POV Asih. Mas Roni kaget karena aku bisa bayar hutang ke Bank. Aku bohongi saja dia dengan menjual semua perhiasanku yang aku tabung dari gadis dan aku juga sudah mengancamnya untuk tidak mengambil uang Bank lagi jika di nekat melakukannya lagi maka tidak segan-segan aku buang dari hidupku. Entah dia dengarkan atau tidak yang penting sekarang hutang kami lunas dan aku bisa membeli perhiasan, tas baru, baju baru, perabotan rumah baru. Baru saja aku merasakan hidup enak sebagai wanita simpanan anak juragan ikan yang bernama Lani melabrakku. Untung saja tidak diviralkan. Anak juragan ikan ini seorang ustazah. Jadi, dia memberiku peringatan secara halus dengan syarat aku tidak lagi mau jadi wanita simpanan juaragan ikan. Aku sangat kesal, tapi tidak bisa berbuat apa-apa lagi kalau aku nekat aku bisa dibasmi dari sini. Juragan ikan juga aneh, dia sama sekali tidak membelaku. Terakhir aku berjumpa dia setelah 4 bulan perpisahan kami dia sedang memantau tambak ikan dengan berpakaian seper
POV Asih. Yes! Aku akan pakai ini untuk melunasi hutangku pada juragan ikan. Aku obrak abrik lagi isi kamar Danu. Aku juga menemukan sejumlah uang, ya, meski tidak banyak, tapi lumayan untuk bayar kreditan bajuku yang sudah nunggak dua bulan.“Kita harus hati-hati, Dik. Jangan sampai meninggal jejak walau sehelai rambut kita,” ucap Mas Roni mewanti-wanti.“Iya, Mas, siap!"“Bagi Mas juga uangnya untuk beli rokok sama bensin full tank.”“Iya, Mas. Ih, cerewet. Ayok! Buruan!”Kami ke luar dari rumah Danu persis pencuri kelas kakap yang sudah terlatih.Kami membakar rumah Danu dengan menyiramkan sedikit bensin di dinding dapur yang terbuat dari bambu. Kompor untuk masak Ita letakkan tidak jauh dari situ dengan begitu gas akan meledak dan habis rumahnya.Kami pulang ke rumah dengan riang gembira. Meski kaki Mas Roni Makin membengkak dan seperti terbakar, kata Mbah dukun dimandikan kembang tujuh rupa ditambah darah ayam cemani nanti akan sembuh.“Mas, kapan kita antar sertifikat tanah ini
POV Asih.“Taappi ... rasanya aku pernah melihat iparmu ini. Sebentar aku ingat-ingat dulu,” ucap Mbah dukun lagi.“Nah, lihat ini sama enggak? Kacamataku entah ke mana tadi dibuat mainan cucu.” Aku mengambil foto yang disodorkan Mbah dukun padaku.Alangkah terkejutnya aku, ini foto Eko juga, tapi kenapa bisa di sini, ya?“Iya, Mbah sama, ini foto iparku,” jawabku tanpa ragu.“Itu foto di bawa oleh seorang wanita yang sedang hamil ke sini. Dia bilang ingin memikat laki-laki ini untuk dijadikannya suami. Aku setuju saja karena kasihan melihat dia sedang hamil. Ternyata ini iparmu. Kalau begini aku yang pusing,” ungkap Mbah dukun sambil mengelus-elus jenggotnya. Aku pun pusing mendengar pengakuan Mbah dukun.Bisa-bisanya istri muda Eko memakai jasa Mbah dukunku juga.“Jadi bagaimana, Mbah?” tanyaku memastikan.“Aku pikirkan dulu, saat ini belum bisa kasih keputusan,” jawab Mbah dukun membuatku makin pusing.“Mbah, tolonglah. Mbah harus memihak pada kebenaran dong, Mbah. Jangan sama yan
“Ita, sini duduk dulu. Ibu mau bicara penting sama kamu,” ucap Bu RT, suaranya terdengar parau. Aku yang sedang membereskan lipatan baju kering segera menghampiri beliau.“Ada apa, Bu. Kayaknya penting banget. Aku jadi takut.”“Sini, duduk dulu!”Aku duduk di samping Bu RT. Beliau menatapku penuh selidik dan tatapannya sangat berbeda dari biasanya.“Ta, apa selama Danu sakit kami masih mendapatkan nafkah batin?” Aku mengernyitkan dahi bingung sekaligus kaget kenapa tiba-tiba Bu RT bertanya seperti itu.“Alhamdulillah, Bu. Haruskah aku jawab, itu kan, masalah pribadi kami,” jawabku hati-hati. Bu RT seperti tidak puas mendengarkan jawabanku.“Bukan begitu Ita, kita kan, sama-sama perempuan jadi tidak terlalu mengkhawatirkan juga kalau kita bicara begini.” Aku makin tidak mengerti ucapan Bu RT.“Memang sih, Bu. Tapi, tetap saja kita dilarang untuk berbicara begitu,” elakku.“Kalau dilarang gimana itu para psikolog yang harus tahu tentang ini pada kliennya?” ucap Bu RT lagi nadanya agak t
Aku terharu melihat pemandangan itu. Mbak asih hampir saja membuat keributan besar di antara kami.“Asih, sama Jum, kok dipercaya. Ibu, kan tahu mereka itu biang gosip dan sumber masalah di sini. Sudah banyak warga yang diadu domba mereka,” ucap Pak RT lagi. Aku membenarkan ucapan Pak RT.“Sudah, sana kalian lanjut lagi masaknya hari ini kan, terakhir kalian masak bareng. Besok Ita sudah kembali ke rumahnya. Jangan sampai niat tulus Ibu dulu jadi berubah dosa karena sudah berprasangka buruk pada Ita.” Bu RT mengangguk mendengarkan nasihat suaminya.“Sekali lagi maafkan Ibu, ya, Nak. Astaghfirullah Ibu malu sekali, hampir saja Ibu suuzon padamu,” ucap Bu RT tulus.“Iya, Bu. Aku juga minta maaf. Sudah yuk, kita lanjut masak lagi.” Kami masak dengan suka cita. Nanti malam acara kenduri syukuran rumahku. Besok aku sudah pindah ke sana. Bahkan malam ini kami sudah tidur di sana.“Ta, gula kita habis. Ibu minta tolong ya, kami beli dulu biar ini goreng kerupuknya Ibu yang lanjutin. Ibu mau
Kran air langsung kuarahkan ke mulut Bu Jum biar tidak bersuara terus. Beliau seperti orang yang kehabisan nafas lalu menghindar. Kualihkan lagi kran air pada mereka, aku tidak peduli tangisan anak-anak mereka yang ikut basah kuyup. Aku seperti orang kesetanan terus saja aku semprot mereka. Setelah puas kumatikan kran dan kulepas selangnya lalu kususui lagi. “Ini peringatan untuk kalian terutama anda Bu Jum! Jika aku masih mendengar lagi gosip miring tentangku yang tidak benar itu maka kalian tidak hanya kena air kran. Aku semprot kalian dengan obat serangga!” teriakku. Lalu Kutinggalkan mereka. Mereka sibuk menenangkan anak-anak mereka yang menangis. Bu Warung tertawa sangat kuat sampai terdengar ke gardu. Sampai rumah Bu RT heran kenapa aku basah kuyup. Aku ceritakan semua pada Bu RT beliau tertawa sampai Kia ikutan tertawa. “Gitu dong, Ta. Kalau ada yang menggunjingmu kamu balas jangan diam saja biar tidak makin menjadi,” kata Bu RT “Aduh, Bu. Bukan aku tidak berani, tapi ak
Bu RT memang memberi dipan jati bekas anaknya yang tidak terpakai karena anaknya ganti spring bed, aku juga sudah membeli lemari plastik untuk wadah pakaian kami yang tidak seberapa hanya beberapa potong saja.Pakaian kami tidak banyak karena dapat sumbangan dari warga jadi kami memilih yang masih layak saja. Bukan tidak bersyukur, tapi memang kami harus memilih baju-baju itu karena tidak semua warga memberi yang layak. Contohnya Mbak Asih dia memberiku daster-daster yang sudah bolong-bolong dan sobek sana sini makanya aku jadikan lap saja.Kasurnya kami beli. Dapat uang yang dari Wak Ratno. Alhamdulilah. Aku juga membeli Magicom kecil, kuali, panci, piring, mangkok, sendok, gelas, garpu, masing-masing satu lusin. Bak dan ember cuci juga membeli kompor Rinnai plus tabungnya. Karpet untuk ruang tamu, meja untuk wadah makanan yang kami letakkan di dapur dan listrik dari rumah Pak RT. Kami sepakat untuk membayar setiap bulan semampu kami dan kami hanya memasang dua lampu. Satu kami p
Aku membantu ibu membuat teh di dapur sedang Mas Danu di depan ngobrol dengan bapak.“Sudah, kamu di depan saja sana, ikut ngobrol sama Bapak. Itu loh Bapakmu sudah kangen sama kamu padahal baru beberapa Minggu yang lalu main ke rumah kamu,” ucap Ibu.“Benarkah, Bu?”“Iya, benar. Tiap hari yang diingat kamu. Setiap Bapak makan enak yang diingat juga kamu. Kata Bapak, Ita, sudah makan belum ya, Bu. Terus makan pakai apa, ya?” Cerita ibu membuatku terharu. Ah, bapak, anakmu sudah tua begini saja masih kamu ingat sudah makan atau belum, dan makan lauk apa.“Ibu, enggak bilang sama Bapak, kalau aku baik-baik saja?” tanyaku.“Sudah, tapi tetap saja bapakmu itu khawatir,” jawab ibu.“Aku bawa tehnya ke depan ya, Bu.”Melihatku membawa nampan teh, mata bapak berkaca-kaca pasti Mas Danu telah menceritakan segala sesuatunya pada bapak.“Ini tehnya Bapak, ini kopinya Mas Danu.”“Makasih ya, Nak. Oh, iya, kata Danu kalian habis kena musibah lagi?” tanya bapak penasaran.“Iya, Pak. Alhamdulill