“Kenapa jadi melow-melowan gini, si, yuk, buruan pada mandi gantian nanti kalau si Nur pulang main serobot lagi. Bapak bisa pusing lagi,” ujar bapak. Kemudian beliau memapah Mas Danu untuk berdiri.Sebenarnya Mas Danu jalannya sudah lumayan lancar hanya belum bisa jalan jauh, masih suka ngilu kalau sudah menempuh jarak yang lumayan jauh.Kami berangkat ke rumah Mbak Ning setelah Maghrib menggunakan mobil Mbak Nur. Masya Allah acaranya memang meriah. Dekorasi pelaminan pengantin sunat saja sebagus itu.Mbak Ning dan suaminya menyambut kami dengan suka cita. Hanya saja mereka tidak mau bersalaman dengan Mas Danu. Untung ada bapak dan Ibu juga Mas Agung yang menguatkan aku dan Mas Danu. Kalau tidak ada mending aku pulang saja.Mbak Ning menimang-nimang Kia, kami disuguhi makanan. Malam ini ada pengajian setelah nanti salat Isya. Aku ikut turut bahagia melihat kebagian saudari-saudariku.Setelah salat Isya kami memberikan amplop pada Mbak Ning.Mbak Ning menerima amplop dari ibu, Mbak
“Ini emas, Bapak sama Ibu ngumpulin dari sejak kalian semua tamat sekolah SMA. Alhamdulillah terkumpul segini,” ucap ibu berbinar.“Ini kalian masing-masing mendapatkan 15 gram. Yang 10 gram logam mulia dan yang 5 gram perhiasan. Kalian boleh memilih yang kalian suka semuanya dapat bagian yang sama,” kata ibu lagi.Mbak Ning mengambil emas itu dari tangan ibu. Lalu mencebiknya.“Bu, aku sudah punya banyak perhiasan emas, bahkan aku punya berlian juga, maaf ya, enggak aku pakai, tapi aku simpan pemberian Ibu. Aku ambil kalungnya.“Sama aku juga, Bu. Aku ambil, tapi enggak aku pakai ya, aku ambil gelangnya,” ucap Mbak Nur.“Antingku hilang entah ke mana jadi aku ambil antingnya saja ini langsung aku pakai Bu, tapi nanti kalau aku sudah beli yang lebih gede gramnya aku simpan ya, Bu,” ujar Mbak Susi.Tibalah giliranku. Aku gemetaran mengambil itu mataku berkaca-kaca.“Bu, ini benar untuk kami?” tanyaku meyakinkan.“Iya, Nak,” jawab ibu.“Maaf, Bu, bukan berarti aku menolak pemberian Ibu,
“Ish, kamu lupa, Ta? Waktu kita vidio callan, kan, aku sudah bilang kalau enggak ada seragam untuk Danu. Meski dia suamimu, tapi kamu tahu kan, kalau aku tidak suka. Aku juga kan, sudah bilang kamu beli sendiri batik warna gold untuk Danu. Memang kami enggak beli?” Cerocos Mbak Ning. “Ck, Mbak Ning ini gimana? Ya, Ita enggak bakalan beli, dia loh enggak punya uang,” sahut Mbak Nur. “Ita, sabar ya, Sayang. Ini Ibu belikan batik untuk Danu.” Ibu mengeluarkan paper bag berisi baju batik untuk Mas Danu. “Hu, Ibu ini enggak adil. Menantu yang siang malam jungkir balik, kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala berusaha untuk nyenengin anak perempuannya enggak pernah tuh, Ibu belikan baju batik. Apa lagi ini batik bermerk. Giliran si pincang yang enggak pernah kasih uang ke Ibu dan Bapak, juga enggak nyenengin anak perempuan Ibu malah Ibu belain sampai dibelikan baju batik mahal. Aku tu, Bu, bukan enggak mampu ngasih Danu, tapi biar dia mikir kalau jadi laki itu tugasnya apa. Enggak bisanya
“Kalau begitu, maaf Mbak aku tidak bisa terima ini. Ada harga diri suamiku yang harus aku jaga. Lebih baik seperti gembel, tapi tidak direndahkan dari pada berpenampilan mewah selalu direndahkan.” Kukembalikan set perhiasan cantik itu pada Mbak Nur.“Halah, Ta, harga diri apa yang kamu maksud? Orang miskin itu enggak punya harga diri!” teriak Mbak Nur. Dia pasti tersinggung aku tidak mau menerima pemberiannya.“Mah, masuk!” Mas Danu menyeret tangan Mbak Nur untuk masuk ke dalam. Untung saja sudah sepi kalau masih banyak orang pasti kami malu karena menjadi tontonan gratis.Ibu dan bapak terlihat sendu mereka pasti sedih anaknya tidak akur.Di jalan hingga kami semua tidur tidak ada satu pun yang membahas masalah tadi. Selain takut pada ibu dan bapak Mbak Susi juga tipe orang yang sedikit cuek.🌸🌸🌸🌸Paginya benar saja ada MUA datang untuk memake-over kami.Karena ibu dan bapak menyuruhku memakai seragam itu akhirnya aku mau, Mas Danu memakai batik baru yang dibelikan ibu.Kami dat
Sampai rumah ibu tidak ada yang berani menegurku, baik ibu, bapak, ataupun Mas Danu. Mungkin mereka paham akan perasaanku.“Bu, besok aku pulang, boleh?” tanyaku, kami sedang makan malam.“Boleh, tapi sebenarnya Ibu sama Bapak masih kangen sama Kia,” jawab bapak. Mata kami bertemu ada gurat kesedihan di sana.“Iya, ibu juga masih kangen sama Kia,” sahut ibu.“Aku kan, dagang, Bu. Kalau lama enggak dagang nanti pelanggan pada nyariin udah gitu lusa Mas Danu harus ke sangkal Putung lagi,” jawabku beralasan.“Ya, sudah kalau mau kamu begitu tidak apa-apa. Kami mengerti,” timpal bapak. Beliau memaksakan bibirnya untuk tersenyum.Tidak ada obrolan lain, hanya itu. Mas Danu pun diam saja, aku rasa dia bingung mau ngomong apa padaku.Menjelang tengah malam semua kakak-kakakku datang. Ramai sekali. Mereka dua keluarga sekaligus membawa anak-anaknya karena aku tidak mendengar suara Mas Agung ataupun Mbak Nur.Aku pura-pura tidur, aku belum mau bertemu mereka. Sakit hatiku masih sangat membekas
“Kami hanya ingin menjaga imagemu, Ta,” ucap Mbak Susi.“Cukup! Ita mungkin sedang istirahat dia capek. Kalian harusnya paham,” ucap ibu.“Kalian pulang saja, Ita belum mau ketemu.Bapak juga kecewa pada kalian. Di mana pikiran dan hati nurani kalian sampai tega berbuat begitu pada adik kalian sendiri!” bentak bapak.“Kok Bapak sama Ibu jadi belain Ita sama si cacat itu, si!” teriak Mbak Ning.“Kami membela yang benar. Kalian silakan pulang!” usir ibu.“Sama aja, Bu itu namanya belain mereka! Bu, buka dong, mata hati Ibu. Selama ini kalau ada apa-apa yang gerak cepat kami yang biayain juga kami, kenapa Ibu lebih membela si miskin yang cacat ini?” teriak Mbak Ning.Plak!Suara tamparan dan jeritan Mbak Ning, memekakkan telingaku.“Jaga mulutmu, Ning! Kami tidak pernah mengajarimu seperti ini.” Ibu berteriak di sela Isak tangisnya.“Rupanya harta sudah membutakan mata kalian. Sampai-sampai kalian menindas saudara kalian sendiri yang tidak punya. Malu, Ning, mau!” teriak ibu lagi.“Ibu
“Aku cari Ibu, Mbak,” jawabku.“Ibu, lagi ke warung. Ada apa?”“Mau kasih oleh-oleh ini dari kampung.” Kuberikan oleh-oleh itu pada Mbak Lili.“Apa ini?” Mbak Lili mengendus-endus plastik berisi oleh-oleh yang kukasih, persis kucing.“Makanan kampung begini kamu kasihkan kami, Ta. Kami enggak doyan dan enggak level.”Pluk!Satu kantong plastik oleh-oleh dariku dia masukan tong sampah.“Ya, sudah Mbak aku permisi.”“Eh, tunggu dulu. Enak aja main pergi. Sini aku mau ngomong sama kamu!” Mbak Lili memaksaku masuk dan mengunci pintu.“Ada apa Mbak? Kenapa pintunya dikunci?” aku sangat khawatir Mbak Lili akan berbuat nekat padaku.“Sini dulu, ini tolong potongin rambutku kayak yang di tik tok itu, ya?” Aku enggak paham hanya mengangguk saja.Mbak Lili menjelaskan padaku caranya aku ikuti saja.“Ta, bagus kan, jadinya rambutku?” Aku mengiyakan.“Guntingnya tajam kan, Ta?”“Iya, Mbak tajam, kenapa?”“Kalau untuk gunting anumu mantap kali, ya, Ta,” ucap Mbak Lili dia menyeringai jahat.Aku g
Assalamualaikum my readers untuk bab ini aku tulis berdasarkan kisah nyata ya ... jadi tidak ada maksud fitnah di didalamnya. Mohon bijak dalam mencerna setiap yang tertulis.🙏☺️Tererengkiyuuuu sudah support aku sejauh ini, maaf sekali aku tidak bisa balas komentar kalian satu per satu, tapi aku baca semua kok komentarnya 😁 bagi yang belum follow akunku cuusss follow 🙏I love you all❤️🌸🌸🌸“Ta, Ita!” Suara Mbak Asih memanggil membuatku mau tak mau membuka pintu.Bukannya dia harusnya dagang ya, kenapa ada di sini.“Ya, Mbak ada apa?”“Ini ada kupon gratis beli pecel lele free es teh, kamu datang ya ke warungku nanti malam.”“Insya Allah Mbak, kalau Mas Danu sudah pulang nanti aku ke sana.”“Iya, ajak sekalian Danu, kamu kan, belum pernah tuh, beli ke warungku. Masa saudara dagang enggak mau beli. Pelit banget.”“He-he ... iya, Mbak. Insya Allah.”“Harus datang dong, kan, dekat. Tinggal jalan kaki doang sampai enggak harus naik pesawat.”“He’em ... Insya Allah.”Mba Asih pergi d
~k~u 🌸🌸🌸“Mas, siapa perempuan ini?” Akhirnya kutanyakan langsung foto yang tadi siang dikirim oleh paman.Mas Danu mengerutkan keningnya matanya menatapku penuh selidik.“Ini nomor Paman Mas, lihat tuh, WA-nya dari atas,” jelasku. Mas Danu memang tidak paham jika pakai smartphone.“Ini dikirim tadi pagi kenapa enggak bilang langsung, Dik?”“Gimana mau bilang kan, Mas sibuk di toko.”“Siapa wanita berbaju orange itu, Mas?” cecarku.“Itu ... em, tapi kamu jangan marah, ya?” Mendengar jawaban Mas Danu justru aku semakin takut. Takut kalau apa yang aku pikirkan benar.“Jawablah, Mas jangan berkelit gitu.”“Namanya Maya, dia teman sekolah Mas waktu SD. Waktu itu tanpa sengaja bertemu di toko. Setelah pertemuan pertama dia sering datang dan banyak bercerita tentang rumah tangganya ....” Mas Danu menjeda ceritanya.Aku sudah berkeringat panas padahal suhu udara malam ini dingin karena tadi sore hujan sangat deras dan sekarang pun masih gerimis kecil.“Karena Mas kasihan makanya Mas seri
“Enggak bersih berarti tidak ada acara masuk rumah.” Mamah Atik ikut menimpali.“Apa ini sudah cukup, Bu?” tanya Evi memperlihatkan irik yang berisi pucuk daun singkong.“Belum! Petik yang banyak, di rumah banyak orang jadi banyak juga yang makan kalau cuma segini habis sama kamu aja!” Mamah Atik pun tidak kalah sengit memarahi Evi.“Aku adukan kalian sama Mas Danu biar kapok!” Ancam Evi.“Adukan saja sana! Danu tidak akan pernah ambil pusing,” jawab Mamah Atik.“Paman, jangan main HP terus nanti HP-nya masuk parit kami lagi yang disalahin dan suruh ganti,” kataku agak kuat karena jarak kami lumayan jauh.“Eh, iya, Ya. Ini aku hanya kirim pesan pada Danu saja,” jawab paman.Benar saja setelah kucek ponsel Mas Danu yang ada di saku celanaku ternyata ada pesan masuk lagi dari paman.[Keputusanmu akan menentukan nasib rumah tanggamu, Dan. Cepat katakan iya atau tidak!]Lagi hanya kubaca saja. Aku tidak berminat sama sekali untuk membalas.“Sudah ada gledek, tuh! Buruan nanti keburu turun
🌸🌸🌸Hidup sejatinya adalah perjalanan. Sekarang tergantung kita mau pilih jalan yang mana. Di depan sana ada banyak sekali rintangannya. Berkelok-kelok, lurus mulus, licin berlumpur atau naik turun.Aku menghela nafas berat saat membaca pesan dari paman Mas Danu. Pesan itu langsung kuteruskan ke ponselku.Paman Mas Danu sebenarnya belum selesai berbicara dengan Mas Danu hanya saja tadi tiba-tiba Joko menelepon ada pelanggan tetap mau belanja bulanan dan jumlahnya sangat banyak. Makanya Mas Danu buru-buru pergi ke toko.Paman dan juga Evi kami persilakan untuk menunggu di rumah. Bagaimana pun juga mereka adalah tamu.‘... Barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya .... HR. Bukhari dan Muslim.Aku memang bukan seorang yang mulus tanpa dosa, tapi aku akan selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun meski dianggap bodoh.Bapakku selalu berpesan untuk selalu berbuat baik meski kita dimanfaatkan, meski kita tidak dianggap. Karena kebaikan itu aka
~k~u🌸🌸🌸“Loh, siapa kamu!” tegur Mamah Atik saat melihat pria seumuran bapak main nyelonong duduk di teras rumah tanpa permisi.Kami sedang berjemur sekalian menyuapi Kia. Beberapa hari ini hujan terus udara di sini pun sangat dingin.Orang itu bukannya menyahut malah menyalakan rokok.“Paman, ini sarapannya. Nasi uduk aja, ya? Duitku nipis,” ucap Evi. Kami kaget ternyata itu pamannya Mas Danu.“Kamu itu kenapa juga beli beginian. Rumah Mamasmu ini besar gendongan tentunya di dalam banyak makanan. Makan nasi uduk begini Paman mules perutnya.”“Kalian ngapain lihat-lihat! Sekarang mana Mas Danu. Aku mau ketemu Mas Danu,” bentak Evi pada kami.Baru saja aku hendak menyangkal ucapan Evi, Mas Danu sudah ke luar rumah.“Masss ....” Evi lari menghampiri Mas Danu.“Danu. Akhirnya kita bisa bertemu lagi. Paman dari kemarin sudah ada di sini, tapi anak buahmu bilang kamu ada urusan keluarga dan enggak pulang.” Orang yang mengaku Paman Mas Danu pun tergopoh-gopoh menghampiri Mas Danu.Mas Da
Assalamualaikum everyone ....Alhamdulillah bisa up bab baru. Yuk, bantu follow akunku 😍🌸🌸🌸“Sini, Ta, biar Mamah yang telepon, Joko!” Kuberikan ponselku pada Mamah.Tidak menunggu lama telepon tersambung.“Halo, Mas Joko! Ini Mamah Atik. Tolong itu barang-barang yang mau diangkut sama Susi ambil lagi!”“Loh, a—nu, Bu. Itu katanya sudah dapat izin dari Ita,” jawab Mas Joko terbata pasti Mas Joko kaget Mamah Atik to the poin begitu.“Enggak! Baik Ita ataupun Danu enggak ada yang izinin. Di mana Susi? Apa sudah pulang?”“Be—lum, Bu. Ma—sih nimbang telur.”“Dasar orang tidak tahu malu. Pokoknya aku enggak mau tahu, ya, ambil lagi apa yang mau diangkut Susi kalau enggak gaji kamu bulan ini tidak aku berikan!” Ancam Mamah Atik.“Aduh! Ba—ik, Bu.”Tuuuutt ....Mamah mematikan telepon.“Ini, Ta. 10 menit lagi kita telepon Joko. Kamu itu menyek-menyek jadi orang makanya saudara-saudara kamu itu selalu saja meremehkanmu.”“Aku hanya tidak ingin hubungan yang sudah tidak baik makin tidak b
Hatiku panas mendengar perempuan lain mengagumi suamiku.“Mana anakmu kenapa tidak kamu ajak?” tanya Mas Danu.“Mas aku capek loh, nungguin kamu panas dan haus juga kamu malah tega tanya ini dan itu di sini,” rengeknya.Kami masuk dan Evi membuntuti kami.“Mas, rumahmu bagus banget ya, pantas paman selalu membanggakan kamu.” Mas Danu diam saja. Dia fokus minum dan menikmati donat yang kusuguhkan.“Danu, kamu makan dulu. Pasti kamu lapar,” titah Mamah Atik.“Iya, Mah. Dik, temani Mas makan, ya?”“Aku juga mau makan Mas. Yuk, aku temani.” Evi gegas berdiri dan menarik tangan Mas Danu.“Bukan Dik, kamu. Itu panggilan untuk istriku. Aku memanggilmu dengan namamu saja.” Mas Danu menampik tangan Evi. Dia seperti menahan malu.“Mas meja makanmu bagus banget. Seumur-umur aku baru lihat,” ucap Evi. Dia langsung duduk dan mengambil makan tanpa kami suruh terlebih dahulu.“Evi, sebentar lagi kami mau pergi sebaiknya kamu pulang dulu. Rumah ini akan kami kosongkan.”“Apa? Ya ampun, Mas! Aku jauh-
“Terserah Mbak aja mau bilang apa,” sungutku.“Eh, Ta. Aku cuma mau kasih tahu, ini Ibu lagi sakit, tadi pas ambil wudu untuk salat Zuhur terpeleset dan jatuh. Kami sudah bawa ke klinik. Ibu sekarang di rawat. Kamu ke sini, ya? Eh, jangan lupa bawa uang kami tidak ada duit untuk bayar biaya rawat Ibu.” Sebenarnya aku sangat syok dan juga sedih mendengar kabar ini, tapi karena yang memberi tahu adalah Mbak Susi aku jadi kesal padanya.“I—ya, Mbak. Insya Allah aku ke sana.”“Jangan pakai insya Allah, Ta! Kamu harus segera ke sini!”“Iya, Mbak. Insya Allah.”“Kamu itu insya Allah terus. Aku ti ....” Tuuutt! Kumatikan telepon. Percuma saja ngasih tahu Mbak Susi.Ponsel kembali berdering. Tapi, tidak kujawab. Biarkan saja. Mbak Susi itu bisanya ngajak ribut saja.“Siapa, Ta. Kok kayaknya kamu kesal gitu?”“Mbak Susi, Mah. Ngasih tahu kalau ibu masuk rumah sakit. Jatuh di kamar mandi,” jawabku sedih.“Innalillahi wa’innailaihiroji’un. Terus gimana kondisi ibumu, Ta?”“Aku enggak tanya sama
*Cinta adalah perbuatan. kata-kata dan tulisan indah hanyalah omong kosong! (Tere Liye)*Assalamualaikum semuaaaaaaa senang sekali Danu kembali hadir. Semoga kalian sehat dan bahagia selalu. Bantu follow, yuk!🌸🌸🌸 “Maaf siapa, ya?”Bukannya menjawab pertanyaanku justru perempuan ini nyelonong masuk begitu saja lalu duduk manis di sofa.“Eh, siapa kamu! Datang-datang enggak sopan!” bentak Mamah Atik.“Perkenalkan aku Evi, adik Mas Danu,” ucapnya bangga.Aku dan Mamah Atik saling berpandangan. Mamah Atik seolah menanyakan apa benar. Aku hanya menggeleng tidak tahu.“Salah alamat kali. Kan, banyak ‘tu yang namanya Danu,” ujar Mamah Atik lagi.“Enggak, dong! Nih, lihat!” Wanita yang bernama Evi ini memperlihatkan foto Mas Danu. Dari mana dia dapat foto terbaru Mas Danu. Itu foto diambil dua hari yang lalu saat kami jalan-jalan ke air terjun. Itu foto bersamaku bisa-bisanya fotonya dicrop begitu saja.“Iya, benar ini Danu anakku, dan ini Ita istri Danu,” ucap Mamah Atik. Wanita yang b
“Mainan sama Kia. Anakmu ini cantik dan pintar sekali ya, Dan. Aku jadi pingin punya anak,” jawab Mbak Asih seolah-olah dia tidak sedang sakit.“Alhamdulillah iya, Mbak.“ Mas Danu memangku Kia. Aku ikut duduk di lantai bersama mereka.“Mbak Asih kemarin ke mana sih, katanya kerja kok, enggak pulang?” tanyaku hati-hati. Mbak Asih hanya menggeleng saja.“Mbak Asih, Ita itu mau ngajak shopping beli baju baru. Eh, malahan Mbak Asih enggak pulang-pulang,” kata Mas Danu lagi.“Harusnya kamu telepon dulu, Ta. Jangan main asal tunggu. Kalau kamu kasih tahu mau ngajakin aku shopping pasti aku enggak mau janjian sama Mas Roni,” jawab Mbak Asih sambil menoyor kepalaku.“Oh, jadi Mbak Asih pergi shopping sama Mas Roni?” tanyaku.“Bukan shopping sih, tapi bulan madu. Kami tidur di hotel.” Mendengar pengakuan Mbak Asih Mas Danu sangat marah. Aku pun kaget. Kalau sudah ngomongin hotel sudah pasti ada bumbu-bumbu di dalamnya.“Mbak, harusnya jangan mau diajak Mas Roni kalau enggak shopping. Enak shop