“Maaf ... maksudnya Mbak Nur apa, ya?” tanyaku sesopan mungkin. Aku memang sudah tahu maksud omongan Mbak Nur aku hanya ingin mengetesnya apa dia salah omong atau memang disengaja?“Gitu aja enggak, ngerti. Ya, itu suamimu kerjaan dari dulu kan, memang begitu enggak jelas. Buktinya hidup kalian susah terus,” jawab Mbak Nur tanpa direm.“Mbak, aku tahu Mbak enggak suka sama Mas Danu, tapi bukan berarti Mbak bisa seenak sendiri jelek-jelekin suamiku. Bagaimana pun dia suamiku. Surgaku ada padanya dan aku selama ini merasa dinafkahi olehnya. Mungkin memang kami tidak seperti Mbak yang banyak duit, tapi insya Allah kami bahagi. Ingat Mbak kebahagiaan orang tidak bisa disamakan. Mungkin Mbak Nur akan bahagia kalau banyak duit dan bisa beli ini itu, tapi bahagia bagi kamu tidak melulu diukur dengan uang,” jawabku tegas. Mbak Nur tidak benar-benar mendengarkan dia mencibir menirukan ucapanku dengan gerakan bibirnya yang maju, mundur, kanan, kiri.“Heloooo ... memang benar semua tidak diuku
“Setahuku memang begitu Mbak, temanku yang seorang bidan bilang semahal apa pun sufor masih tetap bagus ASI meski hanya makan pakai lauk bening bayam. Lagi pula sufor itu untuk orang yang bermasalah ASI-nya macet atau tidak keluar lagi. Mbak kan, sehat. Mbak hanya malas memberi anak ASI.”“Nah, tuh, dengerin Mah. Dulu Mas, juga udah bilang sama Mbakmu itu, Ta. Tetap aja dia ngeyel. Mas bilang besok aja kalau udh dua tahun kasih sufornya. Ini yang ada bayi baru lahir langsung dikasih sufor. Padahal ASI-nya Mbakmu itu bagus,” sahut suami Mbak Nur.“Apaan si, Pah, aku kan mau tetap seksi di mata kamu makanya aku pilih sufor, lagi pula kita kan mampu beli, uang kita banyak untuk apa kalau enggak untuk anak,” elak Mbak Nur.“Astaghfirullah ... Istighfar, Nak. Itu sudah jadi kodrat kamu sebagai wanita. Jika tidak ada uzur kamu tidak boleh seperti itu.” Bapak ikut berkomentar.“Bapak, ih, kok malah belain Ita, si? Lihat tuh, Dafa sama adiknya juga sehat, gemuk. Itu Kia, malah kurus kering pa
“Kenapa jadi melow-melowan gini, si, yuk, buruan pada mandi gantian nanti kalau si Nur pulang main serobot lagi. Bapak bisa pusing lagi,” ujar bapak. Kemudian beliau memapah Mas Danu untuk berdiri.Sebenarnya Mas Danu jalannya sudah lumayan lancar hanya belum bisa jalan jauh, masih suka ngilu kalau sudah menempuh jarak yang lumayan jauh.Kami berangkat ke rumah Mbak Ning setelah Maghrib menggunakan mobil Mbak Nur. Masya Allah acaranya memang meriah. Dekorasi pelaminan pengantin sunat saja sebagus itu.Mbak Ning dan suaminya menyambut kami dengan suka cita. Hanya saja mereka tidak mau bersalaman dengan Mas Danu. Untung ada bapak dan Ibu juga Mas Agung yang menguatkan aku dan Mas Danu. Kalau tidak ada mending aku pulang saja.Mbak Ning menimang-nimang Kia, kami disuguhi makanan. Malam ini ada pengajian setelah nanti salat Isya. Aku ikut turut bahagia melihat kebagian saudari-saudariku.Setelah salat Isya kami memberikan amplop pada Mbak Ning.Mbak Ning menerima amplop dari ibu, Mbak
“Ini emas, Bapak sama Ibu ngumpulin dari sejak kalian semua tamat sekolah SMA. Alhamdulillah terkumpul segini,” ucap ibu berbinar.“Ini kalian masing-masing mendapatkan 15 gram. Yang 10 gram logam mulia dan yang 5 gram perhiasan. Kalian boleh memilih yang kalian suka semuanya dapat bagian yang sama,” kata ibu lagi.Mbak Ning mengambil emas itu dari tangan ibu. Lalu mencebiknya.“Bu, aku sudah punya banyak perhiasan emas, bahkan aku punya berlian juga, maaf ya, enggak aku pakai, tapi aku simpan pemberian Ibu. Aku ambil kalungnya.“Sama aku juga, Bu. Aku ambil, tapi enggak aku pakai ya, aku ambil gelangnya,” ucap Mbak Nur.“Antingku hilang entah ke mana jadi aku ambil antingnya saja ini langsung aku pakai Bu, tapi nanti kalau aku sudah beli yang lebih gede gramnya aku simpan ya, Bu,” ujar Mbak Susi.Tibalah giliranku. Aku gemetaran mengambil itu mataku berkaca-kaca.“Bu, ini benar untuk kami?” tanyaku meyakinkan.“Iya, Nak,” jawab ibu.“Maaf, Bu, bukan berarti aku menolak pemberian Ibu,
“Ish, kamu lupa, Ta? Waktu kita vidio callan, kan, aku sudah bilang kalau enggak ada seragam untuk Danu. Meski dia suamimu, tapi kamu tahu kan, kalau aku tidak suka. Aku juga kan, sudah bilang kamu beli sendiri batik warna gold untuk Danu. Memang kami enggak beli?” Cerocos Mbak Ning. “Ck, Mbak Ning ini gimana? Ya, Ita enggak bakalan beli, dia loh enggak punya uang,” sahut Mbak Nur. “Ita, sabar ya, Sayang. Ini Ibu belikan batik untuk Danu.” Ibu mengeluarkan paper bag berisi baju batik untuk Mas Danu. “Hu, Ibu ini enggak adil. Menantu yang siang malam jungkir balik, kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala berusaha untuk nyenengin anak perempuannya enggak pernah tuh, Ibu belikan baju batik. Apa lagi ini batik bermerk. Giliran si pincang yang enggak pernah kasih uang ke Ibu dan Bapak, juga enggak nyenengin anak perempuan Ibu malah Ibu belain sampai dibelikan baju batik mahal. Aku tu, Bu, bukan enggak mampu ngasih Danu, tapi biar dia mikir kalau jadi laki itu tugasnya apa. Enggak bisanya
“Kalau begitu, maaf Mbak aku tidak bisa terima ini. Ada harga diri suamiku yang harus aku jaga. Lebih baik seperti gembel, tapi tidak direndahkan dari pada berpenampilan mewah selalu direndahkan.” Kukembalikan set perhiasan cantik itu pada Mbak Nur.“Halah, Ta, harga diri apa yang kamu maksud? Orang miskin itu enggak punya harga diri!” teriak Mbak Nur. Dia pasti tersinggung aku tidak mau menerima pemberiannya.“Mah, masuk!” Mas Danu menyeret tangan Mbak Nur untuk masuk ke dalam. Untung saja sudah sepi kalau masih banyak orang pasti kami malu karena menjadi tontonan gratis.Ibu dan bapak terlihat sendu mereka pasti sedih anaknya tidak akur.Di jalan hingga kami semua tidur tidak ada satu pun yang membahas masalah tadi. Selain takut pada ibu dan bapak Mbak Susi juga tipe orang yang sedikit cuek.🌸🌸🌸🌸Paginya benar saja ada MUA datang untuk memake-over kami.Karena ibu dan bapak menyuruhku memakai seragam itu akhirnya aku mau, Mas Danu memakai batik baru yang dibelikan ibu.Kami dat
Sampai rumah ibu tidak ada yang berani menegurku, baik ibu, bapak, ataupun Mas Danu. Mungkin mereka paham akan perasaanku.“Bu, besok aku pulang, boleh?” tanyaku, kami sedang makan malam.“Boleh, tapi sebenarnya Ibu sama Bapak masih kangen sama Kia,” jawab bapak. Mata kami bertemu ada gurat kesedihan di sana.“Iya, ibu juga masih kangen sama Kia,” sahut ibu.“Aku kan, dagang, Bu. Kalau lama enggak dagang nanti pelanggan pada nyariin udah gitu lusa Mas Danu harus ke sangkal Putung lagi,” jawabku beralasan.“Ya, sudah kalau mau kamu begitu tidak apa-apa. Kami mengerti,” timpal bapak. Beliau memaksakan bibirnya untuk tersenyum.Tidak ada obrolan lain, hanya itu. Mas Danu pun diam saja, aku rasa dia bingung mau ngomong apa padaku.Menjelang tengah malam semua kakak-kakakku datang. Ramai sekali. Mereka dua keluarga sekaligus membawa anak-anaknya karena aku tidak mendengar suara Mas Agung ataupun Mbak Nur.Aku pura-pura tidur, aku belum mau bertemu mereka. Sakit hatiku masih sangat membekas
“Kami hanya ingin menjaga imagemu, Ta,” ucap Mbak Susi.“Cukup! Ita mungkin sedang istirahat dia capek. Kalian harusnya paham,” ucap ibu.“Kalian pulang saja, Ita belum mau ketemu.Bapak juga kecewa pada kalian. Di mana pikiran dan hati nurani kalian sampai tega berbuat begitu pada adik kalian sendiri!” bentak bapak.“Kok Bapak sama Ibu jadi belain Ita sama si cacat itu, si!” teriak Mbak Ning.“Kami membela yang benar. Kalian silakan pulang!” usir ibu.“Sama aja, Bu itu namanya belain mereka! Bu, buka dong, mata hati Ibu. Selama ini kalau ada apa-apa yang gerak cepat kami yang biayain juga kami, kenapa Ibu lebih membela si miskin yang cacat ini?” teriak Mbak Ning.Plak!Suara tamparan dan jeritan Mbak Ning, memekakkan telingaku.“Jaga mulutmu, Ning! Kami tidak pernah mengajarimu seperti ini.” Ibu berteriak di sela Isak tangisnya.“Rupanya harta sudah membutakan mata kalian. Sampai-sampai kalian menindas saudara kalian sendiri yang tidak punya. Malu, Ning, mau!” teriak ibu lagi.“Ibu