"Kamu sengaja 'kan, mengajak mereka kesini?" ucapnya setelah tetanggaku pergi.
"Buat?" tanyaku sesantai mungkin.
"Buat mempermalukan aku. Segala uneg-unegmu sudah disampaikan sama mereka."
Aku tersenyum sinis. "Lalu?"
"Kamu sudah puas?!" tanyanya dengan menatapku tajam.
"Belum. Ini baru permulaan Nayla."
"Aku akan mengadukannya pada Rasha," ancamnya.
"Silakan!" tantangku.
Dia menggeratkkan giginya kemudian berlalu meninggalkanku.
Aku tertawa lepas saat mengingat bagaimana mereka menghadapi Nayla.
"Mengusirku?" tanya Nayla.
"Iya, kamu sudah melanggar peraturan di kompleks ini." Kening Nayla berkerut.
"Pertama, batas bertamu adalah tiga hari, lewat dari itu silakan pulang atau kembali melapor ke RT setempat dengan membawa foto copy KTP. Kedua, kamu bukan saudara atau keluarga dari Pak Rasha maupun Mbak Ainun. Status kamu hanyalah teman Pak Rasha. Jadi, kami pikir, tiga hari adalah batas maksimal kamu berada di sini. Ketiga, kamu tertangkap basah bergelayut manja pada Pak Rasha saat Mbak Ainun tidak berada di rumah. Ke empat, kamu berani berpakaian menggoda seperti ini di dalam rumah seseorang yang telah berkeluarga dan dia bukan mahrammu," jelas Bu Lili panjang lebar.
"Tapi, saya ini sahabatnya Rasha," bela Nayla.
"Tapi, tidak ada hubungan darah 'kan? Kamu juga seorang janda. Harusnya kamu tinggal terpisah dari mereka. Jadi, demi menjaga ketentraman lingkungan kami, silakan kemasi barang-barangmu!"
"Nggak bisa gitu dong, saya mau tinggal di mana?"
"Saya yakin kamu punya uang buat sewa rumah. Minimal kost-kost an bukan?"
"Nggak! Saya nggak bakal pergi! Ini rumah sahabat saya!"
"Perlu diseret?" tanya Bu Lastri kali ini.
Nayla menoleh ke arahku, matanya begit tajam dengan napas yang terengah-engah.
"Ini pasti ulah kamu!" tuduhnya. Aku mentapnya dingin.
"Jangan salahkan Mbak Ainun. Kamu yang salah!"
"Lagian wanita seperti kamu nggak pantas atuh tinggal di sini. Soalnya teh kamu kan orang lain, mana pakaian kamu teh seksi pisan. Ih, ngeri saya mah," sambung Bu Elis. Aku menahan tawa yang sangat ingin meledak.
"Kita kan nggak tahu ya, mata suami, siapa yang bisa jamin? Ibarat pepatah, nggak ada kucing yang bakal menolak ikan asin," imbuh Bu Lili.
Nayla menghentakkan kakinya berlalu meninggalkan kami. Ibu-ibu yang melihatnya tertawa cekikan.
"Aduh, Mbak, kok dia berani banhet ya, pakai pakaian seperti itu? Mbak nggak takut?" tanya Bu Lili.
"Aku sudah menegurnya berkali-kali, Bu, nggak mampan."
"Ih, gatal pisan ya, si teteh tadi? Gunung kembarnya teh sepertinya sengaja ditampakkan," imbuh Bu Elis.
"Kamu harus mengusirnya segera Mbak, jangan lama-lama. Kelakuannya sudah berani gitu," timpal Bu Lili.
"Aku sudah berulang kali mengusirnya, hanya saja dia emang nggak mau."
"Ya sudah, kita yang bergerak," usul Bu Lili.
"Kalau jam empat sore dia belum pergi, kita usir dia," lanjutnya.
"Kita bagusnya apain, ya?" tanya Bu Lastri.
"Kita bahas di grup w******p."
*
Menjelang sore aku baru saja selesai.memandikan Naura. Hari ini waktu berlalu seakan melambat. Kulirik jam yang menempel di dinding. Sepuluh menit lagi jam empat sore, tetapi belum ada tanda-tanda wanita itu akan pergi.Beberapa menit lalu Mas Rasha menelfon akan mengambil jatah lembur malam ini. Kesempatan bagus buatku untuk menjalankan aksiku.
Tubuh kecil Naura yang sudah wangi aku letakkan di ruang keluarga. Tampak Nayla sedang menonton drama ikan terbang di samping Naura. Aku melangkah ke dapur untuk membuat dua gelas jus jeruk. Sesuai perintah Bu Lili, serbuk putih ini kucampur ke dalam jus jeruk yang kusajikan untuk Nayla.
"Jangan lupa bedakan gelasnya, biar kamu tahu mana yang sudah tercampur obat tidur dan yang aman untuk kamu minum." Pesan Bu Lili.
Setelah mengaduknya dengan rata, aku membuka lemari es kamudian mengambil beberapa potongan kue brownis. Aku tersenyum puas berharap rencana ini berhasil.
Kuayunkan langkah kembali menuju ruang keluarga. Aku meletakkan cemilan sore di atas meja lalu mengempaskan bokong di sampingnya.
"Enak tuh, aku minta dong!"
"Nggak, ini buat aku semua!" jawabku bohong.
"Pelit banget sih. Buat aku saja yang satunya," paksanya.
"Bikin aja sendiri!" jawabku memancing. Aku tahu dia itu super malas, mana mau dia.
"Nanti aku ganti, ceritanya lagi seru."
Aku meraih gelas yang aman untukku lalu kuminum.
"Ya sudah, ambil aja! Jangan lupa ganti ya!"
Dia mengangguk seraya tersenyum sumringah. Seperti orang kehausan, dia meneguknya hingga tersisa setengah.
'Bagus! Untung dia bodoh,' seruku dalam hati.
Tak hanya meminum jus itu, dia tanpa permisi mencomot brownis lalu memakannya lahap seperti oeang kelaparan. Dalam hati aku bersorak penuh kemenangan karena potongan kue juga kububuhi obat tidur tadi.
Selang dua menit, mulutnya berhenti mengunyah, jus jeruknya sudah habis. Matanya yang sejak tadi menatap layar televisi mulai meredup. Berulang kali Nayla menguap hingga tubuhnya luruh di sandaran sofa.
"Nay! Jangan tidur di sini, dong!" Nayla tetap tertidur pulas.
"Yes!"
Jariku segera berselancar untuk menghubungi ibu-ibu komplek yang katanya sudah berkumpul di depan rumah Bu Lili yang kebetulan berhadapan dengan rumahku.
Gegas aku membuka pintu lalu masuklah ibu-ibu mulai melakukan aksinya. Aku, Bu Lili dan Bu Elis masuk ke dalam kamar Nayla lalu memasukkan pakaiannya ke dalam koper.
"Ih, seksi semua ya bajunya? Menggoda banget! Bakat pelakor emang," cibir Bu Lili.
"Alat make-up nya banyak. Lipstiknya nge-jreng. Pelakor handal kayaknya," serunya lagi.
"Bajunya brand ternama semua. Hasil malak laki orang kayaknya."
Aku an Bu Elis hanya menyimak ocehannya sambil terus memasukkan pakaian ke dalam koper, sedang Bu Lili sibuk mencibir.
Kami bertiga ke luar dari kamar. Tubuh Nayla sudah berada di ruang tamu. Bu Riska dan Bu lastri yang mengangkatnya.
"Berat banget tubuhnya," keluh Bu Riska.
"Berat karena dua gunungnya gede banget," jawab Bu Lastri. Kami semua tertawa cekikan.
"Mobilnya sudah siap. Yuk, angkut!" seru Bu Ajeng dari luar.
Gegas kumatikan televisi yang sejak tadi menyala lalu mengangkat tubuh Naura kecil.
"Kita kemana, Unda?" tanyanya.
"Jalan-jalan, Sayang."
"Hole!" serunya.
Bu Lastri, Bu Ajeng, dan Bu Riska mengangkat tubuh Nayla ke dalam mobil. Bu Elis menenteng koper sedang Bu Lili sebagai pemandu aksi mereka. Aku gegas mengunci pintu lalu menyusul mereka ke dalam mobil setelah gerbang kugembok.
Bu Ajeng menyetir mobil, disampingnya ada Bu Lili. Bu Ajeng, Bu Elis, dan aku di kursi tengah sedangkan Bu Riska di belakang berjaga.
"Kita bawa dia kemana, Bu?" tanyaku pada Bu Lili.
"Udah, diam aja, Mbak! Kita udah ketemu tempat yang pas buat dia. Jauh dari kita."
Mobil terus melaju. Hampir satu jam berlalu, obatnya masih bekerja. Hingga kami tiba di sebuah bangunan yang kami yakini ini adalah rumah kost. Saat dua security lewat, kami meminta bantuannya untuk mengangkat tubuh Nayla ke lantai dua. Kami mengikutinya untuk memastikan Nyala masih tertidur pulas sedangkan Bu Lili menemui pemiliknya. Setelah semua beres, kami.kembali ke dalam mobil lalu meninggalkan rumah kost tersebut.
Di dalam mobil kami tak berhenti tertawa puas.
"Akhirnya si ulat bulu pergi juga," seru Bu Lili.
"Eh, itu aman nggak, Bu? Mereka nggak curiga?" tanyaku penasaran.
"Nggak dong, pemiliknya teman SMA ku. Aku sudah ceritakan semua."
Mobil terus melaju meninggalkan Nayla yang pasti akan kaget melihat di mana dia berada.
Suasana rumah begitu nyaman, tak ada wanita itu, tak ada keributan dan pastinya tak ada wanita penggoda. Aku menikmati suasana seperti ini. Dan aku berharap, wanita itu tidak muncul lagi di depanku.Bunyi bel membuyarkan lamunanku. Aku segera bangkit lalu berlalu meninggalkan Naura yang sedang tertidur pulas. Begitu pintu kubuka, tampaklah wajah lelah suamiku. Aku berhambur memeluknya. Sangat erat."Eh, tumben," tegurnya. Aku tersenyum."Pelukannya jangan di sini, nanti dilihat sama Nayla," bisiknya. Senyumku yang sedari tadi mengembang, memudar seketika."Nayla?" tanyaku setelah melepas pelukan."Iya, Sayang. Kan nggak enak," jawabnya.Ekor matanya menelisik.setia sudut ruangan. "Eh, yang lain sudah tidur?" tanyanya seraya malangkah masuk."Iya, Mas." Ekor matanya melirik ke pintu kamar yang sudah tertutup rapat."Kenapa, Mas, segitu banget lihat ke pintu kamar dia," tegurku cemburu."Eh, e
Sudah empat hari berlalu semenjak kepergian Mas Rasha. Biasanya setelah sampai di kota tujuan, suamiku akan menelfon. Namun, kenyataannya, sampai sekarang, jangankan menelfon, untuk sekedar membalas chatku pun sangat susah.Naura yang sejak kemarin rindu dan ingin bertemu dengan ayahnya semakin terus menangis. Aku yang sudah kewalahan berinisiatif untuk melakukan panggilan video.Panggilan terus kulakukan, tapi tak pernah ada jawaban. Mungkin dia sedang sangat sibuk."Unda, yaya mana?" tanya anakku."Sabar ya, Sayang. Mungkin ayah lagi sibuk kerja.""Naula lindu yaya!" protesnya dan kembali menangis.Pikiranku kalut. Naura mewarisi sifat ayahnya. Jika ingin sesuatu, maka harus dikabulkan. Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalaku. Aku menghubungi Dion-teman kantornya. Aku yakin Dion bisa membantuku.Dering panggilan menyambungkan terus terdengar hingga suara bariton dari seberang terdengar."Ha
Semenjak kejadian tadi pagi membuat pikiranku semakin kacau. Bayangan siapa itu? Kenapa justru panggilan terputus tiba-tiba? Apa yang terjadi sebenarnya?Semua pertanyaan dan kecurigaan terus menyerangku. Aku yakin suamiku tidak akan berkhianat, tapi bayangan itu? Suara itu?Arrg. Aku benci pikiranku saat ini. Harusnya aku lebih percaya suamiku saat pamit keluar kota untuk menafkahi kami. Ya, suamiku pasti setia.Bel berbunyi, gegas aku melangkah keluar untuk menyambut kedatangannya. Saat membuka pintu, aku.melihat sosok yang sangat aku rindukan. Tangannya direntangkan lalu aku menghambur ke dalam pelukannnya. Mencium aroma tubuh yang menjadi canduku selama ini."Kangen, Dek," bisiknya."Sama," jawabku seraya memeluknya lebih erat."Yaya!" pekik Naura yang sukses merusak moment kemesraan orang tuanya.Aku mengalah, mas Rasha melepaskan pelukan lalu menggendong dan terus menciumi pipi gembul Naura.&n
"Mas ini parfum siapa?!" tanyaku lagi dengan penuh penegasan.Mas Rasha mendekatiku, digenggamnya tangan ini yang sudah mulai gemetar menahan amarah yang sedari tadi ingin meledak."Dek, percaya sama mas, ini nggak seperti yang kamu pikirkan," bujuknya. Aku menggeleng tegas. Ingatan tentang bayangan dan suara itu kembali terngiang."Dek, sumpah mas tidak berkhianat."Aku menarik napas dalam berusaha menormalkan deguban yang terus terasa."Mas, aku selama ini berusaha percaya. Tiap mas keluar kota, kepercayaan itu terus kupegang. Tapi sekarang? Apa yang bisa menjamin kalau mas tidak bermain api?""Mas tidak pernah bermain api, Sayang. Percayalah." Kini mas Rasha berusaha memeluk tubuhku. Aku bergeming."Bagaimana aku bisa percaya jika selalu saja ada bukti yang kudapat?""Bukti apa?" tanyanya lagi.Aku mencebik kesal. "Bayangan wanita, suara erangan seperti orang yang baru saja bangun dan ter
"Kamu dari mana saja, Mas?" berondongku saat mas Rasha sudah masuk ke dalam rumah. Mas Rasha berlalu begitu saja tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Langkah kupercepat menyusulnya ke dalam kamar. Aku berdiri mematung kala melihatnya menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. "Mas," tegurku lagi seraya mulai mendekatinya. "Jawab aku, Mas! Kamu dari mana saja?" "Bukan urusanmu!" ketusnya yang sontak membuatku sedikit terhenyak. "Itu urusanku, Mas. Semalam kamu pergi tanpa pamit. Nomor tidak bisa dihubungi, lalu tiba-tiba pulang dalam keadaan seperti ini. Aku pantas bertanya karena aku ini istrimu, Mas." Ingin sekali aku meluapkan segala sesak yang ada di dalam dada. Jika melihat kondisi sekarang, aku justru akan lebih terluka kalau memaksakan kehendak. "Aku ingin tidur." Otakku memaksa untuk mengalah sebentar saja. Meskipun sangat sulit, akan tetapi aku harus melakukannya. Perlahan langkah ini
Sejak kejadian kemarin aku memilih tak banyak bicara. Menjawab seperlunya setelah itu aku memilih diam. Rasa sakit ini maaih sangat terasa mengetahui kenyataan pahit itu.Aku sungguh tak menyangka, suamiku lebih memilih menemani wanita itu. Berangkat diam-diam lalu meninggalkan aku dan Naura."Dek, kamu masih marah?" tanyanya saat aku tengah menghidangkan sarapan untuknya.Ya, meskipun aku mendiamkannya, akan tetapi tugasku sebagai istrinya tidak pernah kutinggakan. Seperti biasanya segala kebutuhannya masih aku layani dengan sepenuh hati."Dek, biar bagaimana pun, Nayla adalah sahabat mas. Dia sedang sakit. Jadi, tolonglah!"Aku yang hendak ke dapur unuk menyiapkan MP-ASI urung melangkah. Kubalikkan badan ini menghadapnya."Lalu?""Mengertilah, Dek. Aku khawatir dengan kondisinya. Dia menderita penyakit yang cukup serius," terangnya."Oh, begitu? Lalu bagaimana dengan kami
Tiga hari berlalu, selama itu pula mas Rasha sering pulang terlambat. Alasannya tetap sama, menjaga wanita itu.Aku tak tahu persahabatan seperti apa yang mereka jalani selama ini. Tapi bagiku semuanya di luar batasan. Hampir tak ada batasan di antara mereka.Seperti hari ini. Kami bertiga kini berada di ruangan persegi untuk menjenguk wanita itu. Menurutku semua tampak biasa saja, tak ada yang menkhawatirkan. Hanya infusan yang masih terpasang di punggung tangannya."Makasih ya, Mbak, sudah meluangkan waktunya. Aku jadi merasa merepotkan mbak," ucapnya sok manis.Kuletakkan buah yang sengaja kubeli di toko buah langganan. Aku hanya tersenyum sekilas menanggapi ocehannya."Wah sampai repot-repot segala bawa buah," ucapnya lagi.'Itu kamu tahu kalau ini merepotkan,' teriakku dalam hati."Gimana keadaannya?" tanyaku sengaja mengalihkan ocehannya."Masih lemah, Mbak.""Oh."A
Aku mengempaskan tubuh di atas kasur melepaskan segala penat yang ada. Aku tak habis pikir, dia yang sudah kuusahakan untuk.menjauh dari kami, rupa-rupanya masih berhubungan dengan suamiku.Wanita itu sangat licik. Dia menghalalkan segala cara agar bisa bertemu dengan suamiku. Aku pun tak habis pikir dengan jalan pikiran Mas Rasha, bisa-bisanya dia berbohong dan menkhianatiku?Aku tahu mereka adalah sahabat. Aku tak masalah hanya jika wanita itu tidak mengibarkan bendera perang. Dia dengan bangganya menunjukkan bahwa dia akan merebut suamiku.Saat aku berperang dengan segala praduga, terdengar suara langkah kaki menuju ke arahku. Aku pura-pura tak menghiraukan."Dek, maafkan, Mas." Aku memilih diam. Aku hanya ingin mendengar apa yang akan dia katakan."Mas tak ada maksud. Nayla sahabatku dan dia membutuhkan mas, Dek. Tapi, mas benar nggak tahu kalau Nayla berbohong soal sakitnya."Aku menghela napas lalu mengemb
Waktu berlalu begitu cepat. Hingga tak terasa Naura mengandung anak keduanya. Anak pertama diberi nama Muhammad Abhyzar Wicaksono. Kini, kandungan Naura memasuki usia tujuh bulan. Seperti sebelumnya, kedua belah pihak keluarga mengadakan acara tujuh bulanan. Awalnya semua berjalan dengan baik, hingga Nayla yangbsedang sibuk di dapur terjatuh begitu saja. Mwreka yang sedang berada di dalam rumah, gegas menghampiri Nayla lalu mengangkatnya. "Ibu Nayla pingsang!" pekik mereka. Suasana menjadi semakin gaduh. Arkan langsung memanggil Fariz untuk memberitahunya. "Papa, Mama Nayla pingsang!"Fariz segera berdiri lalu berbisik di telinga Rasha. Prosesi masih berjalan. Fariz langsung menggantikan posisi Rasha. Rasha berlari sekuat yang dia mampu kemudian mencari istrinya di antara kerumunan. "Nay!" pekiknya begjtu melihat istrinya lemah tak berdaya. "Arkan, hubungi ambu
"Naura, aku ingin bertemu sebentar," ucap Nino melalui sambungan telepon. Naura yang baru saja lepas dinas hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia begitu tahu bagaimana perasaan Nino saat ini. Namun, bagaimanapun, Naura sudah menerima cinta Arif. Sosok lelaki yang selama ini diam-diam menaruh hati padanya. "Naura, bisa kan?" "Kita ketemu di rumah saja.""Tidak. Aku sudah ada di rumah sakit untuk menjemputmu."Naura memijit pelipisnya. Dia tahu bahwa Nino itu orang yang sangat nekat. Seperti saat ini. Nino sudah tahu Naura telah memantapkan hati untuk siapa."Naura, please! Untuk kali terakhir."Naura menerawang. Dia.dilanda kecemasan. Dia begitu menjaga perasaan Arif calon suaminya. "Arif harus tahu.""Tidak pelu. Aku kan sahabatmu."Naura mengalah. Akhirnya dia memilih untuk mengikuti keinginan Nino. "Baiklah, tunggu aku di sana!"Naura bergegas menu
Pagi ini Naura disibukkan oleh pasien yang tiba-tiba membludak di poli umum.Suster Lisa yang membantu ikut kerepotan hingga dia berinisiatif memanggil Manda-rekan profesinya. Waktu berlalu begitu cepat hingga akhirnya pasien terakhir masuk. Naura yang sedang meluruskan tangannya tiba-tiba berhenti sejenak saat menyadari siapa yang tengah duduk di depannya. "Nino?" ucapnya sedikit ragu. Sosok yang ada di depannya mengulas senyum tipis tanpa membalas ucapan Naura. Naura berusaha bersikap normal. Matanya mulai berkaca. Ingin sekali dia menumpahkan segala kekesalan yang ada pada dirinya. Namun, Naura urung melakukannya. Selain karena masih di lingkungan kerja, dia juga tak ingin terlihat lemah di depan orang yang masih mengisi hatinya. "Pagi, Dokter Naura!" sapa Nino yang menyadarkan Naura dari lamunannya. "Hai, Nin!"Hanya itu yang bisa diucapkan saat ini. Naira sedang berperang dengan ak
Setahun sudah pernikahan kami. Suatu kesyukuran dari pernikahan kami lahirlah seorang putra yang kami beri nama Muhamma Arkan Hafiz. Berharap kelak Arkan akan menjadi anak sholeh dan penghafal Al Qur'an. Aa Fariz melantunkan adzan di telinga bayi kami. Suara merdunya membuatku menitikkan air mata. "Pa, ini adek Naura kan?" tanya putri kami. "Iya, Sayang. Nanti dia yang akan menjaga Naura dari orang jahat."Mata Naura berbinar. "Naura punya teman main dong, Bunda?""Iya, Sayang," jawabku. Arkan lahir melalui operasi sesar. Ketuban pecah dini dan semakin berkurangnya air ketuban membuatku harus menjalani operasi itu. Operasi sesar yang menurut orang di luar sana begitu mengerikan. Kuakui memang. Tapi, apapun itu, aku menikmati semuanya. Bagiku, yang penting bayiku lahir dengan selamat. "Assalamu'alaikum," sapa Sinta. "Wa'alaikumussalam."Ternyata Sinta tidak sendiri. Ada Mas Yuda, Nino, dan juga Raffa. "Wah si ganteng. Mirip pap
"Papa, Bunda, Naura ingin bicara," ucap Naura pada kedua orangtuanya saat mereka sedang duduk santai di teras rumah. "Soal apa, Sayang?" tanya Fariz. Naura memilin ujung jilbabnya. Berulang kali dia menggingit bibir bawahnya. Fariz dan Ainun saling memandang satu sama lain. Mereka masih menunggu putrinya angkat bicara. "Naura?" tanya Ainun. "Pa, Bunda, eum itu. A-arif katanya mau datang ke rumah.""Oh, ya? Kapan?" tanya Ainun. Fariz menoleh ke arah istrinya. Dahinya mengernyit karena maaih belum mengerti tentang apa yang dikatakan istrinya."Papa masih belum ngerti, Bun."Ainun menoleh ke arah suaminya dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya. Ainun meraih tangan suaminya lalu mengelus punggung tangannya. "Itu loh, si Arif-temannya Naura mau datang ke rumah.""Iya, Papa juga dengar tadi. Cuma, dalam rangka apa?"Ainun gemas mendengar penuturan suaminya yan
"Sha, aku sudah siapkan makan malam buat kita.""Iya."Selalu saja seperti itu. Dia tidak pernah sedikitpun bersikap manis padaku. Kecuali jika ada Ainun. Rasha selalu saja bersikap dingin. Aku hanya bisa menangis dalam hati saat diperlakukan seperti ini. Kembali ku langkahkan kaki ini menuju meja makan. Aku menunggu dia yang masih betah memandangi wajah mantan istrinya. Jangan tanya sakitku seperti apa. Tentu kamu tahu rasanya di posisi ini. Ibarat lagi Armada, 'Aku punya ragamu tapi tidak hatimu.' Menyesakkan bukan?Waktu berlalu dan aku masih betah menunggunya di sini. Di meja makan. Aku sudah memoersiapkan semuanya. Makan malam dengan masakan kesukaannya. Bahkan aku meminta resep pada Ainun. Nyatanya, itu lebih memyakitkan. "Ainun kirim makanan?" tanyanya saat beberapa sendok kiah soto Betawi masuk ke dalam mulutnya. "Ainun?" Dia mengangguk. "Masakan ini Ainun yang buat kan
"Pov Nayla."Naura, mama ingin bicara," ucapku saat Naura tengah duduk di taman bunga milik Ainun. Naura tak menyahut. Hal itu membuat hatiku sedikit menciut. Dia sejak dulu sudah membenciku. Di awal pertemuan kami aku telah menciptakan rasa benci untukku hingga dia pendam sampai kini. Bukan salah Naura jika dia membenciku begitu sangat. Ini memang salahku yang hadir menjadi penghancur istana yang susah payah mereka bangung. Hanya demi sebuah ambisi yang tak masuk akal, aku sudah menghancurkan hati banyak orang. Termasuk Naura. "Mama minta maaf sama kamu, Sayang," ucapku tulus. Namun, lagi dan lagi Naura tak menggubrisku. Aku paham akan itu semua. Jika aku berada di posisinya. Aku akan melakukan hal yang sama. "Mama sudah menghancurkan kebahagiaan kalian.""Sudahlah, Ma. Naura malas buat bahas masa lalu," ucapnya dingin. "Meskipun begitu, mama masih merasa bersalah.""Telat."
Lima belas tahun berlalu. Waktu berlalu begitu cepat. Kini aku menyaksikan putriku-Naura memakai jas berwarna putih.Suatu kebanggan bagi kami para orangtuanya. Cita-cita yang didambakan sejak dulu kini sudah menjadi nyata. "Dokter Naura!" sapaku lembut. Dia tersipu malu. "Ah, Bunda bisa aja."Naura telah menyelesaikan pendidikan profesi dokternya dan kini bekerja di salah satu instansi di Jakarta.Naura dikenal sebagai salah satu dokter yang berdedikasi tinggi. "Papa mana, Bun?" tanyanya sambil celingukan."Papa manti nyusul bareng Ayah dan Mama Nay."Naura memeluk tubuhku dengan sayang. Sejak dulu Naura seperti ini. Tak pernah berubah. "Bunda, Naura mau tanya sesuatu."Aku menoleh ke arahnya. "Iya, Sayang?""Sebenarnya ada yang ingin melamar Naura," ucapnya. Aku merasa bahagia. Senyum di wajahku tergambar begitu jelas. Dia gadis kecilku yang kini berusia dua p
"Bagaimana para saksi? Sah?""SAH!""SAH!"Suara menggema di segala sudut ruangan. Di sini, sebuah gedung dengan dekorasi nuansa putih dan pink yang memperindah tempatku melangsungkan pernikahan.Fariz melalui arahan dari penghulu nikah menyentuh ubun-ubunku seraya membacakan doa yang kuaminkan.Air mata perlahan metes kala sebuh sentuhan hangat mendarat di keningku. Tanganku kemudian meraih tangannya kemudian mencium punggung tangan sosok yang kini menjadi suamiku.Aku telah resmi menjadi istri seorang Muhammad Alfariz. Tangannya perlahan menyematkan cincin di jari manis sebelah kananku. Pandangan kami bertemu. Ada rasa getar cinta yang terasa begitu kuat. "Terimakasih sudah menerimaku, Ai," bisiknya. Aku mengangguk seraya mengulum senyum ini.Dari jauh kulihat Raffa dan Rasha memandangku dengan pandangan yang berbeda. Tak ada senyum darinya. Wajahnya begitu terlihat mendung. "Bunda!" pekik Naura saat kami selesai melak