Sampai rumah ibu tidak ada yang berani menegurku, baik ibu, bapak, ataupun Mas Danu. Mungkin mereka paham akan perasaanku.“Bu, besok aku pulang, boleh?” tanyaku, kami sedang makan malam.“Boleh, tapi sebenarnya Ibu sama Bapak masih kangen sama Kia,” jawab bapak. Mata kami bertemu ada gurat kesedihan di sana.“Iya, ibu juga masih kangen sama Kia,” sahut ibu.“Aku kan, dagang, Bu. Kalau lama enggak dagang nanti pelanggan pada nyariin udah gitu lusa Mas Danu harus ke sangkal Putung lagi,” jawabku beralasan.“Ya, sudah kalau mau kamu begitu tidak apa-apa. Kami mengerti,” timpal bapak. Beliau memaksakan bibirnya untuk tersenyum.Tidak ada obrolan lain, hanya itu. Mas Danu pun diam saja, aku rasa dia bingung mau ngomong apa padaku.Menjelang tengah malam semua kakak-kakakku datang. Ramai sekali. Mereka dua keluarga sekaligus membawa anak-anaknya karena aku tidak mendengar suara Mas Agung ataupun Mbak Nur.Aku pura-pura tidur, aku belum mau bertemu mereka. Sakit hatiku masih sangat membekas
“Kami hanya ingin menjaga imagemu, Ta,” ucap Mbak Susi.“Cukup! Ita mungkin sedang istirahat dia capek. Kalian harusnya paham,” ucap ibu.“Kalian pulang saja, Ita belum mau ketemu.Bapak juga kecewa pada kalian. Di mana pikiran dan hati nurani kalian sampai tega berbuat begitu pada adik kalian sendiri!” bentak bapak.“Kok Bapak sama Ibu jadi belain Ita sama si cacat itu, si!” teriak Mbak Ning.“Kami membela yang benar. Kalian silakan pulang!” usir ibu.“Sama aja, Bu itu namanya belain mereka! Bu, buka dong, mata hati Ibu. Selama ini kalau ada apa-apa yang gerak cepat kami yang biayain juga kami, kenapa Ibu lebih membela si miskin yang cacat ini?” teriak Mbak Ning.Plak!Suara tamparan dan jeritan Mbak Ning, memekakkan telingaku.“Jaga mulutmu, Ning! Kami tidak pernah mengajarimu seperti ini.” Ibu berteriak di sela Isak tangisnya.“Rupanya harta sudah membutakan mata kalian. Sampai-sampai kalian menindas saudara kalian sendiri yang tidak punya. Malu, Ning, mau!” teriak ibu lagi.“Ibu
“Aku cari Ibu, Mbak,” jawabku.“Ibu, lagi ke warung. Ada apa?”“Mau kasih oleh-oleh ini dari kampung.” Kuberikan oleh-oleh itu pada Mbak Lili.“Apa ini?” Mbak Lili mengendus-endus plastik berisi oleh-oleh yang kukasih, persis kucing.“Makanan kampung begini kamu kasihkan kami, Ta. Kami enggak doyan dan enggak level.”Pluk!Satu kantong plastik oleh-oleh dariku dia masukan tong sampah.“Ya, sudah Mbak aku permisi.”“Eh, tunggu dulu. Enak aja main pergi. Sini aku mau ngomong sama kamu!” Mbak Lili memaksaku masuk dan mengunci pintu.“Ada apa Mbak? Kenapa pintunya dikunci?” aku sangat khawatir Mbak Lili akan berbuat nekat padaku.“Sini dulu, ini tolong potongin rambutku kayak yang di tik tok itu, ya?” Aku enggak paham hanya mengangguk saja.Mbak Lili menjelaskan padaku caranya aku ikuti saja.“Ta, bagus kan, jadinya rambutku?” Aku mengiyakan.“Guntingnya tajam kan, Ta?”“Iya, Mbak tajam, kenapa?”“Kalau untuk gunting anumu mantap kali, ya, Ta,” ucap Mbak Lili dia menyeringai jahat.Aku g
Assalamualaikum my readers untuk bab ini aku tulis berdasarkan kisah nyata ya ... jadi tidak ada maksud fitnah di didalamnya. Mohon bijak dalam mencerna setiap yang tertulis.🙏☺️Tererengkiyuuuu sudah support aku sejauh ini, maaf sekali aku tidak bisa balas komentar kalian satu per satu, tapi aku baca semua kok komentarnya 😁 bagi yang belum follow akunku cuusss follow 🙏I love you all❤️🌸🌸🌸“Ta, Ita!” Suara Mbak Asih memanggil membuatku mau tak mau membuka pintu.Bukannya dia harusnya dagang ya, kenapa ada di sini.“Ya, Mbak ada apa?”“Ini ada kupon gratis beli pecel lele free es teh, kamu datang ya ke warungku nanti malam.”“Insya Allah Mbak, kalau Mas Danu sudah pulang nanti aku ke sana.”“Iya, ajak sekalian Danu, kamu kan, belum pernah tuh, beli ke warungku. Masa saudara dagang enggak mau beli. Pelit banget.”“He-he ... iya, Mbak. Insya Allah.”“Harus datang dong, kan, dekat. Tinggal jalan kaki doang sampai enggak harus naik pesawat.”“He’em ... Insya Allah.”Mba Asih pergi d
“Pesan kok cuma sebungkus, Dan. Sudah enggak pernah beli,” jawab Mbak Asih.“He, maaf Mbak, kami baru datang malam ini, karena Mbak pasti tahulah alasannya,” kata Mas Danu. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Ya, aku tahu. Pasti kamu enggak punya duit, kan? Hidup kok susah melulu Dan, kapan kamu bisa nyenengin kami semua,” omel Mbak Asih.“Ya, sudah sana duduk tunggu dulu, ini aku masih buatkan untuk 3 orang lagi, kasihan mereka sudah nunggu dari tadi.” Aku dan Mas Danu mencari tempat duduk yang kosong.“Alhamdulillah warung Mbak Asih rame banget ya, Mas. Aku senang kalau lihat orang buka usaha terus ramai pembelinya,” kataku sambil memperhatikan sekeliling. Mereka para pembeli sepertinya sangat menikmati sekali pecel lele buatan Mbak Asih."Alhamdulillah, Dik. Mas juga ikut senang. Semoga warung Mbak Asih setiap harinya selalu ramai," sahut Mas Danu."Aamiin ...." jawabku tulus.Kia minta turun karena dia lihat ada kucing di bawah meja. Aku menurunkan Kia dari gendongan. Kucin
“Enggak kok, Mas, aku lagi fokus jalan ini, kan, gelap,” jawabku.Jarak rumah dari tempat dagang Mbak Asih memang tidak jauh, hanya menempuh perjalanan 10 menit saja itu juga jalan kaki santai.Kami lihat rumah ibu lampunya menyala semua tumben sekali biasanya ibu akan pelit ngidupin lampu demi menghemat listrik.“Ibu, kok, di luar?” tanya Mas Danu. Ibu diam saja pandangannya lurus ke depan tidak menoleh pada kami sama sekali.“Apa Ibu, sakit?” tanya Mas Danu lagi.“Mas, ayok, pulang. Mungkin Ibu lagi marah dengan kita makanya diam saja.“Ibu, aku pulang, ya?” Diam. Ibu sama sekali tidak menjawab.“Aneh,” gumas Mas Danu.Aku juga heran kenapa ibu jadi seperti orang linglung begitu. Mbak Lili juga tidak ada.“Mas, tunggu sebentar ya, aku buat sambal orek dulu.” Aku segera menyiapkan nasi dan membuat sambal. Kubuang sambal yang dapat beli dari Mbak Asih tadi.“Kenapa bikin sambal lagi, Dik? Bukannya tadi dapat sambal dari Mbak Asih?” tanya Mas Danu penasaran.Lalu kuceritakan semua yang
“Mbak Asih, lagi apa?” tanyaku heran. Tadi ibu bilang Mbak Asih sudah tidur, ini kok lagi gali-gali tanah dekat sumur di bawah pohon pisang.Ibu sama Mas Danu masih di rumah masih mencoba menghubungi Mas Eko. Aku pingin sekali ke toilet panggilan alam mendesak, makanya bisa tahu Mbak Asih sedang sibuk gali-gali tanah tengah malam begini.“Buang isi ikan sama jeroan ayam, Ta. Kalau enggak dikubur begini nanti akan bau,” jawab Mbak Asih gugup.“Oh, iya benar juga. Kalau bau busuk ke mana-mana. Ya, sudah aku masuk duluan ya, Mbak.”“Iya!” jawabnya singkat lalu masuk ke rumah.“Bagaimana Mas? Apa bisa dihubungkan nomor Mas Eko?”“Bisa, Dik, tapi tidak jawab. Mungkin sudah tidur tengah malam begini.”“Kasihan, Lili, Dan. Ke mana dia,” ucap Ibu.“Tunggu saja Bu, barangkali sebentar lagi Mbak Lilinya pulang,” sahutku.“Kamu enggak tahu apa-apa lebih baik diam!” bentak ibu padaku."Ini gara-gara istrimu yang bod*h ini Dan, jadi Eko nikah dia enggak kasih tahu kami. Atau barangkali dia sengaja
🌸🌸🌸🌸🌸“Donat! Bolu pisang!”“Donat! Bolu pisang!”"Donat! Bolu pisang!"Aku menjajakan kue buatanku ini keliling kampung, separuh sudah aku taruh di warung Wak Haji. Alhamdulillah tadi baru kutaruh saja sudah ada beberapa pembeli.Aku berangkat sejak selepas subuh tadi. Aku masih membawa pisau dapur yang sudah diasah sangat tajam oleh Mas Danu untuk jaga-jaga takut kejadian seperti malam itu.Aku pun sengaja tidak menaruh semua daganganku di warung Wak Haji, biar aku bisa keliling sekaligus mencari Mbak Lili.Sampai rumah kontrakan Mbak Desi masih sepi, tapi ada Mbak Lili di teras dia, memeluk lututnya. Tepat di depan pintu. Kasihan sekali. Lagi begitu aku merasa sangat kasihan.“Mbak Lili!” Aku teriak dan menghampiri dia. Mbak Lili kaget kemudian mencoba biasa saja. Di sebelahnya ada pisau dapur yang dibawa. Berarti ibu semalam tidak bohong.“Mbak, ngapain di sini ayo, pulang!” ajakku. Suaraku sengaja aku kuatkan agar Mas Eko dengar.“Enggak mau! Aku mau ketemu pelakor itu, mau