POV Asih. “Em, nama kamu siapa tadi?” tanyaku basa basi.“Ita, Mbak,” jawabnya sopan. Duh, kenapa ya, kalau orang cantik itu pasti suaranya aja lembut, mendayu gini.“Sudah berapa lama sama Danu?” tanyaku menyelidik.“Enam bulan Mbak,” jawabnya lagi sambil tersenyum. Duh, senyumnya manis banget lagi. Ini benar-benar ancaman untukku. Dia tipe Mas Roni banget. Dulu sewaktu kami masih pedekate aku melakukan berbagai cara yang disukai oleh Mas Roni agar aku bisa jadi istrinya. Termasuk berpura-pura lemah lembut.“Kamu yakin mau nikah sama Danu, Adikku?” tanyaku lagi.“Yakin Mbak, insya Allah.” Nah, kan sok alim lagi.“DANU ITU SUDAH TIDAK PERJAKA. DIA PERNAH TIDUR DENGAN PACARNYA DULU!” kataku penuh penekanan.Berhasil Ita terlihat cukup kaget dan mencoba mengontrol emosinya.“Itu biar jadi urusan kami, Mbak. Nanti akan aku tanyakan langsung pada Mas Danu,” jawabnya tenang.“Enggak percaya? Aku ini Mbaknya jadi aku tahu apa saja yang dilakukan Danu dengan pacarnya dulu. Oh, iya, ikut ak
POV Asih.“Berapa itu amplop dari pacarnya Danu, Sih?” tanya ibu. Malam ini kami sedang membuka amplop para tamu undangan.“500 ribu rupiah, Bu,” jawabku berbinar. Di sini undangan segini sangat banyak. Apa lagi tadi aku sudah ambil uang Ita 1 juta rupiah. Untung berlipat-lipat aku.“Coba sini Bu, amplop dari teman-teman sosialitaku biar aku yang buka mereka pasti nyumbangnya lebih banyak. Mereka, kan orang-orang kaya. Ibu tadi lihat kan, mereka tampil cetar membahana.” Ibu manggut-manggut mendengar penuturanku.“Apa! 25 ribu rupiah?” Kepelaku seketika langsung pusing. Bisa-bisanya Jeng Yani Cuma ngamplop 25 ribu rupiah. Tadi saja aku lihat dia ngambil makanan banyak. Awas aja dia besok kalau sunatan anak-anaknya aku bakalan nyumbang lebih kecil dari ini.“Haduh, parah ini, Sih! Tampilan sosialita duit rakyat jelata!” omel ibu.“Astagaaaaaaa! Ini Jeng Kokom juga sama aja 25 ribu rupiah, Bu!” Aku gegas mencari nama-nama geng sosialitaku di antara tumpukan amplop dalam kardus besar. Tad
POV Asih.“Ada apa, Bu?” tanyaku.“Itu pihak ketering sama orgen tunggal datang minta uang, Sih.” Mataku langsung terbuka sempurna. Kalau begini ceritanya bisa berkurang itu uang 50 juta rupiah.“Masa, sih, Mbak. Adik iparku bilang sudah dibayar semua,” kataku tak percaya aku lihat nota yang dibawa pihak ketering.“Memang Bu, sudah dibayar semua, tapi kan, kemarin Ibu sendiri yang minta tambah semua makanan jadi dua kali lipat dari kesepakatan pertama. Orgen juga minta yang bagus yang komplit pakai gendang segala macam,” jawab pihak keteringan. Benar juga si, aku sendiri yang meminta itu karena aku harus menunjukkan sesuatu yang wah pada semua orang. Aku mau pernikahan adikku ini jadi termewah sepanjang sejarah di kampung ini.Aku memijat pelipis kening, tiba-tiba aku meras sangat pusing.“Kamu bilang gitu, Sih?” tanya ibu. Aku mengangguk saja. Ibu terlihat sangat marah, tapi dia jaim.“Ya, sudah Mbak, kurangnya berapa biar kami lunasi. Kami tidak mau punya utang hajatan. Malu sama o
POV Asih.Lili juga sama sepertiku dia tidak suka pada Ita. Dia selalu menyuruh-nyuruh Ita, ini dan itu, tapi tetap saja tidak keguguran. Bahkan masuk rumah sakit pun tidak.Hanya bolak-balik kamar mandi sebentar . Apa dia tahu ya, kalau susunya aku kasih obat. Dia hanya minum sedikit saja kemudian dia buang.Aku berjanji pada diriku sendiri akan membuat hidup Ita menderita. Sampai dia pindahan ke rumah sebelah aku pun terus menerornya.Sampai suatu hari juragan ikan datang ke rumah Ita hanya untuk membeli kangkung jualan Ita. Aku tentu saja kaget bukan main begitu juga dengan juragan ikan dia kaget melihat keberadaanku.Bukan tanpa sebab aku takut ketemu Juragan ikan. Jika dia membeberkan rahasiaku pada Ita tamatlah riwayatku.Aku satu tahun lalu menjalin hubungan spesial dengan juragan ikan. Ya, aku ini simpanannya dia. Semua aku lakukan dengan sadar karena aku sudah capek hidup menderita. Hidup dengan Mas Roni sangat membosankan. Monoton begini-begini saja. Sudah jatah uang telat
POV Asih. Mas Roni kaget karena aku bisa bayar hutang ke Bank. Aku bohongi saja dia dengan menjual semua perhiasanku yang aku tabung dari gadis dan aku juga sudah mengancamnya untuk tidak mengambil uang Bank lagi jika di nekat melakukannya lagi maka tidak segan-segan aku buang dari hidupku. Entah dia dengarkan atau tidak yang penting sekarang hutang kami lunas dan aku bisa membeli perhiasan, tas baru, baju baru, perabotan rumah baru. Baru saja aku merasakan hidup enak sebagai wanita simpanan anak juragan ikan yang bernama Lani melabrakku. Untung saja tidak diviralkan. Anak juragan ikan ini seorang ustazah. Jadi, dia memberiku peringatan secara halus dengan syarat aku tidak lagi mau jadi wanita simpanan juaragan ikan. Aku sangat kesal, tapi tidak bisa berbuat apa-apa lagi kalau aku nekat aku bisa dibasmi dari sini. Juragan ikan juga aneh, dia sama sekali tidak membelaku. Terakhir aku berjumpa dia setelah 4 bulan perpisahan kami dia sedang memantau tambak ikan dengan berpakaian seper
POV Asih. Yes! Aku akan pakai ini untuk melunasi hutangku pada juragan ikan. Aku obrak abrik lagi isi kamar Danu. Aku juga menemukan sejumlah uang, ya, meski tidak banyak, tapi lumayan untuk bayar kreditan bajuku yang sudah nunggak dua bulan.“Kita harus hati-hati, Dik. Jangan sampai meninggal jejak walau sehelai rambut kita,” ucap Mas Roni mewanti-wanti.“Iya, Mas, siap!"“Bagi Mas juga uangnya untuk beli rokok sama bensin full tank.”“Iya, Mas. Ih, cerewet. Ayok! Buruan!”Kami ke luar dari rumah Danu persis pencuri kelas kakap yang sudah terlatih.Kami membakar rumah Danu dengan menyiramkan sedikit bensin di dinding dapur yang terbuat dari bambu. Kompor untuk masak Ita letakkan tidak jauh dari situ dengan begitu gas akan meledak dan habis rumahnya.Kami pulang ke rumah dengan riang gembira. Meski kaki Mas Roni Makin membengkak dan seperti terbakar, kata Mbah dukun dimandikan kembang tujuh rupa ditambah darah ayam cemani nanti akan sembuh.“Mas, kapan kita antar sertifikat tanah ini
POV Asih.“Taappi ... rasanya aku pernah melihat iparmu ini. Sebentar aku ingat-ingat dulu,” ucap Mbah dukun lagi.“Nah, lihat ini sama enggak? Kacamataku entah ke mana tadi dibuat mainan cucu.” Aku mengambil foto yang disodorkan Mbah dukun padaku.Alangkah terkejutnya aku, ini foto Eko juga, tapi kenapa bisa di sini, ya?“Iya, Mbah sama, ini foto iparku,” jawabku tanpa ragu.“Itu foto di bawa oleh seorang wanita yang sedang hamil ke sini. Dia bilang ingin memikat laki-laki ini untuk dijadikannya suami. Aku setuju saja karena kasihan melihat dia sedang hamil. Ternyata ini iparmu. Kalau begini aku yang pusing,” ungkap Mbah dukun sambil mengelus-elus jenggotnya. Aku pun pusing mendengar pengakuan Mbah dukun.Bisa-bisanya istri muda Eko memakai jasa Mbah dukunku juga.“Jadi bagaimana, Mbah?” tanyaku memastikan.“Aku pikirkan dulu, saat ini belum bisa kasih keputusan,” jawab Mbah dukun membuatku makin pusing.“Mbah, tolonglah. Mbah harus memihak pada kebenaran dong, Mbah. Jangan sama yan
“Ita, sini duduk dulu. Ibu mau bicara penting sama kamu,” ucap Bu RT, suaranya terdengar parau. Aku yang sedang membereskan lipatan baju kering segera menghampiri beliau.“Ada apa, Bu. Kayaknya penting banget. Aku jadi takut.”“Sini, duduk dulu!”Aku duduk di samping Bu RT. Beliau menatapku penuh selidik dan tatapannya sangat berbeda dari biasanya.“Ta, apa selama Danu sakit kami masih mendapatkan nafkah batin?” Aku mengernyitkan dahi bingung sekaligus kaget kenapa tiba-tiba Bu RT bertanya seperti itu.“Alhamdulillah, Bu. Haruskah aku jawab, itu kan, masalah pribadi kami,” jawabku hati-hati. Bu RT seperti tidak puas mendengarkan jawabanku.“Bukan begitu Ita, kita kan, sama-sama perempuan jadi tidak terlalu mengkhawatirkan juga kalau kita bicara begini.” Aku makin tidak mengerti ucapan Bu RT.“Memang sih, Bu. Tapi, tetap saja kita dilarang untuk berbicara begitu,” elakku.“Kalau dilarang gimana itu para psikolog yang harus tahu tentang ini pada kliennya?” ucap Bu RT lagi nadanya agak t
~k~u 🌸🌸🌸“Mas, siapa perempuan ini?” Akhirnya kutanyakan langsung foto yang tadi siang dikirim oleh paman.Mas Danu mengerutkan keningnya matanya menatapku penuh selidik.“Ini nomor Paman Mas, lihat tuh, WA-nya dari atas,” jelasku. Mas Danu memang tidak paham jika pakai smartphone.“Ini dikirim tadi pagi kenapa enggak bilang langsung, Dik?”“Gimana mau bilang kan, Mas sibuk di toko.”“Siapa wanita berbaju orange itu, Mas?” cecarku.“Itu ... em, tapi kamu jangan marah, ya?” Mendengar jawaban Mas Danu justru aku semakin takut. Takut kalau apa yang aku pikirkan benar.“Jawablah, Mas jangan berkelit gitu.”“Namanya Maya, dia teman sekolah Mas waktu SD. Waktu itu tanpa sengaja bertemu di toko. Setelah pertemuan pertama dia sering datang dan banyak bercerita tentang rumah tangganya ....” Mas Danu menjeda ceritanya.Aku sudah berkeringat panas padahal suhu udara malam ini dingin karena tadi sore hujan sangat deras dan sekarang pun masih gerimis kecil.“Karena Mas kasihan makanya Mas seri
“Enggak bersih berarti tidak ada acara masuk rumah.” Mamah Atik ikut menimpali.“Apa ini sudah cukup, Bu?” tanya Evi memperlihatkan irik yang berisi pucuk daun singkong.“Belum! Petik yang banyak, di rumah banyak orang jadi banyak juga yang makan kalau cuma segini habis sama kamu aja!” Mamah Atik pun tidak kalah sengit memarahi Evi.“Aku adukan kalian sama Mas Danu biar kapok!” Ancam Evi.“Adukan saja sana! Danu tidak akan pernah ambil pusing,” jawab Mamah Atik.“Paman, jangan main HP terus nanti HP-nya masuk parit kami lagi yang disalahin dan suruh ganti,” kataku agak kuat karena jarak kami lumayan jauh.“Eh, iya, Ya. Ini aku hanya kirim pesan pada Danu saja,” jawab paman.Benar saja setelah kucek ponsel Mas Danu yang ada di saku celanaku ternyata ada pesan masuk lagi dari paman.[Keputusanmu akan menentukan nasib rumah tanggamu, Dan. Cepat katakan iya atau tidak!]Lagi hanya kubaca saja. Aku tidak berminat sama sekali untuk membalas.“Sudah ada gledek, tuh! Buruan nanti keburu turun
🌸🌸🌸Hidup sejatinya adalah perjalanan. Sekarang tergantung kita mau pilih jalan yang mana. Di depan sana ada banyak sekali rintangannya. Berkelok-kelok, lurus mulus, licin berlumpur atau naik turun.Aku menghela nafas berat saat membaca pesan dari paman Mas Danu. Pesan itu langsung kuteruskan ke ponselku.Paman Mas Danu sebenarnya belum selesai berbicara dengan Mas Danu hanya saja tadi tiba-tiba Joko menelepon ada pelanggan tetap mau belanja bulanan dan jumlahnya sangat banyak. Makanya Mas Danu buru-buru pergi ke toko.Paman dan juga Evi kami persilakan untuk menunggu di rumah. Bagaimana pun juga mereka adalah tamu.‘... Barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya .... HR. Bukhari dan Muslim.Aku memang bukan seorang yang mulus tanpa dosa, tapi aku akan selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun meski dianggap bodoh.Bapakku selalu berpesan untuk selalu berbuat baik meski kita dimanfaatkan, meski kita tidak dianggap. Karena kebaikan itu aka
~k~u🌸🌸🌸“Loh, siapa kamu!” tegur Mamah Atik saat melihat pria seumuran bapak main nyelonong duduk di teras rumah tanpa permisi.Kami sedang berjemur sekalian menyuapi Kia. Beberapa hari ini hujan terus udara di sini pun sangat dingin.Orang itu bukannya menyahut malah menyalakan rokok.“Paman, ini sarapannya. Nasi uduk aja, ya? Duitku nipis,” ucap Evi. Kami kaget ternyata itu pamannya Mas Danu.“Kamu itu kenapa juga beli beginian. Rumah Mamasmu ini besar gendongan tentunya di dalam banyak makanan. Makan nasi uduk begini Paman mules perutnya.”“Kalian ngapain lihat-lihat! Sekarang mana Mas Danu. Aku mau ketemu Mas Danu,” bentak Evi pada kami.Baru saja aku hendak menyangkal ucapan Evi, Mas Danu sudah ke luar rumah.“Masss ....” Evi lari menghampiri Mas Danu.“Danu. Akhirnya kita bisa bertemu lagi. Paman dari kemarin sudah ada di sini, tapi anak buahmu bilang kamu ada urusan keluarga dan enggak pulang.” Orang yang mengaku Paman Mas Danu pun tergopoh-gopoh menghampiri Mas Danu.Mas Da
Assalamualaikum everyone ....Alhamdulillah bisa up bab baru. Yuk, bantu follow akunku 😍🌸🌸🌸“Sini, Ta, biar Mamah yang telepon, Joko!” Kuberikan ponselku pada Mamah.Tidak menunggu lama telepon tersambung.“Halo, Mas Joko! Ini Mamah Atik. Tolong itu barang-barang yang mau diangkut sama Susi ambil lagi!”“Loh, a—nu, Bu. Itu katanya sudah dapat izin dari Ita,” jawab Mas Joko terbata pasti Mas Joko kaget Mamah Atik to the poin begitu.“Enggak! Baik Ita ataupun Danu enggak ada yang izinin. Di mana Susi? Apa sudah pulang?”“Be—lum, Bu. Ma—sih nimbang telur.”“Dasar orang tidak tahu malu. Pokoknya aku enggak mau tahu, ya, ambil lagi apa yang mau diangkut Susi kalau enggak gaji kamu bulan ini tidak aku berikan!” Ancam Mamah Atik.“Aduh! Ba—ik, Bu.”Tuuuutt ....Mamah mematikan telepon.“Ini, Ta. 10 menit lagi kita telepon Joko. Kamu itu menyek-menyek jadi orang makanya saudara-saudara kamu itu selalu saja meremehkanmu.”“Aku hanya tidak ingin hubungan yang sudah tidak baik makin tidak b
Hatiku panas mendengar perempuan lain mengagumi suamiku.“Mana anakmu kenapa tidak kamu ajak?” tanya Mas Danu.“Mas aku capek loh, nungguin kamu panas dan haus juga kamu malah tega tanya ini dan itu di sini,” rengeknya.Kami masuk dan Evi membuntuti kami.“Mas, rumahmu bagus banget ya, pantas paman selalu membanggakan kamu.” Mas Danu diam saja. Dia fokus minum dan menikmati donat yang kusuguhkan.“Danu, kamu makan dulu. Pasti kamu lapar,” titah Mamah Atik.“Iya, Mah. Dik, temani Mas makan, ya?”“Aku juga mau makan Mas. Yuk, aku temani.” Evi gegas berdiri dan menarik tangan Mas Danu.“Bukan Dik, kamu. Itu panggilan untuk istriku. Aku memanggilmu dengan namamu saja.” Mas Danu menampik tangan Evi. Dia seperti menahan malu.“Mas meja makanmu bagus banget. Seumur-umur aku baru lihat,” ucap Evi. Dia langsung duduk dan mengambil makan tanpa kami suruh terlebih dahulu.“Evi, sebentar lagi kami mau pergi sebaiknya kamu pulang dulu. Rumah ini akan kami kosongkan.”“Apa? Ya ampun, Mas! Aku jauh-
“Terserah Mbak aja mau bilang apa,” sungutku.“Eh, Ta. Aku cuma mau kasih tahu, ini Ibu lagi sakit, tadi pas ambil wudu untuk salat Zuhur terpeleset dan jatuh. Kami sudah bawa ke klinik. Ibu sekarang di rawat. Kamu ke sini, ya? Eh, jangan lupa bawa uang kami tidak ada duit untuk bayar biaya rawat Ibu.” Sebenarnya aku sangat syok dan juga sedih mendengar kabar ini, tapi karena yang memberi tahu adalah Mbak Susi aku jadi kesal padanya.“I—ya, Mbak. Insya Allah aku ke sana.”“Jangan pakai insya Allah, Ta! Kamu harus segera ke sini!”“Iya, Mbak. Insya Allah.”“Kamu itu insya Allah terus. Aku ti ....” Tuuutt! Kumatikan telepon. Percuma saja ngasih tahu Mbak Susi.Ponsel kembali berdering. Tapi, tidak kujawab. Biarkan saja. Mbak Susi itu bisanya ngajak ribut saja.“Siapa, Ta. Kok kayaknya kamu kesal gitu?”“Mbak Susi, Mah. Ngasih tahu kalau ibu masuk rumah sakit. Jatuh di kamar mandi,” jawabku sedih.“Innalillahi wa’innailaihiroji’un. Terus gimana kondisi ibumu, Ta?”“Aku enggak tanya sama
*Cinta adalah perbuatan. kata-kata dan tulisan indah hanyalah omong kosong! (Tere Liye)*Assalamualaikum semuaaaaaaa senang sekali Danu kembali hadir. Semoga kalian sehat dan bahagia selalu. Bantu follow, yuk!🌸🌸🌸 “Maaf siapa, ya?”Bukannya menjawab pertanyaanku justru perempuan ini nyelonong masuk begitu saja lalu duduk manis di sofa.“Eh, siapa kamu! Datang-datang enggak sopan!” bentak Mamah Atik.“Perkenalkan aku Evi, adik Mas Danu,” ucapnya bangga.Aku dan Mamah Atik saling berpandangan. Mamah Atik seolah menanyakan apa benar. Aku hanya menggeleng tidak tahu.“Salah alamat kali. Kan, banyak ‘tu yang namanya Danu,” ujar Mamah Atik lagi.“Enggak, dong! Nih, lihat!” Wanita yang bernama Evi ini memperlihatkan foto Mas Danu. Dari mana dia dapat foto terbaru Mas Danu. Itu foto diambil dua hari yang lalu saat kami jalan-jalan ke air terjun. Itu foto bersamaku bisa-bisanya fotonya dicrop begitu saja.“Iya, benar ini Danu anakku, dan ini Ita istri Danu,” ucap Mamah Atik. Wanita yang b
“Mainan sama Kia. Anakmu ini cantik dan pintar sekali ya, Dan. Aku jadi pingin punya anak,” jawab Mbak Asih seolah-olah dia tidak sedang sakit.“Alhamdulillah iya, Mbak.“ Mas Danu memangku Kia. Aku ikut duduk di lantai bersama mereka.“Mbak Asih kemarin ke mana sih, katanya kerja kok, enggak pulang?” tanyaku hati-hati. Mbak Asih hanya menggeleng saja.“Mbak Asih, Ita itu mau ngajak shopping beli baju baru. Eh, malahan Mbak Asih enggak pulang-pulang,” kata Mas Danu lagi.“Harusnya kamu telepon dulu, Ta. Jangan main asal tunggu. Kalau kamu kasih tahu mau ngajakin aku shopping pasti aku enggak mau janjian sama Mas Roni,” jawab Mbak Asih sambil menoyor kepalaku.“Oh, jadi Mbak Asih pergi shopping sama Mas Roni?” tanyaku.“Bukan shopping sih, tapi bulan madu. Kami tidur di hotel.” Mendengar pengakuan Mbak Asih Mas Danu sangat marah. Aku pun kaget. Kalau sudah ngomongin hotel sudah pasti ada bumbu-bumbu di dalamnya.“Mbak, harusnya jangan mau diajak Mas Roni kalau enggak shopping. Enak shop