Semenjak kejadian tadi pagi membuat pikiranku semakin kacau. Bayangan siapa itu? Kenapa justru panggilan terputus tiba-tiba? Apa yang terjadi sebenarnya?
Semua pertanyaan dan kecurigaan terus menyerangku. Aku yakin suamiku tidak akan berkhianat, tapi bayangan itu? Suara itu?
Arrg. Aku benci pikiranku saat ini. Harusnya aku lebih percaya suamiku saat pamit keluar kota untuk menafkahi kami. Ya, suamiku pasti setia.
Bel berbunyi, gegas aku melangkah keluar untuk menyambut kedatangannya. Saat membuka pintu, aku.melihat sosok yang sangat aku rindukan. Tangannya direntangkan lalu aku menghambur ke dalam pelukannnya. Mencium aroma tubuh yang menjadi canduku selama ini.
"Kangen, Dek," bisiknya.
"Sama," jawabku seraya memeluknya lebih erat.
"Yaya!" pekik Naura yang sukses merusak moment kemesraan orang tuanya.
Aku mengalah, mas Rasha melepaskan pelukan lalu menggendong dan terus menciumi pipi gembul Naura.&n
"Mas ini parfum siapa?!" tanyaku lagi dengan penuh penegasan.Mas Rasha mendekatiku, digenggamnya tangan ini yang sudah mulai gemetar menahan amarah yang sedari tadi ingin meledak."Dek, percaya sama mas, ini nggak seperti yang kamu pikirkan," bujuknya. Aku menggeleng tegas. Ingatan tentang bayangan dan suara itu kembali terngiang."Dek, sumpah mas tidak berkhianat."Aku menarik napas dalam berusaha menormalkan deguban yang terus terasa."Mas, aku selama ini berusaha percaya. Tiap mas keluar kota, kepercayaan itu terus kupegang. Tapi sekarang? Apa yang bisa menjamin kalau mas tidak bermain api?""Mas tidak pernah bermain api, Sayang. Percayalah." Kini mas Rasha berusaha memeluk tubuhku. Aku bergeming."Bagaimana aku bisa percaya jika selalu saja ada bukti yang kudapat?""Bukti apa?" tanyanya lagi.Aku mencebik kesal. "Bayangan wanita, suara erangan seperti orang yang baru saja bangun dan ter
"Kamu dari mana saja, Mas?" berondongku saat mas Rasha sudah masuk ke dalam rumah. Mas Rasha berlalu begitu saja tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Langkah kupercepat menyusulnya ke dalam kamar. Aku berdiri mematung kala melihatnya menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. "Mas," tegurku lagi seraya mulai mendekatinya. "Jawab aku, Mas! Kamu dari mana saja?" "Bukan urusanmu!" ketusnya yang sontak membuatku sedikit terhenyak. "Itu urusanku, Mas. Semalam kamu pergi tanpa pamit. Nomor tidak bisa dihubungi, lalu tiba-tiba pulang dalam keadaan seperti ini. Aku pantas bertanya karena aku ini istrimu, Mas." Ingin sekali aku meluapkan segala sesak yang ada di dalam dada. Jika melihat kondisi sekarang, aku justru akan lebih terluka kalau memaksakan kehendak. "Aku ingin tidur." Otakku memaksa untuk mengalah sebentar saja. Meskipun sangat sulit, akan tetapi aku harus melakukannya. Perlahan langkah ini
Sejak kejadian kemarin aku memilih tak banyak bicara. Menjawab seperlunya setelah itu aku memilih diam. Rasa sakit ini maaih sangat terasa mengetahui kenyataan pahit itu.Aku sungguh tak menyangka, suamiku lebih memilih menemani wanita itu. Berangkat diam-diam lalu meninggalkan aku dan Naura."Dek, kamu masih marah?" tanyanya saat aku tengah menghidangkan sarapan untuknya.Ya, meskipun aku mendiamkannya, akan tetapi tugasku sebagai istrinya tidak pernah kutinggakan. Seperti biasanya segala kebutuhannya masih aku layani dengan sepenuh hati."Dek, biar bagaimana pun, Nayla adalah sahabat mas. Dia sedang sakit. Jadi, tolonglah!"Aku yang hendak ke dapur unuk menyiapkan MP-ASI urung melangkah. Kubalikkan badan ini menghadapnya."Lalu?""Mengertilah, Dek. Aku khawatir dengan kondisinya. Dia menderita penyakit yang cukup serius," terangnya."Oh, begitu? Lalu bagaimana dengan kami
Tiga hari berlalu, selama itu pula mas Rasha sering pulang terlambat. Alasannya tetap sama, menjaga wanita itu.Aku tak tahu persahabatan seperti apa yang mereka jalani selama ini. Tapi bagiku semuanya di luar batasan. Hampir tak ada batasan di antara mereka.Seperti hari ini. Kami bertiga kini berada di ruangan persegi untuk menjenguk wanita itu. Menurutku semua tampak biasa saja, tak ada yang menkhawatirkan. Hanya infusan yang masih terpasang di punggung tangannya."Makasih ya, Mbak, sudah meluangkan waktunya. Aku jadi merasa merepotkan mbak," ucapnya sok manis.Kuletakkan buah yang sengaja kubeli di toko buah langganan. Aku hanya tersenyum sekilas menanggapi ocehannya."Wah sampai repot-repot segala bawa buah," ucapnya lagi.'Itu kamu tahu kalau ini merepotkan,' teriakku dalam hati."Gimana keadaannya?" tanyaku sengaja mengalihkan ocehannya."Masih lemah, Mbak.""Oh."A
Aku mengempaskan tubuh di atas kasur melepaskan segala penat yang ada. Aku tak habis pikir, dia yang sudah kuusahakan untuk.menjauh dari kami, rupa-rupanya masih berhubungan dengan suamiku.Wanita itu sangat licik. Dia menghalalkan segala cara agar bisa bertemu dengan suamiku. Aku pun tak habis pikir dengan jalan pikiran Mas Rasha, bisa-bisanya dia berbohong dan menkhianatiku?Aku tahu mereka adalah sahabat. Aku tak masalah hanya jika wanita itu tidak mengibarkan bendera perang. Dia dengan bangganya menunjukkan bahwa dia akan merebut suamiku.Saat aku berperang dengan segala praduga, terdengar suara langkah kaki menuju ke arahku. Aku pura-pura tak menghiraukan."Dek, maafkan, Mas." Aku memilih diam. Aku hanya ingin mendengar apa yang akan dia katakan."Mas tak ada maksud. Nayla sahabatku dan dia membutuhkan mas, Dek. Tapi, mas benar nggak tahu kalau Nayla berbohong soal sakitnya."Aku menghela napas lalu mengemb
"Hari ini ayah free. Nah, kalian nggak mau jalan-jalan?" tawar Mas Rasha.Aku dan Naura antuasias mendengar tawaran Mas Rasha."Seriusan?" tanyaku. Mas Rasha mengangguk mantap."Hole, kita jalan-jalan," pekik Naura."Ya sudah kalian mandi dulu, biar bunda yang siapin semua," ucapku.Mas Rasha menggendong putrinya kemudian berlalu menuju kamar. Aku menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum berangkat.Saat mereka tengah bersiap, aku memandangi galeri ponsel. Tampak video yang dikirim Ray berada di list kumpulan video. Semalam aku lupa untuk menontonnya.Aku sedikit menjauh menuju ke arah dapur agar tak ketahuan. Video kubuka, tampak Nayla sedang bergelayut manja di lengan pria yang kutaksir sudah berumur lima puluh tahun itu. Jika kuingat-ingat, pria yang berada di dalam video ini berbeda.Video ke dua kubuka. Rupanya Ray bersama temannya berpura-pura menjadi pelanggan. Tampak banyak wanita d
Aku benar-benar sudah geram dibuatnya. Bisa-bisanya Mas Rasha masih saja melindunginya setelah tahu fakta yang terjadi? Ada apa sebenarnya? Kenapa Mas Rasha begitu kekeuh untuk melindungi wanita itu?Aku terus berpikir bagaimana cara agar bisa menjauhkan suamiku dari jerat wanita iblis itu. Dia bisa bermain licik akupun justru harus lebih licik darinya."Mas mau ke mana?" tanyaku saat mendapati Mas Rasha sudah tampak rapi."Menemui Nayla," jawabnya datar."Buat apa?!" tanyaku frustrasi."Mas harus menyelamatkan dia, Dek. Kamu nggak kasihan? Dia rela menjadi wanita pemandu karaoke demi bisa bertahan hidup. Di mana nuranimu sebagai sesama wanita?"Jleb. Kalimat yang dilontarkan Mas Rasha begitu menancapkan luka yang paling dalam. Di mana logikanya? Tidakkah dia sadar selama ini membawa bahaya di dalam rumah tangga kami? Dia telah membuka pintu untuk penghancur istana kami."Mas lebih memilih melindungi dia
Empat tahun berlalu, wanita itu kini hadir kembali di kehidupanku. Siapa yang menyangka dia akan hadir dengan status barunya. Wanita simpanan suamiku.Kupikir setelah kepergiannya waktu itu adalah akhir dari segalanya. Nyatanya tidak. Mereka menjalin hubungan terlarang selama tiga tahun dan kini hasil hubungan terlarangnya pun ada. Wanita itu hamil."Mas, aku ingin pulang ke Bandung," pamitku saat kami hendak istirahat."Kenapa tiba-tiba, Dek?""Aku ingin menenangkan diri.""Apa karena kehadiran Nayla? Lalu bagaimana dengan mas? Naura?""Naura libur selama dua pekan dan untuk mas ...."Sengaja kugantung kalimat itu. Rasanya tak sanggup untuk melanjutkan."Dek-""Sudah ada Nayla yang bisa mengurus mas di sini.""Tapi, Dek, dia sedang hamil."Aku menatapnya tak percaya. Saat aku terluka dan butuh ketenangan pun dia masih memikirkan wanita itu. Bagaimana dengan aku? Jelas aku yang
Waktu berlalu begitu cepat. Hingga tak terasa Naura mengandung anak keduanya. Anak pertama diberi nama Muhammad Abhyzar Wicaksono. Kini, kandungan Naura memasuki usia tujuh bulan. Seperti sebelumnya, kedua belah pihak keluarga mengadakan acara tujuh bulanan. Awalnya semua berjalan dengan baik, hingga Nayla yangbsedang sibuk di dapur terjatuh begitu saja. Mwreka yang sedang berada di dalam rumah, gegas menghampiri Nayla lalu mengangkatnya. "Ibu Nayla pingsang!" pekik mereka. Suasana menjadi semakin gaduh. Arkan langsung memanggil Fariz untuk memberitahunya. "Papa, Mama Nayla pingsang!"Fariz segera berdiri lalu berbisik di telinga Rasha. Prosesi masih berjalan. Fariz langsung menggantikan posisi Rasha. Rasha berlari sekuat yang dia mampu kemudian mencari istrinya di antara kerumunan. "Nay!" pekiknya begjtu melihat istrinya lemah tak berdaya. "Arkan, hubungi ambu
"Naura, aku ingin bertemu sebentar," ucap Nino melalui sambungan telepon. Naura yang baru saja lepas dinas hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia begitu tahu bagaimana perasaan Nino saat ini. Namun, bagaimanapun, Naura sudah menerima cinta Arif. Sosok lelaki yang selama ini diam-diam menaruh hati padanya. "Naura, bisa kan?" "Kita ketemu di rumah saja.""Tidak. Aku sudah ada di rumah sakit untuk menjemputmu."Naura memijit pelipisnya. Dia tahu bahwa Nino itu orang yang sangat nekat. Seperti saat ini. Nino sudah tahu Naura telah memantapkan hati untuk siapa."Naura, please! Untuk kali terakhir."Naura menerawang. Dia.dilanda kecemasan. Dia begitu menjaga perasaan Arif calon suaminya. "Arif harus tahu.""Tidak pelu. Aku kan sahabatmu."Naura mengalah. Akhirnya dia memilih untuk mengikuti keinginan Nino. "Baiklah, tunggu aku di sana!"Naura bergegas menu
Pagi ini Naura disibukkan oleh pasien yang tiba-tiba membludak di poli umum.Suster Lisa yang membantu ikut kerepotan hingga dia berinisiatif memanggil Manda-rekan profesinya. Waktu berlalu begitu cepat hingga akhirnya pasien terakhir masuk. Naura yang sedang meluruskan tangannya tiba-tiba berhenti sejenak saat menyadari siapa yang tengah duduk di depannya. "Nino?" ucapnya sedikit ragu. Sosok yang ada di depannya mengulas senyum tipis tanpa membalas ucapan Naura. Naura berusaha bersikap normal. Matanya mulai berkaca. Ingin sekali dia menumpahkan segala kekesalan yang ada pada dirinya. Namun, Naura urung melakukannya. Selain karena masih di lingkungan kerja, dia juga tak ingin terlihat lemah di depan orang yang masih mengisi hatinya. "Pagi, Dokter Naura!" sapa Nino yang menyadarkan Naura dari lamunannya. "Hai, Nin!"Hanya itu yang bisa diucapkan saat ini. Naira sedang berperang dengan ak
Setahun sudah pernikahan kami. Suatu kesyukuran dari pernikahan kami lahirlah seorang putra yang kami beri nama Muhamma Arkan Hafiz. Berharap kelak Arkan akan menjadi anak sholeh dan penghafal Al Qur'an. Aa Fariz melantunkan adzan di telinga bayi kami. Suara merdunya membuatku menitikkan air mata. "Pa, ini adek Naura kan?" tanya putri kami. "Iya, Sayang. Nanti dia yang akan menjaga Naura dari orang jahat."Mata Naura berbinar. "Naura punya teman main dong, Bunda?""Iya, Sayang," jawabku. Arkan lahir melalui operasi sesar. Ketuban pecah dini dan semakin berkurangnya air ketuban membuatku harus menjalani operasi itu. Operasi sesar yang menurut orang di luar sana begitu mengerikan. Kuakui memang. Tapi, apapun itu, aku menikmati semuanya. Bagiku, yang penting bayiku lahir dengan selamat. "Assalamu'alaikum," sapa Sinta. "Wa'alaikumussalam."Ternyata Sinta tidak sendiri. Ada Mas Yuda, Nino, dan juga Raffa. "Wah si ganteng. Mirip pap
"Papa, Bunda, Naura ingin bicara," ucap Naura pada kedua orangtuanya saat mereka sedang duduk santai di teras rumah. "Soal apa, Sayang?" tanya Fariz. Naura memilin ujung jilbabnya. Berulang kali dia menggingit bibir bawahnya. Fariz dan Ainun saling memandang satu sama lain. Mereka masih menunggu putrinya angkat bicara. "Naura?" tanya Ainun. "Pa, Bunda, eum itu. A-arif katanya mau datang ke rumah.""Oh, ya? Kapan?" tanya Ainun. Fariz menoleh ke arah istrinya. Dahinya mengernyit karena maaih belum mengerti tentang apa yang dikatakan istrinya."Papa masih belum ngerti, Bun."Ainun menoleh ke arah suaminya dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya. Ainun meraih tangan suaminya lalu mengelus punggung tangannya. "Itu loh, si Arif-temannya Naura mau datang ke rumah.""Iya, Papa juga dengar tadi. Cuma, dalam rangka apa?"Ainun gemas mendengar penuturan suaminya yan
"Sha, aku sudah siapkan makan malam buat kita.""Iya."Selalu saja seperti itu. Dia tidak pernah sedikitpun bersikap manis padaku. Kecuali jika ada Ainun. Rasha selalu saja bersikap dingin. Aku hanya bisa menangis dalam hati saat diperlakukan seperti ini. Kembali ku langkahkan kaki ini menuju meja makan. Aku menunggu dia yang masih betah memandangi wajah mantan istrinya. Jangan tanya sakitku seperti apa. Tentu kamu tahu rasanya di posisi ini. Ibarat lagi Armada, 'Aku punya ragamu tapi tidak hatimu.' Menyesakkan bukan?Waktu berlalu dan aku masih betah menunggunya di sini. Di meja makan. Aku sudah memoersiapkan semuanya. Makan malam dengan masakan kesukaannya. Bahkan aku meminta resep pada Ainun. Nyatanya, itu lebih memyakitkan. "Ainun kirim makanan?" tanyanya saat beberapa sendok kiah soto Betawi masuk ke dalam mulutnya. "Ainun?" Dia mengangguk. "Masakan ini Ainun yang buat kan
"Pov Nayla."Naura, mama ingin bicara," ucapku saat Naura tengah duduk di taman bunga milik Ainun. Naura tak menyahut. Hal itu membuat hatiku sedikit menciut. Dia sejak dulu sudah membenciku. Di awal pertemuan kami aku telah menciptakan rasa benci untukku hingga dia pendam sampai kini. Bukan salah Naura jika dia membenciku begitu sangat. Ini memang salahku yang hadir menjadi penghancur istana yang susah payah mereka bangung. Hanya demi sebuah ambisi yang tak masuk akal, aku sudah menghancurkan hati banyak orang. Termasuk Naura. "Mama minta maaf sama kamu, Sayang," ucapku tulus. Namun, lagi dan lagi Naura tak menggubrisku. Aku paham akan itu semua. Jika aku berada di posisinya. Aku akan melakukan hal yang sama. "Mama sudah menghancurkan kebahagiaan kalian.""Sudahlah, Ma. Naura malas buat bahas masa lalu," ucapnya dingin. "Meskipun begitu, mama masih merasa bersalah.""Telat."
Lima belas tahun berlalu. Waktu berlalu begitu cepat. Kini aku menyaksikan putriku-Naura memakai jas berwarna putih.Suatu kebanggan bagi kami para orangtuanya. Cita-cita yang didambakan sejak dulu kini sudah menjadi nyata. "Dokter Naura!" sapaku lembut. Dia tersipu malu. "Ah, Bunda bisa aja."Naura telah menyelesaikan pendidikan profesi dokternya dan kini bekerja di salah satu instansi di Jakarta.Naura dikenal sebagai salah satu dokter yang berdedikasi tinggi. "Papa mana, Bun?" tanyanya sambil celingukan."Papa manti nyusul bareng Ayah dan Mama Nay."Naura memeluk tubuhku dengan sayang. Sejak dulu Naura seperti ini. Tak pernah berubah. "Bunda, Naura mau tanya sesuatu."Aku menoleh ke arahnya. "Iya, Sayang?""Sebenarnya ada yang ingin melamar Naura," ucapnya. Aku merasa bahagia. Senyum di wajahku tergambar begitu jelas. Dia gadis kecilku yang kini berusia dua p
"Bagaimana para saksi? Sah?""SAH!""SAH!"Suara menggema di segala sudut ruangan. Di sini, sebuah gedung dengan dekorasi nuansa putih dan pink yang memperindah tempatku melangsungkan pernikahan.Fariz melalui arahan dari penghulu nikah menyentuh ubun-ubunku seraya membacakan doa yang kuaminkan.Air mata perlahan metes kala sebuh sentuhan hangat mendarat di keningku. Tanganku kemudian meraih tangannya kemudian mencium punggung tangan sosok yang kini menjadi suamiku.Aku telah resmi menjadi istri seorang Muhammad Alfariz. Tangannya perlahan menyematkan cincin di jari manis sebelah kananku. Pandangan kami bertemu. Ada rasa getar cinta yang terasa begitu kuat. "Terimakasih sudah menerimaku, Ai," bisiknya. Aku mengangguk seraya mengulum senyum ini.Dari jauh kulihat Raffa dan Rasha memandangku dengan pandangan yang berbeda. Tak ada senyum darinya. Wajahnya begitu terlihat mendung. "Bunda!" pekik Naura saat kami selesai melak