Beranda / Romansa / WANITA SIMPANAN / 8. DINAS DI LUAR KOTA

Share

8. DINAS DI LUAR KOTA

Penulis: Zee Zee
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Suasana rumah begitu nyaman, tak ada wanita itu, tak ada keributan dan pastinya tak ada wanita penggoda. Aku menikmati suasana seperti ini. Dan aku berharap, wanita itu tidak muncul lagi di depanku.

Bunyi bel membuyarkan lamunanku. Aku segera bangkit lalu berlalu meninggalkan Naura yang sedang tertidur pulas. Begitu pintu kubuka, tampaklah wajah lelah suamiku. Aku berhambur memeluknya. Sangat erat. 

"Eh, tumben," tegurnya. Aku tersenyum.

"Pelukannya jangan di sini, nanti dilihat sama Nayla," bisiknya. Senyumku yang sedari tadi mengembang, memudar seketika. 

"Nayla?" tanyaku setelah melepas pelukan. 

"Iya, Sayang. Kan nggak enak," jawabnya. 

Ekor matanya menelisik.setia sudut ruangan. "Eh, yang lain sudah tidur?" tanyanya seraya malangkah masuk.

"Iya, Mas." Ekor matanya melirik ke pintu kamar yang sudah tertutup rapat.

"Kenapa, Mas, segitu banget lihat ke pintu kamar dia," tegurku cemburu. 

"Eh, enggak, Sayang."

"Dia sudah nggak ada di rumah ini," jawabku. 

Mas Rasha menoleh ke arahku, raut wajahnya begitu berubah. 

"Kamu usir?" Aku memilih diam. "Kenapa?" lanjutnya lagi. 

"Aku tidak ingin ada wanita lain di rumah ini, Mas."

"Kenapa nggak bilang sama Mas?" tanyanya sedikir frustrasi. Aku merasakan perubahan dari suamiku. 

"Kenapa?" tanyaku sambil menyelidik. 

Mas Rasha mendadak tergagap, bola matanya bergerak kiri lalu ke kanan, khas saat dia menyemnunyikan sesuatu. Mataku menyipit. 

"Kenapa, Mas?" tanyaku kembali. 

"Kasihan loh, dia, Dek. Di kota ini dia nggak punya siapa-siapa."

"Lalu salah siapa? Ini semua salah kamu, Mas. Sudah lama adek bilang untuk membawa pergi, tapi mas tidak pernah peduli."

Mas Rasha mengusap kasar wajahnya, "Dek–"

"Sepertinya mas tidak suka jauh dari dia," sindirku. 

"Bukan begitu."

"Atau bisa jadi mas menikmati tubuh yang dia pajang selama ini," sinisku seraya berlalu meninggalkan suamiku dengan rasa kecewa. 

Aku membanting tubuh di atas kasur, menangis sejadi-jadinya. Apa mungkin Mas Rasha sudah....

Aku membuang semua pikiran burukku. Aku berusaha untuk tetap memepercayai suamiku. Lupakan tentang wanita itu, nyatanya dia sudah tidak ada di antara kami. 

Lama aku menunggu, akan tetapi Mas Rasha juga belum masuk ke dalam kamar. Kemana dia? Padahal dia baru pulang lembur, harusnya dia memintaku untuk menyiapkannya makanan. Atau dia sekarang sedang makan?

Aku berusaha bangkit lalu memyusulnya ke luar. Di dalam hati aku berharap Mas Rasha sedang makan. Namun, kenyataan berkata lain, aku mendapatinya sedang menelpon. 

Aku berjalan ke arahnya hendak mengajaknya untuk makan malam. Namun, pembicaraan Mas Rasha membuatku menghentikan langkah. 

"Aku juga nggak tahu, Nay, Ainun bakal senekat itu."

"Iya, aku janji. Kamu bertahan di sana saja dulu, ya!"

"Iya, aku ingat janjiku kok, kamu tenang aja, ya!"

"Janji?" ucapku. Sontak Mas Rasha membalikkan badan. Wajahnya pucat pasi. 

"E-eh, belum tidur?" tanyanya. 

"Janji apa, Mas? Tadi siapa?" tanyaku. Padahal aku sudah tahu dengan siapa dia menelfon. 

"A-anu, itu, ada janji buat ketemu klien besok," jawabnya bohong. Aku memilih pura-pura percaya.

"Ya sudah, adek mau bobo dulu," pamitku. 

Mas Rasha mengangguk seraya tersenyum kikuk. "Nanti mas nyusul, ya."  

Aku melangkahkan kaki kembali ke kamar dengan perasaan yang sulit aku gambarkan. Sepertinya alarm untuk menjadi istri siaga sudah menyala. Aku harus berhati-hati dari sekarang. 

Tubuhku lelah, pikiranku kalut. Akankah Mas Rasha berkhianat? Atau .... hanya perasaanku saja? Segera kutepis pikiran burukku. Sungguh tak mungkin suamiku akan berkhianat. 

*

Pagi berlanjut, setelah berkutat di dalam dapur untuk menyiapkan sarapan sekaligus bekal untuk suamiku, aku pun merapikan pakaian yang akan dibawanya dinas di luar kota hari ini. 

"Mas, emang dinasnya berapa hari?" tanyaku.

"Tiga hari, Dek, seperti biasa," jawabnya seraya  memasang kancing kemejanya satu persatu.

Aku sama sekali tak menaruh curiga, karena memang suamiku sering dinas di luar kota selama itu bahkan biasa sampai satu minggu. 

Tentang kejadian semalam, aku hanya berharap mas Rasha tidak berhianat. Meskipun perasaanku mengatakan sesuatu akan terjadi. Semoga saja bukan. 

Aku menutup perlahan koper yang sudah berisi keperluan mas Rasha selama dinas kemudian menepikannya di dekat pintu kamar. Dasi berwarna biru navi kuraih lalu mulai memasangkannya pada leher suamiku. Dasi kusimpul serapih mungkin agar penampilan suamiku selalu terkesan rapi. 

"Mas, jaga hati, ya, di sana."

"Iya, Sayang," jawabnya seraya mengecup pucuk kepalaku. 

Mas Rasha memelukku sangat erat lalu mengelus punggungku dengan lembut. 

"Jaga diri ya, Dek, selama mas pergi." Aku mengangguk seraya terus menghirup aroma parfum suamiku. 

"Jaga buah hati kita juga. Mas nggak bisa menunggunya untuk bangun, soalnya perjalanannya begitu jauh."

Mas Rasha melonggarkan pelukannya lalu berjalan menuju tempat tidur Naura. Diuciumnya berkali-kali pipi gembul anaknya. Aku yang melihat pemandangan itu merasa sangat bahagia sekaligus terharu. 

"Sayang, ayah pergi dulu. Maaf, ayah nggak bisa nunggu kamu bangun. Jangan marah ya, princess."

Mas Rasha meraih tanganku membawanya keluar dari kamar. Tangan satunya menenteng koper kecilnya. 

"Mas sarapan dulu!" pintaku saat Mas Rasha hendak memasang sepatu. Suamiku memurut, dia duduk di depanku setelah mencuci bersih tangannya. Kami berdua pun akhirnya menikmati sarapan bersama. 

*

"Mas berangkat dulu, ya, Sayang," pamitnya. Aku meraih punggung tangannya lalu menciumnya. 

"Hati-hati, Mas, jangan lupa berkabar." Mas Rasha mengecup keningku lalu mencubit gemas hidung ini. 

Aku mengantarnya hingga suamiku masuk ke dalam mobil kemudian perlahan mobil itu melaju pergi. 

Kembali aku melanjutkan rutinitasku sebagai ibu rumah tangga sekaligus memiliki bisnis online di bidang fashion. Itulah yang kukerjakan selama ini, dan tentunya suamiku sudah mengetahuinya lebih dahulu. 

Alhamdulillah meskipun aku berprofesi sebagai ibu rumah tangga, tapi aku bisa juga menjalankan tugas yang lain, yaitu menjadi seorang ibu dan pebisnis. 

Hasil jualan onlineku bisa aku gunakan untuk menutupi kekurangan di dalam rumah tangga kami. Meskipun gaji nas Rasha sangat cukup untuk menghidupi kami, tapi semua aku sisihkan untuk masa depan Naura hingga selesai kuliah. Aku menabungnya dari sekarang agar kelak suamiku bisa menikmati masa tuanya tanpa harus pusing memikirkan kebutuhan anaknya nanti. 

Mas Rasha awalnya menetang keras aku melakukannya. Menurutnya itu adalah kewajibannya dan gajinya lebuh dari cukup. Hanya saja, aku tak ingin terlalu membebani suamiku. Setelah membujuknya cukup lama dan meyakinkan bahwa aku bisa menjalani semua, akhirnya mas Rasha menyetujui dengan catatan, aku todak boleh kecapean. 

"Unda, yaya mana?" Arumi membuyarkan lamunanku. Rupanya dia sudah terbangun. 

Aku mengangkat tubuh kecilnya lalu menggendongnya. 

"Ayah sudah berangkat kerja," jawabku seraya menurunkan tubuh kecilnya. Beruntung aku sudah membersihkan rumah setelah shalat subuh agar aku leluasa sebelum Naura terbangun. 

"Yaya nggak bangunkan Naula?" protesnya. 

"Kan Naura bobok." Bibirnya mengerucut dan itu sangat menggemaskan. 

Aku memeluknya dengan erat. Nauraku meskipun baru berusia dua tahun lebih, tapi daya tangkap dan pertumbuhannya bisa dibilang cepat. Di usianya sekarang dia sudah mengerti dan bisa bicara meskipun kadang belum jelas pengucapannya. 

"Naura kita mandi, yuk!" ajakku. 

"Hole .... Naula mau, Unda!" pekikny dengan semangat. Aku menggendong tubuhnya ke dalam kamar mandi. 

Kami berdua bermain air bersama dan aku sangat menikmatinya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
Ainun kmu terlalu polos dn terlalu percaya sama suami mu menjadikan kmu bege .nanti dh kejafian tinggal nangis bombay g akan kembali lagi klo ufah terjadi ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • WANITA SIMPANAN   9. BAYANGAN SIAPA?

    Sudah empat hari berlalu semenjak kepergian Mas Rasha. Biasanya setelah sampai di kota tujuan, suamiku akan menelfon. Namun, kenyataannya, sampai sekarang, jangankan menelfon, untuk sekedar membalas chatku pun sangat susah.Naura yang sejak kemarin rindu dan ingin bertemu dengan ayahnya semakin terus menangis. Aku yang sudah kewalahan berinisiatif untuk melakukan panggilan video.Panggilan terus kulakukan, tapi tak pernah ada jawaban. Mungkin dia sedang sangat sibuk."Unda, yaya mana?" tanya anakku."Sabar ya, Sayang. Mungkin ayah lagi sibuk kerja.""Naula lindu yaya!" protesnya dan kembali menangis.Pikiranku kalut. Naura mewarisi sifat ayahnya. Jika ingin sesuatu, maka harus dikabulkan. Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalaku. Aku menghubungi Dion-teman kantornya. Aku yakin Dion bisa membantuku.Dering panggilan menyambungkan terus terdengar hingga suara bariton dari seberang terdengar."Ha

  • WANITA SIMPANAN   10. Parfum siapa?

    Semenjak kejadian tadi pagi membuat pikiranku semakin kacau. Bayangan siapa itu? Kenapa justru panggilan terputus tiba-tiba? Apa yang terjadi sebenarnya?Semua pertanyaan dan kecurigaan terus menyerangku. Aku yakin suamiku tidak akan berkhianat, tapi bayangan itu? Suara itu?Arrg. Aku benci pikiranku saat ini. Harusnya aku lebih percaya suamiku saat pamit keluar kota untuk menafkahi kami. Ya, suamiku pasti setia.Bel berbunyi, gegas aku melangkah keluar untuk menyambut kedatangannya. Saat membuka pintu, aku.melihat sosok yang sangat aku rindukan. Tangannya direntangkan lalu aku menghambur ke dalam pelukannnya. Mencium aroma tubuh yang menjadi canduku selama ini."Kangen, Dek," bisiknya."Sama," jawabku seraya memeluknya lebih erat."Yaya!" pekik Naura yang sukses merusak moment kemesraan orang tuanya.Aku mengalah, mas Rasha melepaskan pelukan lalu menggendong dan terus menciumi pipi gembul Naura.&n

  • WANITA SIMPANAN   11. Hilang

    "Mas ini parfum siapa?!" tanyaku lagi dengan penuh penegasan.Mas Rasha mendekatiku, digenggamnya tangan ini yang sudah mulai gemetar menahan amarah yang sedari tadi ingin meledak."Dek, percaya sama mas, ini nggak seperti yang kamu pikirkan," bujuknya. Aku menggeleng tegas. Ingatan tentang bayangan dan suara itu kembali terngiang."Dek, sumpah mas tidak berkhianat."Aku menarik napas dalam berusaha menormalkan deguban yang terus terasa."Mas, aku selama ini berusaha percaya. Tiap mas keluar kota, kepercayaan itu terus kupegang. Tapi sekarang? Apa yang bisa menjamin kalau mas tidak bermain api?""Mas tidak pernah bermain api, Sayang. Percayalah." Kini mas Rasha berusaha memeluk tubuhku. Aku bergeming."Bagaimana aku bisa percaya jika selalu saja ada bukti yang kudapat?""Bukti apa?" tanyanya lagi.Aku mencebik kesal. "Bayangan wanita, suara erangan seperti orang yang baru saja bangun dan ter

  • WANITA SIMPANAN   12. Kenyataan yang pahit

    "Kamu dari mana saja, Mas?" berondongku saat mas Rasha sudah masuk ke dalam rumah. Mas Rasha berlalu begitu saja tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Langkah kupercepat menyusulnya ke dalam kamar. Aku berdiri mematung kala melihatnya menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. "Mas," tegurku lagi seraya mulai mendekatinya. "Jawab aku, Mas! Kamu dari mana saja?" "Bukan urusanmu!" ketusnya yang sontak membuatku sedikit terhenyak. "Itu urusanku, Mas. Semalam kamu pergi tanpa pamit. Nomor tidak bisa dihubungi, lalu tiba-tiba pulang dalam keadaan seperti ini. Aku pantas bertanya karena aku ini istrimu, Mas." Ingin sekali aku meluapkan segala sesak yang ada di dalam dada. Jika melihat kondisi sekarang, aku justru akan lebih terluka kalau memaksakan kehendak. "Aku ingin tidur." Otakku memaksa untuk mengalah sebentar saja. Meskipun sangat sulit, akan tetapi aku harus melakukannya. Perlahan langkah ini

  • WANITA SIMPANAN   13. Kecewa

    Sejak kejadian kemarin aku memilih tak banyak bicara. Menjawab seperlunya setelah itu aku memilih diam. Rasa sakit ini maaih sangat terasa mengetahui kenyataan pahit itu.Aku sungguh tak menyangka, suamiku lebih memilih menemani wanita itu. Berangkat diam-diam lalu meninggalkan aku dan Naura."Dek, kamu masih marah?" tanyanya saat aku tengah menghidangkan sarapan untuknya.Ya, meskipun aku mendiamkannya, akan tetapi tugasku sebagai istrinya tidak pernah kutinggakan. Seperti biasanya segala kebutuhannya masih aku layani dengan sepenuh hati."Dek, biar bagaimana pun, Nayla adalah sahabat mas. Dia sedang sakit. Jadi, tolonglah!"Aku yang hendak ke dapur unuk menyiapkan MP-ASI urung melangkah. Kubalikkan badan ini menghadapnya."Lalu?""Mengertilah, Dek. Aku khawatir dengan kondisinya. Dia menderita penyakit yang cukup serius," terangnya."Oh, begitu? Lalu bagaimana dengan kami

  • WANITA SIMPANAN   14. Wanita Licik

    Tiga hari berlalu, selama itu pula mas Rasha sering pulang terlambat. Alasannya tetap sama, menjaga wanita itu.Aku tak tahu persahabatan seperti apa yang mereka jalani selama ini. Tapi bagiku semuanya di luar batasan. Hampir tak ada batasan di antara mereka.Seperti hari ini. Kami bertiga kini berada di ruangan persegi untuk menjenguk wanita itu. Menurutku semua tampak biasa saja, tak ada yang menkhawatirkan. Hanya infusan yang masih terpasang di punggung tangannya."Makasih ya, Mbak, sudah meluangkan waktunya. Aku jadi merasa merepotkan mbak," ucapnya sok manis.Kuletakkan buah yang sengaja kubeli di toko buah langganan. Aku hanya tersenyum sekilas menanggapi ocehannya."Wah sampai repot-repot segala bawa buah," ucapnya lagi.'Itu kamu tahu kalau ini merepotkan,' teriakku dalam hati."Gimana keadaannya?" tanyaku sengaja mengalihkan ocehannya."Masih lemah, Mbak.""Oh."A

  • WANITA SIMPANAN   15. Mencari Tahu

    Aku mengempaskan tubuh di atas kasur melepaskan segala penat yang ada. Aku tak habis pikir, dia yang sudah kuusahakan untuk.menjauh dari kami, rupa-rupanya masih berhubungan dengan suamiku.Wanita itu sangat licik. Dia menghalalkan segala cara agar bisa bertemu dengan suamiku. Aku pun tak habis pikir dengan jalan pikiran Mas Rasha, bisa-bisanya dia berbohong dan menkhianatiku?Aku tahu mereka adalah sahabat. Aku tak masalah hanya jika wanita itu tidak mengibarkan bendera perang. Dia dengan bangganya menunjukkan bahwa dia akan merebut suamiku.Saat aku berperang dengan segala praduga, terdengar suara langkah kaki menuju ke arahku. Aku pura-pura tak menghiraukan."Dek, maafkan, Mas." Aku memilih diam. Aku hanya ingin mendengar apa yang akan dia katakan."Mas tak ada maksud. Nayla sahabatku dan dia membutuhkan mas, Dek. Tapi, mas benar nggak tahu kalau Nayla berbohong soal sakitnya."Aku menghela napas lalu mengemb

  • WANITA SIMPANAN   16. Memberi Bukti

    "Hari ini ayah free. Nah, kalian nggak mau jalan-jalan?" tawar Mas Rasha.Aku dan Naura antuasias mendengar tawaran Mas Rasha."Seriusan?" tanyaku. Mas Rasha mengangguk mantap."Hole, kita jalan-jalan," pekik Naura."Ya sudah kalian mandi dulu, biar bunda yang siapin semua," ucapku.Mas Rasha menggendong putrinya kemudian berlalu menuju kamar. Aku menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum berangkat.Saat mereka tengah bersiap, aku memandangi galeri ponsel. Tampak video yang dikirim Ray berada di list kumpulan video. Semalam aku lupa untuk menontonnya.Aku sedikit menjauh menuju ke arah dapur agar tak ketahuan. Video kubuka, tampak Nayla sedang bergelayut manja di lengan pria yang kutaksir sudah berumur lima puluh tahun itu. Jika kuingat-ingat, pria yang berada di dalam video ini berbeda.Video ke dua kubuka. Rupanya Ray bersama temannya berpura-pura menjadi pelanggan. Tampak banyak wanita d

Bab terbaru

  • WANITA SIMPANAN   133. Akhir Cerita

    Waktu berlalu begitu cepat. Hingga tak terasa Naura mengandung anak keduanya. Anak pertama diberi nama Muhammad Abhyzar Wicaksono. Kini, kandungan Naura memasuki usia tujuh bulan. Seperti sebelumnya, kedua belah pihak keluarga mengadakan acara tujuh bulanan. Awalnya semua berjalan dengan baik, hingga Nayla yangbsedang sibuk di dapur terjatuh begitu saja. Mwreka yang sedang berada di dalam rumah, gegas menghampiri Nayla lalu mengangkatnya. "Ibu Nayla pingsang!" pekik mereka. Suasana menjadi semakin gaduh. Arkan langsung memanggil Fariz untuk memberitahunya. "Papa, Mama Nayla pingsang!"Fariz segera berdiri lalu berbisik di telinga Rasha. Prosesi masih berjalan. Fariz langsung menggantikan posisi Rasha. Rasha berlari sekuat yang dia mampu kemudian mencari istrinya di antara kerumunan. "Nay!" pekiknya begjtu melihat istrinya lemah tak berdaya. "Arkan, hubungi ambu

  • WANITA SIMPANAN   132. Hari Peenikahan

    "Naura, aku ingin bertemu sebentar," ucap Nino melalui sambungan telepon. Naura yang baru saja lepas dinas hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia begitu tahu bagaimana perasaan Nino saat ini. Namun, bagaimanapun, Naura sudah menerima cinta Arif. Sosok lelaki yang selama ini diam-diam menaruh hati padanya. "Naura, bisa kan?" "Kita ketemu di rumah saja.""Tidak. Aku sudah ada di rumah sakit untuk menjemputmu."Naura memijit pelipisnya. Dia tahu bahwa Nino itu orang yang sangat nekat. Seperti saat ini. Nino sudah tahu Naura telah memantapkan hati untuk siapa."Naura, please! Untuk kali terakhir."Naura menerawang. Dia.dilanda kecemasan. Dia begitu menjaga perasaan Arif calon suaminya. "Arif harus tahu.""Tidak pelu. Aku kan sahabatmu."Naura mengalah. Akhirnya dia memilih untuk mengikuti keinginan Nino. "Baiklah, tunggu aku di sana!"Naura bergegas menu

  • WANITA SIMPANAN   131. Naura dan Arif

    Pagi ini Naura disibukkan oleh pasien yang tiba-tiba membludak di poli umum.Suster Lisa yang membantu ikut kerepotan hingga dia berinisiatif memanggil Manda-rekan profesinya. Waktu berlalu begitu cepat hingga akhirnya pasien terakhir masuk. Naura yang sedang meluruskan tangannya tiba-tiba berhenti sejenak saat menyadari siapa yang tengah duduk di depannya. "Nino?" ucapnya sedikit ragu. Sosok yang ada di depannya mengulas senyum tipis tanpa membalas ucapan Naura. Naura berusaha bersikap normal. Matanya mulai berkaca. Ingin sekali dia menumpahkan segala kekesalan yang ada pada dirinya. Namun, Naura urung melakukannya. Selain karena masih di lingkungan kerja, dia juga tak ingin terlihat lemah di depan orang yang masih mengisi hatinya. "Pagi, Dokter Naura!" sapa Nino yang menyadarkan Naura dari lamunannya. "Hai, Nin!"Hanya itu yang bisa diucapkan saat ini. Naira sedang berperang dengan ak

  • WANITA SIMPANAN   126. Sesurga Bersamamu

    Setahun sudah pernikahan kami. Suatu kesyukuran dari pernikahan kami lahirlah seorang putra yang kami beri nama Muhamma Arkan Hafiz. Berharap kelak Arkan akan menjadi anak sholeh dan penghafal Al Qur'an. Aa Fariz melantunkan adzan di telinga bayi kami. Suara merdunya membuatku menitikkan air mata. "Pa, ini adek Naura kan?" tanya putri kami. "Iya, Sayang. Nanti dia yang akan menjaga Naura dari orang jahat."Mata Naura berbinar. "Naura punya teman main dong, Bunda?""Iya, Sayang," jawabku. Arkan lahir melalui operasi sesar. Ketuban pecah dini dan semakin berkurangnya air ketuban membuatku harus menjalani operasi itu. Operasi sesar yang menurut orang di luar sana begitu mengerikan. Kuakui memang. Tapi, apapun itu, aku menikmati semuanya. Bagiku, yang penting bayiku lahir dengan selamat. "Assalamu'alaikum," sapa Sinta. "Wa'alaikumussalam."Ternyata Sinta tidak sendiri. Ada Mas Yuda, Nino, dan juga Raffa. "Wah si ganteng. Mirip pap

  • WANITA SIMPANAN   130. Kedatangan Arif

    "Papa, Bunda, Naura ingin bicara," ucap Naura pada kedua orangtuanya saat mereka sedang duduk santai di teras rumah. "Soal apa, Sayang?" tanya Fariz. Naura memilin ujung jilbabnya. Berulang kali dia menggingit bibir bawahnya. Fariz dan Ainun saling memandang satu sama lain. Mereka masih menunggu putrinya angkat bicara. "Naura?" tanya Ainun. "Pa, Bunda, eum itu. A-arif katanya mau datang ke rumah.""Oh, ya? Kapan?" tanya Ainun. Fariz menoleh ke arah istrinya. Dahinya mengernyit karena maaih belum mengerti tentang apa yang dikatakan istrinya."Papa masih belum ngerti, Bun."Ainun menoleh ke arah suaminya dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya. Ainun meraih tangan suaminya lalu mengelus punggung tangannya. "Itu loh, si Arif-temannya Naura mau datang ke rumah.""Iya, Papa juga dengar tadi. Cuma, dalam rangka apa?"Ainun gemas mendengar penuturan suaminya yan

  • WANITA SIMPANAN   129. Berusaha Merebut Hati Naura

    "Sha, aku sudah siapkan makan malam buat kita.""Iya."Selalu saja seperti itu. Dia tidak pernah sedikitpun bersikap manis padaku. Kecuali jika ada Ainun. Rasha selalu saja bersikap dingin. Aku hanya bisa menangis dalam hati saat diperlakukan seperti ini. Kembali ku langkahkan kaki ini menuju meja makan. Aku menunggu dia yang masih betah memandangi wajah mantan istrinya. Jangan tanya sakitku seperti apa. Tentu kamu tahu rasanya di posisi ini. Ibarat lagi Armada, 'Aku punya ragamu tapi tidak hatimu.' Menyesakkan bukan?Waktu berlalu dan aku masih betah menunggunya di sini. Di meja makan. Aku sudah memoersiapkan semuanya. Makan malam dengan masakan kesukaannya. Bahkan aku meminta resep pada Ainun. Nyatanya, itu lebih memyakitkan. "Ainun kirim makanan?" tanyanya saat beberapa sendok kiah soto Betawi masuk ke dalam mulutnya. "Ainun?" Dia mengangguk. "Masakan ini Ainun yang buat kan

  • WANITA SIMPANAN   128. Suara Hati Sang Pelakor

    "Pov Nayla."Naura, mama ingin bicara," ucapku saat Naura tengah duduk di taman bunga milik Ainun. Naura tak menyahut. Hal itu membuat hatiku sedikit menciut. Dia sejak dulu sudah membenciku. Di awal pertemuan kami aku telah menciptakan rasa benci untukku hingga dia pendam sampai kini. Bukan salah Naura jika dia membenciku begitu sangat. Ini memang salahku yang hadir menjadi penghancur istana yang susah payah mereka bangung. Hanya demi sebuah ambisi yang tak masuk akal, aku sudah menghancurkan hati banyak orang. Termasuk Naura. "Mama minta maaf sama kamu, Sayang," ucapku tulus. Namun, lagi dan lagi Naura tak menggubrisku. Aku paham akan itu semua. Jika aku berada di posisinya. Aku akan melakukan hal yang sama. "Mama sudah menghancurkan kebahagiaan kalian.""Sudahlah, Ma. Naura malas buat bahas masa lalu," ucapnya dingin. "Meskipun begitu, mama masih merasa bersalah.""Telat."

  • WANITA SIMPANAN   127. Kegelisahan Hati Naura

    Lima belas tahun berlalu. Waktu berlalu begitu cepat. Kini aku menyaksikan putriku-Naura memakai jas berwarna putih.Suatu kebanggan bagi kami para orangtuanya. Cita-cita yang didambakan sejak dulu kini sudah menjadi nyata. "Dokter Naura!" sapaku lembut. Dia tersipu malu. "Ah, Bunda bisa aja."Naura telah menyelesaikan pendidikan profesi dokternya dan kini bekerja di salah satu instansi di Jakarta.Naura dikenal sebagai salah satu dokter yang berdedikasi tinggi. "Papa mana, Bun?" tanyanya sambil celingukan."Papa manti nyusul bareng Ayah dan Mama Nay."Naura memeluk tubuhku dengan sayang. Sejak dulu Naura seperti ini. Tak pernah berubah. "Bunda, Naura mau tanya sesuatu."Aku menoleh ke arahnya. "Iya, Sayang?""Sebenarnya ada yang ingin melamar Naura," ucapnya. Aku merasa bahagia. Senyum di wajahku tergambar begitu jelas. Dia gadis kecilku yang kini berusia dua p

  • WANITA SIMPANAN   125. Hari Bahagia

    "Bagaimana para saksi? Sah?""SAH!""SAH!"Suara menggema di segala sudut ruangan. Di sini, sebuah gedung dengan dekorasi nuansa putih dan pink yang memperindah tempatku melangsungkan pernikahan.Fariz melalui arahan dari penghulu nikah menyentuh ubun-ubunku seraya membacakan doa yang kuaminkan.Air mata perlahan metes kala sebuh sentuhan hangat mendarat di keningku. Tanganku kemudian meraih tangannya kemudian mencium punggung tangan sosok yang kini menjadi suamiku.Aku telah resmi menjadi istri seorang Muhammad Alfariz. Tangannya perlahan menyematkan cincin di jari manis sebelah kananku. Pandangan kami bertemu. Ada rasa getar cinta yang terasa begitu kuat. "Terimakasih sudah menerimaku, Ai," bisiknya. Aku mengangguk seraya mengulum senyum ini.Dari jauh kulihat Raffa dan Rasha memandangku dengan pandangan yang berbeda. Tak ada senyum darinya. Wajahnya begitu terlihat mendung. "Bunda!" pekik Naura saat kami selesai melak

DMCA.com Protection Status