“Ini emas, Bapak sama Ibu ngumpulin dari sejak kalian semua tamat sekolah SMA. Alhamdulillah terkumpul segini,” ucap ibu berbinar.“Ini kalian masing-masing mendapatkan 15 gram. Yang 10 gram logam mulia dan yang 5 gram perhiasan. Kalian boleh memilih yang kalian suka semuanya dapat bagian yang sama,” kata ibu lagi.Mbak Ning mengambil emas itu dari tangan ibu. Lalu mencebiknya.“Bu, aku sudah punya banyak perhiasan emas, bahkan aku punya berlian juga, maaf ya, enggak aku pakai, tapi aku simpan pemberian Ibu. Aku ambil kalungnya.“Sama aku juga, Bu. Aku ambil, tapi enggak aku pakai ya, aku ambil gelangnya,” ucap Mbak Nur.“Antingku hilang entah ke mana jadi aku ambil antingnya saja ini langsung aku pakai Bu, tapi nanti kalau aku sudah beli yang lebih gede gramnya aku simpan ya, Bu,” ujar Mbak Susi.Tibalah giliranku. Aku gemetaran mengambil itu mataku berkaca-kaca.“Bu, ini benar untuk kami?” tanyaku meyakinkan.“Iya, Nak,” jawab ibu.“Maaf, Bu, bukan berarti aku menolak pemberian Ibu,
“Ish, kamu lupa, Ta? Waktu kita vidio callan, kan, aku sudah bilang kalau enggak ada seragam untuk Danu. Meski dia suamimu, tapi kamu tahu kan, kalau aku tidak suka. Aku juga kan, sudah bilang kamu beli sendiri batik warna gold untuk Danu. Memang kami enggak beli?” Cerocos Mbak Ning. “Ck, Mbak Ning ini gimana? Ya, Ita enggak bakalan beli, dia loh enggak punya uang,” sahut Mbak Nur. “Ita, sabar ya, Sayang. Ini Ibu belikan batik untuk Danu.” Ibu mengeluarkan paper bag berisi baju batik untuk Mas Danu. “Hu, Ibu ini enggak adil. Menantu yang siang malam jungkir balik, kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala berusaha untuk nyenengin anak perempuannya enggak pernah tuh, Ibu belikan baju batik. Apa lagi ini batik bermerk. Giliran si pincang yang enggak pernah kasih uang ke Ibu dan Bapak, juga enggak nyenengin anak perempuan Ibu malah Ibu belain sampai dibelikan baju batik mahal. Aku tu, Bu, bukan enggak mampu ngasih Danu, tapi biar dia mikir kalau jadi laki itu tugasnya apa. Enggak bisanya
“Kalau begitu, maaf Mbak aku tidak bisa terima ini. Ada harga diri suamiku yang harus aku jaga. Lebih baik seperti gembel, tapi tidak direndahkan dari pada berpenampilan mewah selalu direndahkan.” Kukembalikan set perhiasan cantik itu pada Mbak Nur.“Halah, Ta, harga diri apa yang kamu maksud? Orang miskin itu enggak punya harga diri!” teriak Mbak Nur. Dia pasti tersinggung aku tidak mau menerima pemberiannya.“Mah, masuk!” Mas Danu menyeret tangan Mbak Nur untuk masuk ke dalam. Untung saja sudah sepi kalau masih banyak orang pasti kami malu karena menjadi tontonan gratis.Ibu dan bapak terlihat sendu mereka pasti sedih anaknya tidak akur.Di jalan hingga kami semua tidur tidak ada satu pun yang membahas masalah tadi. Selain takut pada ibu dan bapak Mbak Susi juga tipe orang yang sedikit cuek.🌸🌸🌸🌸Paginya benar saja ada MUA datang untuk memake-over kami.Karena ibu dan bapak menyuruhku memakai seragam itu akhirnya aku mau, Mas Danu memakai batik baru yang dibelikan ibu.Kami dat
Sampai rumah ibu tidak ada yang berani menegurku, baik ibu, bapak, ataupun Mas Danu. Mungkin mereka paham akan perasaanku.“Bu, besok aku pulang, boleh?” tanyaku, kami sedang makan malam.“Boleh, tapi sebenarnya Ibu sama Bapak masih kangen sama Kia,” jawab bapak. Mata kami bertemu ada gurat kesedihan di sana.“Iya, ibu juga masih kangen sama Kia,” sahut ibu.“Aku kan, dagang, Bu. Kalau lama enggak dagang nanti pelanggan pada nyariin udah gitu lusa Mas Danu harus ke sangkal Putung lagi,” jawabku beralasan.“Ya, sudah kalau mau kamu begitu tidak apa-apa. Kami mengerti,” timpal bapak. Beliau memaksakan bibirnya untuk tersenyum.Tidak ada obrolan lain, hanya itu. Mas Danu pun diam saja, aku rasa dia bingung mau ngomong apa padaku.Menjelang tengah malam semua kakak-kakakku datang. Ramai sekali. Mereka dua keluarga sekaligus membawa anak-anaknya karena aku tidak mendengar suara Mas Agung ataupun Mbak Nur.Aku pura-pura tidur, aku belum mau bertemu mereka. Sakit hatiku masih sangat membekas
“Kami hanya ingin menjaga imagemu, Ta,” ucap Mbak Susi.“Cukup! Ita mungkin sedang istirahat dia capek. Kalian harusnya paham,” ucap ibu.“Kalian pulang saja, Ita belum mau ketemu.Bapak juga kecewa pada kalian. Di mana pikiran dan hati nurani kalian sampai tega berbuat begitu pada adik kalian sendiri!” bentak bapak.“Kok Bapak sama Ibu jadi belain Ita sama si cacat itu, si!” teriak Mbak Ning.“Kami membela yang benar. Kalian silakan pulang!” usir ibu.“Sama aja, Bu itu namanya belain mereka! Bu, buka dong, mata hati Ibu. Selama ini kalau ada apa-apa yang gerak cepat kami yang biayain juga kami, kenapa Ibu lebih membela si miskin yang cacat ini?” teriak Mbak Ning.Plak!Suara tamparan dan jeritan Mbak Ning, memekakkan telingaku.“Jaga mulutmu, Ning! Kami tidak pernah mengajarimu seperti ini.” Ibu berteriak di sela Isak tangisnya.“Rupanya harta sudah membutakan mata kalian. Sampai-sampai kalian menindas saudara kalian sendiri yang tidak punya. Malu, Ning, mau!” teriak ibu lagi.“Ibu
“Aku cari Ibu, Mbak,” jawabku.“Ibu, lagi ke warung. Ada apa?”“Mau kasih oleh-oleh ini dari kampung.” Kuberikan oleh-oleh itu pada Mbak Lili.“Apa ini?” Mbak Lili mengendus-endus plastik berisi oleh-oleh yang kukasih, persis kucing.“Makanan kampung begini kamu kasihkan kami, Ta. Kami enggak doyan dan enggak level.”Pluk!Satu kantong plastik oleh-oleh dariku dia masukan tong sampah.“Ya, sudah Mbak aku permisi.”“Eh, tunggu dulu. Enak aja main pergi. Sini aku mau ngomong sama kamu!” Mbak Lili memaksaku masuk dan mengunci pintu.“Ada apa Mbak? Kenapa pintunya dikunci?” aku sangat khawatir Mbak Lili akan berbuat nekat padaku.“Sini dulu, ini tolong potongin rambutku kayak yang di tik tok itu, ya?” Aku enggak paham hanya mengangguk saja.Mbak Lili menjelaskan padaku caranya aku ikuti saja.“Ta, bagus kan, jadinya rambutku?” Aku mengiyakan.“Guntingnya tajam kan, Ta?”“Iya, Mbak tajam, kenapa?”“Kalau untuk gunting anumu mantap kali, ya, Ta,” ucap Mbak Lili dia menyeringai jahat.Aku g
Assalamualaikum my readers untuk bab ini aku tulis berdasarkan kisah nyata ya ... jadi tidak ada maksud fitnah di didalamnya. Mohon bijak dalam mencerna setiap yang tertulis.🙏☺️Tererengkiyuuuu sudah support aku sejauh ini, maaf sekali aku tidak bisa balas komentar kalian satu per satu, tapi aku baca semua kok komentarnya 😁 bagi yang belum follow akunku cuusss follow 🙏I love you all❤️🌸🌸🌸“Ta, Ita!” Suara Mbak Asih memanggil membuatku mau tak mau membuka pintu.Bukannya dia harusnya dagang ya, kenapa ada di sini.“Ya, Mbak ada apa?”“Ini ada kupon gratis beli pecel lele free es teh, kamu datang ya ke warungku nanti malam.”“Insya Allah Mbak, kalau Mas Danu sudah pulang nanti aku ke sana.”“Iya, ajak sekalian Danu, kamu kan, belum pernah tuh, beli ke warungku. Masa saudara dagang enggak mau beli. Pelit banget.”“He-he ... iya, Mbak. Insya Allah.”“Harus datang dong, kan, dekat. Tinggal jalan kaki doang sampai enggak harus naik pesawat.”“He’em ... Insya Allah.”Mba Asih pergi d
“Pesan kok cuma sebungkus, Dan. Sudah enggak pernah beli,” jawab Mbak Asih.“He, maaf Mbak, kami baru datang malam ini, karena Mbak pasti tahulah alasannya,” kata Mas Danu. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Ya, aku tahu. Pasti kamu enggak punya duit, kan? Hidup kok susah melulu Dan, kapan kamu bisa nyenengin kami semua,” omel Mbak Asih.“Ya, sudah sana duduk tunggu dulu, ini aku masih buatkan untuk 3 orang lagi, kasihan mereka sudah nunggu dari tadi.” Aku dan Mas Danu mencari tempat duduk yang kosong.“Alhamdulillah warung Mbak Asih rame banget ya, Mas. Aku senang kalau lihat orang buka usaha terus ramai pembelinya,” kataku sambil memperhatikan sekeliling. Mereka para pembeli sepertinya sangat menikmati sekali pecel lele buatan Mbak Asih."Alhamdulillah, Dik. Mas juga ikut senang. Semoga warung Mbak Asih setiap harinya selalu ramai," sahut Mas Danu."Aamiin ...." jawabku tulus.Kia minta turun karena dia lihat ada kucing di bawah meja. Aku menurunkan Kia dari gendongan. Kucin