terus nanti HP-nya masuk parit kami lagi yang disalahin dan suruh ganti,” kataku agak kuat karena jarak kami lumayan jauh.“Eh, iya, Ya. Ini aku hanya kirim pesan pada Danu saja,” jawab paman.Benar saja setelah kucek ponsel Mas Danu yang ada di saku celanaku ternyata ada pesan masuk lagi dari paman.[Keputusanmu akan menentukan nasib rumah tanggamu, Dan. Cepat katakan iya atau tidak!]Lagi hanya kubaca saja. Aku tidak berminat sama sekali untuk membalas.“Sudah ada gledek, tuh! Buruan nanti keburu turun
🌸🌸🌸Hidup sejatinya adalah perjalanan. Sekarang tergantung kita mau pilih jalan yang mana. Di depan sana ada banyak sekali rintangannya. Berkelok-kelok, lurus mulus, licin berlumpur atau naik turun.Aku menghela nafas berat saat membaca pesan dari paman Mas Danu. Pesan itu langsung kuteruskan ke ponselku.Paman Mas Danu sebenarnya belum selesai berbicara dengan Mas Danu hanya saja tadi tiba-tiba Joko menelepon ada pelanggan tetap mau belanja bulanan dan jumlahnya sangat banyak. Makanya Mas Danu buru-buru pergi ke toko.Paman dan juga Evi kami persilakan untuk menunggu di rumah. Bagaimana pun juga mereka adalah tamu.‘... Barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya .... HR. Bukhari dan Muslim.Aku memang bukan seorang yang mulus tanpa dosa, tapi aku akan selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun meski dianggap bodoh.Bapakku selalu berpesan untuk selalu berbuat baik meski kita dimanfaatkan, meski kita tidak dianggap. Karena kebaikan itu aka
~k~u🌸🌸🌸“Loh, siapa kamu!” tegur Mamah Atik saat melihat pria seumuran bapak main nyelonong duduk di teras rumah tanpa permisi.Kami sedang berjemur sekalian menyuapi Kia. Beberapa hari ini hujan terus udara di sini pun sangat dingin.Orang itu bukannya menyahut malah menyalakan rokok.“Paman, ini sarapannya. Nasi uduk aja, ya? Duitku nipis,” ucap Evi. Kami kaget ternyata itu pamannya Mas Danu.“Kamu itu kenapa juga beli beginian. Rumah Mamasmu ini besar gendongan tentunya di dalam banyak makanan. Makan nasi uduk begini Paman mules perutnya.”“Kalian ngapain lihat-lihat! Sekarang mana Mas Danu. Aku mau ketemu Mas Danu,” bentak Evi pada kami.Baru saja aku hendak menyangkal ucapan Evi, Mas Danu sudah ke luar rumah.“Masss ....” Evi lari menghampiri Mas Danu.“Danu. Akhirnya kita bisa bertemu lagi. Paman dari kemarin sudah ada di sini, tapi anak buahmu bilang kamu ada urusan keluarga dan enggak pulang.” Orang yang mengaku Paman Mas Danu pun tergopoh-gopoh menghampiri Mas Danu.Mas Da
Assalamualaikum everyone ....Alhamdulillah bisa up bab baru. Yuk, bantu follow akunku 😍🌸🌸🌸“Sini, Ta, biar Mamah yang telepon, Joko!” Kuberikan ponselku pada Mamah.Tidak menunggu lama telepon tersambung.“Halo, Mas Joko! Ini Mamah Atik. Tolong itu barang-barang yang mau diangkut sama Susi ambil lagi!”“Loh, a—nu, Bu. Itu katanya sudah dapat izin dari Ita,” jawab Mas Joko terbata pasti Mas Joko kaget Mamah Atik to the poin begitu.“Enggak! Baik Ita ataupun Danu enggak ada yang izinin. Di mana Susi? Apa sudah pulang?”“Be—lum, Bu. Ma—sih nimbang telur.”“Dasar orang tidak tahu malu. Pokoknya aku enggak mau tahu, ya, ambil lagi apa yang mau diangkut Susi kalau enggak gaji kamu bulan ini tidak aku berikan!” Ancam Mamah Atik.“Aduh! Ba—ik, Bu.”Tuuuutt ....Mamah mematikan telepon.“Ini, Ta. 10 menit lagi kita telepon Joko. Kamu itu menyek-menyek jadi orang makanya saudara-saudara kamu itu selalu saja meremehkanmu.”“Aku hanya tidak ingin hubungan yang sudah tidak baik makin tidak b
Hatiku panas mendengar perempuan lain mengagumi suamiku.“Mana anakmu kenapa tidak kamu ajak?” tanya Mas Danu.“Mas aku capek loh, nungguin kamu panas dan haus juga kamu malah tega tanya ini dan itu di sini,” rengeknya.Kami masuk dan Evi membuntuti kami.“Mas, rumahmu bagus banget ya, pantas paman selalu membanggakan kamu.” Mas Danu diam saja. Dia fokus minum dan menikmati donat yang kusuguhkan.“Danu, kamu makan dulu. Pasti kamu lapar,” titah Mamah Atik.“Iya, Mah. Dik, temani Mas makan, ya?”“Aku juga mau makan Mas. Yuk, aku temani.” Evi gegas berdiri dan menarik tangan Mas Danu.“Bukan Dik, kamu. Itu panggilan untuk istriku. Aku memanggilmu dengan namamu saja.” Mas Danu menampik tangan Evi. Dia seperti menahan malu.“Mas meja makanmu bagus banget. Seumur-umur aku baru lihat,” ucap Evi. Dia langsung duduk dan mengambil makan tanpa kami suruh terlebih dahulu.“Evi, sebentar lagi kami mau pergi sebaiknya kamu pulang dulu. Rumah ini akan kami kosongkan.”“Apa? Ya ampun, Mas! Aku jauh-
“Terserah Mbak aja mau bilang apa,” sungutku.“Eh, Ta. Aku cuma mau kasih tahu, ini Ibu lagi sakit, tadi pas ambil wudu untuk salat Zuhur terpeleset dan jatuh. Kami sudah bawa ke klinik. Ibu sekarang di rawat. Kamu ke sini, ya? Eh, jangan lupa bawa uang kami tidak ada duit untuk bayar biaya rawat Ibu.” Sebenarnya aku sangat syok dan juga sedih mendengar kabar ini, tapi karena yang memberi tahu adalah Mbak Susi aku jadi kesal padanya.“I—ya, Mbak. Insya Allah aku ke sana.”“Jangan pakai insya Allah, Ta! Kamu harus segera ke sini!”“Iya, Mbak. Insya Allah.”“Kamu itu insya Allah terus. Aku ti ....” Tuuutt! Kumatikan telepon. Percuma saja ngasih tahu Mbak Susi.Ponsel kembali berdering. Tapi, tidak kujawab. Biarkan saja. Mbak Susi itu bisanya ngajak ribut saja.“Siapa, Ta. Kok kayaknya kamu kesal gitu?”“Mbak Susi, Mah. Ngasih tahu kalau ibu masuk rumah sakit. Jatuh di kamar mandi,” jawabku sedih.“Innalillahi wa’innailaihiroji’un. Terus gimana kondisi ibumu, Ta?”“Aku enggak tanya sama
*Cinta adalah perbuatan. kata-kata dan tulisan indah hanyalah omong kosong! (Tere Liye)*Assalamualaikum semuaaaaaaa senang sekali Danu kembali hadir. Semoga kalian sehat dan bahagia selalu. Bantu follow, yuk!🌸🌸🌸 “Maaf siapa, ya?”Bukannya menjawab pertanyaanku justru perempuan ini nyelonong masuk begitu saja lalu duduk manis di sofa.“Eh, siapa kamu! Datang-datang enggak sopan!” bentak Mamah Atik.“Perkenalkan aku Evi, adik Mas Danu,” ucapnya bangga.Aku dan Mamah Atik saling berpandangan. Mamah Atik seolah menanyakan apa benar. Aku hanya menggeleng tidak tahu.“Salah alamat kali. Kan, banyak ‘tu yang namanya Danu,” ujar Mamah Atik lagi.“Enggak, dong! Nih, lihat!” Wanita yang bernama Evi ini memperlihatkan foto Mas Danu. Dari mana dia dapat foto terbaru Mas Danu. Itu foto diambil dua hari yang lalu saat kami jalan-jalan ke air terjun. Itu foto bersamaku bisa-bisanya fotonya dicrop begitu saja.“Iya, benar ini Danu anakku, dan ini Ita istri Danu,” ucap Mamah Atik. Wanita yang b
“Mainan sama Kia. Anakmu ini cantik dan pintar sekali ya, Dan. Aku jadi pingin punya anak,” jawab Mbak Asih seolah-olah dia tidak sedang sakit.“Alhamdulillah iya, Mbak.“ Mas Danu memangku Kia. Aku ikut duduk di lantai bersama mereka.“Mbak Asih kemarin ke mana sih, katanya kerja kok, enggak pulang?” tanyaku hati-hati. Mbak Asih hanya menggeleng saja.“Mbak Asih, Ita itu mau ngajak shopping beli baju baru. Eh, malahan Mbak Asih enggak pulang-pulang,” kata Mas Danu lagi.“Harusnya kamu telepon dulu, Ta. Jangan main asal tunggu. Kalau kamu kasih tahu mau ngajakin aku shopping pasti aku enggak mau janjian sama Mas Roni,” jawab Mbak Asih sambil menoyor kepalaku.“Oh, jadi Mbak Asih pergi shopping sama Mas Roni?” tanyaku.“Bukan shopping sih, tapi bulan madu. Kami tidur di hotel.” Mendengar pengakuan Mbak Asih Mas Danu sangat marah. Aku pun kaget. Kalau sudah ngomongin hotel sudah pasti ada bumbu-bumbu di dalamnya.“Mbak, harusnya jangan mau diajak Mas Roni kalau enggak shopping. Enak shop