Kran air langsung kuarahkan ke mulut Bu Jum biar tidak bersuara terus. Beliau seperti orang yang kehabisan nafas lalu menghindar. Kualihkan lagi kran air pada mereka, aku tidak peduli tangisan anak-anak mereka yang ikut basah kuyup. Aku seperti orang kesetanan terus saja aku semprot mereka. Setelah puas kumatikan kran dan kulepas selangnya lalu kususui lagi. “Ini peringatan untuk kalian terutama anda Bu Jum! Jika aku masih mendengar lagi gosip miring tentangku yang tidak benar itu maka kalian tidak hanya kena air kran. Aku semprot kalian dengan obat serangga!” teriakku. Lalu Kutinggalkan mereka. Mereka sibuk menenangkan anak-anak mereka yang menangis. Bu Warung tertawa sangat kuat sampai terdengar ke gardu. Sampai rumah Bu RT heran kenapa aku basah kuyup. Aku ceritakan semua pada Bu RT beliau tertawa sampai Kia ikutan tertawa. “Gitu dong, Ta. Kalau ada yang menggunjingmu kamu balas jangan diam saja biar tidak makin menjadi,” kata Bu RT “Aduh, Bu. Bukan aku tidak berani, tapi ak
Bu RT memang memberi dipan jati bekas anaknya yang tidak terpakai karena anaknya ganti spring bed, aku juga sudah membeli lemari plastik untuk wadah pakaian kami yang tidak seberapa hanya beberapa potong saja.Pakaian kami tidak banyak karena dapat sumbangan dari warga jadi kami memilih yang masih layak saja. Bukan tidak bersyukur, tapi memang kami harus memilih baju-baju itu karena tidak semua warga memberi yang layak. Contohnya Mbak Asih dia memberiku daster-daster yang sudah bolong-bolong dan sobek sana sini makanya aku jadikan lap saja.Kasurnya kami beli. Dapat uang yang dari Wak Ratno. Alhamdulilah. Aku juga membeli Magicom kecil, kuali, panci, piring, mangkok, sendok, gelas, garpu, masing-masing satu lusin. Bak dan ember cuci juga membeli kompor Rinnai plus tabungnya. Karpet untuk ruang tamu, meja untuk wadah makanan yang kami letakkan di dapur dan listrik dari rumah Pak RT. Kami sepakat untuk membayar setiap bulan semampu kami dan kami hanya memasang dua lampu. Satu kami p
Aku membantu ibu membuat teh di dapur sedang Mas Danu di depan ngobrol dengan bapak.“Sudah, kamu di depan saja sana, ikut ngobrol sama Bapak. Itu loh Bapakmu sudah kangen sama kamu padahal baru beberapa Minggu yang lalu main ke rumah kamu,” ucap Ibu.“Benarkah, Bu?”“Iya, benar. Tiap hari yang diingat kamu. Setiap Bapak makan enak yang diingat juga kamu. Kata Bapak, Ita, sudah makan belum ya, Bu. Terus makan pakai apa, ya?” Cerita ibu membuatku terharu. Ah, bapak, anakmu sudah tua begini saja masih kamu ingat sudah makan atau belum, dan makan lauk apa.“Ibu, enggak bilang sama Bapak, kalau aku baik-baik saja?” tanyaku.“Sudah, tapi tetap saja bapakmu itu khawatir,” jawab ibu.“Aku bawa tehnya ke depan ya, Bu.”Melihatku membawa nampan teh, mata bapak berkaca-kaca pasti Mas Danu telah menceritakan segala sesuatunya pada bapak.“Ini tehnya Bapak, ini kopinya Mas Danu.”“Makasih ya, Nak. Oh, iya, kata Danu kalian habis kena musibah lagi?” tanya bapak penasaran.“Iya, Pak. Alhamdulill
“Maaf ... maksudnya Mbak Nur apa, ya?” tanyaku sesopan mungkin. Aku memang sudah tahu maksud omongan Mbak Nur aku hanya ingin mengetesnya apa dia salah omong atau memang disengaja?“Gitu aja enggak, ngerti. Ya, itu suamimu kerjaan dari dulu kan, memang begitu enggak jelas. Buktinya hidup kalian susah terus,” jawab Mbak Nur tanpa direm.“Mbak, aku tahu Mbak enggak suka sama Mas Danu, tapi bukan berarti Mbak bisa seenak sendiri jelek-jelekin suamiku. Bagaimana pun dia suamiku. Surgaku ada padanya dan aku selama ini merasa dinafkahi olehnya. Mungkin memang kami tidak seperti Mbak yang banyak duit, tapi insya Allah kami bahagi. Ingat Mbak kebahagiaan orang tidak bisa disamakan. Mungkin Mbak Nur akan bahagia kalau banyak duit dan bisa beli ini itu, tapi bahagia bagi kamu tidak melulu diukur dengan uang,” jawabku tegas. Mbak Nur tidak benar-benar mendengarkan dia mencibir menirukan ucapanku dengan gerakan bibirnya yang maju, mundur, kanan, kiri.“Heloooo ... memang benar semua tidak diuku
“Setahuku memang begitu Mbak, temanku yang seorang bidan bilang semahal apa pun sufor masih tetap bagus ASI meski hanya makan pakai lauk bening bayam. Lagi pula sufor itu untuk orang yang bermasalah ASI-nya macet atau tidak keluar lagi. Mbak kan, sehat. Mbak hanya malas memberi anak ASI.”“Nah, tuh, dengerin Mah. Dulu Mas, juga udah bilang sama Mbakmu itu, Ta. Tetap aja dia ngeyel. Mas bilang besok aja kalau udh dua tahun kasih sufornya. Ini yang ada bayi baru lahir langsung dikasih sufor. Padahal ASI-nya Mbakmu itu bagus,” sahut suami Mbak Nur.“Apaan si, Pah, aku kan mau tetap seksi di mata kamu makanya aku pilih sufor, lagi pula kita kan mampu beli, uang kita banyak untuk apa kalau enggak untuk anak,” elak Mbak Nur.“Astaghfirullah ... Istighfar, Nak. Itu sudah jadi kodrat kamu sebagai wanita. Jika tidak ada uzur kamu tidak boleh seperti itu.” Bapak ikut berkomentar.“Bapak, ih, kok malah belain Ita, si? Lihat tuh, Dafa sama adiknya juga sehat, gemuk. Itu Kia, malah kurus kering pa
“Kenapa jadi melow-melowan gini, si, yuk, buruan pada mandi gantian nanti kalau si Nur pulang main serobot lagi. Bapak bisa pusing lagi,” ujar bapak. Kemudian beliau memapah Mas Danu untuk berdiri.Sebenarnya Mas Danu jalannya sudah lumayan lancar hanya belum bisa jalan jauh, masih suka ngilu kalau sudah menempuh jarak yang lumayan jauh.Kami berangkat ke rumah Mbak Ning setelah Maghrib menggunakan mobil Mbak Nur. Masya Allah acaranya memang meriah. Dekorasi pelaminan pengantin sunat saja sebagus itu.Mbak Ning dan suaminya menyambut kami dengan suka cita. Hanya saja mereka tidak mau bersalaman dengan Mas Danu. Untung ada bapak dan Ibu juga Mas Agung yang menguatkan aku dan Mas Danu. Kalau tidak ada mending aku pulang saja.Mbak Ning menimang-nimang Kia, kami disuguhi makanan. Malam ini ada pengajian setelah nanti salat Isya. Aku ikut turut bahagia melihat kebagian saudari-saudariku.Setelah salat Isya kami memberikan amplop pada Mbak Ning.Mbak Ning menerima amplop dari ibu, Mbak
“Ini emas, Bapak sama Ibu ngumpulin dari sejak kalian semua tamat sekolah SMA. Alhamdulillah terkumpul segini,” ucap ibu berbinar.“Ini kalian masing-masing mendapatkan 15 gram. Yang 10 gram logam mulia dan yang 5 gram perhiasan. Kalian boleh memilih yang kalian suka semuanya dapat bagian yang sama,” kata ibu lagi.Mbak Ning mengambil emas itu dari tangan ibu. Lalu mencebiknya.“Bu, aku sudah punya banyak perhiasan emas, bahkan aku punya berlian juga, maaf ya, enggak aku pakai, tapi aku simpan pemberian Ibu. Aku ambil kalungnya.“Sama aku juga, Bu. Aku ambil, tapi enggak aku pakai ya, aku ambil gelangnya,” ucap Mbak Nur.“Antingku hilang entah ke mana jadi aku ambil antingnya saja ini langsung aku pakai Bu, tapi nanti kalau aku sudah beli yang lebih gede gramnya aku simpan ya, Bu,” ujar Mbak Susi.Tibalah giliranku. Aku gemetaran mengambil itu mataku berkaca-kaca.“Bu, ini benar untuk kami?” tanyaku meyakinkan.“Iya, Nak,” jawab ibu.“Maaf, Bu, bukan berarti aku menolak pemberian Ibu,
“Ish, kamu lupa, Ta? Waktu kita vidio callan, kan, aku sudah bilang kalau enggak ada seragam untuk Danu. Meski dia suamimu, tapi kamu tahu kan, kalau aku tidak suka. Aku juga kan, sudah bilang kamu beli sendiri batik warna gold untuk Danu. Memang kami enggak beli?” Cerocos Mbak Ning. “Ck, Mbak Ning ini gimana? Ya, Ita enggak bakalan beli, dia loh enggak punya uang,” sahut Mbak Nur. “Ita, sabar ya, Sayang. Ini Ibu belikan batik untuk Danu.” Ibu mengeluarkan paper bag berisi baju batik untuk Mas Danu. “Hu, Ibu ini enggak adil. Menantu yang siang malam jungkir balik, kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala berusaha untuk nyenengin anak perempuannya enggak pernah tuh, Ibu belikan baju batik. Apa lagi ini batik bermerk. Giliran si pincang yang enggak pernah kasih uang ke Ibu dan Bapak, juga enggak nyenengin anak perempuan Ibu malah Ibu belain sampai dibelikan baju batik mahal. Aku tu, Bu, bukan enggak mampu ngasih Danu, tapi biar dia mikir kalau jadi laki itu tugasnya apa. Enggak bisanya