Plak!
"Mas!" pekik wanita itu.
Satu tamparan mendarat di pipi Mas Rasha begitu tahu wanita yang berdiri di sampingnya kini menjadi adik maduku.
Sungguh aku tak menyangka, Mas Rasha yang selama ini begitu kucintai tega menancapkan luka yang begitu dalam.
Pandanganku nanar, dada bergemuruh hebat melihat kenyataan yang ada di depan mata. Dia berkhianat.
Mas Rasha bergeming. Aku meremas kuat celemek yang masih menempel di tubuh ini. Harusnya hari ini kami merayakan anniversary yang ke delapan. Sengaja aku menyiapkan makanan kesukaannya untuk merayakan hari pernikahan kami.
Aku ingin memberikannya kejutan. Sayangnya, justru aku yang mendapat kejutan lebih dulu.
Sekuat tenaga aku menahan gemuruh di dalam dada. Amarahku memuncak seumpama meriam yang siap untuk diledakkan. Tapi, sayang, aku tak selemah itu.
Aku menarik napas di dalam dada untuk melonggarkan napas yang terasa begitu sesak. Padanganku mengarah pada wanita yang berpakaian serba minim di depanku.
Sudut bibirnya terangkat dengan tatapan sinis yang menantang. Aku tidak tahu wanita seperti apa dia, juga tidak bisa menebak hal apa yang membuat Mas Rasha jatuh cinta dan menjadikannya istri ke dua.
"Sejak kapan?" lirihku.
"Satu bulan yang lalu." Wanita berambut pirang itu yang menjawab.
"Aku nggak nanya sama kamu!"
"Aku nggak peduli, yang jelas Mas Rasha saat ini bukan cuma milikmu. Tapi kita," balasnya dengan begitu percaya diri.
Aku membuang muka kemudian tersenyum sinis.
'Cih! Dia terlalu percaya diri,' batinku.
Aku menyilangkan kedua tangan di dada kemudian menelisik setiap inchi pada tubuhnya.
"Kamu pikir aku nggak tahu? Kamu rela menjadi gundik itu semua demi harta," sarkasku.
Tampak jelas wajahnya yang kini memerah menahan amarah. Mungkin karena aku sudah tahu kedoknya.
"Kalau ngomong jangan ngasal! Aku bukan wanita seperti itu. Aku tulus mencintai Mas Rasha," kilahnya.
Aku terkekeh. "Yakin?"
Sengaja kupancing emosinya. Aku sudah sangat hafal wanita seperti dia. Rela menjual harga dirinya demi uang. Buat apalagi kalau bukan demi mempercantik tubuhnya. Dasar benalu!
Tampak hidungnya kembang kempis. Aku sangat yakin, emosinya sudah di ubun-ubun.
"Kamu kurang ajar! Pantas Mas Rasha berpaling."
Aku melototkan mata padanya. Senyum sinis kembali dia tampakkan.
"Nayla!" tegur Mas Rasha.
"Menyambut suami bukannya berdandan cantik dan wangi, malah berpenampilan seperti ini." Matanya memindai seluruh tubuhku yang sedang memakai daster, celemek masih menempel dan rambut kuikat asal.
Ah, sial!
"Aku pikir tadi rumah ini sudah ada pembantunya, ternyata nyonya di rumah ini. Ups!" Telapak tangan kanannya menutup mulut yang tak beretika itu.
Ekspresi itu. Aku sangat membenci ekspresi yang dia tampakkan. Memandangku dengan tatapan menjijikkan.
"Nay!" Kembali Mas Rasha bersuara.
Cih. Pecundang. Dia begitu lemah di hadapan wanita ini. Aku harus kuat. Kalau emosiku terpancing, dia akan menganggapku perempuan lemah lalu dia akan semena-mena terhadapku.
'Kamu pikir aku seperti istri yang ada di sinetron ikan terbang itu? Hanya bisa menangis saat dihina oleh gundik rendahan sepertimu? Kamu salah target!' batinku.
Aku tersenyum semanis mungkin.
"Kenapa kamu mempermasalahkan penampilanku? Toh, semua ini aku lakukan untuk menyenangkan perut suamiku. Memberikannya servis terbaik sebagai istri yang berbakti. Tidak sepertimu yang hanya bisa menguras uangnya saja. Eh, atau .... uang pria hidung belang di luar sana juga?" cibirku.
"Mas ...." Dia mengadu pada suamiku yang sejak tadi tak bisa berbuat apa-apa.
Aku beranjak menuju sofa ruang tamu. Mendudukkan diri dengan menyilang kaki kanan di atas paha kiriku. Mas Rasha dan gundiknya juga ikut mendudukkan diri tepat di hadapanku.
"Bicaralah, Mas!"
Mas Rasha berkali-kali merubah posisi duduknya.
"Dek, mas minta maaf. Ini semua salah mas."
"Lalu?"
"Semua sudah terjadi. Kamu harus bisa menerima Nayla sebagai adik madumu," ucapnya.
"Semudah itu?" tanyaku dengan berusaha menahan gemuruh di dalam dada. Aku harus tetap terlihat tenang meskipun hati sebaliknya.
"Dek, Nayla tengah mengandung darah dagingku. Mas harus bertanggungjawab."
Aku sudah menduganya sejak awal. Sebisa mungkin aku berusaha tetap tenang.
"Mas harus menikahinya. Usia kandungannya sudah tiga bulan."
"Jadi ...." Sengaja aku menggantung kata-kataku. Sungguh, mulut ini tak sanggup untuk sekedar melanjutkan.
"Ya, aku hamil dua bulan sebelum Mas Rasha menikahiku," jawab wanita itu.
Aku mendelik tajam padanya. "Aku tidak butuh jawabanmu. Ini adalah urusan kami berdua.
"Ta–"
"Diamlah!" potong Mas Rasha.
"Kami sudah menjalin hubungan terlarang sejak tiga tahun yang lalu. Kamu tidak tahu 'kan? Setiap Mas Rasha meminta ijin untuk dinas di luar kota dengan alasan ada projek di sana, pastinya juga untuk menemuiku," tambahnya yang membuat hati ini tercabik-cabik.
"Nay!" bentak Mas Rasha.
"Empat tahun yang lalu aku datang di rumah ini sebagai Nayla–sahabat– Mas Rasha. Sekarang aku hadir kembali sebagai adik madumu."
Bagai disambar petir di siang hari mendengar pengakuian Nayla. Aku tak menyangka, dia yang hadir empat tahun lalu ternyata mempunyai rencana busuk..
"Nay, diamlah! Ini urusanku dengan istriku!"
Masih berani dia menyebutku sebagai istri.
"Aku juga istrimu, Mas!" protesnya.
"Diamlah!"
Aku menyenderkan tubuh di kepala sofa, menikmati drama rumah tangga yang sedang dipertontonkan di depanku.
'Seperti inikah wanita yang kau cintai, Mas?'
"Dek, Maafkan aku. Mas khilaf," ucapnya seraya tertunduk.
Aku mengernyitkan dahi. "Khilaf? Selama tiga tahun?"
"Nayla cinta pertamaku."
Aku memalingkan wajah. Alasan basi.
Aku tak mengerti jalan pikiran Mas Rasha. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Aku pikir selama ini keluarga kami baik-baik saja. Tak ada drama pertengkaran yang hebat, yang ada adalah keluarga yang begitu harmonis. Terlebih semenjak Naura hadir di antara kami.
Aku pikir dia suami setia. Nyatanya, itu hanyalah topeng untuk menutupi kebusukannya. Hati ini bagai teriris sembilu begitu tahu kenyataan yang ada di depan mata.
Wanita mana yang tidak sakit hatinya begitu tahu orang yang dicintainya telah berkhianat? Mas Rasha memaksaku untuk berbagi cinta dengan Nayla–wanita yang kini menjadi duri di dalam istana kami.
Duniaku seakan berhenti berputar. Aku bahkan sangat berharap ini adalah mimpi burukku. Berkali-kali aku mencubit diri ini, sakitnya terasa. Ini bukan mimpi. Semua adalah nyata.
'Kamu hebat, Mas!' batinku berteriak.
"Dek." Suara Mas Rasha membuyarkan lamunanku.
Aku menatapnya dengan tetap berusaha tampak tenang. Sekilas kulihat wanita yang bersamanya tak berhenti menyunggingkan senyum kemenangan.
Ingatanku berputar ke empat tahun silam. Di mana Mas Rasha untuk kali pertamanya membawa Nayla ke rumah kami. Diperkenalkannya Nayla sebagai sahabatnya. Rupanya wanita itu sudah merencanakannya sejak awal.
Aku yang saat itu tengah menemani Naura bermain. Naura buah cinta kami yang baru berusia dua tahun.
"Dek, Mas panggil-panggil kok, nggak jawab?" tanya Mas Rasha yang baru saja pulang dari kantornya.
Aku meraih punggung tangannya lalu menciumnya.
"Maaf, Mas. Keasyikan main sama Naura." Mas Rasha terseyum lalu mencium mesra keningku.
"Hai, anak Ayah. Udah wangi aja, nih. Abis mandi ya, Sayang?"
Sudah menjadi rutinitas suamiku. Pulang kantor, secapek apapun dia, saat mendapati Naura terbangun, dia akan mengajaknya bermain.
"Mas, adek siapkan air hangat dulu ya, buat Mas mandi?"
Mas Rasha tak menanggapiku. Kubiarkan dia terus berceloteh dengan Naura. Saat di pintu Mas Rasha mencegatku.
"Dek, mas mau bicara." Diletakkannya Naura di dalam pelukannya lalu menghampiriku.
"Di luar sana ada tamu."
"Siapa, Mas?"
"Dia sahabatku sejak kami masih SMP. Mas membawanya ke sini."
"Mau silaturahmi?"
Mas Rasha berdehem.
"Bu-bukan."
"Lalu?"
"Kita ke depan aja dulu buat temuin dia. Sekalian mas kenalin kamu."
Aku menyanggupi keinginan Mas Rasha. Langkah kaki kami kini menuju ke ruang tamu. Tampak seorang wanita dengan rambut panjang terurai duduk di sofa ruang tamu.
'Seorang wanita?' batinku.
Wajahnya tertunduk sehingga aku tak langsung bisa mengenalinya. Kami berdua berdiri tepat di hadapan tamu yang diklaim sebagai sahabat Mas Rasha.
Wajahnya terangkat saat mendengar suara celotehan Naura.
"Maaf, ya, Nay, menunggu lama," ucap suamiku.
Wanita itu tersenyum manis sekali. Ada rasa cemburu yang tiba-tiba hadir.
"Nggak apa-apa, Mas."
Kami berdua duduk bersampingan di depan wanita itu.
"Oh iya, Sayang. Kenalkan ini sahabat aku, Nayla. Nay, ini istriku, Ainun."
Aku mengulurkan tangan terlebih dulu seraya menyunggingkan senyum persahabatan.
Wanita itu menerima uluran tanganku dengan senyum yang kaku.
"Ini buah cinta kami, Naura," jelas Mas Rasha. Wanita yang bernama Nayla tersenyum tipis.
"Mas, aku buatin teh dulu ya?" Mas Rasha mengangguk seraya tersenyum. Aku bangkit kemudian berlalu menuju dapur.
Kusiapkan teko lalu kuisi dengan air untuk dimasak. Lemari pendingin kubuka kemudian mengeluarkan beberapa potong bronies cokelat yang masih berada dalam kemasaannya.
Saat air mendidih, teh celup dan gula kumasukkan lalu diaduk. Setelah mencicipinya di gelas yang berbeda, aku menuangkannya ke dalam dua cangkir yang sudah kusiapkan sebelumnya.
Aku memindahkan semuanya ke dalam mampan lalu bersiap untuk kembali ke ruang tamu. Langkahku terhenti saat mendapati wanita itu kini duduk di samping suamiku. Wanjahnya tak berhenti memandangi Mas Rasha seraya terseyum. Mas Rasha yang tengah sibuk bermain bersama Naura, tak menyadarinya.
Tiba-tiba aku merasa ada hal.yang menjanggal. Terlebih saat wanita itu merapatkan tubuhnya pada suamiku dan sengaja mendekatkan wajahnya.
Aku berdehem membuat wanita itu melonjak kaget.
"Maaf, ya, lama," ucapku seramah mungkin menyembunyikan raut kekesalan.
"Makasih, ya, Sayang," jawab Mas Rasha mesra. Hal itu sontak membuat wajah wanita yang ada di antara kami berubah masam.
"Silahkan dicicipi, Mbak, kuenya. Maaf ya, seadanya."
Wanita itu tersenyum lantas mencomot kue yang sudah disajikan.
"Tahu nggak, Dek. Tadi mas ketemu sama Nayla saat dia hendak bunuh diri di jembatan layang sana. Mas belum tahu masalahnya apa, buru-buru mas bawa dia ke sini."
Aku yang mengambil alih Naura di pangkuan suamiku hanya menjawab, "Oh, ya?"
"Iya. Kamu seperti itu kenapa, Nay?"
Nayla yang sedang menundukkan wajahnya sejak suamiku mulai bercerita mengangkat wajahnya. Matanya berkaca-kaca dan suara isak tangisnya mulai terdengar.
"Suamiku bermain gila dengan wanita lain. Aku terus disiksanya. Terakhir dia telah menikah dengan wanita itu. Aku ...."
Nayla tidak sanggup melanjutkan ceritanya. Tampak dia begitu terluka.
"Sekarang Nayla tidak punya tempat tinggal. Sebagai sahabatnya, mas memintanya untuk sementara tinggal bersama kita. Boleh, kan, Sayang?"
Aku terperangah mendapat pertanyaan seperti itu dari suamiku. Bagaimana mungkin? Sedangkan dia.bukan mahram suamiku. Gegas kutarik lengan suamiku membawanya jauh dari wanita itu.
"Apa-apaan ini, Mas?"
"Dek, dia lagi kesusahan. Dia butuh rumah dan perlindungan. Apa salahnya kita menampungnya dulu?"
"Tapi, Mas. Dia memang sahabatmu, tapi bukan mahrammu. Kamu lupa? Ipar saja bisa menjadi maut?"
"Dek, kamu meragukan mas?" Aku terdiam.
"Mas tidak akan berkhianat. Mas mohon, Sayang. Kurang dari seminggu, mas akan membawanya kelur dari rumah kita. Mas akan mencarikannya kontrakan."
Lama aku berfikir. Dilema menghampiriku. Aku kasihan padanya tapi jika.mengingat bagaimana sikapnya tadi membuatku takut.
"Mas janji, Sayang."
Aku kemudian menyanggupi permintaan suamiku. Kami berdua kembali ke ruang tamu.
Sejak saat itu, hatiku mulai tak tenang. Ternyata benar, jangankan ipar, sahabatpun bisa jadi maut.
"Bawa dia pergi dari sini, Mas! Dia tidak berhak tinggal di rumah ini," ucapku dengan penuh penekanan.
Mas Rasha mendekat lalu berlutut di hadapanku.
"Biarkan Nayla tinggal di sini dalam beberapa hari, Dek. Mas akan mencarikannya kontrakan."
Aku merasa dejavu saat mendengar permohonan yang sama saat empat tahun silam.
"Apa? Kontrakan?!" protes perempuan itu.
"Diamlah, Nay!" tegur Mas Rasha.
Aku menarik napas berat.
"Baiklah, suruh dia tidur di ruang tamu!" putusku kemudian berdiri hendak beranjak meninggalkan mereka.
"Tidak! Aku maunya di kamar utama."
"Gundik pantasnya di ruang tamu atau mau di kamar pembantu?"
Aku berlalu ke dapur tanpa peduli rengekannya yang menyebalkan.
Setelah drama menyebalkan tadi selesai, aku kembali berkutat di dapur. Menyelesaikan masakan yang kubuat dengan penuh cinta.Aku mengaduk soto Betawi kesukaan Mas Rasha setelah menambahkan bumbu penyedap. Sungguh menyedihkan. Kukira malam ini kami akan melaluinya dengan penuh cinta seperti biasa, ternyata justru sebaliknya.Cincin berlian yang selalu menjadi hadiah pernikahan kami kini berubah menjadi bara api yang harus kugenggam kuat.Aku berhenti sejenak sembari mengatur gemuruh di dalam dada. Dadaku terasa sesak seolah oksigen enggan untuk sekedar bertahan di dalam rongga dadaku.Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya luruh juga bersamaan dengan tubuhku yang ikut meluruh ke lantai. Kugigit bibir bawahku sembari meremas kuat celemek yang masih menempel di tubuh ini. Suara tangis ini tak boleh keluar. Aku tak ingin orang lain tahu luka hatiku."Bunda?" sapa gadis kecil di hadapanku.Gegas aku mengusap sisa
"Jangan pernah membiarkan orang lain masuk ke dalam kehidupan rumah tanggamu, jika tak ingin berakhir dengan perceraian akibat pengkhianatan."Kalimat itu sering kali kudengar dari beberapa orang yang menasehatiku. Termasuk Sinta–sahabatku sejak kecil–.Sinta menolak tegas saat kuceritakan kehadiran Nayla di dalam rumah tangga kami. Baginya sama saja aku membuka lebar peluang wanita itu untuk merebut posisiku."Ai, kamu salah besar. Kamu sudah jelas membuka peluang untuk dia.""Aku harus bagaimana, Ta? Mas Rasha berjanji akan memulangkannya.""Kapan?" Aku kengendikkan bahu."Ai, sebelum terlambat, kamu harus mencegahnya. Wanita itu sudah terang-terangan loh. Persahabatan beda jenis kelamin itu pastinya akan berujung cinta sepihak.""Maksudnya?""Salah satu di antara mereka pasti memendam rasa. Nggak ada persahabatan seperti itu yang biasa-biasa saja. Percaya deh sama aku."Aku terus mencern
Lima hari telah berlalu, akan tetapi hingga kini Mas Rasha belum juga membawa Nayla pergi dari rumah ini. Apalagi dia bukan mahram suamiku. Mas Rasha pun tahu, batas bertamu hanya tiga hari. Melapor ke Pak RT pun belum.Hal yang paling aku takutkan, jika Nayla berlama-lama di rumah ini, akan ada desas-desus yang tak mengenakkan dari tetangga. Lagi pula, bagiku Nayla itu perlu diawasi, mengingat gerak-geriknya seolah berusaha menggoda suamiku."Mas, kapan? Ini sudah hari ke lima," tanyaku saat aku sedang mempersiapkan pakaian kantornya."Sabar, Dek. Kontrakannya belum dapat," jawabnya seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk."Emang kontrakannya harus gimana, sih, Mas? Segitu ribetnya.""Kamu tenang aja ya, Sayang. Minggu ini pasti dapat. Mas akan berusaha."Mas Rasha meraih kemejanya kemudian memakainya. Aku mengempaskan tubuh di sofa kamar kami."Mas udah laporan sama RT belum?""Belum, ini mas
"Mbak Ainun!" Aku menoleh ke arah suara. Rupanya ibu-ibu tengah berkumpul di taman komplek. Aku yang sedang menemani Naura jalan-jalan sore akhirnya mendekat ke arah mereka. "Sini dulu, atuh, Neng," ajak Bu Elis. Aku menanggapinya dengan senyum lalu duduk tepat di sampingnya. Tubuh kecil Naura kupangku. "Gimana si awewe itu?" tanya Bu Elis. Aku mengernyitkan dahi masih tak mengerti. "Iki loh, Mbak, si gundik kegatelan," sambung Bu Ajeng dengan logat Jawanya. "Maaf?" tanyaku halus. "Dia masih di rumah kamu?" tanya Bu Lastri. Aku mengangguk lemah. "Atuh usir aja! Jangan sampai teh dia main belakang sama suami kamu," celetuk Bu Elis. "Iya, bener itu, Mbak. Kan perselingkuhan itu terjadi karena adanya kesempatan dalam kesesatan," imbuh Bu Lili. "Kesempitan!" koreksi mereka kompak. "Itu maksud saya. Kan kali aja dia pake susuk pemikat di wajahnya. Itu kan sesat na
Semenjak kejadian semalam, aku semakin geram dibuatnya. Berani-beraninya dia mempertontongkan belahan dadanya pada suamiku. Aku tidak mau tahu dan menerima alasan apapun lagi, hari ini dia harus segera pergi."Dek, Mas berangkat dulu, ya." Aku hanya mengangguk padanya. Hatiku masih saja sakit dibuatnya.Perlahan sebuah tangan kekar melingkar di perutku. Mas Rasha menumpukan dagunya di bahuku, bersamaan dengan pelukannya semakin erat."Maafkan mas, Dek," bisiknya.Aku masih bergeming. Suasana hening menyelimuti kami hingga suara tangisan Naura terdengar. Aku melepaskan diri dari rengkuhannya lalu menghampiri putriku.Tubuh kecil Naura kuangkat lalu menggendongnya. Mas Rasha menahanku, diciuminya pipi gembul Naura dengan gemas lalu dengan cepat bibirnya juga mendarat di pipiku. Tak dapat mengelak hingga aku lebih memilih diam saja."Mas berangkat, Sayang," pamitnya lalu mencium keningku."Sayang
"Kamu sengaja 'kan, mengajak mereka kesini?" ucapnya setelah tetanggaku pergi."Buat?" tanyaku sesantai mungkin."Buat mempermalukan aku. Segala uneg-unegmu sudah disampaikan sama mereka."Aku tersenyum sinis. "Lalu?""Kamu sudah puas?!" tanyanya dengan menatapku tajam."Belum. Ini baru permulaan Nayla.""Aku akan mengadukannya pada Rasha," ancamnya."Silakan!" tantangku.Dia menggeratkkan giginya kemudian berlalu meninggalkanku.Aku tertawa lepas saat mengingat bagaimana mereka menghadapi Nayla."Mengusirku?" tanya Nayla."Iya, kamu sudah melanggar peraturan di kompleks ini." Kening Nayla berkerut."Pertama, batas bertamu adalah tiga hari, lewat dari itu silakan pulang atau kembali melapor ke RT setempat dengan membawa foto copy KTP. Kedua, kamu bukan saudara atau keluarga dari Pak Rasha maupun Mbak Ainun. Status kamu hanyalah teman Pak Rasha. Jadi, kami pik
Suasana rumah begitu nyaman, tak ada wanita itu, tak ada keributan dan pastinya tak ada wanita penggoda. Aku menikmati suasana seperti ini. Dan aku berharap, wanita itu tidak muncul lagi di depanku.Bunyi bel membuyarkan lamunanku. Aku segera bangkit lalu berlalu meninggalkan Naura yang sedang tertidur pulas. Begitu pintu kubuka, tampaklah wajah lelah suamiku. Aku berhambur memeluknya. Sangat erat."Eh, tumben," tegurnya. Aku tersenyum."Pelukannya jangan di sini, nanti dilihat sama Nayla," bisiknya. Senyumku yang sedari tadi mengembang, memudar seketika."Nayla?" tanyaku setelah melepas pelukan."Iya, Sayang. Kan nggak enak," jawabnya.Ekor matanya menelisik.setia sudut ruangan. "Eh, yang lain sudah tidur?" tanyanya seraya malangkah masuk."Iya, Mas." Ekor matanya melirik ke pintu kamar yang sudah tertutup rapat."Kenapa, Mas, segitu banget lihat ke pintu kamar dia," tegurku cemburu."Eh, e
Sudah empat hari berlalu semenjak kepergian Mas Rasha. Biasanya setelah sampai di kota tujuan, suamiku akan menelfon. Namun, kenyataannya, sampai sekarang, jangankan menelfon, untuk sekedar membalas chatku pun sangat susah.Naura yang sejak kemarin rindu dan ingin bertemu dengan ayahnya semakin terus menangis. Aku yang sudah kewalahan berinisiatif untuk melakukan panggilan video.Panggilan terus kulakukan, tapi tak pernah ada jawaban. Mungkin dia sedang sangat sibuk."Unda, yaya mana?" tanya anakku."Sabar ya, Sayang. Mungkin ayah lagi sibuk kerja.""Naula lindu yaya!" protesnya dan kembali menangis.Pikiranku kalut. Naura mewarisi sifat ayahnya. Jika ingin sesuatu, maka harus dikabulkan. Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalaku. Aku menghubungi Dion-teman kantornya. Aku yakin Dion bisa membantuku.Dering panggilan menyambungkan terus terdengar hingga suara bariton dari seberang terdengar."Ha
Waktu berlalu begitu cepat. Hingga tak terasa Naura mengandung anak keduanya. Anak pertama diberi nama Muhammad Abhyzar Wicaksono. Kini, kandungan Naura memasuki usia tujuh bulan. Seperti sebelumnya, kedua belah pihak keluarga mengadakan acara tujuh bulanan. Awalnya semua berjalan dengan baik, hingga Nayla yangbsedang sibuk di dapur terjatuh begitu saja. Mwreka yang sedang berada di dalam rumah, gegas menghampiri Nayla lalu mengangkatnya. "Ibu Nayla pingsang!" pekik mereka. Suasana menjadi semakin gaduh. Arkan langsung memanggil Fariz untuk memberitahunya. "Papa, Mama Nayla pingsang!"Fariz segera berdiri lalu berbisik di telinga Rasha. Prosesi masih berjalan. Fariz langsung menggantikan posisi Rasha. Rasha berlari sekuat yang dia mampu kemudian mencari istrinya di antara kerumunan. "Nay!" pekiknya begjtu melihat istrinya lemah tak berdaya. "Arkan, hubungi ambu
"Naura, aku ingin bertemu sebentar," ucap Nino melalui sambungan telepon. Naura yang baru saja lepas dinas hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia begitu tahu bagaimana perasaan Nino saat ini. Namun, bagaimanapun, Naura sudah menerima cinta Arif. Sosok lelaki yang selama ini diam-diam menaruh hati padanya. "Naura, bisa kan?" "Kita ketemu di rumah saja.""Tidak. Aku sudah ada di rumah sakit untuk menjemputmu."Naura memijit pelipisnya. Dia tahu bahwa Nino itu orang yang sangat nekat. Seperti saat ini. Nino sudah tahu Naura telah memantapkan hati untuk siapa."Naura, please! Untuk kali terakhir."Naura menerawang. Dia.dilanda kecemasan. Dia begitu menjaga perasaan Arif calon suaminya. "Arif harus tahu.""Tidak pelu. Aku kan sahabatmu."Naura mengalah. Akhirnya dia memilih untuk mengikuti keinginan Nino. "Baiklah, tunggu aku di sana!"Naura bergegas menu
Pagi ini Naura disibukkan oleh pasien yang tiba-tiba membludak di poli umum.Suster Lisa yang membantu ikut kerepotan hingga dia berinisiatif memanggil Manda-rekan profesinya. Waktu berlalu begitu cepat hingga akhirnya pasien terakhir masuk. Naura yang sedang meluruskan tangannya tiba-tiba berhenti sejenak saat menyadari siapa yang tengah duduk di depannya. "Nino?" ucapnya sedikit ragu. Sosok yang ada di depannya mengulas senyum tipis tanpa membalas ucapan Naura. Naura berusaha bersikap normal. Matanya mulai berkaca. Ingin sekali dia menumpahkan segala kekesalan yang ada pada dirinya. Namun, Naura urung melakukannya. Selain karena masih di lingkungan kerja, dia juga tak ingin terlihat lemah di depan orang yang masih mengisi hatinya. "Pagi, Dokter Naura!" sapa Nino yang menyadarkan Naura dari lamunannya. "Hai, Nin!"Hanya itu yang bisa diucapkan saat ini. Naira sedang berperang dengan ak
Setahun sudah pernikahan kami. Suatu kesyukuran dari pernikahan kami lahirlah seorang putra yang kami beri nama Muhamma Arkan Hafiz. Berharap kelak Arkan akan menjadi anak sholeh dan penghafal Al Qur'an. Aa Fariz melantunkan adzan di telinga bayi kami. Suara merdunya membuatku menitikkan air mata. "Pa, ini adek Naura kan?" tanya putri kami. "Iya, Sayang. Nanti dia yang akan menjaga Naura dari orang jahat."Mata Naura berbinar. "Naura punya teman main dong, Bunda?""Iya, Sayang," jawabku. Arkan lahir melalui operasi sesar. Ketuban pecah dini dan semakin berkurangnya air ketuban membuatku harus menjalani operasi itu. Operasi sesar yang menurut orang di luar sana begitu mengerikan. Kuakui memang. Tapi, apapun itu, aku menikmati semuanya. Bagiku, yang penting bayiku lahir dengan selamat. "Assalamu'alaikum," sapa Sinta. "Wa'alaikumussalam."Ternyata Sinta tidak sendiri. Ada Mas Yuda, Nino, dan juga Raffa. "Wah si ganteng. Mirip pap
"Papa, Bunda, Naura ingin bicara," ucap Naura pada kedua orangtuanya saat mereka sedang duduk santai di teras rumah. "Soal apa, Sayang?" tanya Fariz. Naura memilin ujung jilbabnya. Berulang kali dia menggingit bibir bawahnya. Fariz dan Ainun saling memandang satu sama lain. Mereka masih menunggu putrinya angkat bicara. "Naura?" tanya Ainun. "Pa, Bunda, eum itu. A-arif katanya mau datang ke rumah.""Oh, ya? Kapan?" tanya Ainun. Fariz menoleh ke arah istrinya. Dahinya mengernyit karena maaih belum mengerti tentang apa yang dikatakan istrinya."Papa masih belum ngerti, Bun."Ainun menoleh ke arah suaminya dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya. Ainun meraih tangan suaminya lalu mengelus punggung tangannya. "Itu loh, si Arif-temannya Naura mau datang ke rumah.""Iya, Papa juga dengar tadi. Cuma, dalam rangka apa?"Ainun gemas mendengar penuturan suaminya yan
"Sha, aku sudah siapkan makan malam buat kita.""Iya."Selalu saja seperti itu. Dia tidak pernah sedikitpun bersikap manis padaku. Kecuali jika ada Ainun. Rasha selalu saja bersikap dingin. Aku hanya bisa menangis dalam hati saat diperlakukan seperti ini. Kembali ku langkahkan kaki ini menuju meja makan. Aku menunggu dia yang masih betah memandangi wajah mantan istrinya. Jangan tanya sakitku seperti apa. Tentu kamu tahu rasanya di posisi ini. Ibarat lagi Armada, 'Aku punya ragamu tapi tidak hatimu.' Menyesakkan bukan?Waktu berlalu dan aku masih betah menunggunya di sini. Di meja makan. Aku sudah memoersiapkan semuanya. Makan malam dengan masakan kesukaannya. Bahkan aku meminta resep pada Ainun. Nyatanya, itu lebih memyakitkan. "Ainun kirim makanan?" tanyanya saat beberapa sendok kiah soto Betawi masuk ke dalam mulutnya. "Ainun?" Dia mengangguk. "Masakan ini Ainun yang buat kan
"Pov Nayla."Naura, mama ingin bicara," ucapku saat Naura tengah duduk di taman bunga milik Ainun. Naura tak menyahut. Hal itu membuat hatiku sedikit menciut. Dia sejak dulu sudah membenciku. Di awal pertemuan kami aku telah menciptakan rasa benci untukku hingga dia pendam sampai kini. Bukan salah Naura jika dia membenciku begitu sangat. Ini memang salahku yang hadir menjadi penghancur istana yang susah payah mereka bangung. Hanya demi sebuah ambisi yang tak masuk akal, aku sudah menghancurkan hati banyak orang. Termasuk Naura. "Mama minta maaf sama kamu, Sayang," ucapku tulus. Namun, lagi dan lagi Naura tak menggubrisku. Aku paham akan itu semua. Jika aku berada di posisinya. Aku akan melakukan hal yang sama. "Mama sudah menghancurkan kebahagiaan kalian.""Sudahlah, Ma. Naura malas buat bahas masa lalu," ucapnya dingin. "Meskipun begitu, mama masih merasa bersalah.""Telat."
Lima belas tahun berlalu. Waktu berlalu begitu cepat. Kini aku menyaksikan putriku-Naura memakai jas berwarna putih.Suatu kebanggan bagi kami para orangtuanya. Cita-cita yang didambakan sejak dulu kini sudah menjadi nyata. "Dokter Naura!" sapaku lembut. Dia tersipu malu. "Ah, Bunda bisa aja."Naura telah menyelesaikan pendidikan profesi dokternya dan kini bekerja di salah satu instansi di Jakarta.Naura dikenal sebagai salah satu dokter yang berdedikasi tinggi. "Papa mana, Bun?" tanyanya sambil celingukan."Papa manti nyusul bareng Ayah dan Mama Nay."Naura memeluk tubuhku dengan sayang. Sejak dulu Naura seperti ini. Tak pernah berubah. "Bunda, Naura mau tanya sesuatu."Aku menoleh ke arahnya. "Iya, Sayang?""Sebenarnya ada yang ingin melamar Naura," ucapnya. Aku merasa bahagia. Senyum di wajahku tergambar begitu jelas. Dia gadis kecilku yang kini berusia dua p
"Bagaimana para saksi? Sah?""SAH!""SAH!"Suara menggema di segala sudut ruangan. Di sini, sebuah gedung dengan dekorasi nuansa putih dan pink yang memperindah tempatku melangsungkan pernikahan.Fariz melalui arahan dari penghulu nikah menyentuh ubun-ubunku seraya membacakan doa yang kuaminkan.Air mata perlahan metes kala sebuh sentuhan hangat mendarat di keningku. Tanganku kemudian meraih tangannya kemudian mencium punggung tangan sosok yang kini menjadi suamiku.Aku telah resmi menjadi istri seorang Muhammad Alfariz. Tangannya perlahan menyematkan cincin di jari manis sebelah kananku. Pandangan kami bertemu. Ada rasa getar cinta yang terasa begitu kuat. "Terimakasih sudah menerimaku, Ai," bisiknya. Aku mengangguk seraya mengulum senyum ini.Dari jauh kulihat Raffa dan Rasha memandangku dengan pandangan yang berbeda. Tak ada senyum darinya. Wajahnya begitu terlihat mendung. "Bunda!" pekik Naura saat kami selesai melak